Okomama, Upaya Menawarkan Nilai-nilai

Oleh Kuss Indarto
 
PAMERAN itu usai sudah. Setelah dibuka resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur, Drs. Sinun Petrus Manu pada Senin, 28 April siang, pameran seni rupa OKOMAMA: Bianglala Rupa Flobamorata berlangsung hingga 3 Mei 2014. Seribuan lebih pengunjung menyaksikan 40-an karya seni rupa dalam kurun waktu tersebut. Bagi kalangan seniman di Nusa Tenggara Timur, khususnya di kota Kupang, perhelatan itu dikatakan sebagai pameran seni rupa terbesar dan paling serius yang pernah terjadi di kawasan itu. Serius karena persiapan yang dilakukan—meski mepet waktu dan banyak keterbatasan—telah memberi perspektif yang berbeda ketimbang persiapan pameran-pameran yang terjadi sebelumnya. Dan disebut terbesar karena ajang ini telah mengumpulkan sekitar 15 seniman NTT dengan 20-an karya rupa yang disandingkan dalam satu ruang dan waktu bersama 20 karya pilihan koleksi Galeri Nasional Indonesia—yang sebagian besar berupa karya asli, serta 4 di antaranya karya reproduksi.

Pameran itu—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—mungkin masih cukup membekas dalam benak banyak seniman dan publik seni di Kupang atau NTT. Tapi secara fisik, bekas-bekas itu masih tersisa jelas di salah satu gedung di kompleks Taman Budaya Nusa Tenggara Timur di jalan Kejora 1, Kupang. Ya, gedung yang kira-kira seluas 15 x 35 meter dan berbentuk (agak) oval itu masih tertata seperti saat pameran OKOMAMA: Bianglala Rupa Flobamorata berlangsung: panel-panel baru yang dibangun oleh pihak Galeri Nasional Indonesia masih menempel rapi, bersih, dan tertata di sekujur ruang. Itu telah menutup semua jendela da kisi-kisi yang ada di gedung itu sehingga ruang itu telah layak sebagai ruang pameran seni rupa. Demikian juga panel-panel yang ada di tengah ruangan, rel-rel lampu spot di langit-langit, beberapa buah lampu spot, plus karpet merah di bagian panggung yang ada di ujung ruangan, serta 3 AC baru yang dipasang demi “menyambut” pameran besar itu. Semuanya masih utuh, “membekas”, bahkan “diawetkan” untuk waktu-waktu yang lama. Dalam sambutan resmi saat pembukaan, Drs. Sinun Petrus Manu menyatakan tegas bahwa “tinggalan” Galeri Nasional Indonesia berupa setting ruang baru dengan panel-panel yang ada di dalamnya jangan dibongkar karena akan bisa digunakan untuk pameran atau acara lain ke depan.

Sinun sendiri, malam-malam sekitar 12-an jam menjelang pameran dibuka, melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke ruang pameran. Dia kaget karena ruangan menjadi sangat berbeda dari biasanya, dan lebih bagus. Ketika mendapati karpet biru tua milik Taman Budaya NTT yang tergelar di bagian panggung—sebagai alas untuk berdiskusi—dia langsung menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya dengan memerintah untuk mengganti dengan yang baru malam itu juga.

Akhirnya, ketika membuka pameran, Sinun menyatakan dengan antusias bahwa pihaknya bangga menjadi tempat perhelatan pameran beberapa karya old master seni rupa Indonesia koleksi Galeri Nasional Indonesia. Dan berpesan agar setting baru ruang di gedung tersebut tidak dibongkar demi kepentingan perhelatan lain berikutnya. Gubernur NTT sendiri, yang awalnya telah bersedia untuk membuka pameran, terpaksa batal karena dalam beberapa hari itu tengah melakukan kunjungan di pulau Flores dan kemudian menemui gubernur DKI Joko Widodo yang melakukan kerjasama peternakan NTT-DKI.

Materi Pameran

Bagi GNI, pameran OKOMAMA: Bianglala Rupa Flobamorata di Kupang ini merupakan pameran keliling koleksi pilihan GNI yang ke-10. Menurut Kepala Galeri Nasional Indonesia, Drs. Tubagus “Andre” Sukmana, M.Ikom, pameran pertama kali dilakukan tahun di 2006 di kota Medan (Sumatera Utara), program tersebut berlanjut ke kota/propinsi lain, yakni Manado (2007), Balikpapan (2008), Ambon (2009), Palembang (2010), Banjarmasin (2011), Makassar (2012), Pontianak (2013), dan Pekanbaru (2013). Selain di Kupang, rencananya pameran keliling tahun 2014 ini berlangsung di Banten.

Berbeda dengan pamaren keliling sebelumnya, saat perhelatan di propinsi paling tenggara dan paling selatan di tanah air ini, untuk pertama kalinya, menyertakan karya-karya koleksi dari para seniman mancanegara. Itu adalah karya-karya printmaking atau seni grafis ciptaan Anna-Eva Bergman (1909-1987), Hans Arp (1886-1966), Hans Hartung (1904-1989), dan karya Sonia Delauney. Belakangan, karya-karya tersebut akhirnya hanya dipamerkan reproduksinya, bukan karya aslinya, karena berbagai pertimbangan. Tapi upaya pameran dengan menyertakan karya (repro) para seniman dunia ini diharapkan memberi perspektif yang meluas bagi public seni di Kupang tentang karya seni rupa. Apalagi semua karya seniman dunia itu menampilkan citra visual abstrak yang terkadang membawa persoalan tersendiri dalam proses meresepsi.

Sementara karya-karya koleksi GNI lainnya dari para seniman Indonesia juga cukup berbeda. Kali ini, untuk pertama kalinya juga, membawa koleksi karya lukis anak, yakni karya Labiqoh Azzahroh yang terdiri dari 4 panel dengan ukuran total hamper 200 x 200 cm. Karya berjudul “Topeng-topeng” itu dikoleksi pada tahun 2010 saat berlangsung Pameran Seni Rupa Anak 2010, dan sang seniman baru berusia 9 tahun saat itu. Upaya pemajangan karya lukis anak ini kiranya bisa menjadi salah satu pembanding bagi anak-anak di Kupang atau NTT yang juga tak kalah giat kegiatan seni rupanya.

Sudah barang pasti, pameran ini menampilkan para old master, para seniman senior yang telah teruji aspek kesejarahannya dalam perkembangan dan peta seni rupa Indonesia. Memang tak bisa menampilkan secara utuh penampang seni rupa Indonesia karena keterbatasan ruang pamer, keterbatasan koleksi GNI yang layak standar fisik materi karyanya, serta ada kendala lain, semisal besaran ukuran karya yang tak memungkinkan masuk dalam kargo pesawat kalau lebh dari 125 cm panjang salah satu sisinya. Namun, setidaknya, para seniman dan public seni rupa di NTT bisa secara langsung menyaksikan karya-karya asli Affandi Kusuma, Agus Djaja, S. Sudjojono, Kartono Yudhokusumo, Dullah, Popo Iskandar, Lian Sahar, Bagong Kussudiardo, G. Sidharta Sugijo, Sunarto PR., juga para seniman dari generasi berikutnya seperti Made Wianta, Ida Hajar, Agus Kamal, Tisna Sanjaya serta almarhum Satyagraha.

Tak heran bila para seniman NTT merasa bangga ketika punya kesempatan berpameran dalam satu ruang dan waktu bersama karya-karya para seniman old master Indonesia. Para seniman Kupang/NTT tersebut sebagian besar tergabung dalam komunitas seni Kapur Sirih. Ini merupakan satu-satunya komunitas seni yang ada di kota itu, bahkan di NTT, yang dimotori oleh Jacky Lau, George Eman, Ferry Wabang, Yopie Liliweri, Fecky Messakh, dan sekian nama lainnya. Dunia seni rupa relatif masih asing sehingga belum banyak seniman di tanah itu. Apalagi kolektor seni rupa seperti yang ada di Jawa.

Nama-nama “Baru”

Selain nama-nama di atas, nama para perupa NTT lain yang ikut adalah Luiz Wilson, Randy Sakuain, Adi Manu (Apri Adiari Manu), Aris Umbu (Reinhard Aris Umbu Ala), Danny Stamp, Ever Eliezer Lomi Rihi, Geradus Louis Fori, Tinik RoyaniwatiUbed Mashonef, dan Hamid. Nama-nama ini relatif cukup merepresentasikan kekuatan seni rupa di NTT, meski tentu saja masih berkemungkinan banyak nama yang tercecer tak bisa terlibat dalam perhelatan itu. Entah karena keterbatasan waktu yang sempit, entah disebabkan oleh kondisi geografis NTT yang terdiri dari 42 pulau berpenghuni (dari sekitar 1.192 pulau yang dimiliki, yang 473 di antaranya bernama) yang tak mungkin bisa disurvei dengan segera, juga oleh himpitan persoalan lain, semisal dunia seni yang belum menjadi bagian penting dari kesadaran keseharian masyarakat di NTT.

Namun, demi melihat nama-nama perupa peserta dari NTT, tak kurang dari Mohadi—salah satu petinggi di Taman Budaya NTT—justru sangat apresiatif. “Ini malah ada nama-nama baru yang selama ini saya belum mengenalnya,” tuturnya jujur sembari merujuk nama Geradus Louis Fori dan Randy Sakuain sebagai contoh. Tak pelak, pameran OKOMAMA: Bianglala Rupa Flobamorata ini malah bisa memunculkan nama “baru” yang menjadi bahan pemetaan baru bagi Taman Budaya NTT dalam membuat program bagi dunia seni rupa di kawasannya. Dengan demikian, filosofi okomama (bahasa Timor/NTT: tempat pinang, sirih, gambir) relatif tepat untuk konteks ini: pameran seni rupa ini bisa serupa okomama yang menghimpun keragaman eksponen dan potensi yang bisa menguatkan seni rupa di NTT, atau setidaknya di kawasan Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Rote, dan Lembata).

Hari-hari ini, saat pameran berlangsung, situasi lingkungan Taman Budaya NTT nyaris selalu riuh. Ada seratusan anak-anak seusia SMP dan SMA yang berlatih menyanyi dan menari di gedung konser. Mereka berlatih sore hari, yang pementasannya dirancang berlangsung pada saat Hardiknas, 2 Mei, di halaman kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Kupang. Lalu, pada saat bersamaan, mulai 28 April 2014 hingga tiga hari berikutnya, berlangsung workshop seni rupa, teater, dan tari yang dihelat oleh Taman Budaya dengan perwakilan peserta dari tiap kabupaten/kota yang ada di NTT. Para pengisi workshop itu adalah Drs. Andang Suprihadi M.Sn (seni rupa), dan Agus “Leyloor” Prasetyo (teater), yang keduanya dosen ISI Yogyakarta. Kepala Taman Budaya NTT, Eldisius Anggi, mengaku memang sengaja menggabungkan acara-acara tersebut agar tempatnya bisa menjadi situs kegiatan alternatif bagi anak-anak muda dan masyarakat secara umum di Kupang.

Hasrat Eldisius Anggi dan Taman Budaya NTT untuk menarik sebanyak mungkin masyarakat ke situsnya memang cukup sukses, dan terbantu oleh pihak lain. Apalagi beberapa seniman peserta adalah juga seorang dosen, guru, juga pegawai negeri sipil, bahkan pebisnis, yang bisa mendatangkan “massa” sebanyak mungkin ke ruang pameran untuk mengapresiasi. Sebut misalnya Yopie Liliweri yang mengajak puluhan mahasiswanya di Jurusan Komunikasi, Universitas Cendana (Undana) sekaligus diberi tugas melakaukan pembacaan karya untuk memenuhi tugas mata kuliah Semiologi. Juga Tinik Royaniwati yang mengajar di SMIK (Sekolah Menenga Industri Kerajinan) Kupang yang bahkan mengajak anak didiknya saat acara pembukaan pameran berlangsung.

Perhelatan seni dan jagat seni rupa memang layak untuk terus dihidupkan. Dan seniman sebagai pemilik utama jagat ini bisa diandaikan menjadi juru bicara, mediator sekaligus (tentu) “penentu arah” seni rupa di lingkungan terdekatnya. Seni perlu terus dihadirkan karena berpotensi sebagai simpul alternatif untuk memberi inspirasi bagi nilai hidup masyarakat di sekitarnya. Kiranya ini tak berlebihan, apalagi ketika ruang-ruang publik dan medan sosial sudah dipenuhi oleh kesumpekan politik praktis dan pendewaan pada materialism yang menyempitkan nilai-nilai humanisme. Bukankah nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya diukur oleh persoalan materi(al) semata? Seni rupa, masuklah memberi pengayaan humanism di situ… ***

Catatan ini bisa juga diunduh di http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=427

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?