Menangkap Restless Soul
Sabtu sore, 10
November 2012, sekitar 15 orang berkerumun lesehan di lantai satu Galeri Biasa,
Jalan Suryodiningratan no. 2, Yogyakarta. Ada Alexander Ming dan Anton Larentz
sebagai tuan rumah perhelatan—yang masing-masing sebagai seniman dan kurator
pameran “Spirit “ yang hari itu berakhir. Ada seniman senior Djoko Pekik,
akademisi Prof.Dr. M. Dwi Marianto, seniman Sentot Indarto, dan beberapa
seniman muda lainnya. Kerumunan ini berlangsung serius tapi santai.
Ming mengawali
perbincangan tersebut dengan mengungkap “rahasia” dan proses di balik kelahiran
karya-karyanya yang dipamerkan. Secara selintas dia mengungkapkan bahwa semua
itu lahir dari rumah tua yang dibelinya bertahun-tahun lalu di kawasan kota
Magelang. Rumah itu konon sudah berusia seratusan tahun, dan praktis diduga
penuh “penunggunya” yakni para makhluk yang tak kasat mata. Ming mengakui bahwa
sebenarnya dia tak cukup peka indera keenamnya untuk melacak dan mengetahui
para makhlus gaib itu. Justru anak-anak dan istrinyalah yang lebih sensitif.
Dari situlah gagasan kreatif Ming muncul dan lalu bertebar pada banyak kanvas
pada bulan-bulan terakhir hingga terjadilah pameran tunggal itu.
Gagasan itu muncul
saat Ming mencoba “menyatukan frekuensi” dengan para penunggu yang berada di
ruang dimana lukisan-lukisan karyanya yang bertema kursi ditempatkan.
(Alexander Ming pernah memamerkan puluhan karya bertema kursi itu dalam sebuah
pameran tunggal beberapa tahun lalu di Taman Budaya Yogyakarta). Proses
“penyatuan frekuensi” ini bukanlah hal yang gampang karena Ming harus
mengerahkan segala kemampuan fisik dan emosinya untuk memfokuskan diri demi
menangkap gejala atau fenomena yang berada di depan mata dan rasa estetiknya.
Ketika momen “satu frekuensi” itu terjadi, maka tangannya dengan cepat bergerak
untuk mengabadikan “pertemuan” tersebut di atas kanvas. Dan lukisan bertema
wajah-wajah “para penunggu” rumah itu pun tercipta. Ming mengakui tak punya dan
tak butuh banyak waktu untuk mengeksekusi tiap karya bertema wajah-wajah “gaib”
itu. Rata-rata cukup 15 hingga 30 menit. Namun ada satu dua karya yang teramat
kuat menyedot konsentrasi dan fisiknya hingga dia mesti menuntaskan satu
bentang kanvas sampai membutuhkan waktu satu setengah jam. Itu membuatnya
begitu kelelahan secara fisik dan mental. Ming mengakui, untuk kasus seperti
ini, kalau dirinya tak mengontrol emosi, bisa dimungkinkan terseret pada
situasi mental yang buruk dan tak diharapkannya. Untunglah semuanya masih bisa
dikendalikannya.
Pada bagian lain Anton
Larentz sebagai kurator mengakui bahwa gejala kreatif seperti yang dilakukan
dan dialami oleh Alexander Ming menarik untuk dikaji lebih jauh dalam dunia
seni rupa. Antroplog Jerman ini mengakui bahwa gejala seperti ini memang
bukanlah hal yang baru. Sudah mulai beberapa abad sebelumnya para seniman dari
belahan dunia yang lain memulai proses penciptaan karya seni serupa dengan
Ming. Tentu dengan karakter karya, proses kreatif, dan pencapaian yang berbeda
satu sama lain. (Selengkapnya, baca catatan kuratorial Anton Larentz).
Guru besar Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Prof.Dr. M. Dwi Marianto juga mengakui bahwa
gejala kreatif semacam ini telah terjadi dan menimpa banyak seniman, dan ini
tetap menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian. (Baca juga catatan M. Dwi
Marianto dalam buku ini).
Sementara bagi seniman
senior Djoko Pekik, kecenderungan kreatif seperti yang dilakukan oleh Ming,
baginya, merupakan anugerah tersendiri yang layak untuk diapresiasi oleh
publik, namun juga pantas untuk terus dioptimalkan sebagai dasar kerja kreatif.
Seniman berjenggot yang sempat mendapat julukan sebagai “Seniman Satu Milyar”
ini merasa tidak memiliki kemampuan untuk memaksimalkan kepekaan indera keenam.
Lebih jauh Pekik berkisah tentang rumah tinggalnya kini yang tanah
pekarangannya seluas kurang lebih 2 hektar, berbataskan sungai, dan jauh dari
perkampungan (umum). Rumahnya praktis sendirian, jauh dari tetangga kanan kiri.
Setiap kali “orang tua” atau siapapun orang yang memiliki kepekaan indera
keenam datang ke rumahnya, pasti langsung berkomentar bahwa “wah, ini sarangnya
para lelembut”. Bahkan menurutnya ada satu pohon di salah satu pojokan rumahnya
yang “ditunggui” oleh sesosok penunggu dengan kekuatan gaib luar biasa. Tak
jarang, bila “pelukis Celeng” ini mengadakan hajatan dan mengundang khalayak
ramai, selalu memanfaatkan jasa dukun atau “orang tua” untuk membuat sesaji
tolak bala atau tolak hujan. Dan pada saat itulah sang dukun selalu menolak
untuk menaruh sesaji di bawah pohon yang ditunggui oleh penunggu yang luar
biasa itu. Mereka merasa kalah ilmu, dan takut akan dikacaukan niatnya.
Sudah banyak kejadian
aneh yang terjadi di kawasan rumah Djoko Pekik, terutama bagi mereka yang punya
kepekaan indera keenamnya. Misalnya pada saat di panggung di pelataran rumahnya
dipergunakan untuk acara mantenan di malam hari. Menurut beberapa orang,
termasuk dhukun manten-nya, di atas panggung itu bertebaran para penunggu
menyaksikan perhelatan tersebut. Mereka tidak mengganggu, namun pemandangan itu
terasa mengerikan. Namun Djoko Pekik sama sekali tidak pernah diganggu oleh
gejala supranatural tersebut. Dan juga tak mampu untuk memanfaatkan situasi itu
karena memang dia tidak dianugerahi kemampuan untuk melihat atau sensitif
merasakan gejala itu.
Maka, menurut Pekik,
hal-hal unik yang dialami oleh Ming hingga diwujudkan secara visual di atas
kanvas merupakan sebuah peluang estetik yang tak perlu disia-siakan. Seniman
yang dulu aktif di komunitas seni Boemi Tarung tersebut juga memesan agar Ming
tak perlu merisaukan betul ihwal penilaian dari segi artistik oleh apresian.
Tak perlu dipedulikan banget soal indah-tidak indah, bagus-tidak bagus,
artistik-tidak artistik atas karyanya. Karena di luar penilauan soal visual
tersebut, proses kreatif hingga temuannya yang diungkapkan di atas kanvas
merupakan sebuah ketertarikan, keunikan, dan memiliki kandungan artistik
tersendiri yang berbeda dengan karya seniman kebanyakan. Maka, biarkan itu
mengalir. Apalagi bila menyimak keterangan Alexander Ming yang mengatakan bahwa
hingga saat diskusi sore itu berlangsung, karya-karya semacam itu sudah
dilahirkan sekitar 120 bentang kanvas. Itu bukan jumlah yang main-main.
Diskusi itu juga
direspons oleh Rien Sotya, seorang pengajar bahasa di sebuah lembaga pendidikan
bahasa Inggris di Yogyakarta. Rien mendasarkan terlebih dahulu pada kenyataan
di negara-negara Barat. Menurutnya, di negara-negara Barat, mereka yang
mempercayai hantu kadangkala menganggap hantu-hantu tersebut sebagai roh yang
tidak aman selepas mati, dan dengan itu berkeliaran di bumi, atau disebut juga
dengan restless soul, jiwa-jiwa yang
tidak tenang. Ketidaksanggupan mendapat keamanan dijelaskan sebagai ada
pekerjaan yang belum selesai, seperti hantu yang mencari keadilan atau
membalaskan dendam setelah mati. Dalam
kebudayaan Asia seperti di Tiongkok, banyak orang yang percaya kepada
reinkarnasi. Hantu merupakan roh yang tidak mau "di-reinkarnasi-kan"
karena mereka mempunyai masalah yang belum selesai, sama seperti di Barat. Baik
budaya Timur maupun Barat mempunyai pendapat yang hampir sama mengenai hantu.
Para hantu ini berkeliaran di tempat mereka biasa pergi sewaktu hidup atau
tempat mereka meninggal. Tempat demikian dikenali sebagai "rumah berhantu”
atau “tempat berhantu”, sedangkan hal-hal atau tindakan-tindakan yang mereka
lakukan disebut "menghantui".
Rien
yang kebetulan pernah melakukan penelitian kecil-kecilan tentang nama-nama
hantu yang beredar di masyarakat Bantul ini menengarai peran mitos yang masuk
dalam perbincangan tentang hantu ini. Masyarakat di daerah Bantul, Yogyakarta, dan Jawa Tengah mengelompokkan makhluk supranatural atau hantu dalam 9 (sembilan) kelompok besar yang kemudian masih dibagi lagi
menjadi beberapa jenis hantu-hantu lainnya di dalam kelompok tersebut. Kesembilan kelompok besar hantu tersebut dipergunakan dan disebutkan dalam suluk pewayangan seperti ini: "Jin, Setan, Peri, Perayangan, Ilu-ilu,
Banaspati, Genderuwo, Memedi, Thekthek-an". Hal ini digunakan untuk menggambarkan dengan lengkap seluruh mahluk halus
dengan singkat, tanpa menyebut satu persatu jenis mahluk halus yang jumlahnya
ratusan, sebagaimana yang dikenali di dalam masyarakat Jawa dan budaya Jawa yang dikenal sangat kental dengan hal-hal supranatural.
Sementara latar belakang penamaan juga deskripsi tentang nama-nama itu biasanya
berkaitan dengan budaya setempat. Selain penamaan dan deskripsi yang diberikan,
orang-orang tua atau sesepuh pada
jaman dahulu meciptakan mitos atau menamai hantu untuk memberikan gambaran, nasihat
ataupun mengajarkan budaya sopan santun, serta memberikan edukasi melalui
kepercayaan yang dibangun dalam masyarakat. Hal ini terutama berkaitan dengan
tingkat pemahaman masyarakat yang masih sangat sederhana pada masa itu. Selain
itu, nasihat berupa nilai-nilai budaya supaya manusia berusaha untuk
mendapatkan kekayaan dengan kekuatan dan kemampuan usahanya sendiri tanpa
meminta bantuan dari makhluk halus, karena pada akhirnya, meminta pertolongan
makhluk halus hanya akan berakhir pada kematian atau kesengsaraan.
Memang, diskusi yang
dihelat dengan sederhana sore itu menjadi cukup kaya meski hanya “dirubung”
oleh 15-an orang. Ada intensitas di situ yang berimbas pada pengayaan tema awal
diskusi. Dari itu semua, lalu kita juga bisa menjumput sebuah kesimpulan kecil
bahwa realitas-supranatural yang diketengahkan sebagai sumber gagasan oleh
Alexander Ming ternyata mampu diterjemahkan menjadi realitas-estetik dengan
versi khas Ming. Titik penting dari transformasi realitas-supranatural menuju
realitas-estetik inilah terjadi proses pergulatan artistik dan estetik yang memberi
sensasi dan pencapaian tersendiri bagi kesenimanan Ming. Dan artefak dari
pencapaiannya berupa karya-karya lukisan itulah yang kini bisa dengan bebas
direspons, diapresiasi serta disikapi secara bebas oleh masyarakat. Silakan
menikmati hasil pergulatan itu! ***
Catatan diskusi oleh Kuss Indarto