"Monumen"
NYARIS tiap kota atau kawasan di dunia—termasuk di Indonesia—berambisi memiliki identitas yang melekat. Identitas itu bisa beragam, dari yang tangible dan intangible. Keberadaan identitas itu bertalian dengan kekuasaan, baik langsung atau tak langsung. Kita paham, setiap kekuasaan membutuhkan media untuk merepresentasikan kekuasaannya. Dan bentuk-bentuk dari identitas itu—dalam konteks perbincangan ini—menjadi simbol kota atau kawasan yang koheren sebagai salah satu media yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan tersebut.
Simbol kota juga menjadi perangkat untuk melihat relasi sosial dalam masyarakat. Pada umumnya, simbol dapat dipahami sebagai sesuatu yang bisa memberikan narasi tertentu atas sesuatu hal yang berkaitan dengan kota atau kawasan tertentu. Dalam Patches of Padang: The History of an Indonesia Town in the Twentieth Century and the Use of Urban Space (1994), Freek Colombijn mendefinisikan simbol sebagai sebuah perwujudan dengan makna tertentu yang dilekatkan padanya. Sifat-sifat dari perwujudan tersebut berhubungan dengan pengalaman-pengalaman keseharian yang berada di luar perwujudan itu sendiri. Kajian tentang simbol kota menarik dan penting untuk dilakukan dengan tiga pertimbangan. Pertama, sebagian simbol menggunakan ruang fisik, misalnya monument, tugu, patung, dan tempat ibadah. Kedua, simbol-simbol berpengaruh terhadap penggunaan ruang lainnya, dan sebaliknya dipengaruhi oleh penggunaan ruang yang lain. Ketiga, dinamika simbol-simbol kota merefleksikan perubahan dalam struktur kekuasaan.
Dalam penerapannya, politik simbolisme itu berubah dari waktu ke waktu. Dulu, pada zaman kolonialisme Hindia Belanda, simbol-simbol yang bertebaran pada sebuah kota seperti misalnya monumen, patung, nama jalan, pemakaman, tempat-tempat peribadatan, dan lainnya, dibangun mengikuti alur tempat konsentrasi mereka. Perkembangan berikutnya, pemerintah pendudukan Jepang menghancurkan satu persatu simbol-simbol tersebut dengan segera. Secara simbolik, ini juga berarti sebagai sebuah penghilangan jejak kekuasaan Hindia Belanda sebelumnya. Namun waktu itu Jepang tidak menganti patung-patung Hindia Belanda yang dihancurkannya dengan patung buatan penguasa dari Negeri Matahari Terbit. Bukti kekuasaannya disimbolkan antara lain melalui keharusan mengibarkan bendera Jepang, Amaterazu Omikami, pada hari Meizi-Setu, pemberian salam untuk menghormati prajurit Jepang dan kewajiban membungkukkan badan ke arah (kira-kira) kaisar Jepang (berada).
Ketika pemerintah pendudukan Jepang pergi dan Indonesia memerdekakan diri, situasi pun berubah. Ir. Soekarno tidak saja berperan sebagai presiden dan pemimpin Republik Indonesia, namun juga menjadi arsitek penting untuk menggeser sisa-sisa simbol-simbol kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda (dan Jepang) yang banyak terserak di berbagai kota di Indonesia.
Kota Jakarta menjadi contoh sangat penting untuk memberi gambaran betapa simbol dan identitas kota itu merupakan representasi atas garis-garis kekuasaan yang tengah ditangani oleh Bung Karno. Simbol atas titik-titik pusat kekuasaan yang pernah ada sebelumnya seperti didekonstruksi, diubah, dan diperbarui sama sekali—menjadi gambaran simbol kekuasaan yang khas Republik Indonesia (baca” khas Soekarno). Berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan kolonial sebelumnya.
Maka, didirikanlah tugu Monas (Monumen Nasional) persis di tengah tanah lapang yang dulu diberi tetenger sebagai lapangan Ikada. Sekian banyak patung besar pun ditancapkan di situs lain sebagai bagian dari titik-titik penting atas “perancangan” kembali kota Jakarta yang berbeda dari yang telah didisain oleh pemerintah Hindia Belanda. Ada patung Selamat Datang, Tugu Dirgantara, Tugu Tani, stadion Senayan (GBK, Gelora Bung Karno), dan sekian banyak patung serta petanda lain yang menjelma menjadi landmark baru. Landmark itu seolah menjadi simbol penting untuk mengiringi praktik kekuasaan presiden Soekarno.
Dalam spirit yang kurang lebih serupa, bertahun-tahun berikutnya, Soeharto dan aparatusnya sebagai perangkat kekuasaan Orde Baru pun memproduksi simbol-simbol kekuasaannya lewat bentuk fisik seperti patung. Mereka menyusupkan simbol-simbol tersebut ke kampung-kampung di sekujur negeri. Ada misalnya “patung KB (Keluarga Berencana)” sebagai simbolisasi atas kuatnya kuku kuasa negara atas beberapa kelompok yang melakukan resistensi terhadap program KB—termasuk dari kelompok agama. Bisa jadi, ini juga menjadi simbol domestifikasi atau penjinakan negara atas masyarakat yang dikuasainya. Tetenger lainnya yang sempat tumbuh pada saat Orde Baru antara lain patung-patung polisi lalu lintas di persimpangan jalan. Mungkin ini juga bagian dari praktik kuasa panoptikon yang dipraktikkan oleh negara atas warganya. Tentu masih banyak patung lain yang bertebar di banyak kawasan di Indonesia, mulai dari patung satwa yang khas dan banyak dikembangbiakkan di pedesaan—seperti patung sapi, patung kambing, kuda, dan lain-lain. Pun ada patung atau relief durian, singkong, manggis, pisang, tembakau, dan sekian banyak tanaman pangan lainnya yang mengiringi kekhasan kawasan-kawasan tertentu.
Mata Jendela edisi kali ini mencoba membincangkan tema tentang monumen dengan segenap dinamika dan kompleksitasnya. Catatan perihal monument yang terpampang dalam edisi kali ini, setidaknya merupakan perluasan atau turunan konkret atas teori Henri Lefebvre tentang “Production of Space” yang pernah digagasnya sekitar tahun 1974. Kita tahu, Lefebvre mendedahkan setidaknya dalam tiga tema besar, yakni perihal praktik spasial (spatial space – perceived space), tentang representasi ruang (representations of space – conceived space), dan tentang ruang representasional (representational space – lived space). Sudah barang pasti, bahasan tentang monument yang ada dalam edisi ini masih jauh dari komprehensif. Namun setidaknya, semoga, bisa memberi acuan awal untuk bisa dikembangkan lebih lanjut dalam pencatatan atau kajian yang lebih serius. Siapa tahu. ***