GEGAR BIROKRASI


KASUS pengunduran diri Lasro Marbun sebagai Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, tampaknya tak bisa dibaca secara sederhana. Ini sebuah sinyalemen juga simbol penting bahwa ada perlawanan dari dalam tubuh birokrasi untuk menolak banyak perubahan, atau apalagi revolusi. Sinyalemen ini semakin meneguhkan apa yang telah dikatakan oleh Gus Dur sekitar Oktober 2001 lalu saat mengawali jabatannya sebagai RI-1 dulu bahwa ada 2 tubuh besar yang perlu direformasi besar-besaran: (1) birokrasi pemerintahan yang gemuk, lamban dan penuh belitan, serta (2) militer yang mesti dikembalikan ke barak, bukan banyak bermain di ranah (pemerintahan) sipil.

Kesadaran seperti Gus Dur tampaknya juga dipahami betul oleh pasangan Jokowi-Ahok ketika memimpin salah satu propinsi terkaya dan terkompleks permasalahannya di Indonesia ini. Pembenahan dalam birokrasi di DKI Jakarta oleh Jokowi-Ahok terlihat cukup kentara. Dalam 1,5 tahun pemerintahan mereka setidaknya ada 3 kepala dinas (tingkat propinsi, tentunya) dan 1 walikota yang dicopot karena kinerjanya yang dianggap tidak seturut dengan gagasan besar Jokowi-Ahok dalam mengefektifkan roda birokrasi. Lalu ada upaya melelang jabatan untuk pejabat setingkat camat dan lurah untuk mengurangi “sistem urut kacang” yang acap kali memupus harapan orang atau birokrat cerdas untuk duduk di jabatan tersebut karena kalah senioritas atau kurangnya masa pengabdian.

Kebijakan Jokowi-Ahok untuk memasang orang-orang yang idealis dan segaris pemikirannya ke dalam posisi penting dalam birokrasi, nyatanya menggerahkan tubuh birokrasi itu sendiri. Kasus Lasro Marbun, sekali lagi, mempertontonkan penolakan dan resistensi tubuh birokrasi yang kurang doyan dengan perubahan, efektivitas kerja pelayanan masyarakat dan sebagainya. Beberapa pencapaian Lasro yang antara lain menyelamatkan dana Rp 2,4 T karena adanya anggaran ganda di Dinas Pendidikan, dan beberapa temuan penyelewengan anggaran, pastilah akan membuat birokrasi di dinas itu gonjang-ganjing.

“Gegar birokrasi” seperti itu dimungkinkan akan terjadi kalau pemerintahan Jokowi (dan JK) akan menerapkan pola dan sistem yang telah dicoba di Solo dan DKI Jakarta. Apalagi dengan tegas Jokowi pernah menyatakan bahwa reshuffle kabinet atau penggantian menteri akan sewaktu-waktu terjadi kalau ada ketidakberesan pada kinerja seoran menteri. Maka, sangat mungkin “gegar birokrasi” di Indonesia akan banyak terjadi dalam 5 tahun ke depan. Jokowi banyak memberi tekanan pada para pejabat di posisi-posisi strategis, dan lalu para pejabat (dengan kebijakan perubahan) itu banyak mendapat perlawanan dari tubuh birokrasi seperti yang dialami oleh Lasro Marbun di Jakarta.

Akhirnya, ini menyangkut soal daya tahan kebijakan, dan soal ketegasan seorang pemimpin. Ah, tampaknya, lakon ini akan seseru nonton tokoh polisi New York, Eliot Ness (diperankan oleh Kevin Costner) dalam film “The Untouchable” (1987) yang harus berdarah-darah memerangi tokoh gangster kelas kakap, Al Capone (Robert de Niro), sekaligus atasannya sendiri yang korup, Jim Malone (Sean Connery). ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?