Perjalanan Lanjut Makhfoed






Karya-karya dan potret diri seniman Makhfoed (1942-2018).


PERJALANAN itu telah terhenti. Dan perjalanan di dunia yang berbeda segera dimulai. Seniman Makhfoed, Rabu, 18 April 2018, sekitar pukul 23.30 wib mengakhiri perjalanan hidupnya di dunia setelah menderita sakit beberapa waktu. Seniman lulusan Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) tahun 1968 ini menghembuskan nafas yang terakhir dalam usia 76 tahun.

 Makhfoed lahir di kampung tua Peneleh, Surabaya, 10 Mei 1942. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan Abdoel Sjoekoer dan Murtosiyah. Sang ibu hanya bisa memomongnya selama setahun karena ketika dalam proses persalinan anak kedua atau adik Makhfoed, ibunya tak tertolong nyawanya. Adiknya pun meninggal sebulan setelah persalinan tersebut.

Pilihannya untuk menjadi seniman terbilang aneh bagi keluarganya, dan tentu tak mudah untuk mewujudkannya. Menjadi seniman bukanlah pilihan yang lazim. Langkah awal untuk merunuti cita-citanya itu ketika Makhfoed masuk ke Aksera angkatan kedua. Setelah lulus tahun 1968, tak mudah baginya menggeluti profesi sebagai seniman. Tahun 1976 atau 8 tahun setelah lulus Makhfoed memutuskan untuk bekerja sebagai tenaga lay-outer (penata letak perwajahan) pada mingguan Liberty, Surabaya. Itu diputuskannya setelah menikah dengan seorang gadis Bandung, Ule Julaiha. Dari pernikahan ini, pasangan Makhfoed-Julaiha mendapatkan tiga anak: Putri Handini, Indah Rosarini, dan Nuari Bramasastri. Namun Indah Rosarini terlebih dulu meninggal.

Begitulah, sembari berkarier di media cetak, Makhfoed tetap meneruskan dasar utama cita-citanya sebagai seniman lukis. Nama dan reputasinya kokoh berdiri sebagai tokoh penting seni rupa di Jawa Timur setelah generasi yang lebih senior darinya, seperti M. Daryono, Krishna Mustadjab, Amang Rahman, dan sebagainya. Ketika tahun 1996 dia mengundurkan diri dari majalah Liberty, dunia seni rupa, khususnya lukis, makin digelutinya sebagai pilihan hidup.

Karya-karyanya yang mengarah pada abstrak figuratif memiliki kekhasan tersendiri. Pertama, mayoritas karyanya berjudul “Perjalanan”. Ya, sekian banyak karyanya diberi identifikasi yang serupa, hanya “nomer serinya” yang berbeda. Kata “perjalanan” itu sendiri, kemudian bisa bermakna bahwa Makhfoed amat menghargai sebuah proses, dan perjalanan adalah bagian penting dari mekanisme sebuah proses yang terus bergerak mendinamisasi diri. Dia seperti tak ingin berhenti pada satu titik dan menguncinya sebagai sebuah monumen pencapaian. Prosesnya terus berjalan, bergerak, dan terus mencari entah sampai dimana. Sampai di titik henti bernama kematian pun, mungkin Makhfoed tak menemu kata henti ada karya-karyanya, karena sebagian besar atau semua karyanya masih berupa “Perjalanan”.

Praktik berkaryanya Makhfoed pun unik. Dia mengaku sering menghadapi kanvas tanpa ide tertentu. Begitu kuas dan cat di tangannya, kanvas di depan tubuhnya, barulah kesadaran naluriahnya bergerak. Warna-warna dasar disaputnya, untuk kemudian mengalirlah bentuk-bentuk tertentu yang beruntun “lepas” dari ujung jemarinya. Semuanya bergerak dan berimprovisasi tanpa ada tujuan untuk melukis sesuatu. Bagai air yang menemu dataran yang merendah, bagai angin yang mengembus memeluk dataran tinggi.

Dengan menyimak karya-karya Makhfoed, sulit kiranya apresian berhenti memaknainya sebagai torehan cat yang sekadarnya. Betullah kata-katanya yang membilang bahwa semua karyanya adalah “perjalanan”: seperti perangkat atau pintu masuk bagi siapapun untuk menafsir dengan segala rupa makna. Di balik absurditas rupa yang ditawarkan, ada sekian banyak simbol, ikon atau lambang yang mengasosiasikan pada persoalan dan konteks tertentu. Pada titik inilah Makhfoed sering “menghentikan” proses pemaknaan atas karyanya dengan menyerahkan sepenuhnya pada apresian atau penonton. Ya, benarlah anggapan bahwa “the author was dead”. Pengarang telah “mati”. Seniman telah berkarya, dan ketika mengetengahkan kepada publik, maka ada kekebasan bagi publik untuk menafsir—dan bisa bebas dari kungkungan tafsir tunggal seniman. Di sinilah karya Makhfoed dikayakan oleh beragam tafsir.

Selamat menuju perjalanan berikutnya, pak Makhfoed.

*Catatan pendek ini banyak bersumber dari tulisan sahabat saya, mas Henri Nurcahyo dalam bukunya “Seni Rupa Pantang Menyerah” (Surabaya: Yayasan Mataseger, 2017)

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?