End Note(s): Sekadar Perca Sketsa Persoalan


Aku dan Heri Dono di depan lukisan karya Muji Harjo, "John Lennon". (foto: suitbertus sarwoko) 

Oleh Kuss Indarto

I/Satu

Ini bukanlah catatan kuratorial. Ini sekadar sketsa sederhana tentang kilasan kisah-kisah kecil dalam seni rupa di sekitar kita, yang menyoal tentang pencarian, inovasi, konsistensi ada pilihan hidup, dan semacamnya. Juga yang berkelebat dalam pameran ini.

Ya, sederhana saja. Seperti halnya dengan pameran ini, yang dirancang dengan singkat, yang hanya perlu waktu sekitar 18 hari (dari perbincangan awal hingga pembukaan pameran). Ketika saya mencari 9 seniman untuk menjadi peserta pameran ini, mayoritas dari mereka semuanya sudah siap dengan karya yang relatif baru. Tujuh seniman sudah dari awal menyatakan bersedia ikut ketika tawaran pameran ini disodorkan. Sedang 2 nama lainnya datang dari “periode” berikutnya setelah nama seniman lain ternyata tidak siap sama sekali. Bahkan, dari mereka yang tidak siap itu, ternyata ada yang mengaku terakhir berkarya (melukis) 3 tahun lalu. Padahal, setahu saya, dunia seni rupa (lukis, khususnya) merupakan pilihan hidupnya.

Realitas singkat itu barangkali bisa menjadi sampel untuk memberi gambaran bahwa sebagian besar seniman atau perupa di Yogyakarta memiliki kesadaran yang baik untuk produktif berkarya. Sebelum berbicara perihal kualitas, aspek produktivitas tak kalah pentingnya bagi seniman. Di sana ada greget, ada passion, ada dinamika yang bergerak dari dasar kesenimanana seorang seniman. Tak mungkin ada greget, passion, atau dinamika dalam diri seniman yang memungkinkan seorang seniman untuk berkarya.

Tak perlu ada godaan pasar yang kuat, apalagi booming seni rupa, untuk memicu pertumbuhan produktivitas para seniman di sini. Ada atau tak ada booming seni rupa, seniman terus bergerak untuk berkarya. Pameran seni rupa terus bergerak. Main market mungkin tengah cenderung lesu. Namun, siapa tau, hidden market, silent market, second market, third market atau apapun namanya, diniscayakan akan terus bergerak mengawal produktivitas para seniman itu. Meski, mungkin, itu semua urusan tangan Tuhan yang bergerak.

Tapi menarik seandainya kita bisa berhitung secara kasar tentang kemungkinan realitas yang ada. Katakanlah, dalam seminggu ada ada 3-4 kali pameran di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Maka, kalau dalam setahun ada 52 minggu, maka sepanjang tahun 2015 ini kemungkinan ada 150-200 erhelatan pameran seni rupa. Kalau dalam tiap pameran ada 10 karya baru yang ditampilkan, maka, dalam setahun ada sedikitnya 1.500 hingga 2.000 karya baru. Ini sebuah ledakan yang tidak bisa dianggap remeh—dari segi produktivitas berkarya. 

II/Dua

Ada nama Rocka Radipa dalam pameran kali ini. Dua karya dihadirkannya di sini. Sisi menarik dalam proses kreatifnya adalah upaya pencarian medium dan tehnik baru dalam seni rupa. Sesuatu yang sebisa mungkin inovatif. Sesuatu yang belum dilakukan, atau setidaknya tidak lazim dilakukan oleh kebanyakan seniman. Dia ingin berkarya dengan modus yang out of the box, keluar dari kotak kebiasaan yang populer di tengah para seniman.

Karya-karya Rocka “dilukis” di depan layar komputer. Ada pengonsepan, pergulatan dalam penerapan konsep, hingga pertarungan antara konsep yang tertata dan sistematis khas disainer (dulu Rocka seorang disainer grafis) dan upaya improvisasi yang spontan berkelebat dalam benak. Lalu, hasil awalnya dicetak di atas kertas. Proses ini dilanjutkan dengan memindahkan citra (image) lewat proses pembuatan etsa, yakni pengasaman di atas medium kuningan dengan bahan FeCl3 (Feri Chlorida 3) dan HCl (Hidrogen Chlorida). Berbeda dengan karya seni grafis (printmaking) yang menggunakan logam kuningan yang dibuat etsa itu sebagai alat pencetak karya, karya Rocka ini justru memanfaatkan logam itu sebagai karya. Di situ ada finishing touch dari seniman untuk melengkapi karya.

Karyanya, tidak saja berbobot dalam pengertian berat secara fisik yang sesungguhnya, namun juga ada bobot nilai yang relatif tinggi karena nuansa inovasinya yang berbeda dengan para seniman lain. Kerja kreatifnya sebagai disainer dan perupa murni menyatu dalam proses-proses berkarya yang tidak sederhana. Hasil akhirnya adalah temuan (baru), bukan sekadar pengulangan-pengulangan kreatif yang telah dilakukan oleh para senima lain selama berabad-abad.

Pencarian pada kebaruan, tampaknya jadi bagian penting dari seorang Rocka Radipa. Tahun 2015 ini karyanya terpilih sebagai Juara III dalam Kompetisi Seni Lukis UOB Indonesia. Kreativitas dan inovasi dalam karyanya menjadi pertimbangan utama yang menjadikannya duduk dalam forum terhormat itu. Dan itu bukan yang pertama. 14 tahun sebelumnya pencapaian yang kurang lebih serupa juga dialaminya. Tahun 2001 itu karyanya masuk sebagai Karya 10 Terbaik dalam kompetisi Indonesia Philip Morris Art Award. Itu cukup mengejutkan karena dalam karyanya juga memain-mainkan kreativitas digital yang diolahnya sebagai sumber kreatif dalam berkarya. Dan, yah, secara personal pun menarik. Waktu itu, identtasnya tercatat dengan nama: Sigit Kurniawan.

Lho, apakah nama Rocka Radipa hanya nama samaran—sepertinya halnya para sastrawan yang acap memakai nama pena yang berbeda dengan nama sesungguhnya? Bukan! Rocka Radipa adalah nama barunya yang sudah dilegalisasi lewat proses peradilan yang memakan waktu bertahun-tahun dan memakan dana tidak sedikit. Ya, identitas (baru) Rocka Radipa adalah bagian dari pemberontakan, kreativitas, dan inovasinya. 

III/Tiga

Satu-satunya sosok perempuan dalam pameran ini adalah Mita. Camelia Mitasari Hasibuan lengkapnya. Kalau menyimak sekilas karya-karyanya dalam beberapa tahun terakhir ini, termasuk dalam pameran ini, publik seni rupa niscaya akan langsung membuat definisi: surealisme. Atau surealisme khas Jogja. Ya, surealisme khas Jogja masih tumbuh subur dalam karya Mita, meski ini—bisa jadi—dianggap mulai out of date atau ketinggalan zaman.

Era keemasan surealisme Jogja itu berada di ujung akhir dasawarsa 1980-an dan berpendar hingga paruh pertama dasawarsa 1990-an. Uniknya, surealisme gaya Jogja sama sekali tidak ada pertalian historisnya dengan surealisme yang berawal dan berkembang di daratan Perancis dan menyebar di Eropa. Taka da kaitannya dengan kredo dan konsep surealisme yang pertama kali ditahbiskan oleh Andre Breton. Sama sekali bukan. Surealisme khas Jogja berawal dari kekaguman pada eksotime visual surealisme khas Eropa, dan lalu diserap begitu saja tanpa pendalaman konseptual. Konsep-konsep itu bermunculan kemudian setelah karya itu jadi dan berkembang dalam tema-tema tertentu dan ada tuntutan akademis demi hal itu. Ada bintang-bintang surealisme khas Jogja waktu itu, mulai dari Lucia Hartini, Ivan Sagita, Agus Kamal, Totok Buchori, hingga deretan seniman yang relatif lebih muda, termasuk Husin Hasibuan, ayah Mitasari Hasibuan.

Lalu, ketika surealisme sudah dianggap menjadi bagian dari sejarah di lipatan waktu dasawarsa 1980-an dan 1990-an, apa yang masih bisa diperjuangkan dari dan lewat karya yang berkecenderungan srealisme itu? Itulah tampaknya agenda kreatif yang perlu diangkat tinggi-tinggi oleh Mita. Apapun, perlu ada “cantolan” ideologis yang perlu dijadikan rujukan ketika “bertahan” dengan karya yang teridentifikasi sebagai karya “surealisme khas Jogja”. Ini bukan untuk mengekang kreativitas, namun justru memberi penegasan dan sikap bahwa karya-karya yang menarik semacam ini mesti tetap bisa mencuri perhatian, dan selayaknya mencari porsi terhormat dalam peta seni rupa dewasa ini. Ada pola kerja craftsmanship yang tidak sedethana dan tidak semua seniman mampu melakukannya. Dan ini yang mesti disadari oleh Mita sebagai sebuah kelebihan. Gaya pelukisan “surealisme” yang muncul hari ini, sebaiknya, bukan memakai pola dan gaya yang ada pada surealisme gaya Jogja 20-an tahun yang lalu. Mita perlu mengonsep ulang dengan lebih dalam dan tegas, sehingga kelak akan muncul “Neo-Surealisme khas Joga” atau apapun istilahnya, yang mengindikasikan bahwa itu sebuah pencapaian dan kebaruan. Tidak mudah, namun juga tidak mungkin. 

IV/Empat

Nama-nama seniman lain dalam pameran ini: Ahmad Sobirin, Andy Firmanto, Laksamana Ryo, Muji Harjo, Rusnoto Susanto, Widaya, Yaksa Agus, semua memiliki kekhasan masing-masing, baik dalam gaya dan pola visualnya, laku proses kreatif, hingga pencapaiannya. Namun, dalam keterbatasan ruang ini tak bisa saya bicarakan satu persatu.

Saya hanya ingin sekilas mengingatkan tentang Ahmad Sobirin yang kali ini asyik mengapropriasi atau memelesetkan dengan sekenanya sendiri karya pionir impesionisme Eduard Manet, Andy Firmanto dengan pencarian karya absraknya, Rusnoto Susanto yang karya abstraknya tampak spiritualistik dan tak riuh dengan warna-warni. Lalu Widaya, seniman Magelang yang konsisten untuk ekspresif memindahkan realitas alam menjadi realitas artistik di kanvasnya, dan Yaksa Agus yang kali ini ingin kembali menggali kemampuannya akan mengeksplorasi garis lewat penyusunan wajah-wajah yang mungil dalam kanvas.

Semua punya kekhasan. Masing-masing seniman memiliki kemampuan dan potensi untuk berkembang. Di sisi lain, masing-masing seniman (dengan karyanya) tidak menutup kemungkinan untuk dimirip-miripkan dengan karya seniman lain, meski hal ini menjadi tidak fair karena kalau ditelisik lebih dalam, tiap-tiap seniman itu niscaya memiliki otentisitas dalam dirinya—yang pasti beda dengan seniman lain. Namun hal positif dari praduga “negatif” seperti ini adalah energi dan hasrat senima untuk lari dan menyangkal dari praduga itu. Tentu dengan kreativitas. Inilah hal yang perlu diagendakan oleh para seniman: mencari hal baru, inovatif, menolak pemiripan dengan karya yang sudah ada, dan kemampuan untuk keluar dari kotak mainstream. Di titik ini, saya kira, kalimat Dr. Martin Luther King pantas untuk diingat-ingat yang disesuaikan dalam kontek seni rupa, yakni: “Tidak semua orang bisa menjadi orang nomor satu, tapi setiap orang mempunyai kesempatan untuk menjadi orang hebat.”

Ya, Anda tak perlu menjadi bintang, namun layak untuk memberi kontribusi kemajuan bagi seni rupa dan diri Anda sendiri. Kenapa tidak? *** 

Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa, pendiri situs www.indonesiaartnews.or.id

(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran seni rupa "End Note(s)" yang berlangsung 23 Des 2015 s/d 23 Jan 2016 di Banyu Bening House of Painting, di Jl. Badrawati no. 10, Borobudur, Magelang)


Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?