Oom GM Sudarta, Selamat Jalan...

Sosok GM Sudarta. (foto: Kompas)

Damar, yang kini telah berkeluarga dan menetap di Yogyakarta, Jumat kemarin seharian pergi ke perumahan di bilangan Gemblengan, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. Hampir sehari penuh dia membersihkan rumah besar milik orang tuanya yang telah bertahun-tahun dibiarkan kosong tanpa penghuni.

Tetangga rumah besar itu, seniman Karang Sasangka—yang juga anak pelukis senior almarhum Rustamadji—sempat menyapa dan menyatakan keheranannya karena tumben Damar datang dan bersih-bersih rumah. Rumah itu selama ini hanya dititipkan kepada salah seorang di kampung itu untuk dibersihkan sekadarnya, tapi tidak ada yang mendiaminya. “Iya, ini saya bersihkan, biar kelak anak-anak saya yang akan menempatinya,” tutur Damar seperti ditirukan oleh Karang Sasangka. Rumah dengan dua gapura khas Bali itu memang terasa wingit bila malam tiba karena bercahaya minim sementara ukuran rumah berikut pekarangannya terasa begitu besar dan luas ketimbang rumah-rumah lain di sekitarnya.


Uniknya, antara Damar dan Karang Sasangka saling menanyakan kabar ayah Damar. Dan mereka sama-sama tidak tahu karena belum meng-update berita dan kabar tentang sang ayah Damar. Damar sendiri memiliki saudara kembar perempuan (kembar dhampit) bernama Sekar—yang sama-sama tinggal di Yogyakarta. Dan ayah Damar-Sekar adalah: GM Sudarta.


Mungkin itu firasat indah yang disampaikan oleh Tuhan untuk Damar tentang kabar ayahnya. Sabtu pagi ini, 30 Juni 2018, pukul 08:25 WIB, sang ayah—GM (Gerardus Mayela) Sudarta—meninggal dunia di Bogor dalam usia 73 tahun (20 September 1945-30 Juni 2018). Penyakit gula, pengeroposan tulang dan beberapa penyakit lainnya dalam beberapa tahun terakhir telah menggerogoti tubuh laki-laki kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini. GM Sudarta meninggalkan 2 perempuan yang pernah dinikahi, 2 putra-putri kembar dhampit dari istri kedua, dan beberapa cucu.


Selepas tidak lagi menetap di Klaten, GM Sudarta memilih tinggal di sebuah kampung di kawasan perbukitan di Bogor. Termpatnya relatif ngumpet, dan hanya segelintir sahabatnya yang diberi tahu letak persisnya rumahnya yang sekarang. Alasannya, dia betul-betul ingin menyepi di hari tuanya. Dalam tempat menyepinya itu, laki-laki yang pernah studi di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, sekarang Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta) tetap berkarya. Sesekali melukis, dan tetap menggambar karikatur atau editorial cartoon untuk harian Kompas hingga pensiun.


Buku “Berteriak dalam Bisikan” menjadi salah satu bukti terakhir dari kesetiaan dan kepiawaian sosok GM Sudarta dalam menggeluti dunia seni kartun atau karikatur. Dengan tebal hampir 400 halaman dan terbit akhir Mei 2018, buku tersebut telah memberi representasi yang begitu kuat tentang daya nalar dan daya kreatif seorang GM Sudarta yang mengabdi dunia seni dan jurnalistik lewat kembaga harian Kompas. Di situ terpapar ratusan karya karikatur GM Sudarta yang dibuat selama kariernya di harian Kompas, mulai tahun 1967 hingga resmi benar-benar pensiun pada akhir 2017. (Sebetulnya GM Sudarta sudah pamit pensiun lebih dini bertahun-tahun sebelumnya, namun oleh pendiri Kompas, Jacob Oetama, ditahan dan tidak diijinkan).


Karya-karya kartun editorialnya tidak saja memiliki karakter yang kuat, namun juga telah menambah salah satu kekuatan identitas harian Kompas. Terlebih dengan nama tokoh sentral rekaannya, yakni Oom Pasikom, yang secara jelas diambil dari kata Kompas (bacalah Pasikom beberapa kali: Pasikompasikompas…)


GM Sudarta mengaku kalau karier dan perjalanan hidupnya penuh ketakterdugaan. “Tetapi yang paling berpengaruh adalah kesempatan,” tulis GM Sudarta dalam kate pengantar buku “Berteriak dalam Bisikan”. Dia mengaku banyak kesempatan yang datang tidak terduga, dan dia dengan penuh perhitungan memanfaatkan kesempatan tersebut. Misalnya saat masih kuliah di ASRI di Yogyakarta. Ketika pihak kampus memilih dan menyertakan dirinya untuk menjadi anggota tim disainer diorama dalam pembangunan Monumen Nasional (Monas) dan Monumen Tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu langsung disambarnya untuk menambah pengalaman.


Begitu pula ketika usai menuntaskan proyek diorama di Monas dan monumen di Lubang Buaya, harian Kompas menawarinya untuk bergabung sebagai ilustrator. Kesempatan itu pun langsung diambil, dengan risiko dia tidak pernah mampu menuntaskan studi formal di ASRI Yogyakarta. Risiko harus berani diambil, dan GM Sudata bisa lulus dalam “studi” di kehidupan yang sesungguhnya yang penuh tantangan dan pilihan profesi yang digelutinya hingga akhir hayat.

GM Sudarta telah berpulang, dengan meninggalkan banyak pencapaian. Dia, antara lain, menerima Hadiah Jurnalistik Adinegoro dan tropi dari PWI secara berturut-turut (1983, 1984, 1985, 1986, 1987), Best Cartoon of Nippon (2000), serta Gold Prize Tokyo No Kai (2004). Tahun 2008 berkesempatan menjadi staf pengajar tamu di Cartoon Department di Universitas Seika, Kyoto, Jepang. Tokoh ciptaannya pun pernah difilmkan. Tentu ini hanya sebagian, karena masih banyak prestasi dan pencapaian lain yang telah diraihnya.

Selamat jalan, Oom GM Sudarta! Ars Longa Vita Brevis. Engkau telah berpulang, tapi karyamu tetap terus dikenang.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?