Karya Iqi Qoror dalam Biennale Jatim #6 - 2015. (foto: Kuss Indarto)
Bisnis.com, JAKARTA—Keterbelakangan penulisan kritik seni rupa di Tanah Air, sepertinya tidak hanya dipicu lemahnya apresiasi seni yang di lakukan khalayak. Namun, lebih condong pada keterbatasan jumlah kritikus seni yang memiliki keterampilan dalam menilai karya seni.
Tercatat, dari era Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) hingga sekarang ini hanya beberapa kritikus seni yang masuk dalam kategori mumpuni.
Sederet nama antara lain S. Sujojono, Trisno Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo Iskandar, Agus Dermawan T., dan Bambang Bujono menjadi tidak asing di telinga. Mereka terbilang jago membuat kritik seni rupa dalam larik-larik kalimat sederhana, tetapi begitu dalam dan jernih mengupas karya seni dan senimannya.
Sayangnya, regenerasi kritikus seni rupa ternyata tidak secepat laju kreativitas para seniman muda. Di sisi lain, penyebab kritik seni rupa seakan berjalan di tempat karena terjebak pada penilaian buruknya karya seni dan fisik karya yang sedang dipajang di ruang pameran. Padahal, inti dari kritik seni tidak sekadar menginformasikan karya, tetapi mendorong penciptaan nilai-nilai yang cocok untuk diapresiasi publik.
Kritikus seni di mancanegara lazim menggunakan beragam teori sebagai pijakan menulis kritik mengingat untuk menilai karya seni tidak melulu difokuskan pada pendekatan estetika. Penguasaan teknis, moral, rekam jejak karya, dan latar belakang seniman adalah elemen yang tidak dapat ditinggalkan dalam menulis kritik seni.
Kebiasaan tersebut ternyata belum seluruhnya dilakukan oleh kritikus di Indonesia. Seni sebagai manifestasi manusia atas ke hidupan dan sekaligus merupakan cerminan diri terhadapnya membuat penilaian karya tidak dapat dilepaskan dari estetika.
Mengapa demikian? Pembahasan estetika tidak akan pernah lepas dari cara pandang yang disepakati pada zaman itu. Singkatnya, penilaian tentang keindahan seni dapat dipastikan selalu berubah dari masa ke masa. Contohnya saja penolakan khalayak terhadap karya pelukis Rembrandt van Rijn pada masa awal berkarya.
Perubahan sistem nilai justru terjadi pada publik yang hidup di zaman yang lebih modern.
Dampaknya, lukisan Rembrandt yang khas dengan teknik chiaroscuro (kontras gelap dan terang) membuatnya diakui sebagi pelukis terbesar di Eropa. Selain itu, pemahaman tentang estetika saja tidak cukup untuk membuat sebuah kritik seni. Kritikus pun dituntut menguasai tema, teknik, latar belakang, ciri khas, dan penjiwaan seniman saat berkarya, untuk memperkaya kritikannya.
Pada tataran ini, kritikus seni memandang proses berkesenian tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang ‘given’atau menunggu inspirasi turun dari langit. Namun, lebih condong kepada kemampuan kritikus untuk mengungkapkan sisi intelektualitas karya seni rupa dan kejeliannya dalam mengamati proses seniman saat memindahkan realitas sosial ke permukaan kanvas.
Setajam apapun kritik seni yang ditulis oleh kritikus perlu dipastikan bahwa tujuannya bukan untuk menyanjung atau mencela. Mengingat kritik adalah suatu upaya untuk menempatkan karya seni dan seniman pada porsinya.
Pentingnya memunculkan nilai baru dalam sebuah kritik seni rupa diakui oleh kurator Kuss Indarto. Menurutnya, kritik seni rupa yang menyentuh esensi penciptaan nilai-nilai tidak dapat dilepaskan dari pergeseran cara pandang dalam berkesenian. Tanggung jawab dari kritikus seni rupa saat ini tidak hanya mempertahankan nilai yang sudah terbangun, tetapi juga memberikan ruang penciptaan sistem nilai baru.
Caranya dengan mengasah kepekaan untuk menangkap ide baru yang terkandung dalam karya seni. Sah-sah saja jika kritikus menemukan nilai-nilai yang justru tidak ditemukan oleh seniman dalam karya yang dibuatnya.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa kritik yang ditulis para kritikus seni bukan harga mati. Kritik seni rupa dimaknai sebagai bentuk penghayatan apresiasi seni yang dapat dijadikan pertimbangan oleh publik. Pertimbangan untuk kemudian bebas menerima menerima atau menolaknya.
Dengan demikian, kritik seni rupa berkesempatan untuk berjalan beriringan dengan laju kreativitas seniman.
Dari tautan koran bisnis edisi 09 Nov 2015:
http://koran.bisnis.com/read/20151109/270/490220/spektrum-bisnis-apa-kabar-kritikus-seni-rupa-indonesia
Bisnis.com, JAKARTA—Keterbelakangan penulisan kritik seni rupa di Tanah Air, sepertinya tidak hanya dipicu lemahnya apresiasi seni yang di lakukan khalayak. Namun, lebih condong pada keterbatasan jumlah kritikus seni yang memiliki keterampilan dalam menilai karya seni.
Tercatat, dari era Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) hingga sekarang ini hanya beberapa kritikus seni yang masuk dalam kategori mumpuni.
Sederet nama antara lain S. Sujojono, Trisno Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo Iskandar, Agus Dermawan T., dan Bambang Bujono menjadi tidak asing di telinga. Mereka terbilang jago membuat kritik seni rupa dalam larik-larik kalimat sederhana, tetapi begitu dalam dan jernih mengupas karya seni dan senimannya.
Sayangnya, regenerasi kritikus seni rupa ternyata tidak secepat laju kreativitas para seniman muda. Di sisi lain, penyebab kritik seni rupa seakan berjalan di tempat karena terjebak pada penilaian buruknya karya seni dan fisik karya yang sedang dipajang di ruang pameran. Padahal, inti dari kritik seni tidak sekadar menginformasikan karya, tetapi mendorong penciptaan nilai-nilai yang cocok untuk diapresiasi publik.
Kritikus seni di mancanegara lazim menggunakan beragam teori sebagai pijakan menulis kritik mengingat untuk menilai karya seni tidak melulu difokuskan pada pendekatan estetika. Penguasaan teknis, moral, rekam jejak karya, dan latar belakang seniman adalah elemen yang tidak dapat ditinggalkan dalam menulis kritik seni.
Kebiasaan tersebut ternyata belum seluruhnya dilakukan oleh kritikus di Indonesia. Seni sebagai manifestasi manusia atas ke hidupan dan sekaligus merupakan cerminan diri terhadapnya membuat penilaian karya tidak dapat dilepaskan dari estetika.
Mengapa demikian? Pembahasan estetika tidak akan pernah lepas dari cara pandang yang disepakati pada zaman itu. Singkatnya, penilaian tentang keindahan seni dapat dipastikan selalu berubah dari masa ke masa. Contohnya saja penolakan khalayak terhadap karya pelukis Rembrandt van Rijn pada masa awal berkarya.
Perubahan sistem nilai justru terjadi pada publik yang hidup di zaman yang lebih modern.
Dampaknya, lukisan Rembrandt yang khas dengan teknik chiaroscuro (kontras gelap dan terang) membuatnya diakui sebagi pelukis terbesar di Eropa. Selain itu, pemahaman tentang estetika saja tidak cukup untuk membuat sebuah kritik seni. Kritikus pun dituntut menguasai tema, teknik, latar belakang, ciri khas, dan penjiwaan seniman saat berkarya, untuk memperkaya kritikannya.
Pada tataran ini, kritikus seni memandang proses berkesenian tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang ‘given’atau menunggu inspirasi turun dari langit. Namun, lebih condong kepada kemampuan kritikus untuk mengungkapkan sisi intelektualitas karya seni rupa dan kejeliannya dalam mengamati proses seniman saat memindahkan realitas sosial ke permukaan kanvas.
Setajam apapun kritik seni yang ditulis oleh kritikus perlu dipastikan bahwa tujuannya bukan untuk menyanjung atau mencela. Mengingat kritik adalah suatu upaya untuk menempatkan karya seni dan seniman pada porsinya.
Pentingnya memunculkan nilai baru dalam sebuah kritik seni rupa diakui oleh kurator Kuss Indarto. Menurutnya, kritik seni rupa yang menyentuh esensi penciptaan nilai-nilai tidak dapat dilepaskan dari pergeseran cara pandang dalam berkesenian. Tanggung jawab dari kritikus seni rupa saat ini tidak hanya mempertahankan nilai yang sudah terbangun, tetapi juga memberikan ruang penciptaan sistem nilai baru.
Caranya dengan mengasah kepekaan untuk menangkap ide baru yang terkandung dalam karya seni. Sah-sah saja jika kritikus menemukan nilai-nilai yang justru tidak ditemukan oleh seniman dalam karya yang dibuatnya.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa kritik yang ditulis para kritikus seni bukan harga mati. Kritik seni rupa dimaknai sebagai bentuk penghayatan apresiasi seni yang dapat dijadikan pertimbangan oleh publik. Pertimbangan untuk kemudian bebas menerima menerima atau menolaknya.
Dengan demikian, kritik seni rupa berkesempatan untuk berjalan beriringan dengan laju kreativitas seniman.
Dari tautan koran bisnis edisi 09 Nov 2015:
http://koran.bisnis.com/read/20151109/270/490220/spektrum-bisnis-apa-kabar-kritikus-seni-rupa-indonesia