Cinta Christo

Legenda itu bernama Christo. Lengkapnya: Christo Vladimirof Javacheff. Laki-laki sepuh yang pada 13 Juni 2018 berusia 83 tahun ini tidak menghentikan jejak kelegendaannya dengan karya-karya kolosal yang telah dibuatnya puluhan tahun lalu. Christo terus bergerak melampaui detak-detak jantungnya yang mulai melemah karena kerentaannya. Karya “seni membungkus” (sebagian kritisi seni menyebutnya sebagai seni instalasi, atau sebagaian karya lainnya diidentifikasi sebagai land art, atau environmental art) yang telah dikreasi kini menjadi jejak penting sejarah seni rupa dunia.

Karya-karyanya terasa melegenda karena sering dibuat antara lain dengan aspek kolosalitasnya yang luar biasa, anggarannya yang jumbo, dan proses pembuatan yang penuh kompleksitas. Tahun 1995, misalnya, Christo bersama istrinya Jeanne-Claude membungkus gedung parlemen Jerman (Reichstag) di Berlin. Proses membungkus gedung itu memakan waktu hingga 8 hari, 17-24 Juni 1995. Maklum, seniman kelahiran Gabrovo, Bulgaria ini mesti membungkus Reichstag dengan kain polypropylene yang tahan api seluas 100.000 meter persegi, ditambah tali sepanjang 15 kilometer untuk menjaganya agar kain tidak kabur dari posisinya. Hal yang tak kalah melelahkan dalam proyek seni ini adalah proses perijinan yang harus dilakukan oleh Christo dengan menelepon atau mengirimkan surat resmi satu persatu kepada 662 anggota parlemen, ditambah lagi dengan debat terbuka selama 70 menit di depan parlemen pada 25 Februari 1995—meski sejak awal rencana Christo sudah didukung penuh oleh Ketua Parlemen Jerman waktu itu, Rita Süssmuth.

Kemudian proyek seni Christo dan Jeanne-Claude bertajuk “The Umbrellas” yang dibuat dalam rentang waktu nyaris bersamaan, yang berlokasi di Tejon Ranch, California, Amerika Serikat (dengan memasang 1.760 payung warna kuning), dan di Ibaraki, Jepang dengan memasang 1.340 payung warna biru. Perhelatan itu berlangsung di paruh kedua tahun 1991—dan dibuka resmi pada 9 Oktober 1991.

Proyek seni Christo yang tak kalah kolosal dan menyita perhatian publik seni dunia adalah “Floating Piers”. Proyek ini telah digagas bersama sang istri—yang kebetulan tanggal, bulan dan tahun kelahirannya sama dngan sang suami—sejak tahun 1970-an. Awalnya mereka merancang karya itu untuk diterapkan di Rio de la Plata, sebuah kawasan di perbatasan antara Argentina dan Uruguay. Tapi rencana itu tertumpuk oleh berbagai proyek lain yang lebih diprioritaskan. Sayangnya, Jane-Claude meninggal pada 18 November 2009 dalam usia 74 tahun—dan proyek itu belum kunjung direalisasikan.
Impian sejoli itu berusaha tetap diwujudkan oleh sang suami meski kini memperjuangkannya sendirian. “Floating Piers” adalah proyek seni besar Christo yang dikerjakan setelah kematian sang istri. Pilihan tempatnya diubah. Tak lagi di Rio de la Plata, tapi di danau Iseo, tak jauh dari kota Brescia, Italia.

Christo merelakan dirinya tinggal di sekitar danau Iseo mulai akhir 2013 atau 4 tahun setelah kematian Jane-Claude. Sasaran proyek seni ini adalah membungkus seluruh tepian pulau mungil bernama San Paolo yang ada di tengah danau Iseo. (Mungkin seperti pulau Sibandang di tengah danau Toba di Sumatera Utara. Kalau pulau Samosir terlalu besar). Dari pulau San Paolo itu kemudian Christo membuat semacam titian panjang berbentuk cawang yang menghubungkan pada dua kawasan daratan, yakni Sulzano dan Monte Isola.
Pembungkus tepian pulau San Paolo dan jalur cawang menuju Sulzano dan Monte Isola terbuat dari bahan semacam nylon tahan air berwarna oranye kunyit. Ada 70.000 meter persegi nylon di sana. Di bawahnya terentang kotak kubus pelampung berukuran besar. Christo membutuhkan 226.000 kotak kubus, dan 220 jangkar untuk menahan ratusan ribu kotak kubus pelampung itu. Jangkar itu sendiri teronggok di dasar danau sedalam sekitar 92 meter. Proyek ini dikerjakan dengan bantuan sekitar 600 pekerja.

“Floating Piers” secara resmi dibuka dan dinikmati untuk umum pada 18 Juni, dan ditutup 3 Juli 2016. Ya, proyek seni yang dikonsep sejak hampir setengah abad lalu, menghabiskan dana hingga sekitar $17 juta dolar, mulai dikerjakan lebih dari 2 tahun, tapi “hanya” digelar selama 17 hari! Selama kurun 17 hari itu, karya Christo telah dijejaki, dikunjungi oleh sekitar 1,2 juta orang atau rata-rata 72.000 pengunjung tiap hari.

Lalu, kini, di usianya yang telah menginjak 83 tahun, apa yang sedang dilakukannya? Christo pensiun dan duduk, lalu mendongeng dengan ceriwis masa lalunya? Sibuk mengeluh atau menggunjing? Tidak. Akhir-akhir ini eyang sepuh tersebut tengah ngebut—lagi-lagi—mewujudkan mimpi lamanya. Ya, mimpi besarnya bersama bersama mendiang istri tercinta yang berasal dari Maroko, Jane-Claude. Proyek seni itu bertajuk: “The Mastaba”.

Mastaba adalah bentuk bangunan kuno serupa piramida yang belum sempurna yang diduga berawal dari budaya Mesir Kuno. Persisnya, mengikuti istilah geometrika, berbentuk prisma trapezoida. Christo sendiri menduga bangunan ini berasal dari Mesopotamia (kini Irak). Sama halnya dengan piramid, mastaba kemungkinan adalah sebentuk makam. Lagi-lagi, proyek seni ini merupakan buah dari imajinasi pasangan Christo dan Jeanne-Claude. Mereka telah menggagas 41 tahun lalu atau tahun 1977. Ini sebuah proyek seni yang dipersembahkan untuk Abu Dhabi. Maka Christo menginginkan karya ini ada di jazirah Arab. Tempat pun sudah ditentukan kala itu, setelah setidaknya dua kali survey lapangan, yakni di kawasan Al Gharbia, dekat oasis bernama Liwa, yang jaraknya berkisar 160 km dari kota Abu Dhabi.

Tapi tampaknya rencana itu tak semua mulus. Kalau memaksakan diri menempatkan karya di situs Al Gharbia, banyak kompleksitas masalah yang tak mungkinbisa tertangani semua. Mulai dari penyediaan material berikut proses pendistribusiannya ke lapangan yang jau dari permukiman, pembiayaan yang sangat mahal, hingga bertautan dengan kondisi fisik Christo yang makin menua. Maka, proyek “The Mastaba” direalisaskan di danau Serpentine, di Hyde Park, kota London, Inggris.

Ada kondisi yang jauh berbeda antara disain yang telah dirancang selama puluhan tahun oleh Christo dan situasi ketika yang tengah diwujudkan saat ini. The Mastaba akhirnya tidak akan dibuat di tengah gurun pasir, namun akan terapung di atas air danau. Awalnya diancang-ancang materi karyanya akan memakai sekitar 410.000 drum minyak, tapi pada akhirnya akan jauh drastis berkurang, yakni “hanya” memakai 7.506 drum. Besaran fisik The Mastaba tak lagi seperti disain semua yang direncanakan setinggi 150 meter, dengan panjang 300 meter dan lebar 225 meter, dan akan menjadi salah satu karya patung terbesar di dunia. Tidak. The Mastaba mungkin “hanya” akan setinggi sekitar 25 meter dengan panjang dan lebar tubuh menyesuaikan dengan besaran disain prisma trapezoida.

Tak lama lagi “The Mastaba” akan menghiasi danau Serpentine di kota London, dan kita akan mengenangnya sebagai karya seni kreasi seorang eyang sepuh yang gigih mewujudkan cintanya pada jagad seni rupa sebagai pilihan hidupnya. Kita akan mengenang Christo yang begitu mencintai dengan keras kepala pada pasangannya, Jeanne-Claude, yang bersama-sama menabur ide bersama untuk hampir semua karya-karya seni yang pernah bertebar di banyak negara dan mengukuhkan kebesaran nama dan reputasi mereka berdua.

Dan, apakah “The Mastaba” yang sejarahnya diduga adalah bangunan makam itu juga menjadi sebuah petanda bagi Christo? Saya harus menyeret nama Tuhan di sini karena Dia-lah Yang Maha Sutradara. ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?