Rismanto (Semoga) Tak Berhenti Lama…
"Perjalanan Malam", 2015, 150 x 250 cm, cat minyak di atas kanvas, karya Rismanto.
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini dimuat dalam buku Pameran Tunggal Rismanto: "Awas Spoor", Taman Budaya Yogyakarta, 3-12 Desember 2016)
Naik kereta api tut... tut... tut...
Siapa hendak turut?
Ke Bandung, Surabaya…
Bolehlah naik dengan percuma
Ayo, kawanku lekas naik
Kretaku tak berhenti lama
Lagu
anak-anak judul “Kereta Apiku” atau “Naik Kereta Api” diperkirakan pertama
kali dipopulerkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) pada awal dasawarsa
1960-an. Kini, puluhan tahun kemudian, lagu ciptaan Saridjah Niung Bintang
Soedibio atau yang lebih karib dipanggil sebagai ibu Soed tersebut telah
menjadi salah satu lagu anak-anak yang legendaris di Indonesia.
Ada nuansa kegembiraan dalam lagu tersebut. Dan kalau
digali lebih jauh pada bait pertama lirik lagu ini mengisyaratkan sebuah
ungkapan akan harapan dan cita-cita anak-anak Indonesia atas transportasi
publik aatau massal di Indonesia. Penggalan lirik ‘bolehlah naik dengan naik
percuma’ (percuma atau cuma-cuma) menunjukkan ekspektasi terhadap
penyediaan transportasi yang terjangkau secara ekonomis oleh rakyat karena layanan
transportasi bisa disediakan secara ‘percuma’ (gratis) atau setidaknya
bertarif rendah. Tentu saja peluang ini hanya bisa direngkuh jika negara atau
pemerintah memiliki paradigma pemenuhan hak rakyat, bukan paradigma penyediaan
jasa, apalagi liberalisasi layanan publik.
Kemudian penggalan lirik ‘ayo kawanku lekas naik...
keretaku tak berhenti lama’ seperti memberi isyarat tentang cita-cita akan
adanya layanan transportasi yang efisien, tepat waktu, disiplin, sehingga masyarakat
pengguna moda transportasi ini tidak perlu membuang-buang waktu karena
keterlambatan armada. Lagu “Kereta Apiku” ini, menurut beberapa sumber,
diciptakan oleh Ibu Soed berdasar pengalaman masa kecilnya ketika sesekali
bepergian naik kereta api dari kota kelahirannya, Sukabumi, menuju ke Surabaya
dengan melewati jalur tengah dan selatan (pulau Jawa). Maka tak heran bila
lirik yang dibuat menunjukkan rute kereta api yang ditempuhnya waktu itu, yakni
dari Bandung ke Surabaya. Mungkin itu begitu membekas pada Dan jalur yang
dilewatinya itu, dulu, mesti melampaui sekian banyak stasiun kereta api yang
jumlahnya jauh lebih banyak dibanding yang ada sekarang. Bahkan kini stasiun
atau jalur rel kereta api banyak yang dimatikan karena berbagai faktor.
***
Jagad
perkeretaapian sendiri, untuk konteks Indonesia, diawali sebagai sebuah gagasan
yang bernuansa politis. Persisnya sebagai bagian dari strategi militer untuk
memotong garis konflik yang telah membawa banyak korban dengan menguras
berbagai sumberdaya. Ya, gagasan pembangunan rel kereta api justru diinisiatifi
oleh Kolonel Van Der Wijk. Dia mengusulkan agar dibangun rel kereta api di Jawa
antara Surabaya-Surakarta-Yogyakarta-Bandung-Batavia. Jalur ini dibangun untuk
kepentingan militer sebagai siasat untuk mengantisipasi perlawanan susulan dari
sisa-sisa pendukung Pangeran Diponegoro setelah Perang Jawa berakhir (1825-1830).
Namun dalam gelombang pemikiran yang relatif sama, para pengusaha perkebunan di
Jawa menginginkan adanya jalur rel kereta api untuk memudahkan pengangkutan
komoditas hasil perkebunan menuju pelabuhan.
Begitulah.
Sejarah awal dunia perkeretaapian di Indonesia (Hindia Belanda) pun bergulir.
Pada tanggal 17 Juni 1864 Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, LAW Baron
Sloet van den Beele (1861-1866) melakukan upacara pencangkulan pertama
pembangunan jalur rel di desa Kemijen, Semarang. Pembangunan rel pertama ini
membutuhkan waktu 3 tahun, hingga kemudian perjalanan kereta api di bumi
Nusantara terjadi untuk pertama kalinya pada tanggal 10 Agustus 1867 dengan
menempuh jarak sekitar 24,7 km antara stasiun Samarang (Semarang) dan halte
Tangoeng (Tanggung) di sebelah selatan. Kala itu, kereta api terdiri dari
beberapa gerbong yang difungsikan untuk mengangkut hasil perkebunan.
Sementara
untuk konteks Yogyakarta, stasiun tua yang ada di walayah ini, yakni stasiun
Tugu didirikan tahun 1887. Kini menjadi salah satu stasiun terbesar di kawasan
jalur selatan pulau Jawa. Pendirian stasiun tersebut, berikut jalur rel yang
membelah kota Yogyakarta, juga disebut-sebut memiliki tendensi politis. Meski
pendirian stasiun dan rel di situ telah melampaui sekitar 50 tahun dari
berakhirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro, namun posisi rel yang melintang
di atas kota itu seperti menjadi “pagar” bagi kediaman Pangeran Diponegoro di
kawasan Tegalrejo. Kediaman Diponegoro seperti “dibuang” di utara rel,
sementara kawasan pemerintahan yakni Kraton Ngayogyakartahadiningrat, Gedung
Agung, dan kawasan ekonomi yaitu Jalan Malioboro berada di selatan rel.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa sisa-sisa laskar, anak buah, dan
kerabat Diponegoro masih memiliki kekuatan yang bisa sewaktu-waktu memberi
perlawanan dan pemberontakan.
***
Rel, kereta
api, stasiun, dan segenap kompleksitas persoalan fisik pada jagad perkeretaapian
menjadi pokok soal utama dalam karya-karya seniman Rismanto. Ini adalah
kesempatan pertama baginya untuk berpameran tunggal. Menyimak aspek fisikalitas
yang digarapnya dengan serius, tampak ada kesan beragam yang bisa dikemukakan
di sini. Pertama, tak banyak seniman
di Indonesia yang menentukan pilihan tema perihal perkeretaapian sebagai basis
utama imajinasinya dalam berkarya. Maka, pilihan Rismanto untuk mencoba fokus
pada satu tema ini memberi tantangan strategis dalam penciptaan karya. Dia
masih begitu berpotensi untuk mengeksplorasi sebanyak mungkin aspek fisik dan
aspek yang melampaui problem fisikalitas dunia kereta api. Namun, sebaliknya,
juga berpeluang untuk melakukan gerak produktivitas yang repetitif dan
menjemput monotonitas. Inilah tantangan yang mesti dipecahkannya segera.
Kedua, ada upaya sublimasi atas beragam
persoalan sosial, politik, sejarah, (agri)kultural, filsafat, dan lainnya, yang
dibenamkan dalam cara yang eufemistik dan sederhana dalam karya. Rismanto,
dengan pengalamannya di dunia audio visual mencoba menyarikan atau memadatkan
berbagai narasi yang ada dalam dunia perkeretaapian, meski mungkin tidak sangat
detail seperti ilmuwan sosial yang lengkap dengan perangkat dokumentasi dan
data.
Ketiga, kuatnya kemampuan dan kepiawaian
teknis seniman dalam menaklukan material karya telah memberikan gambaran
tentang praktik kerja artistik sebagai upaya untuk “memuliakan” kembali karya
seni. Poin ini berangkat dari kecenderungan praktik kerja kreatif seniman yang
akhir-akhir ini terkadang (pada sebagian seniman) kurang memberi titik
keseimbangan yang proporsional antara kemampuan dalam membangun gagasan dan kemudian
mengoperasionalkan gagasan tersebut di tingkat praksis. Rismanto berupaya keras
untuk melakukan dua hal penting itu—menggagas dan mengoperasionalkan gagasan—ke
dalam semua karyanya. Dengan demikian, semua karya yang dari awal digagasnya
terus saja berada dalam garis kendali imajinasi dan kemampuan teknisnya. Pada
titik ini, bisa saja pendapat ini memicu debat yang berkepanjangan—dan belum
tentu berkesudahan. Namun, ketika seorang seniman memahami dunia gagasan dan
hingga dunia bentuk atas karya-karyanya, mulai dari yang membayang hingga
mewujud, maka “nilai rasa” atas karya relative akan kuat terasa. Ada kekariban
personal dalam karya tersebut, terutama karakter karya seperti yang dibuat oleh
Rismanto dalam pameran kali ini.
Dengan
pemahaman pada poin ketiga tersebut di atas, publik akan bisa segera merasakan
betul “ruh” karya dan diri Rismanto dalam pameran ini. Misalnya, ketika publik
menyaksikan miniatur jembatan berwana merah kusam. Jembatan tersebut—yang
terbuat “hanya” dari tripleks—terasa sudah renta, tersaput lapisan-lapisan
waktu yang begitu lama, dan seperti tak lama lagi tidak sanggup terbeban banyak
memori. Dalam tubuh jembatan itu, secara teknis Rismanto sanggup untuk
menelisik secara detail. Ada sekitar 6.000 (enam ribu) mur yang tertata dalam
tubuh miniatur jembatan, dengan penataan yang sistematis dan terjaga. Bukan
asal menempel.
Di sisi
lain, aspek-aspek renik namun punya nilai, dibenamkan pada sekian banyak
karyanya. Salah satunya, penonton bisa menyimak sebentang kanvas berukuran 3 x
8 meter yang mengetengahkan 9 (Sembilan) kepala okomotif dengan beragam
variasinya. Ada yang “dimain-mainkan” pada soal angka 9 ini. Menurut Rismanto,
dalam kepercayaan masyarakat Jawa (seperti halnya masyarakat Tionghoa)
meyakini angka 9 merupakan angka
keberuntungan. Lalu, dalam beberapa tubuh bagian depan lokomotif itu ada
angka-angka: 57 58 (lima tujuh lima delapan) yang bisa disingkat pengucapannya
menjadi “maju mapan”. Ini mengisyaratkan sebuah ekspektasi bagi dirinya, bagi
perjalanan karier kesenimanannya, sebuah proyeksi bagi dirinya agar bisa segera
dalam posisi maju dan mapan, progresif dan establish—mungkin
tepatnya meraih eksistensi dalam medan sosial seni rupa. Ada pula angka 55
(lima lima) yang pengucapannya pun bisa sebagai “mama” atau ibu. Rismanto
mengakui bahwa peran sosok ibunya begitu penting dalam perjalanan hidup,
karier, dan kesenimanannya. Ibunya tak memberi ekspektasi yang begitu melambung
pada dirinya dalam berbagai persoalan, seperti soal karier, pencapaian
finansial atau hal-hal yang berkaitan dengan dunia material. Dan itu memberi
spirit besar bagi proses kreatifya, dulu dan kini.
Saya kira,
kereta api dan perkeretaapian serta berbagai problemnya tengah digelar oleh
Rismanto sebagai alat baca untuk menyimak berbagai hal yang melampaui masalah
fisik semata. Karena tubuh fisik kereta adalah juga tubuh sosial, tubuh
sejarah, tubuh antropologi, tubuh filsafat, tubuh estetika, dan lainnya, yang
semuanya mampu membangun narasi-narasi besar yang melampaui tubuh kereta itu
sendiri. Dan, Anda penonton atau siding pembaca, memiliki hak juga untuk
menafsir narasi-narasi yang berawal dari kereta tersebut.
Sementara
bagi senimannya sendiri, Rismanto—bagi saya—justru diandaikan segera
“melupakan” narasi-narasi yang bertebar dalam pameran tunggalnya kali ini, dan
lalu segera bergerak mencari narasi dan pencapaian yang berbeda ke depan. Tak
perlulah kereta imajinasi dan estetikamu terlalu lama berhenti di stasiun ini.
Ya, tak perlu berhenti lama di sini ya… ***
Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa.