Macet


Menatap ruang tunggu bandara Bandar Seri Begawan, Brunei, yang kosong melompong ini seperti menatap sebuah negeri yang miskin dinamika. Tapi juga seperti menyimak keteraturan yang menyehatkan pikiran. Aku tiba-tiba ingin mengunggah pemandangan yang kupotret awal November lalu untuk kukontraskan dengan pengalamanku kemarin sore, Jumat, 4 Des.

Ya, dari sebuah hotel di pusat kota Bandung, sore itu, aku bergerak dengan mobil menuju bandara. Lambatnya minta ampun. Perlu waktu 45 menit untuk menempuh jarak yang pendek, kurang dari 15 km. Satu kilometer dari gedung utama bandara, situasi bikin tambah stres dan panik. Kendaraan hanya bisa beringsut lebih lambat lagi. Lebih cepat kalau jalan kaki. Tapi aku akan lebih repot kalau jalan kaki karena barang bawaan cukup banyak dan tidak ringkas bentuknya. Ya sudah. Ini memang perjalanan penuh doa. Doa agar tidak tertinggal oleh pesawat.

Setelah turun dari mobil lalu mau masuk check in pun tidak mudah. Antri dengan jubelan manusia lagi. Bandara yang mungil untuk ukuran kota sebesar Bandung memang menjadikan jurang kontras-kontras itu kian menganga. Bahkan ketika mau masuk ke ruang tunggu di lantai atas, aduh, antrian panjang kembali membuat panas hati. Satu dua orang ada yang makin panik ketika pesawat yang akan ditumpangi akan siap berangkat sementara mereka maaih terjebak dalam antrian yang mengular. Ribut. Kacau. Manusia-manusia negeri ini yang miskin budaya antri mulai menunjukkan keasliannya. Deretan antrian diterjang. Ada yang marah. Ada yang maklum. Ada yang pasrah.

Ya, bandara-bandara kita adalah salah satu cermin dari transisi perkembangan bangsa ini dari berbagai wajah. Memulai menjadi manusia modern namun belum mampu antri. Mengawali jadi manusia kosmopolitan namun sulit mengelola sampah. Beranjak ingin tertib menjadi manusia berlevel dunia tapi masih menelpon ketika pesawat telah bergerak.

Terima kasih, Bandung, atas kemacetannya. :-)

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?