Pangan(an)


Kue clorot atau dhumbeg.

Lebaran sudah berakhir meski atmosfirnya masih sedikit berpendar seminggu setelah tanggal 1-2 Syawal. Atmosfir itu dibangun, antara lain, oleh makanan yang masih tersaji di meja-meja tamu di banyak rumah yang merayakan Idul Fitri atau lebaran.

Banyaknya makanan atau kuliner yang tersaji di rumah-rumah memang menjadi salah satu penanda penting datangnya lebaran--hari istimewa orang muslim (di Indonesia). Kekayaan dan keragaman kuliner di pelbagai kawasan di Nusantara kembali (di)muncul(kan) pada momentum itu, meski mungkin lambat laun mulai surut aneka ragamnya.

Makanan lokal secara pelahan digeser oleh makanan dari luar yang dianggap mudah cara pembuatannya, awet hingga bertahan beberapa minggu, dan mudah mencari bahan bakunya. Misalnya kastengel. Kini camilan ringan asal negeri kafir Belanda ini sudah sangat populer sebagai hidangan khas lebaran.

Di meja-meja tamu masyarakat Jawa, camilan lokal sebenarnya masih cukup banyak tersedia, tapi--sekali lagi--mulai berkurang macamnya. Makanan yang seperti wajib adalah kacang bawang atau kacang telur dan kue bolu. Kadang ada pula kacang mete, tapi kini tak begitu banyak karena harga relatif tinggi juga kandungan kolesterol pun tinggi. Baru kemudian penyertanya berupa kue wajik, jenang, krasikan, tape ketan, dan beragam penganan lainnya. Ini akan beragam.

Sajian di meja orang Yogya akan berbeda ketimbang mejanya orang Solo, Semarang, Wonosobo, Pekalongan, hingga Banyumas, atau apalagi di Jawa Timur, mulai dari Pacitan, Magetan, Jember, Surabaya hingga Banyuwangi. Semua punya kekhasan tersendiri.

Zaman yang terus berputarlah yang kemudian ikut menggeser citarasa lidah orang Indonesia atau khususnya di Jawa. Pergeseran itu menguak karena berbagai musabab. Mulai dari soal kepraktisan, kemudahan, hingga prestise atau sistem pengetahuan yang mengikuti zaman itu.

Membuat dan menyantap kastengel mungkin karena faktor kemudahan membuatnya, namun juga karena prestise agar kita dianggap satu kotak nilai "modernitas"-nya dengan tetangga atau "orang kota", atau "orang londo" nun di sana.

Cara pandang yang terakhir inilah yang turut menyumbang tergeser hingga "nyumpetnya" kekayaan kuliner lokal yang telah ada berabad-abad sebelumnya. Dalam Serat Centhini yang disusun secara kolektif (mulai) tahun 1814 antara lain oleh Ranggawarsita dan dipimpin oleh seorang pangeran yang kelak menjadi Sunan Pakubuwana V, juga sekilas menyinggung soal jagat kuliner di Jawa. Meski Serat Centhini banyak dieksploitasi oleh beberapa pihak pada sisi muatannya tentang seks, namun bahasan perihal kuliner ini cukup kaya.

Singkatnya, dalam Serat Centhini dinarasikan sosok-sosok keturunan Sunan Giri di Gresik yang memilih keluar dari kenyamanan kraton akibat Adipati Surabaya telah tunduk pada kerajaan Mataram. Para keturunan Sunan Giri itu melakukan "jajah desa milangkori", melakukan perjalanan ke berbagai tempat.

Dari sanalah mereka menyerap setiap hal yang belum diketahui untuk kemudian diingat dan dicatat menjadi sumber pengetahuan baru. Kesempatan menimba pengetahuan itu ketika mereka melakukan perjalanan dan kemudian kemalaman di jalan. Saat itulah mereka menumpang menginap ke rumah penduduk atau rakyat biasa. Suguhan makanan pun dihidangkan untuk menyambut para tamu tersebut. Dialog pun terjadi, dan di situlah transfer pengetahuan menjadi momen penting.

Pengetahuan yang ditularkan oleh tuan dan nyonya rumah itu antara lain adalah tentang makanan yang disuguhkan. Tentang bahan dan cara memasaknya, untuk kepentingan apa makanan itu dibuat hingga filosofinya.

Dalam Serat Centhini disebutkan banyak makanan yang sudah begitu asing di telingga dan lidah orang Jawa sekalipun. Terlebih bagi generasi now. Misalnya: untub-untub, galemboh, jenang blowok, entul-entul, lodhoh ayam, pindhang sungsum, atau legandha. Atau ada pula makanan minim keberadaannya semisal clorot, pelas, bongko, gandhos, awug-awug, cothot dan lainnya.

Belum lagi mengenai bahan baku berbagai makanan. Kini di Indonesia banyak makanan yang didominasi oleh tepung terigu atau gandum sebagai bahan bakunya. Alhasil tepung beras relatif jadi minoritas. Dan varietas padi lokal pun secara evolutif ikut lenyap karena tak lagi banyak dikonsumsi, seperti varietas tambakmenur, jakabonglot, cendhani, juga randhamenter. Yang masih ada di pasaran kini antara lain rajalele atau menthikwangi.

Belum lagi jenis-jenis pisang yang makin sulit dicari seperti pisang becici, sidak, walingi, atau maraseba. Kita mulai menyempit pengetahuan tentang pisang, sekadar pada pisang ambon, raja, emas, kluthuk atau rajabandung.

Momentum lebaran sebenarnya bisa dijadikan sebagai upaya kultural kita untuk menghimpun kembali kosa kekayaan Nusantara pada jagat kuliner dan segala bahan pangan yang kita miliki. Kenapa tidak kita mulai hal ini sebagai gerakan nasional mulai sekarang?

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?