Potret Sang Kekasih dari Lensa Nabila
Oleh Kuss Indarto
PULUHAN lukisan potret diri para tokoh ulama
Nusantara ini, khususnya ulama (kyai) dari Nahdlatul Ulama (NU), kiranya tidak
bisa dipandang secara sederhana sebagai rentetan wajah-wajah manusia semata. Di
balik kesederhanaan visual yang dikerjakan sekian lama oleh Nabila Dewi Gayatri
ini, memuat sekian banyak pesan yang bisa dieksplorasi.
Pertama, secara personal, pameran tunggal ini merupakan “proyek”
pelunasan janji sang seniman terhadap dirinya sendiri, juga terhadap mendiang
ayahnya, yang pernah dilontarkan bertahun-tahun lalu sebelum sang ayah
meninggal dunia. Kedua, pameran ini
seperti menjadi medan pengingat atas kekayaan “sumber daya ulama atau kyai” Nusantara
yang pernah ada dan terus bersambung garis kesejarahannya hingga kini. Para
kyai yang menjadi subyek model karya Nabila ini berasal dari berbagai kawasan,
dan merupakan sosok yang banyak ditokohkan oleh waktu, tempat, massa serta
momentum dimana mereka berada. Ini merupakan hal penting karena masing-masing
tokoh ulama memiliki garis ketokohan berikut kemungkinan kebintangannya yang
khas satu sama lain. Ketiga,
potret-potret ini menjadi pengilas-balik bagi konsep tentang nilai
kenusantaraan atau keindonesiaan yang telah mulai bermasalah dewasa ini. Para
tokoh tersebut memiliki peran, sepak terjang, dan sumbangsih penting bagi
rajutan nilai-nilai kebangsaan yang berangkat dari lokal masing-masing.
Pesan Abah
Nabila Dewi Gayatri, seniman yang tengah
berpameran ini, memerlukan waktu yang relatif cukup lama untuk mewujudkan
obsesi berpameran tunggal dengan materi seperti ini. Lebih mendasar dari hal
itu, pilihannya untuk menekuni dunia seni rupa juga tidaklah dilalui dengan
mulus dan sederhana. Masa kecil dan remajanya banyak dilewati di jantung kota
Surabaya, persisnya di bilangan Jalan Bengawan, dimana sang ibu dan abah (sebutan karibnya terhadap ayah),
menetap. Dengan menempati areal tanah seluas sekitar 3.000 meter persegi,
lingkungan rumah orang tuanya itu selalu riuh menjadi jujugan (tempat berkunjung) bagi sekian banyak orang tiap hari.
Para tamu itu beragam. Mulai dari para petinggi pemerintahan dan militer dari
Surabaya dan Jawa Timur sendiri, hingga mereka para tokoh yang datang dari kota
lain, bahkan ibukota Negara, Jakarta. Ada pula orang-orang sesama saudagar,
para kyai dan ulama, hingga para nahdliyin atau umat yang berkunjung untuk
menjalin tali silaturahim, meminta doa restu, hingga ada sebagian yang, maaf,
memohon santunan. Semuanya berbaur dalam satu ruang dan waktu yang nyaris
berbarengan, dan berlangsung hingga bertahun-tahun.
Nabila masih mengingat betul bagaimana
kesibukan abah-nya menerima sekian
banyak tamu tiap hari itu juga berimbas pada seluruh aktivitas di sekujur
lingkungan rumahnya. Di ruang tamu, orang-orang dilihatnya hilir mudik
begantian bertamu. Sementara di belakang, persisnya di dapur, aktivitas domestik
di sana tidak kalah sibuk dan repotnya. Hampir tiap hari, seingat Nabila, para
asisten rumah tangga yang mengabdi di keluarganya harus menanak nasi hingga
puluhan kilogram demi memenuhi kewajibannya menjamu tetamu yang datang dari
berbagai daerah. Bisa dibayangkan berapa pengeluaran yang mesti digelontorkan
dari dompet tuan dan nyonya rumah demi melihat realitas tersebut tiap hari.
Namun, sebaliknya, Nabila juga merasakan ada
kekuatan yang tak bisa dikatakan dengan detail, dan tak bisa dilihat dengan
mata telanjang ala awam, yang senantiasa terjadi dalam kehidupan di rumah orang
tuanya tersebut. Apa lagi ketika itu dia masih berada di masa kanak-kanak atau
mulai beranjak dewasa, sehingga belum cukup peduli dengan detail yang terjadi.
Dia hanya masih bisa mengingat betapa ketika mulai duduk di bangku SMA, ketika
dia hendak bepergian dengan cara yang cuek
karena tanpa banyak perencanaan matang, selalu saja terfasilitasi dengan sangat
baik. Dengan mudah, tergesa-gesa bahkan sembari berlari, Nabila tak jarang
pamitan untuk pergi keluar bersama teman-temannya. Dalam ketergesaan itu,
tangannya bisa mengambil bergepok-gepok uang yang bertebar di banyak kamar yang
ada dalam rumah besar orang tuanya.
Secuil cerita itu memberi sedikit kilasan
gambaran betapa keberadaan orang tua Nabila memiliki strata yang berbeda dengan
kebanyakan orang di lingkungannya. Ada aura ketokohan yang relatif mumpuni yang
membuat sang abah sangat dihormati oleh banyak orang dari berbagai kalangan.
Aura ketokohan itu bisa diduga dibangun dari banyak aspek. Mulai dari
keilmuannya (dalam bidang agama) yang membuatnya terasa linuwih (punya banyak kelebihan dibanding orang lain) sehingga
orang lain perlu mengerumuninya untuk menimba pengetahuan dan daya lebih
tersebut. Ketokohan itu juga muncul karena kesuksesannya sebagai saudagar,
apalagi ketika kesuksesannya itu diraihnya dari bawah, sehingga proses
merangkak untuk berusaha hingga merengkuh kesuksesannya tersebut pantas untuk
diapresiasi dan ditimba oleh orang lain. Pada titik ini pun secara personal dia
mengalami mobilisasi vertikal, yakni pergerakan sosial ekonomi dari bawah ke
atas yang berimbas pada banyaknya pihak yang kemudian berkerumun. Ini gejala
yang sangat wajar bahwa “semut akan selalu merubung gula”.
Posisi dan keberadaan abah atau orang tua Nabila inilah yang pada satu titik memberi
“beban” persoalan ketika sang anak memiliki pilihan hidup dan profesi yang
berjarak, atau bahkan cukup menjauh dari garis profesi dan pilihan hidup orang
tuanya. Ya, inilah yang terjadi. Nabila muda melanjutkan kuliah di Jurusan
Arsitektur di ITS (Institut Teknologi Surabaya) selepas lulus SMA. Bertahun-tahun
setelah lulus menjadi calon arsitek, dia melanjutkan kuliah di Al Azhar, sebuah
perguruan tingi prestisius di Mesir, untuk memperdalam ilmu yang kurang lebih
diamini oleh orang tuanya. Sebagai anak tunggal, dan kebetulan berjenis kelamin
perempuan, pundak Nabila seperti harus siap menampung “beban” yang diharapkan
tidak saja dari orang tuanya, namun juga masyarakat di sekitarnya. Setidaknya,
eksistensi si anak dengan sigap (dan kadang kejam) akan diperbandingkan oleh
masyarakat dengan eksistensi orang tuanya. Apa boleh buat, itulah yang acap
terjadi.
Dua disiplin ilmu yang telah dikenyamnya di
bangku pendidikan tinggi formal di Surabaya dan di Mesir, ternyata tidak mempan
untuk membendung kekuatan alam bawah sadar Nabila. Dia ingin berkarya seni,
terutama seni rupa, dan ingin menjadi seniman! Ini, sungguh, sebuah pilihan
yang tak sepenuhnya menarik perhatian dan apresiasi dari orang tuanya, terutama
sang abah. Perlu kurun waktu yang
tidak sebentar untuk meyakinkan kepada orang tuanya bahwa pilihan hidup dan
pilihan profesi sebagai seniman itu layak untuk diperjuangkan dan
dipertahankannya—karena terus menguat menyeruak dari dalam diri. Nabila sadar
betul dengan dasar “penolakan” orang tuanya untuk menjadi seniman. Pemikiran
umum dan mainstream relatif sudah sepaham bahwa pilihan hidup menjadi seniman
atau bergelut di dunia seni itu adalah pilihan yang sulit, berat, karena akan
berhimpitan dengan problem sosial kemasyarakatan yang sudah bisa ditebak: hidup
tidak teratur, awut-awutan, penghasilan pas-pasan, dan segala cap yang
cenderung negatif yang teralnjur melekat dalam benak masyarakat—juga pada orang
tuanya.
Pada tahun-tahun terakhir sebelum berpulang, sang
abah mulai mencoba menerima dan
mengapresiasi pilihan hidup dan profesi anak tunggalnya ini. Menjadi seniman,
hidup dengan, bersama, dan dari dunia seni bolehlah menjadi pilihan bagi Nabila.
Namun, abah memiliki satu keinginan
yang ingin sang anak kelak bisa mewujudkannya, yakni melukis wajah para kyai
atau ulama Nusantara, atau khususnya yang berkaitan dengan dunia NU (Nahdlatul
Ulama). Pameran ini, dengan menampilkan deretan puluhan wajah para kiai atau
ulama Nusantara, adalah “proyek pelunasan utang” dari Nabila terhadap sang abah—yang baru bisa terwujud setelah
bertahun-tahun proses harus dilewati. ***
Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tunggal "Sang Kekasih" karya Nabila Dewi Gayatri. Pameran berlangsung di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, 8-14 Mei 2017.