Yustoni Volunteero Berpulang

Bersama teman-teman seniman Yogya, paruh kedua 1998, Yustoni Volunteero mendirikan Taring Padi, sebuah komunitas seni rupa kerakyatan. Garis orientasi estetikanya kurang lebih berupaya menngeluti seni rupa realisme sosial yang kekiri-kirian haluan politiknya. Ya, kira-kira seperti komunitas serupa yang hidup sekitar 1950-1960-an, yakni Bumi Tarung. Komunitas Taring Padi diresmikan pendiriannya pada sebuah sore, di halaman kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum), bilangan Kadipaten, Yogyakarta.

Taring Padi menjadi ruang ekspresi penting seorang Yustoni. Aktivitas seninya adalah juga aktivitas politik yang cukup relevan untuk mengisi masa pancaroba setelah jatuhnya rezim Orde Baru untuk memasuki era Reformasi. Itu masa-masa penting ketika masyarakat yang telah 3 dasawarsa dikungkung oleh pemerintahan yang totaliter di bawah Soeharto, tiba-tiba menikmati kebebasan penuh. Toni dan Taring Padi bisa dibilang sebagai "art-tivist" karena beberapa aktivitas seninya dipraktikkan secara langsung dengan publik sebagai kolaboratornya. Salah satu contoh penting adalah aktivitas Festival Memedi Sawah di desa Polanharjo dan Delanggu, kabupaten Klaten pada tahun 1999. Aktivitas ini di luar gerak maintream seni rupa waktu itu karena tidak berlangsung di ruang seni yang standar, tidak berorientasi pada pasar (padahal ketika itu masih "bau-bau" booming seni rupa yang dimulai tahun 1997.

Ya, tentu itu hanya salah satu contoh kecil dari gerak Taring Padi dengan Toni sebagai salah satu motor penggerak di dalamnya. Masih banyak aktivitas lain yang menjadikan komunitas ini dianggap eksotik bagi sebagian kalangan pengamat seni budaya di mancanegara. Itulah yang memungkinkan Toni kemudian banyak menerima undangan untuk bicara dan beraktivitas di luar, seperti di Finlandia, Australia, dan lainnya.

Toni sendiri sejak masuk kuliah di Prodi Seni Lukis, ISI Yogyakarta tahun 1991, sudah aktif di pergerakan mahasiswa. Saya sebagai salah satu kakak kelasnya juga sesekali berbaur dengannya untuk kepentingan yang sama. Misalnya tahun 1992 membuat demonstrasi di halaman dan persimpangan jalan depan IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Teman-teman aktivis kampus lain selalu senang terlibat dalam kolaborasi ketika berdemonstrasi dengan anak-anak ISI Yogya. Pasti penuh kelucuan dan kekonyolan yang tak terpikirkan oleh mereka. Demo menjadi tidak tegang, tapi malah penuh canda. Bahkan polisi yang menjagai demonstrasi pun kadang senyam-senyum menahan tawa karena kelucuan anak-anak ISI.

Jaman kuatnya rezim Soeharto itu demonstrasi mahasiswa mulai sering dilakukan sekitar tahun 1995 hingga 1998 saat Soeharto tumbang. Tahun 1995 saya mengajak Toni, S. Teddy D., Arie Dyanto, Edo Pilu, dan Kipli (sekarang dosen ISI Surakarta) untuk ikut demo di Jepara dengan para aktivis perempuan. Ada juga seniman Dadang Christanto di rombongan. Kalau tak salah waktu itu Hari Kartini, dan tema demonya tentang dekonstruksi nilai-nilai perempuan. Alun-alun tempat upacara Hari Kartini geger. Dandim setempat marah besar dan membubarkan upacara. Kami yang berdemo dengan bertelanjang dada, hanya bercelana dalan dan tubuh penuh cat putih, diusir oleh aparat. Untung tak ada penahanan pada para demonstran.

Dalam banyak demonstrasi berikutnya Toni banyak mengambil bagian. Dan anak-anak ISI Yogyakarta selalu mencuri perhatian di antara demonstran dari kampus lain. Pusat demonstrasi biasanya di Bunderan UGM, atau UNY. Rombongan mahasiswa ISI biasanya konvoi dengan sepeda motor beserta bus kampus dan mobil pick up yang berpelat merah. Ya, mobil negara dipakai untuk mendemo pemerintah. Itu menerbitkan rasa heran mahasiswa dari kampus negeri yang lain. Kok bisa? "Ya, bisa. ISI gitu loch...", kira-kira begitu "kesombongan" kami anak-anak ISI.

Dengan kreativitas seni pula, sebagian anak-anak ISI Yogya membuat sosok patung besar dari kerangka bambu. Kemudian di bagian wajah ditempeli poster Soeharto. Patung itu dibawa ke utara gedung Balairung UGM pada tanggal 11 Maret 1998. Saat itu ada semacam apel besar untuk menolak Soeharto yang pada saat bersamaan dilantik kembali oleh Harmoko (sebagai Ketua MPR) menjadi presiden RI.

Di tengah-tengah acara yang dihadiri puluhan ribu massa, Toni dengan terbuka membakar patung itu. Wajah patung Soeharto disiram minyak dan disulutlah dengan api. Massa bertepuk tangan.

Setelah momen itu, Toni "hilang". Dia tidak ada di rumah orang tuanya di daerah Kadipiro, tidak juga di kos-kosannya. Dengar-dengar, dia ngumpet setelah pihak intel mengejarnya. Tapi untunglah dia selamat, tidak tertangkap atau terculik seperti beberapa aktivis mahasiswa lain.

Dia muncul kembali antara lain ketika kami rapat merancang aksi demonstrasi dingedung Sasana Ajiyasa di ISI Yogya kampus Gampingan. Kami kemudian bersepakat untuk berdemondi utara perempatan Wirobrajan, Yogyakarta. Nama komunitas aksi kami pun "njelehi" dan tidak heroik sama sekali. Kalau para aktivis kampus lain memberi nama dengan, misalnya "Front Mahasiswa" ini-itu, "Gabungan mahasiswa" ini-itu yang terkesan gagah, maka anak-anak ISI membentuk komunitas aksinya dengan nama "Mas Wiranto". Ini singkatan dari "Masyarakat Wirobrakan Anti Soeharto". Sangat asu, ngehek, dan tak ada heroik-heroiknya blas! Tapi terasa dekonstruktif karena demonstrasi kan bukan menakut-nakuti rakyat, tapi mengajak mereka untuk bersama-sama kritis dan tetap bisa ndhagel (jenaka).

Begitulah. Yustoni Volunteero adalah bagian dari makhluk yang kreatif, heroik tapi tetap ndhagel yang saya kenal. Senyum simpulnya lebih sering saya lihat ketimbang cemberut njaprut di wajahnya. Awal bulan Ramadan ini kami sempat terlibat dalam proyek pameran bersama dengan seniman lain di Bentara Budaya Jakarta. Ada dua karya Toni terpampang dalam pameran "Tong Edan" ini. Sayang dia tak bisa datang saat pembukaan karena masih sakit. Beberapa waktu ini Toni sering nyeletuk dan memposting sesuatu di sebuah grup WA yang saya ikuti. Saya kira sudah sehat. Tapi ternyata belum sepenuhnya sehat dari penyakit asma yang terbilang akut. Dan Tuhan memanggilnya Sabtu malam, 9 Juni 2018 sekitar pukul 23.30 WIB. Toni meninggalkan istri tercinta, Leli. Sebelumnya Toni pernah menikah dengan wanita Australia, Heidi Arbuckle.

Selamat jalan, Toni. Semoga Tuhan memuliakanmu dibtempat terindah di sisiNya. ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?