Apa Ide dan Karyaku Berikutnya?
Oleh Kuss Indarto
DALAM sebuah kesempatan wawancara, seniman besar Spanyol, Pablo Ruiz Picasso ditanya oleh wartawan: “Dari semua karya yang telah diciptakan, manakah masterpiece (karya puncak) Anda?” Dengan ringan Picasso menjawab bahwa masterpiece-nya adalah karya yang akan dibuatnya besok. Ternyata pertanyaan itu tidak dilontarkan hanya sekali oleh jurnalis, kawan, serta pecinta karya-karyanya. Dan jawaban perupa besar kelahiran Malaga, Spanyol itu juga serupa: “Masterpiece saya adalah karya yang akan saya buat besok!” Begitu seterusnya. Picasso tidak pernah menyebutkan secara definitif karya besarnya.
Namun, di seberang itu, sejarah mencatat kalau sebagian besar para kritikus dan pengamat seni telah bersepakat menentukan bahwa lukisan “Guernica” adalah masterpiece Pablo Picasso. Karya lukisan yang saat ini disimpan di Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofía, Madrid, Spanyol tersebut memang terbilang berukuran kolosal, yakni 349 cm × 776 cm. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa karya tersebut pantas menjadi masterpiece karena tidak sekadar punya aspek ukuran yang gigantik, namun juga ada dalih dari aspek substansial karena memuat narasi besar tentang perang saudara (Spanish Civil War). Lukisan hitam-putih itu tersebut dianggap oleh banyak kalangan sebagai karya yang paling representatif dalam menggambarkan kasus pengeboman di kota Guernica, propinsi Biscay, negara bagian Basque di Spanyol Utara—yang terjadi pada hari Senin sore, 26 April 1937.
Publik pun bisa berdebat panjang untuk membandingkan antara “Guernica” dengan karya lain, misalnya “Les Demoiselles d'Avignon” (1907), yang dianggap menjadi titik balik penting dalam perjalanan kesenian Picasso yang beranjak sebagai seniman cubist—dan kelak jauh lebih besar ketimbang pencetusnya, Georges Brasque. Juga bila dibandingkan dengan lukisan Garçon à la pipe, (Boy with a Pipe) (1905), salah satu karya penting di Periode Mawar (Rose Period) yang menjadi lukisan Picasso termahal di pasar lelang—tahun 2004 terjual dengan harga US$ 104,168,000 di balai lelang Sotheby's.
Jawaban Picasso yang membilang bahwa “masterpiece saya adalah karya yang akan saya buat besok”, saya menduga, ada isyarat yang memuat beberapa pesan moral yang penting, yakni: (1) seorang seniman tidak menghentikan spirit kreatifnya untuk terus gelisah dengan pencapaian-pencapaiannya yang lebih baru. Picasso seperti tidak pernah puas dengan karya yang telah dibuatnya, dan ini memberi tantangan untuk mencari “kepuasan” lewat karyanya yang akan dibuat di waktu berikutnya, (2) seorang seniman tetap memiliki impian dan target untuk menciptakan karya besar (masterpiece) sebagai bagian penting dari perjalanan kesenimanannya.
Poin pertama dari dugaan saya/kita di atas tampaknya nyambung dengan sejarah perjalanan kesenian Picasso yang sangat kaya namun juga ada garis, struktur dan skema atas kerja kreatifnya yang begitu jelas. Coba simak kurun-kurun penting dari gerak kreatif seniman ini, yang dengan sadar memberi kerangka kecenderungan atas tahapan-tahapan tertentu dalam kerja seninya. Kita bisa melihat dan membaca, seniman ini sempat memiliki kecenderungan melukis dengan warna utama biru (dan tone sejenisnya), bahkan monokromatik biru pada kurun tahun 1901 hingga 1904. Maka kurun itu disebut sebagai Blue Period (Periode Biru). Pola dan kecedenderungan tersebut itu lalu bergeser menjadi Rose Period (Periode Mawar, atau di Indonesia sebagian orang menyebut sebagai Periode Merah Jambu), yakni antara tahun 1904-1906. Kemudian, muncul African Period (1907-1909) atau sebagian orang menyebut sebagai Negro Period dan Black Period ketika Picasso banyak menggali khasanah patung-patung primitif Afrika, hingga akhirnya menuju Cubism Period (1910-1919) yang dianggap sebagai identitas paling melekat dari diri dan kreativitas Picasso.
***
PICASSO bisa menjadi contoh penting betapa seorang seniman mampu menyeimbangkan antara naluri dan nalarnya untuk menyusun laju kreativitas seninya yang tidak mudah. Pada satu sisi dia terus mengikuti nalurinya untuk terus berkarya, dan berharap—bahkan punya target—suatu ketika akan mampu menciptakan karya besar. Dan di sisi lain, dia harus bernalar untuk memiliki strategi kreatif dengan membuat tahapan-tahapan yang terstruktur dengan baik sehingga pola kerjanya bisa lebih tertata dan jelas target goal-nya. Dan kini kita tahu, siapa Pablo Ruiz Picasso itu.
Pada kerangka pemikiran yang tidak jauh dari hal yang dilakukan oleh Picasso itulah, maka pameran ini dibuat. Ini menjadi semacam upaya pelacakan kecil terhadap kerja kreatif seniman yang telah bertahun-tahun bergelut dengan dunia seni rupa sebagai pilihan hidup dan pilihan profesinya. Tema kuratorial “Next Pics: The Series” ini mencoba untuk menelusuri kembali (meskipun tidak dengan sangat intensif) kerja para seniman dan artifak karya yang telah dihasilkan. Tema ini memberi pengandaian dan harapan bahwa seniman selalu memikirkan “the next pics” atau “following the arts” sebagai bagian penting dari karya seninya. Karya yang akan dibuat, karya yang sedang dipikirkan untuk diwujudkan ke depan, bisa merupakan kelanjutan dari seri-seri karya yang telah diciptakan sebelumnya. Di dalamnya ada upaya pengembangan atau eksplorasi lebih lanjut dari karya-karya yang telah lahir sebelumnya. “The next pics” juga dimungkinkan sebagai upaya seniman untuk memberi titik beda yang kontras atas karya-karya sebelumnya. Ini punya tendensi bahwa seniman punya semangat untuk melakukan eksperimentasi lebih jauh sehingga karya yang kelak muncul akan memberi daya kejut lebih di mata publik karena garis kekaryaannya tidak linier, tidak monoton. Dua pilihan itu bisa sejalan dan biasa dilakukan oleh seniman.
Tema ini sebenarnya juga berupaya untuk memberi apresiasi terhadap seniman yang tetap bersetia dan teguh dalam merunuti pilihan kreatif (hingga kemudian dapat diamati sebagai pilihan visual) yang dikukuhi hingga sekian waktu lamanya. Ini bukan perkara mudah. Seniman akan dengan gampang “dituduh” sebagai penghasil karya-karya yang masuk dalam perangkap stagnasi karena tidak beranjak dari pola visual dari waktu ke waktu. Di sudut pandang lain, seniman tersebut bisa disebut sebagai konsisten terhadap pilihan visual atau pilihan kreatif yang telah “ditemukannya” itu. Ini juga bukan perkara mudah karena, bisa jadi, konsistensi itu bekerja di ranah gagasan yang lebih substansial, bukan sekadar di dataran visual yang—siapa tahu—bisa mendangkalkan narasi di dalamnya. Ini, memang, perlu ketelitian lebih jauh dalam mengamati.
Pilihan seniman dalam pameran ini, akhirnya, cukup variatif kalau ditimbang dari segi senioritas dalam dunia seni rupa, cakupan reputasi, dan pencapaian masing-masing seniman peserta selama ini. Ini relatif akan mengayakan pameran. Ada Sutopo, seniman lulusan lembaga ASRI Yogyakarta dan paling senior senior dalam pameran ini, hingga Garis Edelweiss, perupa muda kelahiran 1984 dan belajar seni rupa secara otodidak serta berasal pun berproses di kota Pasuruan Jawa Timur, jauh dari hingar-bingar dinamika seni rupa Yogya-Bandung-Jakarta (= Indonesia). Ada Heri Dono yang lebih dari 2 dasawarsa ini secara tak sadar telah menjadi salah satu “representasi” seni rupa konteporer Indonesia di mancanegara, hingga Lugas Syllabus, anak muda yang gigih merintis proses dan jalan keseniannya untuk melampaui tempok-tembok jalur mancanegara yang relatif tidak mudah.
Maka, tema ini diikhtiarkan sebagai upaya dan cara untuk membaca kembali strategi seniman dalam memberi keseimbangan antara naluri dan nalarnya, antara dugaan stagnasi dan konsistensi, demi bersiasat untuk tetap menyalakan api kreativitas. Kata “The Series” pada judul kuratorial ini mengisyaratkan pentingnya seniman dalam melakukan pendalaman dan penjelajahan kreatif ketika “suntuk” dengan seri tema tertentu. Kesetiaan seniman pada seri tema tertentu memunculkan dugaan monotonitas, namun dari situlah seniman ditantang untuk tetap mengukuhi tema tertentu dengan tetap menghidupkannya lewat jalan kreativitas. Kreativitas itu sendiri bisa dimaknai dan di-breakdown dengan segala rupa oleh seniman. Keragaman dalam mem-breakdown kreativitas inilah yang bisa kita baca dalam pameran ini.
***
PERUPA Ivan Sagita memberikan pemahaman kepada publik tentang arti penting kesetiaan terhadap pilihan tema dan kecenderungan kreatif yang telah dipilihnya. Kalau kita bertanya, apa gambar atau karya Ivan Sagita berikutnya? Ya, karya yang “berbau” surealisme ala Yogya. Kita tahu bersama, seniman kelahiran Malang, 13 Desember 1957 ini telah nyaris 3 dasawarsa menggeluti karya rupa yang oleh pengamat dan publik ditengarai sebagai karya surealisme. Bahkan dia termasuk salah satu bintang paling cemerlang di antara sekian banyak seniman yang kecenderungan karyanya surealisme (ala Yogya). Kebintangan itu ditunjukkan, antara lain, oleh pencapaiannya sebagai peraih award dalam Biennale Seni Lukis Jakarta pada tahun 1987 dan 1989. Karya yang disebut banyak kalangan sebagai puncaknya adalah “Sesapi-sapinya dalam Makro dan Mikrokosmos” (1989) yang kini dikoleksi oleh Dr. Oei Hong Djien di Magelang. Karya-karyanya banyak memancarkan spirit falsafah Jawa.
Lalu, apakah Ivan masih tetap bersetia dengan pilihan kreatif tersebut? Ya, sampai sekarang perupa ini masih tetap berkarya dengan media apapun yang bertumpu pada kecenderungan surealistik. Stagnasikah yang terjadi dalam karya-karyanya? Inilah tantangan menarik yang bisa digali pada karya-karya Ivan, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Di samping keragaman medium yang menggelisahkan dia untuk menaklukkannya, Ivan ternyata secara intensif melakukan pencarian sekaligus pendalaman demi pengembangan karya. Dua pameran tunggalnya, yang bertema kuratorial “Hidup Bermuatan Mati” tahun 2005 di CP Artspace, Jakarta, dan “Final Silence” (2014) yang berlangsung di Pulchri Studio, Denhaag, Belanda, saya kira, menguatkan posisinya sebagai seniman yang berupaya melepaskan diri dari kemapanan substansi tema.
Ivan banyak membincangkan ihwal kematian, dan menggali tema tersebut tidak sekadar dari buku-buku dan teori yang bertebaran di sekitarnya, namun juga terjun langsung ke lokus masyarakat yang berkait dengan tema tersebut. Salah satu detil tema kematian yang menarik bagi Ivan adalah fenomena pulung gantung, yakni kebiasaan melakukan praktik bunuh diri yang kerap terjadi di kawasan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam katalog pameran “Final Silence” (2014), Ivan menyertakan tulisan hasil pengamatan langsung di lapangan—hingga sepanjang lebih dari 10.000 kata atau 34 halaman. Dia memaparkan banyak kejadian yang ditemui di lapangan dengan narasumber para keluarga dari pelaku bunuh diri dan warga sekitarnya dan mengaitkannya dengan kajian psikologi hingga antroplogi, dari Carl Gustav Jung hingga Lucas Sasongko Triyoga.
Pada bagian akhir dari catatan itu Ivan menulis: “Kata-kata ”Oh, bapak anu yang meninggal karena bunuh diri itu” telah menjadi suatu tetanda terhadap kematian seseorang, sekaligus menjadi tetanda pula bagi keluarganya, meski permakluman ataupun bala telah dicoba untuk dihilangkan dengan penguburan tanpa prosesi yang layak serta tempat-tempat yang digunakan meniadakan diri juga telah dihilangkan tetapi anak keturunan selanjutnya tetap akan memikul beban tetanda. Pada titik inilah, saya kira, Ivan juga berkehendak untuk membuat tetanda atas hasil surveinya di lapangan. Apakah tetanda itu dimaknai sebagai peneguhan atas “beban tetanda” bagi keluarga korban pulung gantung, atau sebagai tetanda penting gejala pentingnya “urip sajroning pati” seperti diyakini oleh orang Jawa lewat falsafahnya, itu semua bisa menjadi perspektif ketika memandang karya-karya Ivan di periode ini. Tapi, sekali lagi, kita bisa lebih paham bagaimana garis kreatif Ivan yang karya-karyanya surealistik itu menjadi kaya karena ada keseimbangan peran antara hal yang naluriah dan yang berbau nalar. Ivan tidak terjebak dalam monotonitas karya surealisme karena mencoba mengayakannya dengan pencarian tema baru dan mendalaminya lewat survei langsung di lapangan.
Saya kira ini juga terjadi dengan para seniman lain, meski gradasi penekanannya tentu berbeda satu sama lain. Melodia, selama lebih dari dua puluhan tahun bersetia di jalur realis. Bahkan secara berseloroh, beberapa temannya “mencap” sebagai “pelukis becak”. Namun kalau mengulik kembali konsep karya yang tercantum dalam bukunya, “Jalan Sunyi/Quiet Path” (2001), kita dapat memahami bahwa dalam kebersahajaan karya lukis realismenya dapat ditangguk substansi tema dan narasi yang diikhtiarkan oleh senimannya sebagai medium untuk bersaksi atas dinamika zaman. “Dalam visualisasi seni lukis, saya tidak menggambarkan masalah sosial dengan masyarakat sebagai tokoh. Ia adalah sebuah ide. Saya menggunakan bahasa tanda sebagai perumpamaan, sebuah cara mengoperasikan gagasan untuk mencapai konsep estetik berupa hasil atau ujud…,” tulis Melodia dalam bukunya. Catatan itu kiranya sebuah isyarat bahwa kesederhanaan bentuk dan cara ungkap visual tetap bisa menjadi kendaraan bagi ide-ide besar yang berkelindan dalam kepala—yang diinspirasi oleh realitas sosial. Maka, dari beberapa pergeseran visual yang telah terjadi, karya Melodia tetap mengedepankan dunia gagasan sebagai ruh atas visual karyanya. Visual karya bisa dianggap oleh sebagian orang sebagai “bersahaja”, namun kalau dicermati, ada banyak teks-teks verbal dan teks visual yang sengaja (by design) dimunculkan untuk memuarakan ide yang bersemayam dalam benaknya.
Apalagi kalau kita membincangkan karya Heri Dono. Nyaris selalu ada kekayaan dan dinamika dalam kreativitasnya yang tak terbendung. Dari sekian banyak perbincangan, statemen, dan berbagai catatan, ada kalimat menarik dari Heri Dono yang dikemukakan kembali dalam tulisan pengamat seni dari Australia, Elly Kent dalam buku “The World and I: Heri Dono’s Art Odyssey” (2014): “… jadi kita menghormati yang global, tapi kita juga mengeksplor(asi) yang lokal, untuk menyumbang kembali ke arena global. Bukan untuk mengikuti kecenderungan global, tapi untuk memperkaya apa yang kita miliki secara global. Yang tidak lengkap menjadi lengkap dengan yang lokal.” Kontekstualisasi dari kalimat tersebut jelas memberi tengara atas kuatnya keseimbangan naluri seni dan nalarnya untuk bergerak mendinamisasi kreativitasnya. Kalau mengulik kembali sejarah karya-karya Heri Dono seperti Wayang Batak, Kentut Semar, serial lukisan satir-karikatural, dan lainnya, di situ tercium gelagatnya sebagai seniman dari Negara Dunia Ketiga yang berada di pinggiran perbincangan seni rupa global, namun tetap berusaha keras untuk melakukan perlawanan. Itulah strategi kreatif yang terus dilakukannya hingga kini. Kalau kita menanyakan kembali, apa karya Heri Dono selanjutnya? Apakah serial karya berikutnya? Dia akan lebih kaya menjawabnya dengan keberagaman medium karya, kecerdasan gagasan, dan sebagainya, dan salah satu inti persoalan yang selalu dibawanya adalah: mengeksplorasi nilai-nilai dan artifak kultur lokal ke dalam karyanya.
Catatan tentu terlalu singkat karena tak mampu untuk menelisik secara detil tiap seniman dan kecederungan karya berdasaran artifak dan dunia gagasan yang mengiringinya. Namun saya percaya, banyak seniman dalam pameran ini yang senantiasa gelisah untuk terus bermimpi menampilkan “the next pics”, karya berikutnya, yang lebih berbeda, baru, dan sebisa mungkin menginspirasi publik penontonnya.
Kita bisa menyimak karya-karya Budi Ubrux yang konsisten dengan manusia-manusia atau benda yang terbungkus dalam koran. Karyanya, “Imagologi” yang meraih Grand Price winner of Philip Morris Indonesia Art Award tahun 2000 lalu, ternyata, makin hari bukanlah merupakan karya puncak, karena setelah itu banyak lahir karya-karya yang lebih menarik dan “berbunyi” secara visual dan temati. Dari subyek benda dan teks-teks atau teks visual pada koran itulah Ubrux berbicara. Demikian juga dengan Joko “Gundul” Sulistiono yang pernah meraih Top Five dalam Philip Morris Indonesia Art Award tahun 2000. Karyanya berupa lukisan tangan bertabur kolase (collage) dari gambar-gambar di majalah dan lain-lain, masih setia diteruskan hingga kini. Yang muncul kini bukanlah kolase seperti yang ada dalam karyanya 14 tahun lalu, namun ada pengayaan dari pengetahuannya atas teknologi manual printing yang berbeda, unik, dan relatif tahan cuaca dan waktu. Itu bisa terwujud karena kesetiannya untuk intens berkarya, mencari titik lemah atas materi karya, dan lalu betupaya untuk menaklukkannya.
Tanpa mengurangi penghormatan atas karya dan proses kreatif yang telah bertahun-tahun disuntuki, saya dan kita tetap menghargai apa yang telah dipikirkan dan dikerjakan oleh para seniman lain dalam pameran ini, yakni: Adi Gunawan, Azhar Horo, Bambang Pramudyanto, Cubung Wasono Putro, Didi Kasi, Edo Pop, Garis Edelweis, Januri, Ketut Suwidiarta, Khusna Hadiyanto, Made Toris Mahendra, Nasirun, Noor Ibrahim, Pramono Pinunggul, Rocka Radipa, Sapto Sugiyo Utomo, Sigit Santoso, Sutopo, Tiarma Sirait, Ugy Sugiarto, Valentinus Rommy Iskandar, dan Vani Hidayaturahman. Ruang dan kesempatan belum memungkinkan untuk membahas satu persatu karya dan garis pemikiran para seniman ini yang penuh keragaman dan dinamika.
Akhirnya, saya tetap bisa meyakini bahwa para seniman tetap berupaya untuk memberi ruang dan agenda yang sebesar-besarnya bagi naluri dan nalarnya untuk memiliki pertanyaan seusai berkarya: “Apa dan bagaimana karyaku selanjutnya? Bisakah melepaskan diri dari belenggu kelebihan karya sebelumnya? Bisakah berbeda, lebih bagus, lebih inspiratif, dan lebih menggugah bagi orang-orang di sekitarku?” Ini sekadar pertanyaan kecil yang semoga menjadi renungan bersama. Tidak semua seniman akan jadi Pablo Picasso, karena Picasso hanya satu dan akan pernah ada kembarannya. Tapi, pola kerja, sistematika gerak kreatifnya, siapa tahu bisa dipelajari dan ditimba sebagai inspirasi. Selamat berpameran. ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.
DALAM sebuah kesempatan wawancara, seniman besar Spanyol, Pablo Ruiz Picasso ditanya oleh wartawan: “Dari semua karya yang telah diciptakan, manakah masterpiece (karya puncak) Anda?” Dengan ringan Picasso menjawab bahwa masterpiece-nya adalah karya yang akan dibuatnya besok. Ternyata pertanyaan itu tidak dilontarkan hanya sekali oleh jurnalis, kawan, serta pecinta karya-karyanya. Dan jawaban perupa besar kelahiran Malaga, Spanyol itu juga serupa: “Masterpiece saya adalah karya yang akan saya buat besok!” Begitu seterusnya. Picasso tidak pernah menyebutkan secara definitif karya besarnya.
Namun, di seberang itu, sejarah mencatat kalau sebagian besar para kritikus dan pengamat seni telah bersepakat menentukan bahwa lukisan “Guernica” adalah masterpiece Pablo Picasso. Karya lukisan yang saat ini disimpan di Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofía, Madrid, Spanyol tersebut memang terbilang berukuran kolosal, yakni 349 cm × 776 cm. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa karya tersebut pantas menjadi masterpiece karena tidak sekadar punya aspek ukuran yang gigantik, namun juga ada dalih dari aspek substansial karena memuat narasi besar tentang perang saudara (Spanish Civil War). Lukisan hitam-putih itu tersebut dianggap oleh banyak kalangan sebagai karya yang paling representatif dalam menggambarkan kasus pengeboman di kota Guernica, propinsi Biscay, negara bagian Basque di Spanyol Utara—yang terjadi pada hari Senin sore, 26 April 1937.
Publik pun bisa berdebat panjang untuk membandingkan antara “Guernica” dengan karya lain, misalnya “Les Demoiselles d'Avignon” (1907), yang dianggap menjadi titik balik penting dalam perjalanan kesenian Picasso yang beranjak sebagai seniman cubist—dan kelak jauh lebih besar ketimbang pencetusnya, Georges Brasque. Juga bila dibandingkan dengan lukisan Garçon à la pipe, (Boy with a Pipe) (1905), salah satu karya penting di Periode Mawar (Rose Period) yang menjadi lukisan Picasso termahal di pasar lelang—tahun 2004 terjual dengan harga US$ 104,168,000 di balai lelang Sotheby's.
Jawaban Picasso yang membilang bahwa “masterpiece saya adalah karya yang akan saya buat besok”, saya menduga, ada isyarat yang memuat beberapa pesan moral yang penting, yakni: (1) seorang seniman tidak menghentikan spirit kreatifnya untuk terus gelisah dengan pencapaian-pencapaiannya yang lebih baru. Picasso seperti tidak pernah puas dengan karya yang telah dibuatnya, dan ini memberi tantangan untuk mencari “kepuasan” lewat karyanya yang akan dibuat di waktu berikutnya, (2) seorang seniman tetap memiliki impian dan target untuk menciptakan karya besar (masterpiece) sebagai bagian penting dari perjalanan kesenimanannya.
Poin pertama dari dugaan saya/kita di atas tampaknya nyambung dengan sejarah perjalanan kesenian Picasso yang sangat kaya namun juga ada garis, struktur dan skema atas kerja kreatifnya yang begitu jelas. Coba simak kurun-kurun penting dari gerak kreatif seniman ini, yang dengan sadar memberi kerangka kecenderungan atas tahapan-tahapan tertentu dalam kerja seninya. Kita bisa melihat dan membaca, seniman ini sempat memiliki kecenderungan melukis dengan warna utama biru (dan tone sejenisnya), bahkan monokromatik biru pada kurun tahun 1901 hingga 1904. Maka kurun itu disebut sebagai Blue Period (Periode Biru). Pola dan kecedenderungan tersebut itu lalu bergeser menjadi Rose Period (Periode Mawar, atau di Indonesia sebagian orang menyebut sebagai Periode Merah Jambu), yakni antara tahun 1904-1906. Kemudian, muncul African Period (1907-1909) atau sebagian orang menyebut sebagai Negro Period dan Black Period ketika Picasso banyak menggali khasanah patung-patung primitif Afrika, hingga akhirnya menuju Cubism Period (1910-1919) yang dianggap sebagai identitas paling melekat dari diri dan kreativitas Picasso.
***
PICASSO bisa menjadi contoh penting betapa seorang seniman mampu menyeimbangkan antara naluri dan nalarnya untuk menyusun laju kreativitas seninya yang tidak mudah. Pada satu sisi dia terus mengikuti nalurinya untuk terus berkarya, dan berharap—bahkan punya target—suatu ketika akan mampu menciptakan karya besar. Dan di sisi lain, dia harus bernalar untuk memiliki strategi kreatif dengan membuat tahapan-tahapan yang terstruktur dengan baik sehingga pola kerjanya bisa lebih tertata dan jelas target goal-nya. Dan kini kita tahu, siapa Pablo Ruiz Picasso itu.
Pada kerangka pemikiran yang tidak jauh dari hal yang dilakukan oleh Picasso itulah, maka pameran ini dibuat. Ini menjadi semacam upaya pelacakan kecil terhadap kerja kreatif seniman yang telah bertahun-tahun bergelut dengan dunia seni rupa sebagai pilihan hidup dan pilihan profesinya. Tema kuratorial “Next Pics: The Series” ini mencoba untuk menelusuri kembali (meskipun tidak dengan sangat intensif) kerja para seniman dan artifak karya yang telah dihasilkan. Tema ini memberi pengandaian dan harapan bahwa seniman selalu memikirkan “the next pics” atau “following the arts” sebagai bagian penting dari karya seninya. Karya yang akan dibuat, karya yang sedang dipikirkan untuk diwujudkan ke depan, bisa merupakan kelanjutan dari seri-seri karya yang telah diciptakan sebelumnya. Di dalamnya ada upaya pengembangan atau eksplorasi lebih lanjut dari karya-karya yang telah lahir sebelumnya. “The next pics” juga dimungkinkan sebagai upaya seniman untuk memberi titik beda yang kontras atas karya-karya sebelumnya. Ini punya tendensi bahwa seniman punya semangat untuk melakukan eksperimentasi lebih jauh sehingga karya yang kelak muncul akan memberi daya kejut lebih di mata publik karena garis kekaryaannya tidak linier, tidak monoton. Dua pilihan itu bisa sejalan dan biasa dilakukan oleh seniman.
Tema ini sebenarnya juga berupaya untuk memberi apresiasi terhadap seniman yang tetap bersetia dan teguh dalam merunuti pilihan kreatif (hingga kemudian dapat diamati sebagai pilihan visual) yang dikukuhi hingga sekian waktu lamanya. Ini bukan perkara mudah. Seniman akan dengan gampang “dituduh” sebagai penghasil karya-karya yang masuk dalam perangkap stagnasi karena tidak beranjak dari pola visual dari waktu ke waktu. Di sudut pandang lain, seniman tersebut bisa disebut sebagai konsisten terhadap pilihan visual atau pilihan kreatif yang telah “ditemukannya” itu. Ini juga bukan perkara mudah karena, bisa jadi, konsistensi itu bekerja di ranah gagasan yang lebih substansial, bukan sekadar di dataran visual yang—siapa tahu—bisa mendangkalkan narasi di dalamnya. Ini, memang, perlu ketelitian lebih jauh dalam mengamati.
Pilihan seniman dalam pameran ini, akhirnya, cukup variatif kalau ditimbang dari segi senioritas dalam dunia seni rupa, cakupan reputasi, dan pencapaian masing-masing seniman peserta selama ini. Ini relatif akan mengayakan pameran. Ada Sutopo, seniman lulusan lembaga ASRI Yogyakarta dan paling senior senior dalam pameran ini, hingga Garis Edelweiss, perupa muda kelahiran 1984 dan belajar seni rupa secara otodidak serta berasal pun berproses di kota Pasuruan Jawa Timur, jauh dari hingar-bingar dinamika seni rupa Yogya-Bandung-Jakarta (= Indonesia). Ada Heri Dono yang lebih dari 2 dasawarsa ini secara tak sadar telah menjadi salah satu “representasi” seni rupa konteporer Indonesia di mancanegara, hingga Lugas Syllabus, anak muda yang gigih merintis proses dan jalan keseniannya untuk melampaui tempok-tembok jalur mancanegara yang relatif tidak mudah.
Maka, tema ini diikhtiarkan sebagai upaya dan cara untuk membaca kembali strategi seniman dalam memberi keseimbangan antara naluri dan nalarnya, antara dugaan stagnasi dan konsistensi, demi bersiasat untuk tetap menyalakan api kreativitas. Kata “The Series” pada judul kuratorial ini mengisyaratkan pentingnya seniman dalam melakukan pendalaman dan penjelajahan kreatif ketika “suntuk” dengan seri tema tertentu. Kesetiaan seniman pada seri tema tertentu memunculkan dugaan monotonitas, namun dari situlah seniman ditantang untuk tetap mengukuhi tema tertentu dengan tetap menghidupkannya lewat jalan kreativitas. Kreativitas itu sendiri bisa dimaknai dan di-breakdown dengan segala rupa oleh seniman. Keragaman dalam mem-breakdown kreativitas inilah yang bisa kita baca dalam pameran ini.
***
PERUPA Ivan Sagita memberikan pemahaman kepada publik tentang arti penting kesetiaan terhadap pilihan tema dan kecenderungan kreatif yang telah dipilihnya. Kalau kita bertanya, apa gambar atau karya Ivan Sagita berikutnya? Ya, karya yang “berbau” surealisme ala Yogya. Kita tahu bersama, seniman kelahiran Malang, 13 Desember 1957 ini telah nyaris 3 dasawarsa menggeluti karya rupa yang oleh pengamat dan publik ditengarai sebagai karya surealisme. Bahkan dia termasuk salah satu bintang paling cemerlang di antara sekian banyak seniman yang kecenderungan karyanya surealisme (ala Yogya). Kebintangan itu ditunjukkan, antara lain, oleh pencapaiannya sebagai peraih award dalam Biennale Seni Lukis Jakarta pada tahun 1987 dan 1989. Karya yang disebut banyak kalangan sebagai puncaknya adalah “Sesapi-sapinya dalam Makro dan Mikrokosmos” (1989) yang kini dikoleksi oleh Dr. Oei Hong Djien di Magelang. Karya-karyanya banyak memancarkan spirit falsafah Jawa.
Lalu, apakah Ivan masih tetap bersetia dengan pilihan kreatif tersebut? Ya, sampai sekarang perupa ini masih tetap berkarya dengan media apapun yang bertumpu pada kecenderungan surealistik. Stagnasikah yang terjadi dalam karya-karyanya? Inilah tantangan menarik yang bisa digali pada karya-karya Ivan, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Di samping keragaman medium yang menggelisahkan dia untuk menaklukkannya, Ivan ternyata secara intensif melakukan pencarian sekaligus pendalaman demi pengembangan karya. Dua pameran tunggalnya, yang bertema kuratorial “Hidup Bermuatan Mati” tahun 2005 di CP Artspace, Jakarta, dan “Final Silence” (2014) yang berlangsung di Pulchri Studio, Denhaag, Belanda, saya kira, menguatkan posisinya sebagai seniman yang berupaya melepaskan diri dari kemapanan substansi tema.
Ivan banyak membincangkan ihwal kematian, dan menggali tema tersebut tidak sekadar dari buku-buku dan teori yang bertebaran di sekitarnya, namun juga terjun langsung ke lokus masyarakat yang berkait dengan tema tersebut. Salah satu detil tema kematian yang menarik bagi Ivan adalah fenomena pulung gantung, yakni kebiasaan melakukan praktik bunuh diri yang kerap terjadi di kawasan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam katalog pameran “Final Silence” (2014), Ivan menyertakan tulisan hasil pengamatan langsung di lapangan—hingga sepanjang lebih dari 10.000 kata atau 34 halaman. Dia memaparkan banyak kejadian yang ditemui di lapangan dengan narasumber para keluarga dari pelaku bunuh diri dan warga sekitarnya dan mengaitkannya dengan kajian psikologi hingga antroplogi, dari Carl Gustav Jung hingga Lucas Sasongko Triyoga.
Pada bagian akhir dari catatan itu Ivan menulis: “Kata-kata ”Oh, bapak anu yang meninggal karena bunuh diri itu” telah menjadi suatu tetanda terhadap kematian seseorang, sekaligus menjadi tetanda pula bagi keluarganya, meski permakluman ataupun bala telah dicoba untuk dihilangkan dengan penguburan tanpa prosesi yang layak serta tempat-tempat yang digunakan meniadakan diri juga telah dihilangkan tetapi anak keturunan selanjutnya tetap akan memikul beban tetanda. Pada titik inilah, saya kira, Ivan juga berkehendak untuk membuat tetanda atas hasil surveinya di lapangan. Apakah tetanda itu dimaknai sebagai peneguhan atas “beban tetanda” bagi keluarga korban pulung gantung, atau sebagai tetanda penting gejala pentingnya “urip sajroning pati” seperti diyakini oleh orang Jawa lewat falsafahnya, itu semua bisa menjadi perspektif ketika memandang karya-karya Ivan di periode ini. Tapi, sekali lagi, kita bisa lebih paham bagaimana garis kreatif Ivan yang karya-karyanya surealistik itu menjadi kaya karena ada keseimbangan peran antara hal yang naluriah dan yang berbau nalar. Ivan tidak terjebak dalam monotonitas karya surealisme karena mencoba mengayakannya dengan pencarian tema baru dan mendalaminya lewat survei langsung di lapangan.
Saya kira ini juga terjadi dengan para seniman lain, meski gradasi penekanannya tentu berbeda satu sama lain. Melodia, selama lebih dari dua puluhan tahun bersetia di jalur realis. Bahkan secara berseloroh, beberapa temannya “mencap” sebagai “pelukis becak”. Namun kalau mengulik kembali konsep karya yang tercantum dalam bukunya, “Jalan Sunyi/Quiet Path” (2001), kita dapat memahami bahwa dalam kebersahajaan karya lukis realismenya dapat ditangguk substansi tema dan narasi yang diikhtiarkan oleh senimannya sebagai medium untuk bersaksi atas dinamika zaman. “Dalam visualisasi seni lukis, saya tidak menggambarkan masalah sosial dengan masyarakat sebagai tokoh. Ia adalah sebuah ide. Saya menggunakan bahasa tanda sebagai perumpamaan, sebuah cara mengoperasikan gagasan untuk mencapai konsep estetik berupa hasil atau ujud…,” tulis Melodia dalam bukunya. Catatan itu kiranya sebuah isyarat bahwa kesederhanaan bentuk dan cara ungkap visual tetap bisa menjadi kendaraan bagi ide-ide besar yang berkelindan dalam kepala—yang diinspirasi oleh realitas sosial. Maka, dari beberapa pergeseran visual yang telah terjadi, karya Melodia tetap mengedepankan dunia gagasan sebagai ruh atas visual karyanya. Visual karya bisa dianggap oleh sebagian orang sebagai “bersahaja”, namun kalau dicermati, ada banyak teks-teks verbal dan teks visual yang sengaja (by design) dimunculkan untuk memuarakan ide yang bersemayam dalam benaknya.
Apalagi kalau kita membincangkan karya Heri Dono. Nyaris selalu ada kekayaan dan dinamika dalam kreativitasnya yang tak terbendung. Dari sekian banyak perbincangan, statemen, dan berbagai catatan, ada kalimat menarik dari Heri Dono yang dikemukakan kembali dalam tulisan pengamat seni dari Australia, Elly Kent dalam buku “The World and I: Heri Dono’s Art Odyssey” (2014): “… jadi kita menghormati yang global, tapi kita juga mengeksplor(asi) yang lokal, untuk menyumbang kembali ke arena global. Bukan untuk mengikuti kecenderungan global, tapi untuk memperkaya apa yang kita miliki secara global. Yang tidak lengkap menjadi lengkap dengan yang lokal.” Kontekstualisasi dari kalimat tersebut jelas memberi tengara atas kuatnya keseimbangan naluri seni dan nalarnya untuk bergerak mendinamisasi kreativitasnya. Kalau mengulik kembali sejarah karya-karya Heri Dono seperti Wayang Batak, Kentut Semar, serial lukisan satir-karikatural, dan lainnya, di situ tercium gelagatnya sebagai seniman dari Negara Dunia Ketiga yang berada di pinggiran perbincangan seni rupa global, namun tetap berusaha keras untuk melakukan perlawanan. Itulah strategi kreatif yang terus dilakukannya hingga kini. Kalau kita menanyakan kembali, apa karya Heri Dono selanjutnya? Apakah serial karya berikutnya? Dia akan lebih kaya menjawabnya dengan keberagaman medium karya, kecerdasan gagasan, dan sebagainya, dan salah satu inti persoalan yang selalu dibawanya adalah: mengeksplorasi nilai-nilai dan artifak kultur lokal ke dalam karyanya.
Catatan tentu terlalu singkat karena tak mampu untuk menelisik secara detil tiap seniman dan kecederungan karya berdasaran artifak dan dunia gagasan yang mengiringinya. Namun saya percaya, banyak seniman dalam pameran ini yang senantiasa gelisah untuk terus bermimpi menampilkan “the next pics”, karya berikutnya, yang lebih berbeda, baru, dan sebisa mungkin menginspirasi publik penontonnya.
Kita bisa menyimak karya-karya Budi Ubrux yang konsisten dengan manusia-manusia atau benda yang terbungkus dalam koran. Karyanya, “Imagologi” yang meraih Grand Price winner of Philip Morris Indonesia Art Award tahun 2000 lalu, ternyata, makin hari bukanlah merupakan karya puncak, karena setelah itu banyak lahir karya-karya yang lebih menarik dan “berbunyi” secara visual dan temati. Dari subyek benda dan teks-teks atau teks visual pada koran itulah Ubrux berbicara. Demikian juga dengan Joko “Gundul” Sulistiono yang pernah meraih Top Five dalam Philip Morris Indonesia Art Award tahun 2000. Karyanya berupa lukisan tangan bertabur kolase (collage) dari gambar-gambar di majalah dan lain-lain, masih setia diteruskan hingga kini. Yang muncul kini bukanlah kolase seperti yang ada dalam karyanya 14 tahun lalu, namun ada pengayaan dari pengetahuannya atas teknologi manual printing yang berbeda, unik, dan relatif tahan cuaca dan waktu. Itu bisa terwujud karena kesetiannya untuk intens berkarya, mencari titik lemah atas materi karya, dan lalu betupaya untuk menaklukkannya.
Tanpa mengurangi penghormatan atas karya dan proses kreatif yang telah bertahun-tahun disuntuki, saya dan kita tetap menghargai apa yang telah dipikirkan dan dikerjakan oleh para seniman lain dalam pameran ini, yakni: Adi Gunawan, Azhar Horo, Bambang Pramudyanto, Cubung Wasono Putro, Didi Kasi, Edo Pop, Garis Edelweis, Januri, Ketut Suwidiarta, Khusna Hadiyanto, Made Toris Mahendra, Nasirun, Noor Ibrahim, Pramono Pinunggul, Rocka Radipa, Sapto Sugiyo Utomo, Sigit Santoso, Sutopo, Tiarma Sirait, Ugy Sugiarto, Valentinus Rommy Iskandar, dan Vani Hidayaturahman. Ruang dan kesempatan belum memungkinkan untuk membahas satu persatu karya dan garis pemikiran para seniman ini yang penuh keragaman dan dinamika.
Akhirnya, saya tetap bisa meyakini bahwa para seniman tetap berupaya untuk memberi ruang dan agenda yang sebesar-besarnya bagi naluri dan nalarnya untuk memiliki pertanyaan seusai berkarya: “Apa dan bagaimana karyaku selanjutnya? Bisakah melepaskan diri dari belenggu kelebihan karya sebelumnya? Bisakah berbeda, lebih bagus, lebih inspiratif, dan lebih menggugah bagi orang-orang di sekitarku?” Ini sekadar pertanyaan kecil yang semoga menjadi renungan bersama. Tidak semua seniman akan jadi Pablo Picasso, karena Picasso hanya satu dan akan pernah ada kembarannya. Tapi, pola kerja, sistematika gerak kreatifnya, siapa tahu bisa dipelajari dan ditimba sebagai inspirasi. Selamat berpameran. ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.