In Memoriam Hendro Suseno: Siluet di Balik Layar

Kuss Indarto

Sing sapa kang ngeling-eling pati
ingkang bisa mati jro ning gesang
tinetah supaya teteh
titah ing Hyang Mahagung
kudu eling ing dalem pati
petitis ing kasidan
uripe linuhung
sebab uripe prasanak pati
lawan pati urip tan kenaning pati
yeku dat ing hyang Suksma

Barang siapa ingat akan kematian
barang siapa dapat mati sambil hidup
barang siapa menerima bimbingan agar menjadi jelas baginya
segala peraturan Yang Maha Agung
barang siapa dengan jelas melihat kesempurnaan
hidup orang itulah luhur
karena hidupnya berkaitan dengan kematian
yang sekaligus hidup tunduk kepada kematian
artinya hakikat Hyang Suksma

(Serat Centhini II pupuh 64, bait 234, disusun dalam tembang Dandanggula)

Akhirnya, kematian menjadi jalan terbaik pilihan Tuhan untuk diberikan pada perupa Drs. R. Hendro Suseno. Selasa dini hari, 13 Juni 2006 sekitar pukul 00.30 WIB, perupa kelahiran 24 Oktober 1962 ini kembali ke sangkan paraning dumadi, muasal segala keberadaan, dalam usia 44 tahun. Kematian menjadi jalan terindah untuk menyempurnakan hidupnya, menuju suwung awang-uwung seperti dalam kosmologi Jawa. Penyakit diabetes akut yang selama empat bulan terakhir menyergap, tak kuasa ditahan oleh tubuhnya yang tak lagi terlalu kokoh, juga oleh spirit hidupnya yang masih tampak sangat kukuh.

Masyarakat seni (rupa) Yogyakarta kehilangan. Tak berlebihan, karena selama bertahun-tahun, peran-perannya yang tak terlalu diperhatikan banyak pihak, sedikit banyak telah memberi sumbangan bagi dinamika seni (rupa) di tlatah Yogyakarta. Mungkin tak gigantik capaian atas sumbangannya itu, tetapi barangkali itulah pilihan garis dedikasi yang terus ditekuni dan diyakininya. Inilah bagian penting dari risiko yang melekat dari posisi sosok Hendro Suseno yang acap bergerak di balik layar. Dia mungkin tak lebih dikenal ketimbang teman-teman seangkatannya di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia, sekarang SMKN 1 Yogyakarta) dulu semisal aktor Butet Kertaradjasa, kurator Suwarno Wisetrotomo, atau koreografer Bimo Wiwohatmo, pun penulis Sunardian Wirodono. Sehingga, mafhumlah andai menyeruak sebaris tanya: siapa Hendro Suseno?

Tanpa bertendensi untuk membangun heroisasi picisan, sebenarnya Hendro Suseno, bagi saya, merupakan sebuah “lembaga seni (rupa)” tanpa lembaga formal profesional. Dia bisa tampil sebagai seniman dengan karya visualnya pada satu waktu. Pada lain kesempatan, dengan mobilitas vertikal dan horizontalnya yang telah terbangun dengan baik, bujangan ini mampu tampil sebagai event-organizer bagi banyak perhelatan seni yang bermutu. Di sinilah posisinya sebagai mediator begitu terasah untuk, antara lain, menjembatani antara kolektor “yang tergagap-gagap” dan seniman yang “bergagah-gagah” dalam melakukan ritus pertukaran nilai. Bahkan dalam beberapa perhelatan seni rupa, praktik kuratorial tak jarang telah dilakoninya dengan baik, meski tidak dengan serta-merta publik menyebutnya sebagai kurator. Dalam format tersendiri, putra ketiga pasangan RM Saronosuwiryo dan Suyatmi ini menjelma menjadi “lembaga sosial seni” bagi rekan-rekan seniman yang berkekurangan dalam banyak segi. Pendeknya, “lembaga Hendro Suseno” telah sekian tahun bergerak memberi warna tersendiri bagi geliat seni di kota Yogyakarta – sekecil apapun pengakuan publik terhadap fakta ini. Lembaga formal profesional jelas tak akan pernah terwujud dari dirinya karena justru ritus kesenimanannya yang “kontra-rutinitas” tak memungkinkan – dan menolak – melangkah ke arah itu.

Dari dirinya muncul banyak gagasan kreatif yang terimplementasikan sebagai perhelatan seni yang “ngawur”, nothing to lose, dan unik, tanpa menggamit tendensi sensasi. Misalnya ketika kalangan seniman, budayawan, dan akademisi mempersembahkan acara megah “Pak Kayam Pamit Pensiun” pada 16-17 Juni 1997 di Purna Budaya. Beberapa hari berselang dia “menyodorkan” pantomimer Jemek Supardi untuk melakukan aksi pantomim jalanan mulai dari boulevard UGM hingga ke Benteng Vredeburg di ujung selatan Malioboro dengan menumpang kendaraan forklift yang disewa secara bantingan. Aksi ini, yang bertajuk “Pak Jemek Pamit Pensiun”, kiranya menjadi sebuah aksi resistensial yang sengaja disandingkan untuk menyitir ketersingkiran seniman “kecil” yang telah sekian tahun suntuk berkarya dan dengan begitu lekas dilenyapkan oleh waktu dan kealpaan. Bagi Jemek sendiri, itu merupakan capaian kreatif yang belum terpikirkan sebelumnya. Duet Hendro-Jemek ini kemudian berlanjut dengan aksi pantomim di permakaman umum di belakang Purawisata Yogyakarta. Mereka menggagas bersama untuk kemudian Jemek tampil sebagai “jenazah” di peti mati yang siap dikuburkan.

Pada lain kesempatan, sekitar tahun 1998, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta berhasrat untuk melakukan penggalangan dana untuk penguatan organisasi profesi tersebut. Hendro disambati, melakukan praktik kuratorial, pendekatan personal dengan seniman dan kolektor, dan akhirnya pameran di Bentara Budaya Yogyakarta dapat mengantungi dana bersih hingga ratusan juta rupiah. Tentu bukan faktor pasar yang cermati di sini, melainkan faktor kejelian dan jenialnya sosok alumnus Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta ini dalam menyeimbangkan antara memilih seniman dan karya dengan citra estetik yang baik dan menggandeng pasar yang masih tergagap. Bukan dengan mempertajam dualisme “pasar dan wacana” yang seolah tanpa titik temu.

Dari dirinya muncul banyak gagasan kreatif yang terimplementasikan sebagai perhelatan seni yang “ngawur”, nothing to lose, dan unik, tanpa menggamit tendensi sensasi. Misalnya ketika kalangan seniman, budayawan, dan akademisi mempersembahkan acara megah “Pak Kayam Pamit Pensiun” pada 16-17 Juni 1997 di Purna Budaya. Beberapa hari berselang dia “menyodorkan” pantomimer Jemek Supardi untuk melakukan aksi pantomim jalanan mulai dari boulevard UGM hingga ke Benteng Vredeburg di ujung selatan Malioboro dengan menumpang kendaraan forklift yang disewa secara bantingan. Aksi ini, yang bertajuk “Pak Jemek Pamit Pensiun”, kiranya menjadi sebuah aksi resistensial yang sengaja disandingkan untuk menyitir ketersingkiran seniman “kecil” yang telah sekian tahun suntuk berkarya dan dengan begitu lekas dilenyapkan oleh waktu dan kealpaan. Bagi Jemek sendiri, itu merupakan capaian kreatif yang belum terpikirkan sebelumnya. Duet Hendro-Jemek ini kemudian berlanjut dengan aksi pantomim di permakaman umum di belakang Purawisata Yogyakarta. Mereka menggagas bersama untuk kemudian Jemek tampil sebagai “jenazah” di peti mati yang siap dikuburkan.

Dalam perhelatan-perhelatan yang dilakoninya itu, sekali lagi, Hendro relatif tersamar kehadiran dan perannya. Barangkali dia sekadar siluet yang sesekali berkelebat dalam layar (seni rupa Yogyakarta) yang terus bergerak dengan segenap kompleksitasnya. Oleh publik dia tak terlacak kebintangannya, tapi sekadar jejak kerja kreatifnya yang mungkin membekas, atau mungkin lenyap tanpa tilas. Kemampuan untuk membendung diri agar tidak tampil sebagai bintang atau lakon utama pantas digarisbawahi oleh banyak seniman dewasa ini yang saling berebut membintangkan diri. Tak berlebihan kalau hal ini merupakan “asketisme estetik” tersendiri.

Barangkali nama Hendro Suseno tak akan banyak masuk dalam berbagai pemetaan seni (rupa) ke depan. Itu sekadar soal politik kesenian yang bisa dikonstruksi berulang-ulang oleh siapapun. Namun, dalam pergaulan sosial kesenimanan di Yogyakarta, tak ayal, kita kehilangan figur seniman yang jarang marah, humoris, suka “iseng”, enthengan, dengan kesadaran sosial yang amat kental.

Mas Hendro, selamat jalan. Tetegna atimu, aja mandheg, aja noleh. Ing ngarep kana ana dalan padhang mulya linuwih, pepadhang, pepadhang, pepadhang! Kuatkan hatimu, jangan berhenti, jangan menoleh. Nun di depan ada jalan yang lebih mulia, benderang, benderang, benderang!

***

Catatan ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Minggu, 18 Juni 2006.

Kuss Indarto, salah satu sahabat almarhum.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?