Menguji Kembali(nya) Faizal


Oleh Kuss Indarto 

[Satu: Romantika dan Titik Keberangkatan] 

21 Juni 1991, pesawat kecil dari maskapai penerbangan milik pemerintah Cekoslovakia (sebelum negara itu terbagi dua: Ceko dan Slovakia) mendarat di bandara Heathrow, London, Inggris. Di antara reriuhan para penumpang yang bergegas turun, ada perempuan muda Michelle Le Masurier dan kekasihnya, Faizal. Pesawat itu bertolak dari Jakarta dan sempat transit 4 kali, yakni di Singapura, Bangkok, Abu Dhabi, dan Praha.

Inilah kesempatan pertama bagi Faizal menjejakkan kaki di daratan Eropa. Dan mulai hari itu hingga sekitar sepuluh bulan berikutnya, dia menetap di benua biru tersebut. Setidaknya, tiga bulan pertama Faizal banyak berkelana di Britania Raya. Pada sebuah desa yang hening dan indah, persisnya di kawasan Appledore, Bideford, North Devon, Inggris, Faizal menetap. Dia menggambarkan betapa kawasan itu begitu permai namun cukup terpencil sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi dengan berbelanja seminggu sekali di kota terdekat. Dan tak jauh dari tempat tinggalnya itu ada kawasan yang banyak dihuni seniman—seperti “desa seni” laiknya, yang membetahkan baginya untuk sesekali bertandang.

Di sinilah Faizal seperti menemukan “oase seni” tempat dia melibatkan diri dalam berproses kreatif. Di negeri ini dia tak hanya menapaki romansa hidup bersama Michelle kekasihnya, namun juga mencoba bertarung dengan peruntungannya sebagai seniman, sekaligus sebagai petualang atau pejalan budaya yang cukup mengalami “gegar budaya” karena situasi yang berbeda, bahkan kontras dibanding Indonesia. Dalam sebuah kartu pos yang dikirimkannya dari Inggris pada 7 Juli 1991 kepada Hari Mulyanto, sahabat karibnya yang satu kontrakan di bilangan Wirobrajan, Yogyakarta, Faizal antara lain menulis: “Hi, Mul sayang… Bagaimana kabar rumahku? Bagus? Aku kemarin pergi ke Bristol (2 jam dari London) untuk lihat festival. Wuih, bagus sekali. Ada konser musik, ada carnaval, tari, dll. Meriah banget.” Petilan kalimat itu seperti memperlihatkan “keguncangan” situasi psikologisnya yang gembira sekaligus kekagetannya mendapatkan berbagai suasana dan peristiwa baru.

Menemukan suasana baru itulah yang membuat Faizal ingin terus bergerak. Maka, Inggris bukanlah tujuan satu-satunya saat di Eropa. Ini seperti memanfaatkan “aji mumpung”. Mumpung di Eropa, maka sebanyak mungkin negara dikunjungi. Berikutnya, menginjak di bulan keempat, Belanda menjadi pusaran perhatian dan tujuannya. Kota Amsterdam dan Den Haag yang banyak bertebar seniman, galeri dan museum begitu menyedot perhatiannya sebagai seniman muda dari negeri yang belum kuat tradisi dan kultur seni rupanya. Situasi batin yang terkagum-kagum dengan hal baru yang ditemuinya itu, antara lain, disalurkannya dengan mengirim secarik tulisan yang digurat di atas kartu pos, lalu dikirimkan kepada beberapa teman akrabnya. Dalam sebuah kartu pos lain yang diduga dikirimkan tanggal 10 Oktober 1991, Faizal kembali berkabar kepada Hari Mulyanto, mahasiswa Jurusan Disain Komunikasi Visual (Diskomvis) yang akrab dan tinggal satu rumah kontrakan dengannya. Secara singkat Faizal berkisah: “Setelah beberapa minggu di Belanda, kupikir kota ini sangat menarik dan unik banget ya. Amsterdam penuh dengan narkotika, seks, dan seni. Di Amsterdam dimana-mana ada orang mabuk heroin dan perempuan-perempuan setengah telanjang di kaca-kaca sex show, sex shop, dll. Tapi seni juga bagus di sini karena di setiap tempat ada patung modern, stasiun sepur ada patung, experimental (art) tapi sayangnya graffiti banyak sekali. Di Den Haag yang menurut saya kota kecil tapi punya museum bagus sekali dan komplit…” 

Belanda yang mengesankan, memang, akhirnya menarik hasrat Faizal untuk menetap beberapa bulan berikutnya, meski dia masih harus mondar-mandir ke negeri kekasihnya, Inggris. Negara-negara lain di daratan Eropa sudah pasti dikunjunginya, seperti Perancis, Jerman, Belgia, dan negara-negara lainnya. Namun, pada Belanda-lah Faizal jatuh cinta dan kemudian banyak menetap, berproses sebagai seniman hingga sempat berpameran beberapa kali di beberapa galeri di Amsterdam.

***

KEPERGIAN Faizal ke Eropa, di luar masalah romansa kehidupan pribadinya, tak lepas dari mencuatnya dengan kuat sebagai seniman muda yang menonjol di lingkungannya di kampus Program Studi Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa (FSR), Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Seniman yang sempat kuliah beberapa bulan di UNS (Universitas Negeri Surakarta) ini masuk di ISI Yogyakarta tahun 1986, antara lain seangkatan dengan Yuswantoro Adi, Heri Kris, Ridi Winarno, Herly Gaya, Iswanto, Wiyono, Dwi Winarsih, dan beberapa lainnya. Menginjak tahun ketiga studinya, bangunan reputasi telah dibentuk dengan cukup baik olehnya—cukup jauh ketimbang sebagian besar rekan-rekan seangkatannya. Artinya, pencapaian artistiknya mendapat mendapatkan apresiasi akademik yang memadai dari para dosennya di kampus, dan di seberang itu, pasar seni rupa mulai menggeliat menatap karya-karya Faizal sebagai santapan yang menarik untuk dipertukarkan dengan gemerincing rupiah. Beberapa dosennya, terutama  Nyoman Gunarsa—yang juga seorang seniman berkaliber nasional—dalam sebuah kesempatan kuliah di kelas pernah mengapresiasi dengan sangat baik karya-karya tugas akademik yang dikumpulkannya. Bahkan dianggap melampaui karya-karya para seniornya yang telah populer di peta seni rupa Yogyakarta dan Indonesia.

Kalau menyimak keberangkatan seniman kelahiran tahun 1965 ini ke London sekitar minggu ketiga Juni 1991, itu juga tak lepas dari kesuksesannya secara finansial dalam berpameran tunggal di Duta Fine Arts Foundation di Kemang, Jakarta, yang berlangsung 19 Februari hingga 19 Maret 1991. Kala itu, Duta Fine Arts adalah satu di antara beberapa gelintir ruang seni (rupa) komersial yang memiliki prestise tersendiri dibanding yang lain. Banyak seniman yang berusaha “menempel” pendiri dan pemilik galeri ini agar bisa mempresentasikan karyanya di situ. Didier Hamel, sang pendiri dan pemilik yang berkebangsaan Perancis merasa berkepentingan untuk mengundang Faizal berpameran tunggal karena beberapa alasan. Dalam kartu pos sekaligus undangan yang diterbitkan Duta Fine Arts dicatat bahwa Faizal adalah seniman muda penuh bakat yang mencoba membangun dan mempertanyakan akar dirinya melalui pengalaman berkesenian yang terus-menerus dengan teknik kebarat-baratan yang berbeda. Seniman yang waktu itu berambut ikal dan panjang tersebut juga dianggap menonjol karena telah mendapatkan penghargaan dalam perhelatan Dies Natalis ke-VI ISI Yogyakarta tahun 1990. Bagi Didier, itu adalah pencapaian dan point kelebihan tersendiri ketimbang seniman lain.

Dalam pameran tunggal di galeri itu pencapaian ekonomi dan eksistensi makin direngkuh oleh Faizal. Pameran itu sukses secara finansial. Karya-karya Faizal ludes berpindah tangan ke kolektor. Dengan pencapaian itu, maka, Faizal punya banyak bekal hingga berani nekad terbang ke Inggris karena telah mendapatkan kompensasi finansial yang sangat memadai dari pameran tersebut.

Bagi seniman ini, upaya untuk merangkak menggariskan pencapaian di galeri itu juga unik. Awalnya, dia banyak berhubungan dengan sebuah galeri yang tidak terlalu terkenal di Denpasar, Bali. Bamboo Gallery namanya. Beberapa karyanya dikoleksi di sana setelah ditawarkan tapi bukan lewat ajang berpameran. Dari karya-karya tersebut, ada karya yang kemudian berpindah tangan ke kolektor berikutnya, yakni ke pemilik Duta Fine Arts, Jakarta. Beberapa bulan setelah menjual karya ke Bamboo Gallery, seperti yang dilakukan oleh banyak seniman, Faizal memotret karya-karya barunya dan kemudian secara spekulatif mengirimkannnya ke galeri milik Didier Hamel itu yang beralamat di Jalan Bangka I/55, Kemang, Jakarta Selatan. Di luar dugaan, itu seperti “pucuk dicinta ulam tiba”. Apa yang didambakan oleh Faizal justru diharap dan ditunggu Hamel. “Waaaawww… Kamu yang selama ini aku cari-cari!” seru Hamel seperti ditirukan oleh seniman lulusan SMA Negeri 2 Solo ini.

Memang, setelah mengoleksi karya dari Bamboo Gallery, Hamel justru banyak mencari tahu siapa pelukis Faizal itu. Maka, tanpa banyak perbincangan yang lebih kompleks, kesepakatan untuk berpameran tunggal di awal tahun 1991 itu pun terjadi. Kesempatan untuk berpameran di situs seni itu ternyata tak hanya sekali. Hamel merasa cocok bekerjasama dengan Faizal, juga karena begitu menyukai karakter karya seniman tersebut. Lima tahun berikutnya, yakni antara 25 Juni hingga 25 Juli 1996, Faizal kembali berpameran tunggal, setelah dia wira-wiri menjelajah ke Eropa.

***

PENCAPAIAN finansial dan eksistensial Faizal pada kurun akhir 1980-an dan paruh pertama dasawarsa 1990-an menempatkannya sebagai salah satu rising star seni rupa Yogyakarta. Bintang yang mulai gemerlap ini mulai banyak disorot—seperti biasa—dari sisi positif dan negatifnya. Pro dan kontranya. Dari perkara personal yang menyangkut hal-ihwal urusan kepribadian dan keseharian hingga masuk kepada problem konseptual menyangkut problem proses kreatifnya.

Ada beberapa pihak yang menyoal perihal kekakuan, kepelitan, arogansi, dan beberapa perspektif personal lainnnya yang tampak pada diri Faizal ketika masa studi, dan pergaulannya dalam lingkar komunikasi antarseniman (muda) di Yogyakarta kala itu. Tapi, tak layak kiranya mengeksplorasi lebih dalam masalah personal yang negatif kalau itu tak mendatangkan segi kemanfaatan bagi siapapun.

Hari Mulyanto, salah satu teman paling karibnya, banyak memberi kesaksian atas ihwal pribadi dan problem berkesenian Faizal. Dia banyak tahu karena mereka berdua—ketika masih mahasiswa—sempat mengontrak satu rumah di jalan Kapten Tendean, gang Puntadewa 11, Wirobrajan, Yogyakarta. Sebelum dengan Hari Mul (begitu dia biasa dipanggil), Faizal sempat tinggal bertiga bersama rekan satu angkatannya di Program Studi Seni Lukis, yakni Yuswantoro Adi dan Dwi Winarsih, sekitar tahun 1989-1990.

“Faizal itu orangnya zakelijk, disiplin pada komitmen, simpel, tidak bertele-tele, dan tidak suka basa-basi,” begitu kesaksian Hari Mul tentang sahabatnya itu. Lebih lanjut dia menambahkan bahwa seseorang kalau sudah cocok dengan Faizal, biasanya pertemanan akan terus langgeng. Awet. Waktu tinggal satu rumah, mereka memiliki kebiasaan yang selalu selalu rutin dilakukan setiap hari. Kalau sore setelah bersantap lalu siap-siap melukis sampe pagi sementara Hari Mul menemani dengan membaca buku-buku dan “nggrafis” (mendisain grafis). “Kadang-kadang aktivitas itu diselingi dengan nonton BF (blue film, dengan kaset format Betamax). Sehabis subuh biasanya terus sarapan gudheg di perempatan Wirobrajan, lalu pulang, terus tidur sampai siang. Begitu seterusnya, dan nyaris rutin,” begitu tutur Hari Mul.

Seperti halnya kebanyakan mahasiswa, khususnya anak-anak seni rupa, Faizal kalau bercanda tidak jarang cenderung ngawur dan full kemproh (dengan subyek candaan yang mengarah ke pornografi). Ini menjadi selingan di tengah keseriusan kuliah, sekaligus menyiasati hidup dengan santai.

Hari juga menuturkan bahwa: “Pada dasarnya Faizal kurang suka dengan orang yang sok akrab dan ngelunjak. Meminta lebih dari yang sudah disediakan.” Alumnus Program Studi Disain Komunikasi Visual yang sekarang menetap di Jakarta ini juga menceritakan tentang romantika kehidupan masa-masa kuliah yang satu di antaranya mereka nyaris tiap malam menyantap suguhan dunia audio visual berupa BF. Karena begitu seringnya mereka melakukan aktivitas tersebut, kadang-kadang malah sempat menyewa namun tidak sempat menonton semua kaset BF.

Suatu ketika, teman-teman mahasiswa dari kampus tetangga, yakni anak-anak UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) yang indekos di belakang rumah kontrakan Faizal-Hari Mul bertandang dan numpang nonton BF. Sekali dua kali diijinkan untuk bergabung. Namun, pelahan tapi pasti, lama-lama setiap malam anak-anak tetangga itu selalu datang untuk terus menumpang nonton. Dan celakanya, jumlah mereka kian banyak karena membawa rombongan kawan-kawannya yang lain. Ini cukup merisaukan duo anak ISI tersebut. Pasalnya, kamar “theatre” mereka yang hanya seluas 3 x 3 meter itu diisi oleh 8 orang untuk ramai-ramai menonton BF. Tentu terlalu riuh, sempit, pengap, dan tidak nyaman.

Akhirnya, Hari bertanya pada Faizal, "Piye Zal? Bagaimana, Zal?" Dengan tegas dijawab olehnya: "Wis ben wae. Bocah nek ora iso diatur suwe-suwe nglunjak. Tak rusake sisan." (Biarkan saja. Anak-anak kalau tak bisa diatur lama-lama menuntut lebih. Biarlah, aku rusak sekalian mereka).

Sejak itu, Faizal justru menyewa kaset BF lebih banyak lagi, dan membiarkan anak-anak UMY dan gerombolannya itu nonton sampai pagi. Sementara Faizal dengan santai tapi tekun terus melukis, dan Hari Mul begitu suntuk membaca buku seperti biasa. “Kebiasaan baru” itu berlangsung berhari-hari. "Bocah diwenehi ati malah ngrogoh rempela, wong awake dhewe sewa BF ki kan mung nggo iseng selingan nglukis atau maca buku, lha kok dinggo jujugan..." kata Faizal dengan dongkolnya. (Anak-anak itu diberi hati malah terus minta yang lebih. Kita kan menyewa BF itu sekadar untuk iseng dan selingan melukis dan membaca buku. Kok malah jadi tempat pelarian).

Setelah sekian waktu berjalan, apa akibatnya? Belakangan diketahui, anak-anak UMY itu kacau balau studinya. Ujian mereka banyak yang hancur bahkan di antara mereka sampai berani menyewa PSK dan digilir di salah satu kamar kost mereka dan disaksikan bersama-sama. Dan akhirnya mereka tercerai-berai tak tahu kemana lagi. Ini bener-bener salah satu bukti konkret bahwa BF bisa menggerus mental kurang baik bagi anak-anak muda. Terus, Faizal dan Hari Mul? Ya, mereka tetap berlanjut melukis seperti biasa, konsisten mendesain grafis, tetap membaca buku. Biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Gerak langkah Faizal sebagai seniman lambat laun terus menapaki jalan lempang kesuksesan.

*** 

[Dua: Produktivitas dan Jeratan Pasar] 

PERIHAL relasi Faizal dengan kolektor atau para peminat karya-karyanya pada waktu itu, (lagi-lagi) menurut kesaksian sahabatnya, Hari Mul, juga cukup menarik. Seniman ini bisa dibilang cukup punya sikap dan komitmen yang jelas dalam pola relasi tersebut. Dia tidak dengan mudah dikendalikan oleh kemauan para kolektor yang kurang searah dengan keinginan dirinya. Sepengetahuan Hari saat itu ada masa-masa ketika banyak kolektor hilir mudik mendatangi studio sekaligus rumah kontrakan mereka berdua, dan tidak ada satu pun dari kolektor tersebut yang mampu mendikte Faizal untuk mengharuskan seniman tersebut melukis subyek-obyek berkarya seperti yang mauinya.

Ada posisi yang equal, setara, dalam hubungan antara para kolektor seni rupa dengan sang seniman. Di seberang itu, Faizal bisa dibilang melukis seenak udel-nya sendiri. Bebas dan semau-maunya. Hari Mul mengisahkan sebuah kasus peristiwa ketika Faizal enggan untuk disetir oleh kolektor.

Suatu ketika—dia lupa kapan persisnya peristiwa itu terjadi—Faizal kedatangan kolektor dari luar kota. Kolektor itu berminat untuk mengoleksi lukisannya yang masih dalam proses pengerjaan dan tengah suntuk dituntaskannya saat itu. Menyambut tawaran itu, Faizal hanya bisa mengiyakan. Deal. Sejenak kemudian, sepulang sang kolektor itu dari rumahnya, dengan lekas lukisan yang sudah deal (laku) itu diubah warnanya dengan warna yang berbeda sama sekali dengan saat disaksikan oleh kolektor. Beda 180 derajat! Melihat gelagat “kurang baik” itu, Hari Mul spontan merespon dengan pertanyaan: "Lho, kok diganti warnane, Su?" (“Su” adalah kependekan dari frasa “asu”, anjing, sebuah umpatan keakraban dari seorang teman dekat). Dengan ringan Faizal menjawab: "Ben wae. Aku paling ora seneng nek lukisan durung dadi wis dituku. Nek sesuk ora gelem, ya luweh!" (Biarkan saja. Aku paling tidak suka kalau ada lukisan yang belum tuntas tapi sudah dikoleksi. Kalau besok dia enggan mengoleksi, ya biarkan saja).

Kisah tentang relasi seniman dan kolektor ini memang beragam dan punya perspektif masing-masing. Pada paruh kedua dasawarsa 1990-an, misalnya, ketika di Yogyakarta tengah ada semacam trend para kolektor membeli lukisan secara borongan dan melakukan kompensasi membayarnya dengan material berupa cat minyak, barang-barang elektronika, dan lainnya, Faizal pun tak luput dari gejala ini. Hanya saja, perbedaannya dengan pelukis lain, menurut Hari Mul, seniman ini bahkan bisa “memaksa” seorang kolektor dari Bandung melepas mobil sedan BMW seri terbaru miliknya untuk dipertukarkan dengan lukisan-lukisan Faizal. Ini sempat cukup menghebohkan komunitas seni rupa di Yogyakarta. Lalu, apa komentar Faizal soal itu? "Ya, untuk apa lukisan kok ditukar hanya dengan tape radio? Mbok sekalian peralatan dapur sisan.... hahaha. Kalau aku, mendingan minta mobil. Wong buktine gelem... hahaha... Buktinya dia mau," respons Faizal santai seperti dituturkan kembali oleh Hari Mul. Waktu itu, ada pula pelukis Erica Hestu Wahyuni yang juga melakukan hal serupa dengan Faizal, pun dengan kolektor yang sama. Namun di seberang itu, ada suara-suara yang tidak sependapat dengan keputusan Faizal soal “barter” tersebut karena itu justru akan berdampak pada keluaran karya yang over-production, yang berlebihan, yang belakangan memberi “serangan balik” negatif bagi sang seniman bersangkutan di pelataran pasar seni rupa. Harga karya relatif berpotensi menurun, bahkan merosot, karena seniman kurang mampu mengontrol posisi karyanya yang beredar secara berlebihan di pasar.

Namun, lepas dari problem itu, sejak kemunculan karya-karya Faizal di beberapa pameran, telah menyedot banyak perhatian kolektor. Awal-awal karya-karya Faizal yang direspon baik oleh pasar ketika berpindah tangan ke kolektor Yogyakarta kelahiran Nusa tenggara Timur, Yamin Makawaru namanya. Sejatinya, dia adalah seorang pedagang barang-barang antik. Pelahan-lahan, karya-karya lukisan menjadi subyek material yang dicarinya. Banyak seniman Yogyakarta yang karyanya terkoleksi oleh Yamin. Di antaranya karya-karya Heri Dono. Belakangan, ketika Yamin meninggal, karya-karya seni tersebut banyak dijual oleh keluarganya.

Di samping nama itu, sosok Oei Hong Djien (OHD), tak pelak, menjadi jujugan (tempat bertuju) bagi Faizal—dan sekian banyak seniman muda kala itu. Dalam kunjungan penulis ke kediaman OHD pertengahan Juni 2014, masih ada belasan karya Faizal yang tersimpan dengan baik. Mulai dari lukisan di atas kertas, di atas kanvas, hingga patung (3 dimensi). Karya-karya itu antara lain 2 patung, satu di antaranya berjudul “Girl Called “M” with Green Bird” (1994, painted fiberglass, 57 x 30 x 20 cm), yang dikoleksi OHD saat seniman ini berpameran tunggal antara 1-16 April 1994 di Mirota Kampus, Lantai 2, Jl. Godean, km 2, Yogyakarta. Faizal masih mengingat betul kesuksesan pameran itu dimana kolektor asal Bali, Sutedja Neka (pemilik Museum Neka, Bali), memborong sebagian dari karya yang dipamerkan. OHD sendiri juga masih menyimpan dengan apik lukisan Faizal yang dinobatkan untuk mendapat Penghargaan Karya Lukis Terbaik pada perhelatan Dies Natalis Institut Seni Indonesia VI tahun 1990.

Kolektor senior seni rupa dari Magelang itu memberi apresiasi yang memadai kepada Faizal. Dalam catatan di katalog pameran tunggal seniman itu di Mirota Kampus tahun 1994—yang bertajuk “The Happy World of Faizal”—OHD antara lain menulis: “… Jadi tidak salah kalau dikatakan lukisan Faizal seperti lukisan anak kecil. Karena memang Faizal dalam melukis ingin bebas seperti anak kecil, bebas dari aturan-aturan yang mengikat baik mengenai bentuk, warna, maupun komposisi. Memang demikianlah lukisan Faizal, seperti anak kecil tapi mutunya sering melebihi para seniornya… Seorang pemula dalam bidang seni lukis pun akan dengan mudah mengenali lukisan-lukisan Faizal. Bahkan pengaruh Faizal pada pelukis-pelukis yang lebih muda mulai ada…” Namun pada bagian lain OHD juga mengingatkan seniman ini agar: “… tetap berbenah diri, tidak cepat puas dengan yang sudah dicapai, tekun, berani mencari dan menggali hal-hal baru sambil memanfaatkan pengalaman-pengalaman yang lama, bekerja menurut hati nuraninya yang murni tanpa berpihak kepada pasar, karena pelukis muda sering kandas di tengah jalan justru karena terlalu mudah meraih sukses.” 

OHD, dalam perbincangan dengan penulis (pada 7 Juli 2014), sempat berkisah bahwa dirinya tak jarang mengajak rekan kolektor atau calon kolektor lain ke studio Faizal. Secara terbuka dan jujur pemilik OHD Museum ini juga menceritakan kalau dia dan koleganya mencoba berkunjung ke rumah dan studio seniman yang sedikit lebih senior seperti Heri Dono dan Eddie Hara, dan tidak bertemu dengan mereka berdua, maka kunjungan ke studio Faizal menjadi alternatif utama sebagai penggantinya. Dan dia begitu apresiatif karena Faizal nyaris selalu siap sedia dengan karya-karya yang baru dan menarik, juga karena produktivitas berkaryanya yang relatif tinggi. Apalagi sebagai seniman muda yang baru mencuatkan eksistensi, harga karyanya relatif masih sangat terjangkau dibanding para seniornya. “Ya, sekitar Rp 1 jutaan tiap karya. Bahkan untuk lukisan  yang lebih kecil ukurannya, apalagi yang dibuat di atas kertas, harganya di bawah angka itu,” tutur OHD. Dia kemudian membandingkan dengan harga karya seniman Ivan Sagita yang terbilang paling tinggi kala itu. “Sekitar belasan juta tiap karya, jelas OHD. Maklum, para kurun waktu itu lahir karya-karya puncak Ivan Sagita yang “surealisme ala Yogya” dan menjadi pusat perhatian dalam perhelatan penting seperti Biennale Seni Lukis Jakarta (1989) dan Biennale Seni Lukis Yogyakarta (1990).

Mengenai Faizal, secara lambat laun, terutama setelah pertengahan dasawarsa 1990-an, sepengetahuan OHD ditengarai bahwa produktivitas Faizal yang tinggi sedikit banyak telah dianggap mengabaikan pencapaian kualitas estetik karya. Ini, apa boleh buat, memiliki risiko tersendiri bagi seniman yang kurang mengeksplorasi gagasan untuk berkarya.

Sementara Siswanto, pemilik Mirota Kampus Godean, dalam perbincangan dengan penulis pada 18 Juli 2014 mengisahkan kembali “kisah sukses” pameran tunggal Faizal. Seniman itu memang sudah “diincar” untuk berpameran tunggal di galerinya yang terletak di lantai 2, di atas supermarket yang juga miliknya. Itu merupakan pameran kedua setelah sebelumnya dia menghelat pameran tunggal bagi Nasirun. Siswanto memilih Faizal karena alasan yang sederhana saja, yakni seniman muda itu karyanya bagus dan “manis”, tengah diperbincangkan banyak kalangan, dan relatif masih mudah “dipegang”. Dia sempat ingin juga memamerkan karya-karya Heri Dono yang karakter karyanya serupa dengan karya Faizal, namun sangat sulit karena seniman itu mobilitasnya telah tinggi, sering diundang berpameran di mancanegara. Kolektor lukisan “Berburu Celeng”-nya Djoko Pekik yang menumental ini tidak mengira respons pengunjung dan pasar sangat meriah waktu itu. Dia juga tak menyangka beberapa hari setelah pembukaan, kolektor Sutedja Neka datang dari Bali ke galerinya dan memborong banyak karya Faizal. Bahkan kemeriahan saat pembukaan pameran Faizal tidak kalah dengan saat seniman senior Bagong Kussudiardjo berpameran di tempat yang sama beberapa bulan kemudian.

*** 

[Tiga: Dalam Kepungan Dinamika dan Isme-isme] 

“KELAHIRAN” Faizal sebagai seniman (serta teman-teman seniman segenerasinya) dalam peta seni rupa Yogyakarta pada akhir dasawarsa 1980-an hingga awal 1990-an relatif menarik dan “beruntung” karena makin banyak kompleksitas yang bertumbuh di dalamnya. 

Pertama, ada kontestasi yang cukup seru dalam lanskap seni rupa di Yogyakarta (khususnya) waktu itu. Ada setidaknya tiga kecenderungan kreatif yang mengemuka dalam kanvas para pelukis waktu itu, yakni gaya surealisme (ala Yogyakarta), gaya abstrak, dan gaya naivisme.

Gaya surealisme ala Yogyakarta, seperti yang didefinisikan oleh M. Dwi Marianto dalam buku Surealisme Yogyakarta (2001, halaman 211) adalah: “bentuk pemikiran yang dibangun oleh kondisi-kondisi di mana orang kehilangan kesadaran mereka akan ruang dan waktu, ketika yang tradisional, yang modern, dan supramodern, yang miskin dan yang kaya, yang relijius dan yang sekulre, propaganda-propaganda dan fakta-fakta, masa lalu dan masa kini berdiri berjajaran… melalui absurditas-absurditas dan ketidakkongruenan di sana-sini, seniman surealis Yogyakarta memberi respons atas situasi di mana sikap yang tegas, suara-suara individu dan individualisme tidak memperoleh kesempatan mengartikulasikannya.” Sudah barang tentu, karya-karya seni rupa surealisme ala Yogyakarta ini berbeda dengan surealisme yang jauh-jauh hari sebelumnya pernah muncul di Eropa dan pertama kali dicetuskan lewat publikasi Manifesto Pertama Surealisme oleh Andre Breton tahun 1924 di Paris, Perancis.

Surealisme di Eropa berkait dengan problem psikoanalisa dan psikoterapi. Gerakan ini berakar dari Gerakan Dada yang terbentuk di Jerman, Swiss, dan Perancis pada akhir Perang Dunia I. Estetika Dada sendiri adalah antiestetika. Tujuannya untuk menolak rasionalisme, empirisme, dan khususnya estetika, yang muncul dari aturan sosial, budaya, dan politik, seperti sebab-sebab yang menimbulkan Perang Dunia I. Sementara surealisme dalam seni rupa di Yogyakarta secara ekstrem bisa dikatakan sebagai praktik proses kreatif para seniman yang terpukau pada eksotisme visual artefak karya-karya seni rupa surealisme di Barat sembari “menyimpan dalam laci” (kalau tak boleh dikatakan sebagai mengabaikan) aspek konseptual atas karya-karya tersebut.

Namun, “peniruan-peniruan” atas surealisme Barat tersebut, lambat-laun juga menghasilkan karya-karya yang memiliki nilai substansial karena penghadiran konsep karya yang selaras dengan kondisi dan cara berpikir seniman di sini, seperti relasi karya dengan nilai-nilai filsafat lokal (Jawa, Bali), kearifan lokal, dan sebagainya. Para bintang surealisme ala Yogyakarta waktu itu antara lain Ivan Sagita, Agus Kamal, Lucia Hartini, Efendi, Sucipto Adi, I Gusti Nengah Nurata, Probo, V.A. Sudiro, Totok Buchori, Boyke Aditya Khrisna, dan sekian banyak nama lainnya. Dalam perhelatan Biennale Seni Lukis II Yogyakarta tahun 1990 dan Biennale Seni Lukis III 1992, saya lukis surealisme (ala Yogyakarta) sangat dominan, bahkan mendapat penghargaan sebagai “Karya Terbaik” (sekarang label itu tidak ada lagi). Juga pada perelatan Biennale Seni Lukis VII tahun 1989 di Jakarta.

Gaya seni rupa abstrak juga memiliki massa seniman yang cukup banyak, meski pada akhir dasawarsa 1980-an dan awal dasawarsa 1990-an masih terhimpit oleh kekuatan besar surealisme. Gaya seni rupa ini sudah barang tentu tidak lepas dari pengaruh dan peran penting seniman senior yang juga menjadi staf pengajar fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, yakni Fadjar Sidik. Juga ada Aming Prayitno. Beberapa kelompok seniman muda waktu itu juga mencoba giat menumbuhkan seni rupa abstrak, antara lain, dengan mendirikan ruang seni Gambsa (kependekan dari nama kampung tempat markas mereka, Gambir Sari) yang dimotori oleh Iswanto, Heri Kris, Nyoman Sukari, Putu Sutawijaya, dan beberapa lainnya. Setelah riuhnya surealisme, kemudian, sepanjang patuh kedua dasawarsa 1990-an, seni rupa Yogyakarta banyak diwarnai oleh seni lukis abstrak atau abstrak ekspresionisme. Para perupa muda asal Bali banyak menghidupi kecenderungan visual seperti ini.

Kemudian, di sela dua kecenderungan di atas, tumbuh di Yogyakarta seni rupa gaya naivisme. Secara sederhana gaya ini merujuk pada kecenderungan karya lukis yang secara visual membuat penyederhanaan, pendeformasian, penggubahan kembali dari bentuk-bentuk dan anatomi asli menjadi subyek-subyek yang unik, kekanak-kanakan serta bebas anatomi. Pemahaman ini kurang lebih setara (namun tidak sama persis) dengan definisi tentang Naïve Art yang diperkenalkan oleh Robert Atkins dalam buku “Artspeaks: A Guide to Contemporary Ideas, Movements, and Buzzwords” (1990, page 106): “Naïve art is produced by artsts who lack formal training but are often obsessively committed to their art making. It may appear to be innocent, childlike, and spontaneuous, but this is usually deceptive. Naïve artists frequently borrow conventional compositions and techniques from the history of art, and many maintain a remarkably consistent level of quality.” ("Naïve Art dibuat oleh para seniman yang tidak memiliki pendidikan/pelatihan formal namun sering memiliki komitmen yang begitu obsesif untuk membuat karya seni. Karya itu tampak dibuat tanpa perasaan bersalah, seperti karya anak-anak, dan spontan, tetapi biasanya penuh kejujuran. Seniman Naïve Art acap kali meminjam komposisi konvensional dan teknik seperti yang ada dalam sejarah seni, dan banyak mempertahankan kualitas dengan sangat konsisten.”)

Ada beberapa seniman yang melakukan kerja kreatif dengan pilahan (kurang lebih) naivisme ini. Ada dua seniman muda yang gigih pada pilahan ini, dan sangat menonjol pada kurun dasawarsa 1980-1990-an, yakni Heri Dono dan Eddie Hara—yang sama-sama masuk di FSR ISI Yogyakarta pada tahun 1980. Faizal kemudian juga masuk dalam pusaran pilahan kecenderungan seperti ini. Ada pula nama lain yang kemudian muncul, seperti Erica Hestu Wahyuni, Yuni Wulandari, Pandu Pribadi, dan lainnya.

Tentu sangat sembrono kalau saya katakan bahwa hanya ketiga kecenderungan itulah yang mendominasi pelataran seni rupa di Yogyakarta. Karena di luar pilahan-pilahan tersebut, jagad seni rupa Yogyakarta juga kian dikayakan oleh eksperimentasi-eksperimentasi gagasan dan artefak karya seni rupa dari para seniman, baik di dalam dan di luar kampus. Realitas ini tidak lepas dari Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1974 yang para pemain utamanya adalah para mahasiswa STSRI “ASRI” (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI”, yang tahun 1984 berubah nama menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta). Pengaruh gerakan seni tersebut masih terus menyala di tahun-tahun berikutnya tentu dengan format dan pencapaian artistik-estetik yang berbeda.

Saya tidak tahu pasti, apakah Faizal cukup kuat menyerap gejala eksperimentasi dalam berkarya seni sebagai bagian penting dalam berproses, dan menjadikan Gerakan Seni Rupa Baru sebagai salah satu hal yang inspiratif baginya. Namun, ketika berpameran tunggal di Mirota Kampus Godean tahun 1994, beberapa patung kayu dan fiberglass yang colourful itu dianggap begitu menarik. Setidaknya ada 2 karya patung yang dikoleksi oleh kolektor Oei Hong Djien dari pameran tersebut, dan dia masih memiliki kesan bahwa karya itu begitu menarik perhatian pengunjung karena cara ungkap visualnya unik dan berbeda. Bahkan kolektor ini masih mendisplai koleksinya berupa karpet berukuran sekitar 2 x 2 meter yang didisain oleh Faizal.

Kemudian, di luar perbincangan soal kecenderungan gaya visual para seniman, ada poin berikutnya, poin kedua, yakni mulai ditengarainya gejala internasionalisme pada sebagian seniman seni rupa di Yogyakarta atau Indonesia (dalam cakupan yang lebih luas). Hal penting yang perlu dicatat dalam periode perkembangan ini adalah terjadinya kontak antara seni rupa kontemporer Indonesia dengan seni rupa kontemporer di dunia internasional karena berkembangnya forum-forum seni rupa kontemporer regional, seperti forum-forum seni rupa kontemporer yang berlangsung di Jepang, Australia, serta di negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Gejala “internasionalisasi” melalui forum-forum regional ini memperlihatkan loncatan besar, yaitu pemahaman seni rupa kontemporer yang muncul pada akhir 1990-an setelah internasionalisasi berlangsung sekitar 10 tahun.

Ada beberapa seniman muda yang mulai merangsek masuk dalam perhelatan penting sebagai bagian dari gejala internasionalisme tersebut. Misalnya FX Harsono, Heri Dono, Tisna Sanjaya, Dadang Christanto, dan lainnya yang menjadi seniman peserta dalam Asia-Pasific Triennale of Contemporary Art (APT) di Brisbane, Australia. Lalu sekian banyak seniman yang hilir-mudik bergantian masuk seleksi Fukuoka Triennale, dan lain-lain. Sebetulnya Faizal—dengan kecakapan kreatif-visual dan berbahasa Inggris yang relatif baik—berpotensi untuk masuk dalam lingkaran tersebut. Sayang itu tidak dimanfaatkan meskipun dia sudah mulai hilir-mudik ke mancanegara. Pilihan dan konsentrasi berkeseniannya tampaknya berbeda dengan kecenderungan internasionalisasi yang dialami dan dikejar oleh para seniman seperti yang saya sebut di atas.

Berikutnya, poin ketiga, sejarah mencatat bahwa pasar seni rupa di Indonesia telah mulai bertumbuh dengan cukup kuat. Ini bertalian erat dengan grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bergerak naik. Pengamat dan kritikus seni rupa, Agus Dermawan T. mencatat bahwa tahun 1987—atau setahun setelah Faizal masuk studi di ISI Yogyakarta—dianggap sebagai tahun meletusnya boom seni lukis di Indonesia. Bahkan oleh pengamat dari mancanegara, sampai media massa Le Figaro di Perancis menyebut pasar seni rupa di Jakarta mendekati keramaian seni di Paris. Lebih lanjut, dalam esainya bertajuk “Seni Rupa Indonesia dan Gelombang Ekonomi” yang terangkum dalam buku “Paradigma dan Pasar: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia” (2003, halaman 63-64), Agus Dermawan menulis: “… Pada tahun 1987, di Jakarta saja tercatat 116 pameran terjadi. Ini merupakan kenaikan hampir 40% dari tahun sebelumnya. Frekuensi pameran ini diikuti antusiasme pembelian lukisan. Selama tahun 1988 misalnya, ada sekitar 4.000 lukisan terbeli di ruang pameran resmi…”

Fakta tersebut terus berlanjut. Bahkan, para peminat karya seni itu, yakni para kolektor—yang berjasa mengapresiasi karya seni secara transaksional—telah dianggap hadir sebagai “ancaman”, yakni sebagai “penguasa”. Ini terpapar dalam tulisan Dr. Sumartono, pada buku “Outlet, Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia” (2000, halaman 39): “… Para kolektor kaya, kurang dan lebih, telah menjadi penguasa. Mereka memiliki kekuasaan personal yang sering kali mengalahkan wibawa yang dimiliki oleh seniman, bahkan seniman-seniman senior, kecuali seniman seperti Affandi yang di masa ekonomi sulit di masa lalu tetap seperti magnet yang membuat para kolektor memburu karya-karyanya. Contoh kolektor yang menjadi penguasa dunia seni rupa adalah Ciputra, dan beberapa anak presiden Soeharto. Dalam bursa seni lukis Indonesia VIII yang berlangsung di Hotel Hilton Jakarta, 27-29 Maret 1991, misalnya, Ny. Herdianti Indra Rukmana (Mbak Tutut) diwakili oleh adiknya, Ny. Titiek Prabowo membelanjakan Rp 100 juta lebih dalam satu malam untuk membeli 13 buah lukisan.” Fakta atas kutipan ini niscaya cukup menghebohkan karena angkanya cukup tinggi untuk ukuran kala itu ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar masih dalam kisaran Rp 700-Rp 1.000 perdolar. Harga sebuah lukisan karya Nasirun—sekarang menjadi salah satu seniman papan atas—baru pada seputaran angka Rp 1 juta atau di bawahnya. SPP mahasiswa ISI Yogyakarta waktu itu, bagi angkatan Faizal masih Rp 45.000 persemester, dan baru naik menjadi Rp 90.000 bagi mahasiswa yang masuk angkatan 1988.

Tapi lepas dari soal “ancaman”, “penguasa”, dan sebagainya, kehadiran para kolektor dan situasi pasar seni rupa yang mulai menguat kala itu memberikan banyak hal positif bagi para (calon) seniman. Faizal adalah satu di antara sekian banyak seniman (muda) waktu itu yang makin meyakini bahwa dunia seni rupa adalah pilihan hidup dan pilihan profesi mereka.

Kemunculan Faizal sebagai seniman masuk dalam waktu dan kesempatan yang terdukung oleh banyak hal—seperti yang saya singgung dalam beberapa poin di atas. Galeri-galeri atau ruang seni, baik yang diprakarsai oleh pemerintah dan swasta mulai bertumbuh, kolektor makin banyak bermunculan, dan yang lebih penting, semangat berkompetisi semakin keras antarseniman (terutama di Yogyakarta), menjadikan para pelaku seni dimungkinkan untuk memunculkan pencapaian-pencapaian artistik-estetik yang kuat. Faizal adalah salah satu anak zaman itu yang menjadi rising star di antara rekan-rekan seusia dan dan seangkatannya. Itu bagian dari bakat, keunikan, kerja keras, kedisiplinan dan kemauan untuk menjadi seniman yang berkembang. Pilihannya juga tepat ketika memilih masuk studi di ISI Yogyakarta sebagai strategi untuk menggali dan mengasah potensi yang ada dalam dirinya karena di kampus itu ada situasi yang kompetitif antarmahasiswa berikut dosen yang memberi stimulasi lebih bagi pergerakan kreatifnya, seperti Nyoman Gunarsa, H. Widayat, Fadjar Sidik, Aming Prayitno, Wardoyo (senior), Wardoyo Sugianto, dan nama-nama lainnya.

*** 

[Empat: Pengaruh dan Pencarian Otensititas Diri] 

TITIK menarik dari karya-karya Faizal pada awal-awal kemunculannya terletak pada kebebasannya membuat ekspresi visual dalam kanvas. Di samping gaya naivisme atau naïve art yang memberi pengaruh pada cara pandangnya untuk mengeksekusi gagasan, masuk pula gaya-gaya ekspresi CoBrA dalam karya. Gaya ekspresi yang innocent, yang seenaknya dan tanpa beban dari karya-karya Karel Appel cukup menginspirasi bagi kelahiran beberapa bentang karyanya—terutama pada periode taun 1990 atau sebelumnya. Karep Appel sendiri adalah seniman Belanda, satu di antara 5 anggota CoBrA (Copenhagen, Brussels, dan Amsterdam)—selain Pierre Alechinsky (Belgia), Cornelis Corneille (Belgia), Asger Jorn (Denmark dan Karl Pederson (Denmark). Dalam kunjungannya (beberapa kali) ke Belanda Faizal sempat menyaksikan secara langsung karya-karya Appel yang bertebaran di banyak galeri atau museum—terutama di Stedelijk Museum—yang memungkinkan untuk menimbanya sebagai sumber gagasan bagi karya-karyanya. Hal itu sangat berpengaruh. Karya-karya Appel yang sebelumnya disimak dari buku-buku di perpustakaan kampus pun telah menginspirasinya, apalagi setelah dengan mata kepala sendiri berhadapan langsung dengan kanvas atau dinding yang penuh torehan dan goresan “seenaknya” khas Appel. Pada kurun sekitar 3-5 taun setelah studi di ISI Yogyakarta, keterpengaruhan pada karya Appel begitu terasa. Ini bisa dibuka pada dokumentasi karyanya, seperti lukisan yang bertajuk “Fabulous Animal” (1989, 60 x 80 cm, acrylic on canvas) dan “Bird and Strange Figure” (1990, 100 x 100 cm, oil on canvas). Dan setelah ada pengayaan visual seusai menyaksikan karya Appel di Belanda, karya-karya Faizal cenderung lebih colourful, begitu meriah dengan beragam warna-warna cerah dan cemerlang. Namun goresan-goresan karyanya lambat laun justru melembut, cenderung rapi, tidak seliar dan seekspresif sebelumnya.

Faktor-faktor keterpengaruhan karya Faizal juga bagian dari risiko yang tidak terelakkan dalam studi di jalur pendidikan formal ketika sang pengajar atau dosen juga merupakan seniman yang mumpuni—dan masuk dalam peta seni rupa Indonesia. Dia menyebut Nyoman Gunarsa sebagai sosok yang menanamkan spirit begitu kuat untuk berkarya dengan sebebas-bebasnya. Sementara yang lain, ada sosok Widayat yang karakter visual karyanya juga menyedot perhatian dan secara tidak langsung memberi kontribusi bagi pengayaan bentuk dan komposisi pada karya-karyanya. Demikian pula karya seniman dunia lainnya yang turut menginspirasi, selain kelompok CoBrA, adalah seniman kelahiran Munich, Jerman, Paul Klee.

Ada salah satu contoh menarik yang bisa dijadikan sebagai “medan pertemuan” antara karya Paul Klee, Widayat, dan Faizal, yakni sosok burung. Paul Klee—meski lebih dikenal sebagai penganut ekspresionisme—namun banyak mengawali proses kreatifnya dengan memasukkan alam (botanical imagery) sebagai subjek utama atas karya-karyanya. Alam, di mata kreatifnya, tidak ditelan mentah sebagai sumber gagasan karya, namun lebih dalam dikuliti substansinya, dan gubahan dari hasil olahan perspektif pikirannya itulah yang mucul sebagai karya dalam kanvas. Ini selaras dengan Creative Credo-nya yang termuat dalam buku “Paul Klee: The Thinking Eye” (1961, pages 66-80), yang pada kalimat pertama dengan tegas dikatakan bahwa “Art does not reproduce the visible but makes visible.” Saya bisa menyebut salah satu karya penting Klee yang diduga kuat turut memberi inspirasi pada Faizal, yakni “Lanscape with Yellow Birds” (1923/32). Pada lukisan itu ada tujuh figur burung mungil berwarna kuning. Bentuknya sederhana, namun warna dan penempatan ketujuh burung tersebut membuat aksentuasi yang kuat pada karya itu. Citra-citra flora yang beragam dan banyak mewarnai bidang gambar seperti “ditaklukkan” oleh 7 burung kecil yang warnanya menonjol itu.

Demikian pula dengan figur burung pada karya-karya Widayat. Maestro yang karya-karyanya diklasifikasi oleh para pengamat sebagai “dekora-magis” itu menempatkan citra burung sebagai bagian penting dari sekian banyak karyanya yang begitu dekoratif, penuh dengan pernak-pernik yang dominan pada tiap bentang karyanya. Kadang, citra burung-burung kecil dalam lukisan Widayat justru dilukis dengan kesadaran untuk menempatkannya sebagai elemen dekorasi, seperti halnya sosok pohon-pohon besar yang digambarkan bercabang, beranting dan berdaun dengan gerak visual yang ritmis.

Namun ada pula karya-karya yang menempatkan citra burung dalam jumlah yang proporsional, dan dengan pola penempatan yang cukup menonjol. Lukisan “An Ideal Family” (1978, oil in canvas, 93 x 107 cm) adalah salah satu contoh yang di dalamnya ada 4 sosok burung kecil di antara sebuah keluarga dengan 4 figur. Hanya ada satu ekor burung dengan warna putih yang menonjol dibandingkan dengan 3 burung lainnya yang nyaris sewarna dengan latar belakang karya yang begitu ornamentik. Burung dalam karya Widayat banyak diberi porsi untuk memberi nilai tambah “kemagisan” karya.

Sementara dalam lukisan-lukisan Faizal, citra burung juga menempati posisi dan kedudukan yang menonjol, bahkan penting. Dari awal proses keberangkatannya sebagai seniman muda hingga kini, banyak burung ditempatkan untuk mengisi kanvasnya. Meski sedikit banyak menimba inspirasi sang dosen, Widayat, namun lambat laun citra burung dalam karya-karyanya memiliki titik beda yang sangat spesifik. Bahkan dengan karya-karya seniman lain yang bergaya naivisme.

Pada karya yang dibuat pada kurun 1990-an banyak figur burung muncul “seenaknya” seperti bertengger di kepala perempuan, nangkring di atas anjing, atau seperti diposisikan sebagai “saksi” atas sosok-sosok manusia yang sedang bercinta, dan lainnya. Simak misalnya pada karya yang bertajuk “August’s Dream in Gilli Island” (1991, akrilik di atas kanvas, 75 x75 cm) 

Kini, Faizal juga masih “memanggil” burung-burung itu untuk menemani dan memberi aksentuasi yang khas atas karya-karyanya. Dalam karya-karya terbaru yang juga turut dipamerkan kali ini, tidak sedikit burung diberi porsi untuk beraksi. Misalnya, pada karya “Sang Buddha” (2013, oil on acrylic, 100 x 150 cm). Ada 5 ekor burung dengan deformasi bentuk yang berbeda dengan karya-karyanya yang dibuat belasan tahun lalu. Burung-burung putih itu “bertarung” merebut perhatian dengan bentuk-bentuk ular, dan segala rupa deformasi flora yang rumit, penuh warna, serta bentuk-bentuk benda galaksi di angkasa. Berbeda lagi dengan lukisan “Taman Safari” (2013, acrylic on canvas, 100 x 150 cm) yang juga sangat colourful secara keseluruhan sehingga keberadaan 3 ekor burung sekilas terlihat tapi tidak begitu menonjol karena semua obyek saling berebut perhatian. Pada beberapa karya, dari tahun ke tahun, burung seperti ditempatkan tidak sekadar pelengkap atau ornamen dalam seuah lukisan, namun juga sebagai subyek pemberi simbol tentang kekebasan dan ketakterbatasan. Itu tampak terutama pada karya Faizal saat masih muda. Saya kira, burung-burung dalam kanvas Faizal tak lepas dari keterkaitan dan keterpengaruhannya dari karya sang guru dan inspirator, Widayat.

Pun ketika disimak dari kerangka dasar komposisi karya. Tidak sedikit Widayat memberi pengaruh kepada para mahasiswanya. Misalnya komposisi “lingkaran” di tengah bidang gambar dalam sebuah lukisan. Komposisi ini terlihat, sebagai contoh, pada lukisan “Watching Cockfight” (1979, oil on canvas, 78 x 156 cm). Bertahun-tahun kemudian, sadar atau tidak, kerangka dasar dari komposisi karya seperti itu juga hinggap pada karya Faizal, tentu dengan ekspresi ungkap yang berbeda sesuai dengan karakter karya. Komposisi seperti itu, misalnya, dapat dilihat pada karya Faizal yang berjuluk “Washing Her Hair” (2013, acrylic on canvas, 100 x 150 cm), atau pada lukisan “Go To School” (2013, acrylic on canvas, 100 x 150 cm).

Saya kira, ini sekadar sedikit gejala yang tampak dari proses seniman ini yang untuk membentuk identitas yang khas atas karya-karyanya. Sudah barang pasti tidak ada yang sangat orisinal dalam karya seni dewasa ini—seperti halnya tak ada yang sangat baru di bawah siraman matahari sekarang. Namun, proses terinspirasi dari seniman senior atau seniman idolanya (yang dialami oleh semua seniman) tampak disikapi dengan penuh improvisasi oleh Faizal. Dan ini secara pelahan membentuk otentisitas diri dalam karya-karyanya. Dalam usia kesenimanan yang belum begitu panjang, ayah dari 3 orang anak ini telah sempat memiliki otentisitas diri yang relative kuat, sehingga karya-karyanya memiliki ciri yang khas, lukisannya bergaya “naïf-naif yang Faizal banget”, begitu kira-kira identifikasi itu dibentuk oleh publik seni rupa di Yogyakarta. Dalam usia yang (waktu itu) belum sampai 30 tahun, Faizal sempat menyentuh altar kebintangannya sebagai seniman. Reputasinya sebagai seniman terbentuk, dan pasar begitu riuh merubungnya. Itulah tantangan besar yang menggoda untuk tetap bisa bertahan di level atas, atau lenyap terjerembab justru oleh kemalasan karena kebintangannya itu.

***

KINI, Faizal kembali datang untuk mencoba merangsek masuk dalam peta penting seni rupa di Yogyakarta, bahkan mungkin Indonesia. Situasi dan tantangan telah banyak berubah setelah dia menarik diri dari pusaran hiruk-pikuk seni rupa di Yogyakarta, setidaknya sejak tahun 2000 lalu. Problem personal dan domestik memberi alasan kuat baginya untuk menetap di tanah kelahirannya, Solo. Kematangan psikologis dimungkinkan telah terbentuk setelah suami dari Ike Palupi ini mendapatkan dan bergelut dengan ketiga anak tercintanya: Kenwani Amisani Faizal (atau Keni, kelahiran 8 November 2003), Nalafreja Wanisae (Nala, 28 September 2008), dan Cikalwani Latisae Faizal (Kael, 4 September 2012).

Lalu, apa amunisi yang dibawa Faizal kali ini untuk menyapa kembali publik seni rupa (di Yogyakarta)? Ditilik dari persiapan perhelatan ini, ada sekian puluhan karya-karya dua dimensi (lukis) dan beberapa karya tiga dimensi berupa patung-patung dengan material kayu, perahu bekas, dan juga dua mobil “antik” yang dia garap seluruh penampang luarnya (bodinya). Persiapan yang cukup intensif dalam satu setengah tahun terakhir ini seperti upaya memberi sinyal dan pemahaman baru bagi publik bahwa Faizal tak ingin tenggelam, hilang tanpa jejak, dan dilupakan oleh sejarah seni rupa (Yogyakarta). Ini tentu tak mudah di tengah dinamisnya jagad seni rupa Yogyakarta dan Indonesia.

Setidaknya, ada substansi karya yang beringsut cukup mendasar yang diketengahkan kali ini ketimbang artefak karya yang telah terpapar dan diingat betul oleh publik selama ini. Faizal mencoba mengayakan problem gagasan karya dengan tema-tema yang lebih beragam. Kalau selama ini tema-tema karyanya sangat personal—apalagi pada periode awal dasawarsa 1990-an yang temanya sangat egosentris—maka dalam kesempatan ini tema tersebut berkurang meski tidak hilang sama sekali. Ada tema tentang Buddha, soal penyaliban, hingga lukisan panjang serta patung tentang “apropriasi” atas karya The Last Supper-nya Leonardo Da Vinci yang monumental dan melegenda itu. Tema-tema ini menarik karena sejatinya Faizal adalah pemeluk Islam, sehingga ketika masuk ke tema yang berbau agama di luar Islam, apa yang dicari? Tampaknya kedalaman makna bertema agama tersebut adalah spirit spiritualitas, bukan sekadar religiusitas yang dikejar oleh Faizal. Baginya, spiritualitas itu nilainya satu level lebih tinggi dibanding religiusitas karena spirit hidup manusia itu di antaranya dibangun dengan ketenangan lewat jalan apapun. Dan agama, memang, salah satu jalan (tapi bukan satu-satunya jalan) untuk menemu spirit hidup tersebut.

Ada pula karya tiga dimensi yang instalatif berupa patung-patung kinetik yang menabuh lumpang sekaligus menumbuk padi. Ada instalasi patung perahu-perahu yang colourful berikut nelayannya yang berjajar dalam satu ruang. Karya-karya ini seperti hendak memberi komentar, bersaksi, juga menjadi media peringatan tentang posisi dasar negeri ini sebagai negeri maritim dan agraris. Ada kekayaan di sana yang belum sepenuhnya dieksplorasi.

Faizal juga akan menampilkan dua mobil kuno, merk Morris Ten 1948 dan Ford 1951 yang dilukis dengan gaya khasnya. Selain itu, dia juga mengetengahkan karya seni instalasi tentang sebuah lumbung padi yang dipenuhi oleh tikus-tikus. Ini sebuah narasi tentang Indonesia dalam konteks waktu kini. Seniman ini seperti ini menarasikan tentang wajah perpolitikan Indonesia kontemporer yang penuh dengan intrik, mengeksploitasi segala sumber daya alam untuk kepentingan pribadi dan kelompok, dengan modus Machiavellian atau menghalalkan segala cara.

Narasi dalam karya-karya Faizal kini relatif lebih jelas dan kaya ketimbang karya-karyanya yang dulu. Saya menengarai narasi dalam pengertian yang lebih luas, yakni narasi sebagai perangkat untuk merefleksikan realitas, atau bahkan—bukan tidak berlebihan—sebagai inti pengetahuan. Misalnya keterpautan antara diri (seniman) dengan narasi sosial, maupun diri dengan narasi personal. Keterpautan antara diri dengan narasi sosial, dalam perbincangan kali ini, lebih mengacu pada kecenderungan seniman dalam mengamati, mengalami, dan mengomentari gejala-gejala sosial kemasyarakatan dalam kaitan diri pribadi sebagai makhluk sosial (homo socius). Sementara kaitan antara diri dengan narasi personal lebih merujuk pada penggalian problem diri sebagai bagian yang inheren atau menjadi refleksi dari problem sosial kemasyarakan di sekitarnya. Untuk konteks seni rupa Indonesia, dua wilayah kecenderungan tersebut senantiasa mengiringi perjalanan historik kekaryaan para seniman dari zaman ke zaman. Para seniman ini nyaris selalu memiliki kepekaan untuk menorehkan petanda lewat karya seni rupa sebagai bagian penting untuk memonumentalisasikan semangat zaman (zeitgeist).

Kehadiran narasi dalam karya seni rupa itu sendiri dapat ditengarai dalam struktur dan pola naratif yang dapat simpulkan secara sederhana dalam tujuh poin penting. Pertama, peristiwa naratif bersifat sinekdoce part pro toto, yakni merupakan bagian penting dari keseluruhan peristiwa yang terbangun secara implisit (in absentia atau implisit) dalam benak apresiator (after image). Ini bisa dipahami bahwa sebuah karya bisa saja hanya menampilkan bagian inti untuk mewakili bagian-bagian lain secara keseluruhan. Dari gambar dengan fungsi demikian lantas muncul berbagai asosiasi dalam benak apresiator sehingga kemudian terbangun sebuah kisah secara keseluruhan. Kedua, elemen-elemen visual pembentuk narasi tidak selalu harus hadir seluruhnya secara bersamaan (minimal ada dua elemen yang saling berelasi), misalnya peristiwa, tokoh, setting (latar), waktu, vokalisasi ataupun sudut pandang. Ketiga, di samping elemen visual yang hadir secara inpraesentia, elemen lain bisa muncul secara in absentia. Artinya, di samping kehadiran elemen visual secara langsung, ada kisah yang mengemuka dalam benak apresiator setelah melihat gambar tersebut, entah secara asosiatif maupun denotatif. Keempat, keberadaan judul berfungsi sebagai deiksis atau menjadi petunjuk langsung yang bisa mengindentifikasi peristiwa, tokoh, penokohan, ruang, setting, dan waktu. Meski demikian, keberadaan judul bisa bersifat relatif sehingga, untuk beberapa kasus, tidak mutlak harus selalu ada. Kelima, adanya sudut pandang dan vokalisasi yang berfungsi untuk mengarahkan apresiator kepada pemahaman tematik karya. Keenam, narasi diniscayakan oleh keterhubungan atau relasi antarelemen visual yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, narasi tidak terbentuk jika elemen-elemen visual tersebut tidak menciptakan struktur relasi yang koheren dan melekat satu sama lain. Ketujuh, elemen-elemen visual tersebut secara relatif bersifat simbolik. Struktur dan pola ini kiranya bisa diterapkan untuk membaca dan mengamati dengan jeli kecenderungan karya-karya Faizal ini.

Kita bisa menyimak kini, tema-tema dalam karya Faizal niscaya penuh narasi, namun bukanlah tema yang ingin mengajak apresian untuk mengernyitkan dahi dengan serius dan tegang. Karakter karya Faizal adalah karya seni yang penuh kegembiraan. Maka, tak bisa hilang dari sisi itu, sebagian lain karya yang dipresentasikan adalah karya lukis yang penuh keceriaan. Banyak tema keluarga yang menarasikan situasi keluarga tengah berwisata, menonton pertunjukan sirkus, berlatih naik sepeda, dan lainnya, sebagai subject matter dalam karya. Ini memperlihatkan, sekali lagi, aspek bangunan spiritualitas sang seniman yang tampak sangat dihidupi oleh kehadiran keluarga.

Sekarang, Faizal kembali di atas pelataran seni rupa (Yogyakarta dan Indonesia). Apresian dan waktulah yang akan menguji, yang hendak menjadi Sang Pengadil atas kehadiran seniman ini. Tidak perlu kau dustakan kehadiran ini. *** 

Kuss Indarto, kurator seni rupa. 

Rujukan: 

Alperson, Philip (Ed). The Philosophy of the Visual Arts. New York-Oxford: Oxford University Press, 1992.

Atkins, Robert. Artspeaks: A Guide to Contemporary Ideas, Movements, and Buzzwords. New York: Abbeville Press, 1990.

Dermawan T., Agus, “Seni Rupa dan Gelombang Ekonomi”. Dalam: Paradigma dan Pasar: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, dieditori Adi Wicaksono, dkk. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2003.

Guse, Ernst-Gerhard (Ed)., Paul Klee: Dialogue with Nature, Munich: Prestle-Verlag, 1991.

Indarto, Kuss. “Seni dan Narasi”. Dalam katalog Manifesto: Pameran Besar Seni Rupa Indonesia 2008, dieditori oleh Jim Supangkat. Jakarta: Galeri Nasional Indonesia, 2008.

Kagan, Andrew. Paul Klee: At the Guggenheim Museum. New York: Guggenheim Museum, 1993.

Marianto, M. Dwi, Surealisme Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Merapi, 2001.

Saidi, Acep Iwan. Narasi Simbolik dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi program pascasarjana. Bandung: Program Pascasarjana, FSRD ITB, 2007.

Spanjaard, Helena, dan Oei Hong Djien. Katalog Pioneer Number Four: H. Widayat. Magelang: OHD Museum, 2014.

Sumartono, “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”. Dalam: Outlet, Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000.


Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?