Upaya Menemu Kebaruan
Mok Yan Jong atau wooden dummy bersama patung kayu yang menggambarkan sosok Ip Man. (foto: setyo priyo nugroho)
Oleh Kuss Indarto
24 September 2014 lalu, putri bungsu novelis dan pelukis almarhum Nasjah Djamin, Laila Tifah—salah satu peserta dalam pameran seni rupa ini—membuat catatan pendek yang menyentuh di dinding akun Facebook-nya. Saya ingin mengutipnya secara utuh seperti di bawah ini:
“Jadi semuanya ke Jakarta?” Sepi sejenak, dan aku tidak berani melihat wajah bapakku yang duduk di sebelahku. Sudah beberapa hari kutunda untuk pamitan, dan terpaksa hari ini harus diutarakan karena tiket kereta sudah di tangan untuk keberangkatan besok. Barangkali itu adalah obrolan terakhir antara diriku dengan bapak, beberapa hari kemudian bapak jatuh, tidak sadarkan diri selama dua hari dan berpulang ke rahmatullah.
Bapak memang lebih banyak diam, terlalu banyak diam malah. Keinginannnya agar aku melukis tak pernah disampaikan langsung padaku, tetapi lewat Oom Darto Singo sahabat bapak. Si Oom ini sampai berjanji akan memukulku kalau aku tidak mau melukis, kebetulan aku sempat kost di rumah Oom Darto selama di Jakarta.
Walau sudah dikobarkan semangatnya tapi aku tetap melempem, dengan enggan membeli sekotak krayon dan selembar buku gambar, dengan coretan sekenanya sekedar menyenangkan hati Oom Darto biar nanti disampaikan ke bapak bahwa aku sudah mulai melukis di Jakarta.
Waktu berlalu, menikah, mempunyai anak, waktu tersita dengan pekerjaan domestik. Setelah bapak dan si Oom meninggal, cambuk datang dari suamiku, harus melukis, tidak boleh hanya menjadi ibu rumah tangga biasa, harus ibu rumah tangga yang plus. Keliling Jakarta, hanya mas Syahnagra Ismail yang mau membantu memamerkan lukisanku di Rumah Seni Surya Karbela. Merasa ikut terbakar dengan semangat mas Syahnagra yang menyala-nyala, sampai saat ini aku tetap berharap punya energi berlebih sepertinya.
Dan menjawab pertanyaan bapak dulu,”Jadi semua pergi ke Jakarta?”
“Iya pak, aku tetap pergi ke Jakarta dan sampai saat ini aku tertawan di kota ini, entah kapan balik ke Yogyakarta. Tapi aku sudah melukis dengan senang hati, dan kuharap bapak senyum-senyum bersenang hati dari jauh di peristirahatanmu di bukit Imogiri.”
Catatan di atas bukan saja sebagai “sapaan” pada sang ayah yang—kalau masih hidup—hari itu genap berusia 90 tahun, namun juga sebagai momentum penting bahwa Laila Tifah telah secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai anak yang telah bergegas ingin memenuhi keinginan sang ayah untuk melukis. “Utang sejarah” Ipah pada pengarang novel “Ombak Parangtritis” (1983) dan “Bukit Harapan” (1984) itu mulai tercicil. Bagi Ipah, panggilan karibnya, keputusannya untuk melukis juga didukung antara lain oleh situasi domestiknya yang telah bisa disiasati antara kepentingan demi keluarga dan untuk berkarya. Dan lebih dari itu, saya kira, keputusannya untuk terjun menekuni dunia seni rupa karena ada dorongan yang kuat dari dalam yang—boleh jadi—bersifat genealogis yang memungkinkan “mewujud” sebagai bakat dan spirit untuk berkarya seni.
Praktik berkarya seni menjadi dunia baru yang memberi jeda waktu dan pikiran bagi Ipah atas semua aktivitas sebelumnya yang berbeda dan telah dilakukan bertahun-tahun. Sebagai seorang pekerja, dan kemudian berposisi sebagai ibu rumah tangga, hal yang dilakukannya telah menjadi rutin. Rutinitas yang dikerjakan secara terus-menerus itu kemudian terasa mekanistis, membentuk gerak hidup yang masinal. Dan dalam aktivitas yang mekanistis inilah potensi kreatif sangat mungkin terkurangi, terpenggal, dan bahkan lambat-laun berpendar lalu menghilang. Pada titik penting inilah, tampaknya, dorongan genealogis yang ada dalam diri Ipah seperti mendesak untuk dikeluarkan. Pilihan untuk menjadi pelukis adalah upaya untuk mengaktualisasikan diri keluar dari situasi yang mekanistis. Ada ruang baru yang mesti dikonstruksi dalam diri, cara berpikir, dan imajinasinya untuk melawan rutinitas yang mekanistis itu, juga sekaligus tantangan untuk mengayakan ruang batinnya. Melukis, tampaknya, memungkinkan untuk mengisi tantangan tersebut.
Setelah kurang lebih 10 tahun (nyambi) melukis, Ipah memang masih punya “pekerjaan rumah” atau tantangan besar untuk karib dengan “dunia baru”-nya itu. Itu bukan hal yang mudah. Kita tahu, dalam praktik seni rupa, setidaknya ada dua hal penting yang mesti ditaklukkan, yakni dunia bentuk dan dunia gagasan. Dunia bentuk adalah problem visual, artistik, atau perupaan yang mesti dihayati oleh seniman dari aspek teknis. Mulai dari problem titik, garis, warna, tekstur, komposisi, keseimbangan, kemampuan pendekatan dan pemahaman pada anatomi bentuk, penguasaan atas deformasi, stilisasi objek benda, dan sebagainya. Ini hal mendasar yang secara konservatif mesti dikuasai oleh (calon) perupa. Sementara pada aspek lain, yakni dunia gagasan, seorang perupa diekspektasikan memiliki ide sebagai muatan, atau narasi yang mengandung pemahaman, visi, target goal, bahkan ideologi kreatif yang bisa mengisi aspek visual atas karya yang diciptakannya. Dunia gagasan adalah problem kecerdasan dan kepekaan perupa dalam memberi ruh yang menghidupkan dunia bentuk dalam seni rupa. Dan tugas seniman diidealkan bisa mengintegrasikan dua hal itu dengan selaras. Tentu tak mudah. Tapi itu mesti diagendakan dalam praktik penciptaan oleh seorang perupa untuk mengelak dari kemungkinan dicap sekadar sebagai “tukang gambar” atau, sebaliknya, sebagai “demonstrans” yang kehilangan ruang aktualisasi karena tanpa senjata rupa yang memadai.
***
Dalam dua tahun terakhir, Yoyok memiliki kesibukan dan perhatian yang intens dari pada subjek benda bernama Mok Yan Jong atau wooden dummy. Ini adalah sebuah alat bantu untuk berlatih beladiri ala China seperti Wing Chun atau kungfu gaya lain yang popular di China Selatan, Jeet Kune Do, Choy Lee Fut, dan lainnya. Bentuknya berupa sebuah balok kayu utuh setinggi sekitar 160-170 cm atau setara tinggi manusia (Asia). Pada balok kayu tersebut “tertancap” dua bilah kayu di bagian atas hingga menyeruai tua yangan yang menjurai keluar, dan satu bilah lain ditempatkan beberapa puluh sentimeter di bawahnya. Panjang bilah tersebut sama, sekitar 50 cm. Dan pada bagian paling bawah, ada sepotong kayu yang melengkung yang berada pada ketinggian sekitar 75 cm. Kayu yang melengkung tersebut bentuknya serupa dengan kaki manusia yang berposisi kuda-kuda, seperti gerak manusia yang siap menyerang lawan di hadapannya. Wooden dummy yang posisinya ditanam di tanah sudah berabad-abad lamanya dipergunakan untuk latihan beladiri di daratan China. Berikutnya, disain bentuk wooden dummy yang lebih modern dan praktis dibuat sekitar dasawarna 1950-an oleh Ip Man atau Ip Kai Man, seorang guru besar beladiri Wing Chun yang berkedudukan di Hongkong. Ip Man sendiri memiliki salah satu murid yang kelak menjadi aktor film action legendaris keturunan China: Lee Jun-fan atau yang lebih populer dengan nama Bruce Lee (27 November 1940 – 20 July 1973).
Yoyok, belakangan, mau tak mau harus menguasai cara penggunaan wooden dummy itu seperti halnya para atlet beladiri kungfu atau wing chun berlatih. Teknik menggerakkan tangan di sela 3 bilah di bagian atas wooden dummy, atau menggerakkan kaki berhadapan dengan kayu yang melengkung di bawah akhirnya mesti dikuasainya. Ini melekat relasinya dengan kemampuan baru yang sedang sering dikerjakannya, yakni membuat wooden dummy. Hingga sekarang, sekian banyak wooden dummy telah dibuatnya untuk berbagai perguruan beladiri yang ada di Yogyakarta dan di kota lain.
Karakter wooden dummy karya Yoyok memiliki sisi yang berbeda ketimbang benda serupa yan banyak beredar di Indonesia karena nyaris semua terbuat dari bahan kayu jati yang berkualitas baik. Ada karakter galih atau alur garis tahun dalam tubuh kayu jati yang sangat artistik. Sisi ini sengaja dibiarkan tidak ditutup dengan bahan pelapis kayu seperti pelitur, vernis atau cat yang justru mengurangi dimensi artistik kayu jati tersebut. Apalagi mulai dari proses pembelian balok kayu jati, lalu memotong, melubangi, hingga menghaluskan, semua dilakukannya tanpa bantuan seorang artisan. Ini menjadi pencapaian tersendiri bagi seniman ini karena ada pelibatan rasa yang kuat dengan material karya yang digelutinya. Dalam seni (rupa), saya kira, di samping ada dunia gagasan yang mengedepankan aspek logika atau intelektualitas, idealnya masih menguatkan pelibatan rasa dalam proses mengeksekusi karya lewat tangan seniman. Ini memang urusan ulang alik pelibatan tiga hal mendasar dalam proses penciptaan yang oleh orang Barat diposisikan dalam trilogi 3-H (Head, Heart, dan Hand).
Bentuk kreatif yang dikerjakan oleh Yoyok dalam dua tahun terakhir tersebut menarik karena itu merupakan pergeseran dari tema lain yang sebelumnya juga begitu suntuk ditekuninya, yakni karya-karya bertema tentang senjata AK buatan (orang) Rusia, Kalasnikov. Tema itu merupakan proyek studi akademiknya di jenjang pascasarjana (juga di ISI Yogyakarta), yang diakhiri dengan pameran tungal bertajuk utama “Menjinakkan Senjata” pada tahun 2011.
Memasuki ruang-ruang baru dalam perjalanan kreatif seniman ini sepertinya sebuah keniscayaan yang dilakukan untuk mengelak dari rutinitas panjang yang berakhir dengan praktik yang mekanistis. Inilah upaya pengingkarannya untuk terjebak dalam ruang-ruang lama yang bisa dimungkinkan akan memacetkan kreativitas.
Sebelumnya, pada tahun 2008, Yoyok meraih posisi runner up dalam kompetisi Akili Museum Art Award, Museum Akili, Jakarta, dan memberangkatkannya selama beberapa hari ke China sebagai hadiah dari panitia. Itu menjadi salah satu pencapaian kreatifnya ketika serius dan suntuk dengan karya-karya seni lukis realisme. Sementara juara pertamanya waktu itu adalah Agus Triyanto BR yang kemudian diganjar hadiah berupa studi selama setahun di kampus Akademi Seni Rupa Beijing, China. Enam tahun kemudian, tahun 2014 ini, Yoyok kembali berangkat ke daratan China (persisnya di Hongkong). Kali ini, selama beberapa hari, dia menimba pengetahuan secara langsung tentang wooden dummy dari tempat benda itu bermula.
Seniman ini saya kira juga mencoba masuk dalam kerangka pemahaman yang telah bergeser dalam dunia seni rupa ketika “anything goes” (apapun bisa) menjadi akar dan “ideologi” dalam praktik berseni rupa dewasa ini. Yoyok tidak memasukkan karya wooden dummy ini dalam “kedangkalan” arti harfiah artefak kayu dari aspek keindahan rupanya semata, namun berupaya melampaui mitos-mitos konservatisme dalam meresepsi karya seni, yakni penonton bisa dan berhak untuk berkomunikasi secara fisik dan langsung dengan karya. Ruang-ruang pemahaman yang berbeda (atau baru) dalam praktik menonton karya seni, saya kira, sudah tidak sangat baru karena embrionya telah lama terjadi. Praktik ini menjadikan karya seni tidak berjarak, namun inklusif dan karya seni begitu karib dalam kehidupan sehari-hari. Konteks perbincangan perihal ruang baru di sini tidak sekadar pada praktik dan cara berpikir seniman dalam mengelola ide “sederhana” dan berbeda berikut eksekusinya terhadap beragam material karya, namun juga hingga pada siasat presentasinya di hadapan penonton.
***
Setelah bertahun-tahun menggeluti karya yang berkecenderungan surealistik (ala Yogyakarta), tampaknya, Ivan Sagita telah dijemput oleh titik kritis yang berpotensi mengandaskannya sebagai seorang kreator, yakni stagnasi. Pada titik ini seniman dihadapkan dan ditantang untuk, setidaknya, memasuki dua kemungkinan, yakni involusi atau evolusi atas gerak kreatif karyanya. Dengan involusi, diandaikan bahwa seniman akan tetap menjalani proses kreatifnya dengan tema dan kecenderungan kreatif yang serupa namun akan berkelindan pada titik yang sama atau tak beranjak jauh membuat pencapaian-pencapaian baru yang signifikan. Sementara dengan evolusi, seorang seniman mencoba menyadari titik stagnasi atas pergerakan karyanya, lalu mencari titik kelemahan sekaligus kebaruan yang bisa dimasukkan dalam karya, dan kemudian secara pelahan dan terkonstruksi melakukan pebenahan atas dunia bentuk dan dunia gagasan atas karya-karya berikutnya. Pun ada alternatif ketiga, yakni melakukan penyikapan yang revolusioner atau revolutif atas ritme karya berikutnya. Ini bisa, namun berisiko terlalu besar pada kemungkinan karya yang kehilangan jejak sejarah (ahistoris) dengan karya sebelumnya.
Dalam pengamatan saya, perupa Ivan Sagito mencoba melakukan evolusi atas kecenderungan karya sebelumnya untuk beranjak pada karya-karya berikutnya. Evolusi dilakukan dalam beberapa penerapan seperti membuat pengayaan material/artefak karya. Ivan Sagita tidak sekadar melukis namun juga bereksperimen dengan material berbeda seperti kayu hingga fotografi. Namun hal yang lebih menarik adalah pendalamannya pada tema yang berkait dengan falsafah Jawa. Ivan tampaknya menjumput falsafah “urip sajroning pati” yang masih populer di kalangan masyarakat Jawa. Artinya, “hidup itu diliputi oleh kematian”. Kematian itu nyaris senantiasa berhimpitan datangnya di celah noktah kehidupan. Maka, bagi orang Jawa, mesti siap siaga karena kematian akan sewaktu-waktu menjemput.
Di titik inilah Ivan seperti menemu hal penting dan menjadikannya titik awal untuk menggali fakta sosial kemasyarakatan yang berkait dengan kematian. Seperti halnya seorang antropolog atau ilmuwan sosial, Ivan kemudian banyak terjun ke kawasan Gunungkidul, D.I. Yogyakarta, tempat dimana ada “tradisi” pulung gantung, yakni melakukan aksi bunuh diri karena ada “panggilan sesuatu”—yang memang berkait erat dengan keterhimpitan kondisi sosial ekonomi. Dalam kurun waktu beberapa bulan, Ivan banyak melakukan kunjungan lapangan untuk mengobservasi secara langsung korban bunuh diri, memotretnya, menemui keluarganya, berbincang dengan tetangga atau keluarga dekat korban. Tak ada prosedur yang sangat rigid secara akademis dan ilmiah sesuai kaidah keilmuan, namun Ivan melakukannya dengan cara dan gayanya sebagai seniman dan orang kebanyakan.
Dari fakta dan data yang dikumpulkannya, mulai dari kisah tentang firasat korban, pratanda yang ditangkap tetangga atau orang terdekat sebelum kejadian, hingga foto-foto yang dijepretnya setelah kejadian (dan belum ditangani oleh polisi atau belum dimakamkan), Ivan menjadikan itu semua sebagai bahan baku untuk karya-karya yang akan dibuatnya. Hasilnya adalah dua kali pameran tunggal yang subject matter-nya adalah ihwal kematian, yakni pameran dengan tema “Hidup Bermuatan Mati” yang dihelat di CP Artspace, Jakarta tahun 2005, dan pameran “Final Silence” (2011) di Pulchri Studio, Den Haag, Belanda. Pameran tunggal “They Lay Their Heads on a Soft Place” (2014) di Equqtor Art Projects, Singapura, sedikit banyak juga masih memuat kecenderungan tema yang sama, namun dengan artifak karya yang lebih beragam.
Pencapaian kreatif yang dilakukan Ivan ini, kiranya, merupakan salah sebuah upaya seniman untuk menolak kebekuan subjek tema yang telah sekian lama dirunuti dan berakhir di titik jenuh. Upayanya untuk melawan pengulangan gagasan yang telah mekanistik itulah yang dikerahkan oleh diri Ivan demi menemukan ruang baru, dan kebaruan pandangan agar terhindar dari titik nadir sebagai kreator. Stagnasi gagasan, saya kira, adalah lonceng awal kematian seorang seniman.
***
Kedua, berkait erat dengan dua hal di atas, terjadi peningkatan dan penyebaran aesthetic literacy (pencerdasan estetik) pada banyak perupa yang menjadi konsekuensi linier atas perkembangan seni rupa yang terjadi di luar lingkungannnya. Ini juga koheren dengan cara pandang seniman dewasa ini yang mampu menghargai setiap informasi (well informed) sebagai bagian penting untuk melibatkan diri dalam arus pewacanaan seni rupa yang mutakhir, aktual atau tengah berlangsung. Oleh karenanya, cara pandang berkesenian pun, untuk sebagian perupa di beberapa kawasan yang saya kenal, mulai bergeser tidak lagi menganggap (proses kreatif) sebagai sesuatu yang "adiluhung", yang given karena "menunggu ilham jatuh dari langit", "meniru alam" atau mimesis, dan semacamnya, melainkan juga menjadi sistem representasi intelektualitas, sistem penanda habitus, respons kreatif sebagai homo socius (makhluk sosial), dan sebagainya. Dari sini tentu mulai terlihat titik beda keluaran kreatifnya.
Ketiga, kian menguatnya persentuhan para seniman dengan segala perkara yang berkait dengan teknologi. Pada titik inilah banyak ditengarai adanya kecenderungan sebagian seniman memanfaatkan kelebihan teknologi sebagai alat bantu produksi kreatif hingga memungkinkan munculnya kecenderungan "ideologi" kreatif baru, temuan-temuan "baru", modus kreatif "baru" berikut alat ukur estetika "baru". Dalam kurun yang sama, di seberang itu, kemampuan teknologi tanpa sadar ditempatkan sebagai adiksi baru yang membuat sebagian seniman kecanduan (addicted) hingga memposisikan perangkat teknologi sebagai "berhala kreatif" baru. Kini, komputer (PC, laptop), kamera digital, proyektor, internet, dan semacamnya, telah menjadi perangkat yang inheren dalam konsep dan praktik kreatif banyak perupa.
Keempat, melihat jejaring kerja (networking) sebagai sebuah sistem komunikasi sekaligus strategi kreatif yang penting antar-personal dan antar-komunitas. Dugaan akan pentingnya networking ini memungkinkan, antara lain, mudahnya transfer pengetahuan hingga memunculkan sistem pengetahuan yang lebih baru bagi sebuah komunitas atau personal yang terlibat dan memanfaatkan networking ini. Kalau dicermati lebih lanjut, kita dapat mengendus bahwa pembentukan networking ini telah dilakukan secara intensif oleh para perupa (muda) di Padang, Semarang, Solo, Malang, Surabaya, Makasar, dan beberapa kota lain. Apalagi bagi mereka yang berproses di wilayah yang dianggap sebagai pemegang "garda depan" seni rupa di Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung dan Bali. Mereka membentuk jaring-jaring komunikasi antar sesama (komunitas) perupa di Indonesia, dan juga – tentu saja – mulai melintas melampaui batas-batas disiplin (inter-disipliner) dan geografi sosial-politik (inter-geografis) di luar Indonesia.
Saya kira, dengan berbagai keterbatasan, terasa ada sedikit denyut progresivitas dalam kelompok ini pada pameran kali ini. Kisah-kisah tentang Laila Tifah, Setyo Priyo Nugroho, dan Ivan Sagita kiranya hanya kisah kecil yang kelak akan membesar, atau ada kisah lain yang lebih dahsyat, yang seuanya membincangkan tentang gairah para seniman untuk menemu kebaruan dan kemajuan. Semoga. ***
Kuss Indarto, kurator dan penulis seni rupa.