Mengejar Hasrat, Menghajar yang Membebat
Lukisan karya Prayitno, "Efek Kuasa", 130x140cm, acrylic on canvas, 2014.
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini telah dimuat dalam katalog pameran "Hajar Bro" yang dihelat oleh Matahari Art Community dan berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, 13 Januari 2016)
MATAHARI Art Community ini, bagi saya, memberi tambahan pemahaman tentang beragamnya asal-usul sebuah komunitas seni atau art group. Pertalian antar-anggotanya (yang terdiri dari Argo Nunggal, Iwan Hasto, Prayitno, Ulilgama, Wisnu Baskoro) mungkin dibentuk oleh “kohesi romantisme geografis”. Entahlah, tepat atau tidak istilah saya tersebut, tapi realitasnya terlihat bahwa para anggota komunitas ini terdiri para pekera seni atau seniman yang semuanya berasal atau pernah mengenyam kehidupan dan studi di kawasan yang sama, yakni Yogyakarta. Kini, mereka berlima juga berada atau terdampar dalam kota yang sama: Jakarta. Mereka memiliki kesibukan dan pekerjaan yang kurang lebih sama, dan kemudian menyisakan energi yang berlebih untuk berkarya—di luar rutinitas kesehariannya.
“Kohesi romantisme geografis” ini—atau apapun namanya—mungkin juga terjadi dan terbentuk pada komunitas lain di kawasan atau kota berbeda. Ini seperti sebuah kelaziman alamiah yang terjadi di mana-mana. Dan ini juga sebuah pengayaan. Setidaknya dari pengamatan saya selama ini tentang keberadaan komunitas seni yang (pernah) hidup, berproses, bertahan, dan berprestasi di kawasan Yogyakarta (dan mungkin terjadi pula di tempat lain) yang kemunculannya disebabkan oleh banyak kemungkinan. Pertama, ada komunitas yang terbangun karena aspek “kohesi etnisitas” (ikatan kesukuan). Ini terlihat dari, sebagai misal, Komunitas Seni Sakato yang mengikat jalinan batin seniman asal Minangkabau, atau Sanggar Dewata Indonesia yang disemangati oleh aspek ke-Bali-an antar anggotanya. Pun dengan komunitas seni Muara (almarhum) yang mayoritas anggotanya terikat oleh “spirit” kedaerahan bumi “Palembang” (atau kawasan seputar Sumatra Selatan). Juga kelompok-kelompok lain.
Kedua, komunitas seni yang dibangun oleh “kohesi estetik” lewat kebersamaan dalam penggalian spirit pilihan dan kecenderungan kreatif tertentu. Inilah yang kira-kira mendasari kelahiran Kelompok Seni Jendela (meski secara kebetulan semua anggotanya juga ada kohesi etnik Minangkabau). Di antara anggota kelompok ini ada semacam tali ikat yang menyatu karena sama-sama menggumuli cara berpikir kreatif yang menggagas dan menelurkan karya visual yang tidak mengindahkan tema-tema sosial kemasyarakatan dan semacamnya, namun lebih menyoal pada eksplorasi ide-ide visual yang melampaui konservatisme (bentuk). Dalam ranah yang kurang lebih sama, sempat ada juga komunitas seni Apotik Komik yang sekarang telah bubar. Komunitas ini mendasarkan diri jalinan kreativitasnya dari ketertarikan antar anggotanya pada genre komik (konsep dan visualnya) sebagai titik berangkat atas proses penciptaannya.
Ketiga, adanya “kohesi ideologis”, yakni munculnya komunitas seni yang mengindikasikan aspek ideologi tertentu sebagai dasar praktik penciptaan, sikap politik kesenian dan sumber gagasan kreatifnya. Ini terlihat pada diri kelompok Taring Padi yang sempat berdiri beberapa bulan setelah rezim Soeharto runtuh dan “konon” masih bergerak hingga hari ini. Kelompok ini menyepakati ideologi yang disebut oleh sementara pengamat sebagai penganut ideologi “realime sosialis”. Ini tak jauh berbeda dengan senior mereka, yakni sanggar Bumi Tarung, yang pernah tumbuh dan berpengaruh kuat pada dasawarsa 1950-an. Beberapa pengurus serta anggotanya (Amrus Natalsja, Djoko Pekik, Misbach Thamrin, dan sosok-sosok lainnya) masih hidup dan sesekali berpameran.
Keempat, adanya “kohesi kolegial-akademis”, yakni tali ikat yang berasal dari spirit kolektivitas antarseniman diperantarai oleh aspek kolegial-akademis yang mendasari pendirian sebuah kelompok. Sebagian besar kelompok ini mengemuka secara insidental namun pada umumnya tak bertahan lama karena tali ikat semacam ini diasumsikan sulit untuk menjadi “api semangat” yang terus menghidupi jalinan bentuk kreatif mereka. Misalnya sempat ada kelompok Spirit ’90 yang dikomandani oleh Temmy Setyawan dan beranggotakan mahasiswa Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta angakatan 1990, seperti Putu Sutawijaya, Tomy Faisal Alim, dan lainnya. Atau, contoh lain, kelompok Blok 9 yang terdiri dari sekelompok seniman asal Angkatan 1999 Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta (Agus Triyanto BR, Arya Sucitra, dan lainnya), yang masih harus diuji kekuatannya dalam bertahan melawan gerusan tantangan dan waktu ke depan.
Seperti halnya komunitas dengan berbagai kategorisasi yang saya sebutkan di atas, Matahari Art Community ini juga memiliki tantangannya sendiri untuk bertahan melawan gerusan waktu. Apakah Iwan Hasto dan kawan-kawan ini bisa bertahan masih bisa bertahan dalam wadah yang sama untuk beberapa waktu ke depan dan dalam beberapa kesempatan pameran berikutnya, atau akan terberai mencari kesempatan dan peluangnya masing-masing, semuanya masih belum teraba. Semua masih menjadi misteri Sang Waktu.
Namun ada poin tersendiri yang pantas dicatat di sini bahwa persenyawaan atau chemistry antar-anggota yang terbentuk karena (dugaan) “romantisme geografis” itu bisa dirawat sebagai pemantik spirit kreativitas dalam kelompok. Kalau mereka merasakan bahwa aktivitas keseharian yang dilakoni tiap hari sudah sangat mekanistik karena ketatnya rutinitas, maka komunitas ini bisa diharapkan sebagai ruang oase untuk merawat idealisme dan kreativitas. Ini sebuah ekspektasi yang—siapa tahu—realistis, masuk akal dan murah menerapkannya. Pertanyaan sekaligus tantangan yang beriringan muncul dari keberadaan komunitas ini adalah: apakah komunitas ini sebatas sebagai ruang “romantisme kolektif”, atau bisa menyadari bahwa kebersamaan ini bisa berhasrat dalam melahirkan pencapaian kreativitas masing-masing personal? Seperti halnya sosok kebudayaan, apakah komunitas ini juga mengandaikan bahwa tubuh komunitas ini bisa menjadi perangkat untuk melakukan transisi, transformasi, adaptasi hingga akultutasi untuk merespons percepatan lingkungan “baru” dan perkembangan berbagai hal? Ya, mungkin terlalu bombastis, namun tak ada salahnya hal seperti ini bisa dirancang sebagai agenda persoalan bagi kelompok.
PAMERAN
pertama bagi komunitas ini kiranya merupakan upaya keras untuk menjadikan kebersamaan
sebagai oase dan modus untuk terus merawat idealisme dan kreativitas. Ini
pengharapan besar yang bisa dilacak dari penjudulan yang menjadi “payung tema” atas
pameran, yakni “Hajar, Bro…” Menurut
para seniman ini, kalimat “Hajar, Bro…”
relatif populer di kalangan beberapa kelompok dan lapisan pergaulan manapun. Ia
mempunyai konotasi untuk memberikan semangat, atau semacam ucapan spontan yang
enerjik untuk memberi dorongan psikologis yang positif. Kata “hajar” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki arti “menyerang secara agresif atau menyakiti atau
merusak sesuatu dengan cara kasar”. Sementara kata “bro” merupakan penyingkatan dari kata “brother” dalam bahasa Inggris, yang kemudian bermakna seperti kata
“bung” dalam bahasa Indonesia. Ada
spirit egaliter atau kesetaraan dalam kata “bro”
tersebut, yang memberi indikasi bahwa dalam kelompok ini tidak ada hierarkhi apapun
yang melandasi pola hubungan atau pertemanan. Semua sama, tak ada yang lebih di
atas, tak ada yang dibawahkan, tiada yang tak bisa dikritik, semua bisa saling
memberi masukan, dan semacamnya.
Argo Nunggal, Iwan Hasto, Prayitno, Ulilgama, dan Wisnu Baskoro beranggapan bahwa “Hajar, Bro” dalam konteks ini—seperti yang dicatat (kurang lebih) sebagai artist(s) statement—banyak digunakan untuk merujuk pada proses kreatif seni rupa dalam level gagasan dan teknik perupanya. Sesederhana apapun yang muncul dalam pemikiran dan goresan karya, mereka menghajarnya begitu saja dengan menangguhkan pertimbangan. Ini seperti reaksi otomatis terhadap lingkungan yang carut-marut”.
Pernyataan (statemen) tersebut seperti menyingkap petunjuk bahwa dalam pola kreatif kelompok ini ada aspek spontanitas ketika menangkap ide dan merealisasikannya dalam bentuk karya. Semua, kalau memungkinkan, langsung disikat tanpa banyak menunggu pertimbangan dan kalkulasi yang menjerat eksekusi atas ide. Saya kurang tahu pasti, apakah semangat ini tak lepas dari cara berpikir orang-orang yang sudah “menjadi Jakarta” yang harus pragmatis, bergegas, berpikir lekas untuk bergerak berbuat sesuatu dan membekaskan pencapaian. Bukan dengan “gaya Jogja” yang slow but sure. Atau, dugaan lain, pernyataan tersebut merupakan pola respons para seniman dewasa ini yang tidak lagi romantik dengan menunggu ide, inspirasi atau ilham sebelum kedalaman jiwa seninya tergerak mewujudkan karya. Ide bukanlah sesuatu yang disikapi sebagai benda yang akan jatuh dari langit secara tiba-tiba setelah ditunggu. Inspirasi bukanlah hal yang given, terberi, namun dilacak dan dicari lewat diskusi dan “menghajar” dengan praktik, mengeksekusi secara langsung.
Dugaan perihal “jatuhnya ilham” tersebut, saya kira, setara dengan jawaban seniman Rusli (almarhum) ketika diwawancari oleh Daniel Dhakidae dan Zulkifli Lubis, 4 Maret 2003, bahwa: “…ilham dipergunakan orang yang sudah tidak ada keinginan lagi untuk bekerja, karena ilham tidak akan datang. “Si Ilham” memang ada. Ilham tidak ada. Yang ada adalah diri kita dan kehidupan dan dunia, yaaahh, masyarakat ini. Cuma itu! Bagaimana hati kita berinteraksi, itulah ilham. Di dunia ini banyak yang harus dikerjakan. Cuma kita saja yang tunggu ilham. Tunggu ilham kapan rakyat dikasi makan. Kalau mau kasi makan kasi saja, dan pergi ke desa. Jangan tunggu ilham tapi ‘do it’, kerjakan, karena ilham adalah engkau sendiri. Kerjakan, apa saja yang ada di mukamu, ada di dalam dirimu. Ilham itu hanya pemanis untuk hidup.”
Titik sambung antara pernyataan (alm.) Rusli dan konsepsi “Hajar, Bro…”, saya kira, mengerucut pada pentingnya action di ranah praksis, meski tetap mengupayakan aspek lain yang mendukung action ini, yakni pengamatan, survei, yang bisa mengayakan substansi karya, dan mengasah kemampuan teknis sehinga aspek craftsmanship pada karya bisa tergarap dengan baik.
LALU,
action seperti apakah yang bisa
ditilik dari pameran komunitas ini? Saya tidak akan berupaya untuk memberi
ulasan yang analitis tentang karya-karya yang bertebar dalam perhelatan ini.
Namun sekadar kilasan tangkapan yang sekelebat atas gejala-gejala visual yang
ada. Pada karya Argo Nunggal, sebagai contoh pertama, kita bisa langsung
menangkap keresahannya tentang kerusakan lingkungan hidup yang telah menjadi
isu global termasuk di Indonesia. Lukisan-lukisannya secara kasat mata langsung
menukik pada pokok persoalan atau subject
matter: pohon. Dalam karya “Go
Green”, “Mauku Tak Sama Seperti Mimpimu”, atau “Change Generation”, pohon digambarkan sebagai titik pusat
perhatian dalam kanvas, dan ini memberi pesan simbolik—terlebih lagi
didampingkan dengan sosok anak-anak. Sang seniman seperti hendak berpesan bahwa
pada figur anak-anak itulah problem lingkungan hidup yang positif kita tanamkan
sejak dini. Generasi yang lebih lanjut usianya seolah tak lagi perlu dipersuasi
lebih jauh karena problem besar tentang gerakan peduli kepada lingkungan hidup
sekarang ini adalah aksi langsung (atau tak langsung) yang lebih edukatif pada
generasi muda. Karya-karya Argo relatif cukup focus pada satu tema. Tinggal
memberi tekanan terus-menerus pada aspek teknis.
Sementara ketika kita menyimak karya-karya Iwan Hasto, ada repetisi dalam penjudulan karya, yakni “Point of View”. Mungkin bukan hanya repetisi, tapi kesengajaan membuat klise. Di dalam karya-karya grafis (printmaking)-nya itu antara lain ada sosok hero yang tangannya terbebat rantai. Rantai itu terulur dan tersambung pada kotak-kotak yang bersimbolkan mata uang dollar, mahkota, berlian, nuklir, planet—dengan cukilan di latar belakang serupa lukisan “Starry Night”-nya Vincent van Gogh. Sedang karya lain—dengan judul yang sama—mencitrakan tentang sosok Ben dalam film Star Wars yang berdiri angkuh. Ada sebuah buldoser yang mendorong kotak kontainer besar. Ada tengkorak tersenyum tergeletak di tanah dengan latar pegunungan. Semua itu seperti figur-figur yang ingin berebut perhatian. Apakah ini merepresentasikan gejala sosial kemasyarakatan di sekitar kita bahwa semua orang, semua pihak seperti ingin tampil focus di depan semua orang? Entahlah. Namun karya ini seperti memiliki korelasi dengan karya Iwan Hasto yang dieksekusi dengan medium 3 dimensi yang ditampilkan di Biennale Jogja 2007: Neo-Nation. Saya menduga ada garis tematik yang sudah menguat di bawah sadar dan diulangi terus hingga bertahun-tahun—dengan media yang berbeda.
Pada karya-karya Prayitno atau Mayekno, tubuh-tubuh dieksplorasi dengan pendekatan realisme yang relatif kasar, sederhana, namun mengena, karena—tampaknya—kemampuan seniman ini dalam menangkap subyek tubuh manusia cukup terlatih. Tubuh-tubuh yang tercitrakan seperti melakukan coitus disamarkan dalam brush stroke kasar dan efektif. Tubuh-tubuh itu juga tak selesai, tak tuntas. Apakah Mayekno tengah kembali memberi penegasan tentang tubuh sebagai representasi atas praktik kuasa—seperti wacana yang puluhan tahun lalu dilontarkan oleh Foucault? Dalam konteks waktu kini, memang, wacana tentang praktik kuasa yang berangkat dari problem ketubuhan masih cukup relevan. Problemnya, perlu titik fokus yang lebih memadai sebagai titik pijak tema. Karya-karya Mayekno saya kira bagian dari upaya penjelajahan kreatif yang perlu terus digali, baik secara bentuk, teknis, hingga (tentu saja) substansinya. Saya melihat karya Mayekno yang lolos menjadi finalis dalam Kompetisi Seni Lukis UOB 2015 lalu. Dan karya itu relatif berbeda cukup jauh dari karya-karya yang ditampilkan kali ini. Pekerjaan rumah bagi Mayekno, saya kira, adalah membangun konsistensi yang lebih tegas dan jelas.
Problem (ke)tubuh(an) tampak juga pada karya-karya Ulil Gama. Bedanya, tubuh-tubuh yang telah jauh digayakan (distilisasi) ini banyak berhimpun atau menjadi bagian dari subyek-subyek benda yang lain yang menjadi tema utama. Citra tentang tubuh manusia itu seperti ornamen dalam keseluruhan karya yang membincangkan perihal lain seperti pada “Strawberry Cheese Cake Nyam-nyam”, atau dalam “Are You Brave Enough”, dan lainnya. Pola visual yang tampaknya ingin menghias cukup terasa pada karya-karya Ulil, dan ini bisa lebih diberi porsi yang lebih besar sepanjang tema utama karya tersebut tidak kehilangan fokus karena terlalu ornamentik.
Dan ketika kita menyimak karya-karya Wisnu Baskoro, teras betul bahwa seniman ini ingin banyak bercerita. Seolah ada sekian banyak narasi yang henda ditumpahkan sekaligus dalam satu panel karya. Risikonya ada pada problem teknis yang memang harus siap mengakomodasi keinginan besar tersebut. Dan ini tidak mudah. Butuh waktu tidak sedikit, dengan ketekunan yang memadai. Sebetulnya ada tema-tema yang sederhana yang bisa digali lebih jauh oleh Wisnu, baik secara teknis, kebentukan hingga content. Dan inilah agenda persoalan dalam laku kreatif Wisnu yang mesti diberi porsi besar. Karya “Pilihanku” kiranya berpotensi untuk lebih jauh digarap dengan kecermatan yang lebih serius. Pada titik ini, semangat “Hajar, Bro…” tampaknya masih dihadapi dengan termangu-mangu oleh Wisnu. Perlu aksi yang nothing to loose agar karya yang muncul tidak terbebani oleh keraguan mengeksekusi.
Apapun, perhelatan ini merupakan pencapaian awal bagi komunitas seni Matahari. Masih banyak problem yang mesti diagendakan untuk memberi pembenahan, penguatan, dan pengayaan pada perhelatan berikutnya. Semua butuh proses. Dalam proses untuk “menjadi” ini, ada tiga hal yang bisa diperhatikan untuk penguatan kreatif, yakni “modal”, “model”, dan “modul” (semua saya beri tanda kutip karena bisa jadi istilah tersebut kurang tepat dipakai ketika diterapkan dalam konteks disiplin ilmu yang lain). “Modal” itu mengarah pada “aset kemampuan”, atau bekal yang telah dimiliki oleh masing-masing seniman. Modal bisa berarti talenta atau bakat, juga pengalaman studi di jalur akademis, hinga niat dan hasrat yang kuat dari dalam untuk menjadi kreator. “Model” bisa ditengarai sebagai patron atau konsepsi di luar dirinya yang bisa menjadi road of map dalam perjalanan kreatif. Dengan “model” seorang seniman akan tahu persis hendak kemana dan target goal-nya untuk apa laju kreatifnya itu akan digerakkan. Dan kemudian, “modul” lebih menengarai pada aspek modus, cara, hingga strategi aksi yang mesti ditempuh oleh seorang (calon) seniman sehingga bisa memiliki pencapaian atau target goal yang sudah diancang-ancangkannya. Tentu, ini bukan sebuah juklak (petunjuk pelaksanaan) untuk menjadi seniman. Namun sekadar gambaran kecil betapa untuk menjadi seniman itu adalah hasrat, kehendak, cita-cita yang harus dikejar, dan apa boleh buat, kehendak dan cita-cita mesti diperjuangkan! Ayo, Hajar, Bro! ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa, dan editor in chief www.indonesiaartnews.or.id
Catatan akhir:
Dhakidae, Daniel. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, sampai Putera Sang Fajar, Bung Karno. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bujono, Bambang, dan Wicaksono, Adi (eds.). 2012. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
Indarto, Kuss. 2015. Melacak Jejak Rupa: Kumpulan Catatan tentang Seni Rupa. Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta.
(Catatan ini telah dimuat dalam katalog pameran "Hajar Bro" yang dihelat oleh Matahari Art Community dan berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, 13 Januari 2016)
MATAHARI Art Community ini, bagi saya, memberi tambahan pemahaman tentang beragamnya asal-usul sebuah komunitas seni atau art group. Pertalian antar-anggotanya (yang terdiri dari Argo Nunggal, Iwan Hasto, Prayitno, Ulilgama, Wisnu Baskoro) mungkin dibentuk oleh “kohesi romantisme geografis”. Entahlah, tepat atau tidak istilah saya tersebut, tapi realitasnya terlihat bahwa para anggota komunitas ini terdiri para pekera seni atau seniman yang semuanya berasal atau pernah mengenyam kehidupan dan studi di kawasan yang sama, yakni Yogyakarta. Kini, mereka berlima juga berada atau terdampar dalam kota yang sama: Jakarta. Mereka memiliki kesibukan dan pekerjaan yang kurang lebih sama, dan kemudian menyisakan energi yang berlebih untuk berkarya—di luar rutinitas kesehariannya.
“Kohesi romantisme geografis” ini—atau apapun namanya—mungkin juga terjadi dan terbentuk pada komunitas lain di kawasan atau kota berbeda. Ini seperti sebuah kelaziman alamiah yang terjadi di mana-mana. Dan ini juga sebuah pengayaan. Setidaknya dari pengamatan saya selama ini tentang keberadaan komunitas seni yang (pernah) hidup, berproses, bertahan, dan berprestasi di kawasan Yogyakarta (dan mungkin terjadi pula di tempat lain) yang kemunculannya disebabkan oleh banyak kemungkinan. Pertama, ada komunitas yang terbangun karena aspek “kohesi etnisitas” (ikatan kesukuan). Ini terlihat dari, sebagai misal, Komunitas Seni Sakato yang mengikat jalinan batin seniman asal Minangkabau, atau Sanggar Dewata Indonesia yang disemangati oleh aspek ke-Bali-an antar anggotanya. Pun dengan komunitas seni Muara (almarhum) yang mayoritas anggotanya terikat oleh “spirit” kedaerahan bumi “Palembang” (atau kawasan seputar Sumatra Selatan). Juga kelompok-kelompok lain.
Kedua, komunitas seni yang dibangun oleh “kohesi estetik” lewat kebersamaan dalam penggalian spirit pilihan dan kecenderungan kreatif tertentu. Inilah yang kira-kira mendasari kelahiran Kelompok Seni Jendela (meski secara kebetulan semua anggotanya juga ada kohesi etnik Minangkabau). Di antara anggota kelompok ini ada semacam tali ikat yang menyatu karena sama-sama menggumuli cara berpikir kreatif yang menggagas dan menelurkan karya visual yang tidak mengindahkan tema-tema sosial kemasyarakatan dan semacamnya, namun lebih menyoal pada eksplorasi ide-ide visual yang melampaui konservatisme (bentuk). Dalam ranah yang kurang lebih sama, sempat ada juga komunitas seni Apotik Komik yang sekarang telah bubar. Komunitas ini mendasarkan diri jalinan kreativitasnya dari ketertarikan antar anggotanya pada genre komik (konsep dan visualnya) sebagai titik berangkat atas proses penciptaannya.
Ketiga, adanya “kohesi ideologis”, yakni munculnya komunitas seni yang mengindikasikan aspek ideologi tertentu sebagai dasar praktik penciptaan, sikap politik kesenian dan sumber gagasan kreatifnya. Ini terlihat pada diri kelompok Taring Padi yang sempat berdiri beberapa bulan setelah rezim Soeharto runtuh dan “konon” masih bergerak hingga hari ini. Kelompok ini menyepakati ideologi yang disebut oleh sementara pengamat sebagai penganut ideologi “realime sosialis”. Ini tak jauh berbeda dengan senior mereka, yakni sanggar Bumi Tarung, yang pernah tumbuh dan berpengaruh kuat pada dasawarsa 1950-an. Beberapa pengurus serta anggotanya (Amrus Natalsja, Djoko Pekik, Misbach Thamrin, dan sosok-sosok lainnya) masih hidup dan sesekali berpameran.
Keempat, adanya “kohesi kolegial-akademis”, yakni tali ikat yang berasal dari spirit kolektivitas antarseniman diperantarai oleh aspek kolegial-akademis yang mendasari pendirian sebuah kelompok. Sebagian besar kelompok ini mengemuka secara insidental namun pada umumnya tak bertahan lama karena tali ikat semacam ini diasumsikan sulit untuk menjadi “api semangat” yang terus menghidupi jalinan bentuk kreatif mereka. Misalnya sempat ada kelompok Spirit ’90 yang dikomandani oleh Temmy Setyawan dan beranggotakan mahasiswa Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta angakatan 1990, seperti Putu Sutawijaya, Tomy Faisal Alim, dan lainnya. Atau, contoh lain, kelompok Blok 9 yang terdiri dari sekelompok seniman asal Angkatan 1999 Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta (Agus Triyanto BR, Arya Sucitra, dan lainnya), yang masih harus diuji kekuatannya dalam bertahan melawan gerusan tantangan dan waktu ke depan.
Seperti halnya komunitas dengan berbagai kategorisasi yang saya sebutkan di atas, Matahari Art Community ini juga memiliki tantangannya sendiri untuk bertahan melawan gerusan waktu. Apakah Iwan Hasto dan kawan-kawan ini bisa bertahan masih bisa bertahan dalam wadah yang sama untuk beberapa waktu ke depan dan dalam beberapa kesempatan pameran berikutnya, atau akan terberai mencari kesempatan dan peluangnya masing-masing, semuanya masih belum teraba. Semua masih menjadi misteri Sang Waktu.
Namun ada poin tersendiri yang pantas dicatat di sini bahwa persenyawaan atau chemistry antar-anggota yang terbentuk karena (dugaan) “romantisme geografis” itu bisa dirawat sebagai pemantik spirit kreativitas dalam kelompok. Kalau mereka merasakan bahwa aktivitas keseharian yang dilakoni tiap hari sudah sangat mekanistik karena ketatnya rutinitas, maka komunitas ini bisa diharapkan sebagai ruang oase untuk merawat idealisme dan kreativitas. Ini sebuah ekspektasi yang—siapa tahu—realistis, masuk akal dan murah menerapkannya. Pertanyaan sekaligus tantangan yang beriringan muncul dari keberadaan komunitas ini adalah: apakah komunitas ini sebatas sebagai ruang “romantisme kolektif”, atau bisa menyadari bahwa kebersamaan ini bisa berhasrat dalam melahirkan pencapaian kreativitas masing-masing personal? Seperti halnya sosok kebudayaan, apakah komunitas ini juga mengandaikan bahwa tubuh komunitas ini bisa menjadi perangkat untuk melakukan transisi, transformasi, adaptasi hingga akultutasi untuk merespons percepatan lingkungan “baru” dan perkembangan berbagai hal? Ya, mungkin terlalu bombastis, namun tak ada salahnya hal seperti ini bisa dirancang sebagai agenda persoalan bagi kelompok.
***
Argo Nunggal, Iwan Hasto, Prayitno, Ulilgama, dan Wisnu Baskoro beranggapan bahwa “Hajar, Bro” dalam konteks ini—seperti yang dicatat (kurang lebih) sebagai artist(s) statement—banyak digunakan untuk merujuk pada proses kreatif seni rupa dalam level gagasan dan teknik perupanya. Sesederhana apapun yang muncul dalam pemikiran dan goresan karya, mereka menghajarnya begitu saja dengan menangguhkan pertimbangan. Ini seperti reaksi otomatis terhadap lingkungan yang carut-marut”.
Pernyataan (statemen) tersebut seperti menyingkap petunjuk bahwa dalam pola kreatif kelompok ini ada aspek spontanitas ketika menangkap ide dan merealisasikannya dalam bentuk karya. Semua, kalau memungkinkan, langsung disikat tanpa banyak menunggu pertimbangan dan kalkulasi yang menjerat eksekusi atas ide. Saya kurang tahu pasti, apakah semangat ini tak lepas dari cara berpikir orang-orang yang sudah “menjadi Jakarta” yang harus pragmatis, bergegas, berpikir lekas untuk bergerak berbuat sesuatu dan membekaskan pencapaian. Bukan dengan “gaya Jogja” yang slow but sure. Atau, dugaan lain, pernyataan tersebut merupakan pola respons para seniman dewasa ini yang tidak lagi romantik dengan menunggu ide, inspirasi atau ilham sebelum kedalaman jiwa seninya tergerak mewujudkan karya. Ide bukanlah sesuatu yang disikapi sebagai benda yang akan jatuh dari langit secara tiba-tiba setelah ditunggu. Inspirasi bukanlah hal yang given, terberi, namun dilacak dan dicari lewat diskusi dan “menghajar” dengan praktik, mengeksekusi secara langsung.
Dugaan perihal “jatuhnya ilham” tersebut, saya kira, setara dengan jawaban seniman Rusli (almarhum) ketika diwawancari oleh Daniel Dhakidae dan Zulkifli Lubis, 4 Maret 2003, bahwa: “…ilham dipergunakan orang yang sudah tidak ada keinginan lagi untuk bekerja, karena ilham tidak akan datang. “Si Ilham” memang ada. Ilham tidak ada. Yang ada adalah diri kita dan kehidupan dan dunia, yaaahh, masyarakat ini. Cuma itu! Bagaimana hati kita berinteraksi, itulah ilham. Di dunia ini banyak yang harus dikerjakan. Cuma kita saja yang tunggu ilham. Tunggu ilham kapan rakyat dikasi makan. Kalau mau kasi makan kasi saja, dan pergi ke desa. Jangan tunggu ilham tapi ‘do it’, kerjakan, karena ilham adalah engkau sendiri. Kerjakan, apa saja yang ada di mukamu, ada di dalam dirimu. Ilham itu hanya pemanis untuk hidup.”
Titik sambung antara pernyataan (alm.) Rusli dan konsepsi “Hajar, Bro…”, saya kira, mengerucut pada pentingnya action di ranah praksis, meski tetap mengupayakan aspek lain yang mendukung action ini, yakni pengamatan, survei, yang bisa mengayakan substansi karya, dan mengasah kemampuan teknis sehinga aspek craftsmanship pada karya bisa tergarap dengan baik.
***
Sementara ketika kita menyimak karya-karya Iwan Hasto, ada repetisi dalam penjudulan karya, yakni “Point of View”. Mungkin bukan hanya repetisi, tapi kesengajaan membuat klise. Di dalam karya-karya grafis (printmaking)-nya itu antara lain ada sosok hero yang tangannya terbebat rantai. Rantai itu terulur dan tersambung pada kotak-kotak yang bersimbolkan mata uang dollar, mahkota, berlian, nuklir, planet—dengan cukilan di latar belakang serupa lukisan “Starry Night”-nya Vincent van Gogh. Sedang karya lain—dengan judul yang sama—mencitrakan tentang sosok Ben dalam film Star Wars yang berdiri angkuh. Ada sebuah buldoser yang mendorong kotak kontainer besar. Ada tengkorak tersenyum tergeletak di tanah dengan latar pegunungan. Semua itu seperti figur-figur yang ingin berebut perhatian. Apakah ini merepresentasikan gejala sosial kemasyarakatan di sekitar kita bahwa semua orang, semua pihak seperti ingin tampil focus di depan semua orang? Entahlah. Namun karya ini seperti memiliki korelasi dengan karya Iwan Hasto yang dieksekusi dengan medium 3 dimensi yang ditampilkan di Biennale Jogja 2007: Neo-Nation. Saya menduga ada garis tematik yang sudah menguat di bawah sadar dan diulangi terus hingga bertahun-tahun—dengan media yang berbeda.
Pada karya-karya Prayitno atau Mayekno, tubuh-tubuh dieksplorasi dengan pendekatan realisme yang relatif kasar, sederhana, namun mengena, karena—tampaknya—kemampuan seniman ini dalam menangkap subyek tubuh manusia cukup terlatih. Tubuh-tubuh yang tercitrakan seperti melakukan coitus disamarkan dalam brush stroke kasar dan efektif. Tubuh-tubuh itu juga tak selesai, tak tuntas. Apakah Mayekno tengah kembali memberi penegasan tentang tubuh sebagai representasi atas praktik kuasa—seperti wacana yang puluhan tahun lalu dilontarkan oleh Foucault? Dalam konteks waktu kini, memang, wacana tentang praktik kuasa yang berangkat dari problem ketubuhan masih cukup relevan. Problemnya, perlu titik fokus yang lebih memadai sebagai titik pijak tema. Karya-karya Mayekno saya kira bagian dari upaya penjelajahan kreatif yang perlu terus digali, baik secara bentuk, teknis, hingga (tentu saja) substansinya. Saya melihat karya Mayekno yang lolos menjadi finalis dalam Kompetisi Seni Lukis UOB 2015 lalu. Dan karya itu relatif berbeda cukup jauh dari karya-karya yang ditampilkan kali ini. Pekerjaan rumah bagi Mayekno, saya kira, adalah membangun konsistensi yang lebih tegas dan jelas.
Problem (ke)tubuh(an) tampak juga pada karya-karya Ulil Gama. Bedanya, tubuh-tubuh yang telah jauh digayakan (distilisasi) ini banyak berhimpun atau menjadi bagian dari subyek-subyek benda yang lain yang menjadi tema utama. Citra tentang tubuh manusia itu seperti ornamen dalam keseluruhan karya yang membincangkan perihal lain seperti pada “Strawberry Cheese Cake Nyam-nyam”, atau dalam “Are You Brave Enough”, dan lainnya. Pola visual yang tampaknya ingin menghias cukup terasa pada karya-karya Ulil, dan ini bisa lebih diberi porsi yang lebih besar sepanjang tema utama karya tersebut tidak kehilangan fokus karena terlalu ornamentik.
Dan ketika kita menyimak karya-karya Wisnu Baskoro, teras betul bahwa seniman ini ingin banyak bercerita. Seolah ada sekian banyak narasi yang henda ditumpahkan sekaligus dalam satu panel karya. Risikonya ada pada problem teknis yang memang harus siap mengakomodasi keinginan besar tersebut. Dan ini tidak mudah. Butuh waktu tidak sedikit, dengan ketekunan yang memadai. Sebetulnya ada tema-tema yang sederhana yang bisa digali lebih jauh oleh Wisnu, baik secara teknis, kebentukan hingga content. Dan inilah agenda persoalan dalam laku kreatif Wisnu yang mesti diberi porsi besar. Karya “Pilihanku” kiranya berpotensi untuk lebih jauh digarap dengan kecermatan yang lebih serius. Pada titik ini, semangat “Hajar, Bro…” tampaknya masih dihadapi dengan termangu-mangu oleh Wisnu. Perlu aksi yang nothing to loose agar karya yang muncul tidak terbebani oleh keraguan mengeksekusi.
Apapun, perhelatan ini merupakan pencapaian awal bagi komunitas seni Matahari. Masih banyak problem yang mesti diagendakan untuk memberi pembenahan, penguatan, dan pengayaan pada perhelatan berikutnya. Semua butuh proses. Dalam proses untuk “menjadi” ini, ada tiga hal yang bisa diperhatikan untuk penguatan kreatif, yakni “modal”, “model”, dan “modul” (semua saya beri tanda kutip karena bisa jadi istilah tersebut kurang tepat dipakai ketika diterapkan dalam konteks disiplin ilmu yang lain). “Modal” itu mengarah pada “aset kemampuan”, atau bekal yang telah dimiliki oleh masing-masing seniman. Modal bisa berarti talenta atau bakat, juga pengalaman studi di jalur akademis, hinga niat dan hasrat yang kuat dari dalam untuk menjadi kreator. “Model” bisa ditengarai sebagai patron atau konsepsi di luar dirinya yang bisa menjadi road of map dalam perjalanan kreatif. Dengan “model” seorang seniman akan tahu persis hendak kemana dan target goal-nya untuk apa laju kreatifnya itu akan digerakkan. Dan kemudian, “modul” lebih menengarai pada aspek modus, cara, hingga strategi aksi yang mesti ditempuh oleh seorang (calon) seniman sehingga bisa memiliki pencapaian atau target goal yang sudah diancang-ancangkannya. Tentu, ini bukan sebuah juklak (petunjuk pelaksanaan) untuk menjadi seniman. Namun sekadar gambaran kecil betapa untuk menjadi seniman itu adalah hasrat, kehendak, cita-cita yang harus dikejar, dan apa boleh buat, kehendak dan cita-cita mesti diperjuangkan! Ayo, Hajar, Bro! ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa, dan editor in chief www.indonesiaartnews.or.id
Catatan akhir:
Dhakidae, Daniel. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, sampai Putera Sang Fajar, Bung Karno. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bujono, Bambang, dan Wicaksono, Adi (eds.). 2012. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
Indarto, Kuss. 2015. Melacak Jejak Rupa: Kumpulan Catatan tentang Seni Rupa. Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta.