Suhu
ADA dua benda kotak seperti
ini (lihat foto) kutemui di sudut-sudut ruangan Kunst Historiches Museum, Wina,
Austria. Pasti jumlahnya lebih banyak dari yang kuamati dan aku lalai
memperhatikan satu persatu. Namun ketika masuk di sebuah ruangan~~yang berisi karya-karya
lukis salah satu bintang di era renaisans, Peter Paul Rubens~~kotak ini mencuri
perhatianku.
Sembari memperhatikan, kudekati salah satu penjaga museum dan kubisikan
pertanyaan. Menurutnya, benda ini adalah indikator suhu ruangan. Tugasnya mencatat
pergerakan suhu ruangan terus-menerus, selama 24 jam sehari. Perangkat ini
diinterkoneksikan dengan bagian kantor yang juga memantau situasi museum
terus-menerus. Kalau suhu ruangan melebihi atau kurang dari standar suhu ideal
yang mereka tentukan, alarm akan bunyi sebagai tanda untuk direspons dengan
tindakan.
Saat berkunjung ke museum tersebut pertengahan Juni ini, musim semi di Eropa tiba, dan suhu relatif tinggi untuk ukuran Benua Biru, yakni antara 21-24 derajat Celcius di siang hari. Malamnya sih bisa terjun sampai 14-17 derajat Celcius. Suhu-suhu sekarang tersebut masih masuk dalam batas toleransi, bahkan ideal, bagi keamanan kondisi lukisan. Tak akan ada alarm untuk memberi peringatan. Namun kalau sudah dianggap terlalu panas, mesti perlu tindakan untuk mendinginkannya. Sebaliknya, bila terlalu dingin, mesin pemanas ruangan segera dinyalakan untuk menghangatkannya.
Suhu yang relatif rendah di Eropa diduga memungkinkan keawetan bagi lukisan. Permukaan cat pada lukisan tidak cepat meretak. Kelembaban yang rendah juga tak mempercepat berjamurnya kanvas atau cat minyak. Barangkali kondisi alam seperti ini yang mengawali pembuatan cat minyak dan material seni rupa yang cocok untuk di Eropa. Meski tentu itu semua juga bergantung pada aspek lain, yakni kemampuan mengelola dan merawat.
Kita bisa menilik pada karya puncak Raden Saleh bertajuk "Penaklukan Diponegoro" (The Arrest of Diponegoro, 1857). Karya tersebut saat ini (setidaknya seperti yang saya lihat di pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasiinal Indonesia awal tahun 2015) kondisinya mulai memprihatinkan. Keretakan pada permukaan cat makin banyak, pun dengan jamur yang bertabur pada beberapa bagian. Menurut beberapa sumber, saat dikembalikan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda tahun 1976 (atau 1973?) Kondisinya masih sangat bagus. Cling banget. Apakah Raden Saleh dulu tidak memakai bahan yang sangat berkualitas? Atau memang suhu di sekitar ruang penyimpanan karya itu tak pernah dikontrol sama sekali? Saya tidak tahu.
Baiklah. Apapun, tampaknya perangkat seperti tampak dalam foto ini sudah layak untuk dimiliki dan dipergunakan secara serius oleh lembaga yang bertautan dengan benda-benda bersejarah semacam lukisan dan lainnya. Ini demi warisan sejarah. Mari kita pikirkan. Salam hangat! ***
Saat berkunjung ke museum tersebut pertengahan Juni ini, musim semi di Eropa tiba, dan suhu relatif tinggi untuk ukuran Benua Biru, yakni antara 21-24 derajat Celcius di siang hari. Malamnya sih bisa terjun sampai 14-17 derajat Celcius. Suhu-suhu sekarang tersebut masih masuk dalam batas toleransi, bahkan ideal, bagi keamanan kondisi lukisan. Tak akan ada alarm untuk memberi peringatan. Namun kalau sudah dianggap terlalu panas, mesti perlu tindakan untuk mendinginkannya. Sebaliknya, bila terlalu dingin, mesin pemanas ruangan segera dinyalakan untuk menghangatkannya.
Suhu yang relatif rendah di Eropa diduga memungkinkan keawetan bagi lukisan. Permukaan cat pada lukisan tidak cepat meretak. Kelembaban yang rendah juga tak mempercepat berjamurnya kanvas atau cat minyak. Barangkali kondisi alam seperti ini yang mengawali pembuatan cat minyak dan material seni rupa yang cocok untuk di Eropa. Meski tentu itu semua juga bergantung pada aspek lain, yakni kemampuan mengelola dan merawat.
Kita bisa menilik pada karya puncak Raden Saleh bertajuk "Penaklukan Diponegoro" (The Arrest of Diponegoro, 1857). Karya tersebut saat ini (setidaknya seperti yang saya lihat di pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasiinal Indonesia awal tahun 2015) kondisinya mulai memprihatinkan. Keretakan pada permukaan cat makin banyak, pun dengan jamur yang bertabur pada beberapa bagian. Menurut beberapa sumber, saat dikembalikan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda tahun 1976 (atau 1973?) Kondisinya masih sangat bagus. Cling banget. Apakah Raden Saleh dulu tidak memakai bahan yang sangat berkualitas? Atau memang suhu di sekitar ruang penyimpanan karya itu tak pernah dikontrol sama sekali? Saya tidak tahu.
Baiklah. Apapun, tampaknya perangkat seperti tampak dalam foto ini sudah layak untuk dimiliki dan dipergunakan secara serius oleh lembaga yang bertautan dengan benda-benda bersejarah semacam lukisan dan lainnya. Ini demi warisan sejarah. Mari kita pikirkan. Salam hangat! ***