Menelusuri Jalur Ngalor Ngetan
Oleh Kuss indarto
[1/satu]:
Dua seniman dengan karakter, corak dan pola visual yang relatif berbeda
bergabung dalam pameran “Ngalor-Ngetan”.
Rb. Ali dan Khoiri, duo perupa tersebut, menandai pameran ini dengan tajuk yang
diambil dari terminologi bahasa Jawa yang artinya harfiahnya “menuju ke utara
dan ke timur”, dan diandaikan mengendapkan makna “berjalan beriringan lalu
merunuti arah dan keyakinan masing-masing”. Makna ini tentu tak terlalu tepat
benar karena pada dasarnya tajuk pameran ini juga merupakan “pelesetan” dari
ungkapan “yang lebih asli”, yakni “ngalor-ngidul”.
Ngalor-ngidul sejatinya merujuk pada
aktivitas perbincangan antara dua orang atau lebih tanpa tema yang fokus dan
terarah—sehingga bisa berkisah mulai dari tema politik, perkembangan teknologi gadget, olah raga, klenik, metafisika, hingga seks, atau pun progres pasar seni rupa
kontemporer, dan lainnya. Semua bisa masuk dalam “agenda” perbincangan “ngalor-ngidul”—dari utara hingga
selatan ini. Prinsip mendasar dari terjadinya tindakan berbincang ngalor-ngidul ini, saya kira, adanya
persenyawaan batin dan kehendak untuk membangun komunikasi yang lebih kuat,
serta hasrat untuk berbagi pengetahuan dan informasi antar-orang yang terlibat
di dalamnya. Berbincang ngalor-ngidul
kiranya bisa juga ditengarai sebagai aksi yang filosofis karena antar-orang
yang terlibat di dalamnya berkehendak secara bersama untuk mengakomodasi dan
mengikuti semua arah perbincangan yang hendak “digelar”. Dalam masyarakat Jawa,
perilaku semacam ini relatif lazim diterima sepanjang semua berminat untuk
melakukannya, bukan menyetopnya dengan dalih hal itu akan membuang-buang waktu.
Dalam konteks yang agak meluas, dan mungkin sedikit bias dengan tema
pameran ini, kita bisa menggali problem ngalor-ngidul
ini dari upacara tradional Karo yang sudah berlangsung berabad-abad terjadi di
kawasan Tengger, seputaran gunung Bromo, Jawa Timur. Upacara Karo di Tengger tersebut
berakar dari kisah legenda tewasnya pengikut Ajisaka bernama Hana dan Alif
(abdi Kanjeng Nabi Muhammad SAW) yang masih bersemayam dalam tradisi masyarakat
Tengger. Kematian dua orang itu telah menjadi pelajaran berharga yang tidak
boleh lagi terulang bagi pewaris aktif tradisi Tengger. Pada saat tewas, Alif
tergeletak dengan kepala di utara (rubuh
ngalor), dan Hana tergeletak dengan kepala di selatan (rubuh ngidul).
Dua hal yang berseberangan antara rubuh
ngalor dan rubuh ngidul tersebut
menunjukkan sikap beragama dari para pengikut Ajisaka yang menganut ajaran
Hindu serta pengikut Kanjeng Nabi yang Islam: agamaku (adalah) agamaku, agamamu
(adalah) agamamu. Pengikut Ajisaka yang tewas harus dikuburkan dengan posisi kepala
berada di selatan, atau menghadap ke gunung Bromo, sedangkan pengikut Kanjeng
Nabi harus dikuburkan dengan posisi kepala di utara. Rubuh ngalor dan rubuh ngidul
juga mengacu kepada pengertian menjadi Islam, dan menjadi Buddha/Hindu.
Untuk menghindari terjadinya korban seperti yang terjadi pada diri
Hana dan Alif, maka diperlukan selamatan atau upacara. Selamatan itu disebut
selamatan Karo atau upacara Karo bagi pengikut Ajisaka yang memeluk Hindu, dan,
di sisi lain, selamatan Lebaran bagi pengikut Kanjeng Nabi. Nama kedua sosok
itu, yakni Hana dan Alif, juga mencerminkan latar belakang budaya dari pengikut
tokoh tersebut. Alif adalah huruf pertama
dalam sistem alphabetical
Hijaiyyah/Arab, sedangkan Hana merupakan
penggabungan dari dua huruf pertama dalam sistem alphabetical Jawa. Tanah Jawa sekarang bukan hanya dihuni oleh
pengikut Ajisaka yang memiliki tradisi keberaksaraan ha, na, ca, ra, ka, tetapi juga dihuni oleh pengikut Kanjeng Nabi
yang memiliki tradisi keberaksaraan alif,
ba, ta, tsa, dan seterusnya. Kedua kelompok itu hidup berdampingan dalam kedamaian
dan saling pengertian.
Contoh upacara Karo tersebut memberi kilasan contoh yang berangkat
dari tinjauan tradisi—meski tidak tepat benar—tentang pilihan hidup, pilihan
falsafah hidup, hingga pilihan ideologi kreatif yang tak selalu sejalan seiring
namun bisa dipertemukan dalam satu ruang dan waktu dalam kerangka persoalan
yang harmonis.
Rb. Ali dan Khoiri mungkin tidak cukup karib dengan kisah legenda Hana
dan Alif, bahkan mungkin abai tentang itu, namun saya kira ini bisa
diketengahkan sebagai salah satu contoh soal tentang bangunan perbedaan dan
kekontrasan yang sangat mungkin dipersatukan. Konsep ngalor-ngetan yang menjadi tajuk pameran ini bisa dikerangkai
sebagai tanda yang filosofis tentang keselarasan dalam “pertentangan”.
[2/dua]:
Menyimak karya-karya lukisan Rb. Ali dan Khoiri dalam pameran kali
ini, serasa menyimak wajah dan tampilan karakter diri masing-masing seniman
yang terepresentasi dalam puluhan bentangan kanvas. Keduanya tentu berbeda
meski secara visual ada satu hal yang bisa menjadi titik hubung antar-keduanya:
abstrak. Kata abstrak ini sendiri, kalau dimasukkan dalam konteks gejala seni
rupa, setidaknya terpilah dalam dua hal yang cukup berseberangan, yakni
abstrakisme dan abstraksionisme. Hal pertama, abstrakisme—pengertian
sederhananya—adalah gaya dalam lukisan yang meniadakan ilusi-ilusi bentuk dalam
kanvas, sementara abstraksionisme lebih mengacu pada karya seni abstrak yang
masih menyisakan citra obyek yang menjadi titik berangkat karya lukisan.
Karya-karya Rb. Ali lebih mendekati pada abstraksionisme, sementara
semua karya Khoiri cenderung sebagai abstrakisme. Pilihan kecenderungan kedua
seniman ini tampaknya cukup dikukuhi, setidaknya dalam pameran berdua ini,
sehingga keduanya dengan tegas memberi batas-batas identitas visual yang
kentara sekaligus berbeda satu sama lain. Tampaknya, ini bisa dikatakan sebagai
pameran tunggal berdua, bukan pameran berdua, karena baik antara Rb. Ali dan
Khoiri masing-masing tampak fokus dalam berkutat dengan gayanya sendiri.
Uniknya, pilihan kreatif abstrakisme atau abstraksionisme yang mereka
bawa ini, setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir tidak lagi cukup populer
dalam hiruk-pikuk gelanggang seni rupa (kontemporer) di Indonesia. Saya tidak
hendak mengatakan bahwa pilihan Rb. Ali dan Khoiri ini adalah pilihan kreatif
yang ketinggalan zaman, “tidak kontemporer”, atau bahkan kurang strategis dalam
meraup pangsa pasar seni rupa dewasa ini. Namun, saya ingin menegaskan bahwa
gejala visual yang duo seniman pampangkan di ruang pameran ini kembali
mencuatkan kekayaan kosa rupa yang akhir-akhir ini terkadang terasa menunggal,
monoton, dan masuk dalam kebuntuan kreatif.
Memang, setelah sepanjang dasawarsa 1990-an kanvas seni lukis (= rupa)
Indonesia digempur oleh booming seni
lukis abstrak, di ujung dasawarsa itu hingga nyaris satu dasawarsa berikutnya
kecenderungan visual dalam kanvas seni rupa Indonesia dibombardir oleh gejala
“impor” yang datang dari belahan jagat utara, yakni gejala pemiripan dengan “seni
rupa kntemporer China”. Gejala ini banyak mengetengahkan karya-karya dengan
pendekatan visual realisme atau hiper-realisme yang bermuatan sinical themes (tema-tema sinisme
politis). Berikutnya, yang hingga kini masih cukup banyak menyeruak dalam
kanvas adalah karya-karya lukis “Juxtapoze-ian”.
Saya sebut demikian karena subject matter
karya-karya ber-genre ini banyak
mengacu pada kecenderungan visual yang muncul secara dominan dalam majalah seni
rupa (kontemporer) Amerika Serikat: Juxtapoze.
Di situ sedikit banyak dapat terlacak gejala visual yang ilustratif dengan
pendekatan pada karya seni komik dan Neo Pop Art. Diseminasi atau persebaran
bentuk-bentuk kreatif itu begitu cepat bergerilya ke segala penjuru angin
karena didukung secara kuat oleh teknologi informasi dan internet, sehingga
dengan lekas bisa mendunia. (Website majalah Juxtapoze menjadi salah satu website
majalah seni rupa yang paling banyak dikunjungi oleh para perupa muda sedunia).
Maka, sekarang ini, kadang sangat sulit untuk membedakan mana karya Wedhar
Riyadi, Iwan Efendi, atau Hendra Hehe yang berproses kreatif di Yogyakarta,
dengan karya-karya dari seniman dari Meksiko, Ukraina, atau Aljazair yang
memiliki kecenderungan visual serupa. Inilah sisi lain risiko dari kuatnya
pengaruh teknologi internet.
Dengan demikian, ketika gejala “Juxtapoze-ian”
dalam seni rupa itu menggejala begitu dahsyat, atau “badai” kecenderungan
pemiripan karya “seni rupa kontemporer China”, maka kelugasan kehadiran kembali
karya-karya yang diketengahkan oleh Rb. Ali dan Khoiri bisa memberi
keseimbangan kosa visual dalam belantara seni rupa Indonesia. Memang, duo ini
belum banyak memberi asupan yang menonjol, penting dan berpengaruh, namun
setidaknya bisa memberi jeda (interlude)
yang menarik. Publik seni rupa tentu juga tak menutup mata pada kehadiran
karya-karya Hanafi (tinggal di Depok, Jawa Barat) yang masih bersetia pada
karya-karya abstrak, atau bahkan ada “segerombolan” seniman yang spesialis
melukis lukisan abstrak dan membuat komunitas (dimotori oleh Sulebar Soekarman
dan istrinya Nunung WS., Rusnoto, Dedy Sufriadi, dan beberapa seniman lain) dan
sesekali berpameran antarkota.
Terlebih lagi dengan posisi Rb. Ali dan Khoiri yang banyak berproses
di Banten yang bukan kawasan penting dalam percaturan seni rupa di Indonesia,
maka kegigihannya untuk tekun dalam kreativitas seni rupa terkhusus pada
pilihannya bergelut dengan “seni rupa abstrak” layak untuk dicermati.
[3/tiga]:
Pada Rb. Ali, saya lihat ada upaya untuk menggabungkan antara abstraksionisme
dan sedikit gejala-gejala visual kubistik. Cara ungkapnya terlihat tidak
sederhana. Rb. Ali tampak berusaha keras memberi pertimbangan dan perhitungan komposisi,
penempatan tata warna, imaji-imaji perempuan atau manusia dalam tiap karyanya. Itu
terjadi karena Ali tidak akan dengan segera mengeksekusi karya dengan sangat
ekspresif. Ada sekian banyak garis, bidang, tumpukan dan pertemuan lengkung,
dan beberapa kemungkinan lain yang mesti ditimbang sebelum diguratkan sebagai
garis atau bidang. Kebanyakan garis-garis itu adalah garis “semu” karena
merupakan pertemuan antara dua (atau lebih) warna yang berbeda/kontras sehingga
membentuk bidang-bidang tertentu, terutama sosk-sosok perempuan. Sosok-sosok
tersebut dibentuk dan diisi oleh bidang-bidang warna yang bertumbuk dan
tersusun satu sama lain.
Tema perempuan, bagi Ali, menjadi problem eksotisme visual. Dia belum
cukup berminat untuk mengetengahkan tubuh-tubuh fisik itu, misalnya, sebagai
tubuh sosial, tubuh politis, dan sebagainya. Toh tema-tema itu bukanlah tema
yang mutlak untuk disampaikan dalam karya seni rupa. Maka, hal yang dominan
mengemuka dalam kerangka berpikir Ali adalah kilasan gambaran-gambaran perihal
komposisi tubuh (perempuan) dalam balutan warna-warni yang indah dan eksotis.
Ada satu dua karya yang secara visual tampak begitu enigmatic, atau menggenggam teka-teki. Ambillah
amsal pada karya bertajuk “Sebuah
Keseimbangan” (165 x 165 cm) yang dibuat antara rentang waktu 2011-2013. Karya
ini seperti sebuah etalase beragam warna yang menempatkan citra dua figur
berada di pusat bidang kanvas. Figur-figur itu seperti layaknya embrio yang
bersemayam dalam lingkaran kandungan penuh warna. Apakah Rb. Ali tengah
membincangkan perihal keseimbangan antara manusia dan alam semesta (bahkan)
dimulai ketika manusia masih sebagai bakal manusia dalam kandungan? Ini menjadi
salah satu yang menarik di antara sekian karya yang dipresentasikan oleh Ali.
Pertanyaan kecil yang perlu dipasok untuknya adalah: kenapa nyaris
semua figur atau subjek sentral karya-karyanya persis berada di tengah bentang
kanvasnya? Apakah ini secara konseptual serupa pas foto yang diterapkan pada
dokumen resmi seperti KTP, paspor, dan lainnya? Kenapa pula tidak sedikit
karyanya yang tampil dalam “ketertiban” simetris bilateral yang posisi bidang
dan bentuk visual lain seimbang-setara antara bagian kiri dan kanan? Pertanyaan
ini, sungguh, berangkat dari hasrat untuk menyimak karya Ali yang lebih beragam
dan kaya secara komposisi visual, dan sebagainya.
Di seberang itu, dalam ruang dan waktu yang sama, publik dapat
menyaksikan karya-karya Khoiri sebagai rekan tandem pameran bagi Ali. Berbeda
dengan mitranya yang masuk dalam pilahan abstraksionisme dengan cara ungkap
yang penuh kerapian dan meminimalkan spontanitas, pada karya-karya Khoiri relatif
berlawanan. Lukisan-lukisannya menjadi artifak dari gerak ekspresif dan
spontanitas. Ini setara dengan pengakuannya yang nyaris tak pernah
menyelesaikannya karyanya dalam waktu yang lama. Karakter karyanya memang memungkinkan
untuk mengguratkan gairah artistik Khoiri yang sederhana dan diungkapkan dalam
rentang waktu yang singkat namun efektif. Mungkin seniman lulusan SMSR
Yogyakarta ini telah cukup menghayati kalimat “sakti” Leonardo da Vinci: “Simplicity is the ultimate form of
sophistication”.
Serial karya Khoiri kali ini mengemukakan tentang ritme dalam gubahan
ekspresifnya. Kanvas-kanvasnya bertabur torehan dan lelehan akrilik tipis
dengan pilihan warna terbatas: hitam dan kuning lethek (kumal), atau hitam yang dihimpitkan dengan coklat kusam. Torehan
dan usapan kuasnya seperti lembut tertata dalam tarikan bidang-bidang besar dan
lurus (entah vertical maupun horizontal), hingga kemudian dilekatkan dengan
penempatan bidang-bidang kecil yang seperti muncul dan tertata pada
bagian-bagian tertentu. Pemunculan sekaligus penempatan bidang-bidang kecil
itu, saya kira, tidak sekadar memberi aksen visual yang memutus monotonitas
ruang dan bidang, namun juga memberi irama visual yang apik. Bidang-bidang
kecil dan tertata itu kadang muncul seperti bayangan balok, serupa bayangan payung
paku yang telah melekat di kayu, dan semacamnya.
Simak misalnya pada karya berjudul “Ignoring
the Gravity” (140 x 150 cm) atau “Action
Desire” (140 x 140 cm) sama-sama nyaris monokromatik. Ada kemungkinan
gelagat monotonitas yang terlihat dalam karya tersebut, dan Khoiri
“menyelamatkannya” dengan memberi aksen bidang-bidang kotak atau bulatan yang
membayang pada bagian tertentu. Bayangan itu tentu beda jauh dengan bayangan-bayangan
yang menggejala pada lukisan-lukisan batik dan cat minyak karya seniman Tulus
Warsito di dasawarsa 1980-an dan 1990-an lalu. Tapi, justru berkaca dari imaji
visual yang dibawa Tulus, taka da salahnya andaikan Khoiri memberi porsi yang
sedikit lebih besar pada efek-efek bayangan yang mengemukakan objek-objek
tertentu dalam lukisannya.
Karya-karya seniman yang juga disainer ini juga relatif berpotensi menjenuhkan
ketika berjajar tertata banyak dalam satu ruang. Maka, kemungkinan solusinya,
Khoiri perlu memberi pengayaan pada kekayaan ragam warna dan objek tertentu
dalam tiap bentang kanvasnya.
[4/empat]:
Di celah kecamuk perkembangan seni rupa (kontemporer) Indonesia dan
dunia yang terus berlari tanpa henti, berbagai teori (seni) berupaya mendekati
untuk membaca dan mengakomodasi geliatnya dan dikomunikasikan bagi publiknya. Namun
ketika menyimak kembali karya-karya duo seniman Rb. Ali dan Khoiri ini, tak ada
salahnya saya mengajak kembali untuk berpaling pada teori klasik tentang
penciptaan seni yang pernah diintroduksikan oleh Johann Herder yang membilang
bahwa gejala aktivitas seni berikut artifaknya yang tampak dapat dipandang
sebagai “a natural and non-practical
impulse” (dorongan murni dan alamiah). Inilah salah satu yang mendasari
dari kemunculan theory of play yang
memberi penekanan bahwa seni itu lahir demi untuk memuaskan kebutuhan spirit
estetik dan memberi makna pada kekosongan waktu. Pada titik inilah perlu
disertakan pembacaan pada faktor-faktor psikologis yang melingkunginya untuk
mempertajam analisis pada proses kreatif seniman. Ini perlu ditekankan karena
pada akhirnya penglihatan dari perspektif apresian atau penonton (proses
reseptik) akan muncul berbagai interpretasi yang kompleks, sementara di
seberang itu, maksud dan ide seniman dalam karya (proses ekspresif)
terkadang/sering berlainan.
Memang, teori klasik di atas kini juga akan bertumbuk keras dengan
gagasan Roland Barthes yang menyatakan bahwa “the author is dead”, pengarang atau kreator telah mati. Maka
penonton pun berhak melakukan proses tafsir sebagai bagian dari upaya re-kreasi
atas karya sehingga karya seni tersebut dimungkinkan akan dikayakan oleh proses
semiologis. Kedua hal ini bisa sebagai sebuah rute yang runtut, atau malah
sebagai pilihan untuk memilih salah satunya.
Karya-karya Rb. Ali dan Khoiri memang artifak dari proses kreatif yang
layak untuk dikayakan dengan tafsir. Hanya, ke depan, perlu lebih memberi
pendalaman pada aspek tematik. Inilah agenda persoalan yang mesti dipikirkan
duo seniman ini. Selamat merenung untuk karya selanjutnya. Dan, tentu, selamat
berpameran! ***
Kuss Indarto, penulis seni rupa, dan editor in chief situs
www.indonesiaartnews.or.id
(Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran "Ngalor Ngetan" Rb. Ali dan Khoiri yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, 23 Mei s/d 1 Juni 2014)
(Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran "Ngalor Ngetan" Rb. Ali dan Khoiri yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, 23 Mei s/d 1 Juni 2014)