Gajah Merah hitam

“Parah” nih PSI! Mau rebranding, mau ganti logo, dan baru tanggal 19 Juli 2025 dilaunching logo baru itu, eehhh… publik sudah lebih dulu mempublikasikan dan memviralkan dengan berbagai cara.

 

Logo baru PSI berujud sosok stilasi gajah warna merah (di bagian kepala) dan hitam (di bagian tubuh) belum secara resmi diumumkan oleh pihak PSI. Tapi publik sudah dengan gegap-gempita memarakkan medsos dengan beragam ekspresi yang menarik, unik, menggemaskan, dan mencuri perhatian apresian atau penonton. Mereka bisa saja fans, penggemar, hater(s), penyinyir, lover(s), PSI mania, antiPSI dunia-akherat, dan lainnya. Inilah kebebasan berdemokrasi yang harus dirayakan. Kalau penggemar atau lovers merayakan itu hal yang sewajarnya. Kalau haters juga berada di garis depan untuk ikut merayakannya, biarkanlah. Jangan diganggu.

 

PSI memang ”parah”! Tanpa harus mengeluarkan dana promosi banyak, momentum penggantian logo baru sudah dirayakan dengan begitu rupa oleh para PSI lovers dan PSI haters. Asyemok... biasanya, untuk menyosialisasikan sebuah brand baru harus butuh dana khusus yang luar biasa besar. Perlu selebritas, influencers top dan media papan atas untuk memback up dalam mempopulerkannya. Lha ini kok malah ngirit. Betul-betul efisien. “Payah“ PSI. Launching belum dilakukan, eh, logo baru sudah mulai populer dengan cepat di tengah masyarakat.

 

Ekspresi dan cara mempopulerkan logo baru PSI juga dengan unik dan beragam. Ada ekspresi  sinisme, nyinyirisme, marah-marah, nyindir yang eufemistik, nyenggol yang sarkastik, dan sebagainya. Sekali lagi, biarkanlah ekspresi publik itu berkembang.

 

Apa itu tidak bahaya karena (ekspresi negatif) tersebut akan membekas dalam memori publik? Bisa iya, bisa tidak. Kita sepenuhnya sama-sama paham, kita sadar, memori orang Indonesia itu pendek. Mudah lupa. Juga mudah memaafkan. Kasus pegawai pajak Rafael Alun yang asetnya ratusan miliar, bahkan triliunan karena makan uang rakyat, masih ingat po? Megakorupsi Pertamina yang heboh Maret 2025, emang tau yang ditersangkakan pentolannya atau kroco-kroconya? Kita mudah lupa.

 

Sebaliknya, dalam kasus dunia perlogoan atau soal visual brand, publik biasanya akan memiliki ingatan yang pelan-pelan terbangun seiring jalannya waktu. Penguatan atas citra tentu terutama dilakukan oleh pemilik (visual) brand tersebut sebagai subyek utama, dan publik sebagai obyek yang akan digelontor oleh citra yang dikonstruksi terus-menerus, baik positif atau negatif. Seandainya PSI mampu membangun citra dan kinerja yang baik di masyarakat, brand partai pelan-pelan akan menguat dalam ingatan publik, dan melepas secara pelahan semua bentuk ekspresi sindiran, sinisme, nyinyirisme yang telah dikonstruksi oleh para hater.

 

Meski beda kasus, publik tentu ingat bagaimana logo sepatu Nike perlu berjuang bertahun-tahun untuk mempopulerkan citra potongan sayap Dewi Nike (dewi kemenangan dalam mitologi Yunani Kuno). Ketika awal muncul tahun 1971, logo karya Carolyn Davidson itu harus memasang kata ”Nike” secara dominan ketimbang logo berujud centang yang merupakan simbolisasi potongan sayap Dewi Nike. Kini, visual brand itu cukup tanda centang yang khas Nike tanpa harus membubuhkan kata “Nike” publik sudah paham dan familiar.

 

Pun dengan ambisi keluarga Daimler yang ingin karya otomotifnya, Mercedes Benz berjaya menguasai dunia otomotif di tiga dimensi (darat, air, dan udara) dengan membuat simbol bintang tiga bilah. Perlu waktu puluhan tahun sejak produk dan logonya diluncurkan tahun 1886 hingga kemudian publik mengenal Mercedes Benz sebagai otomotif dengan performa dan citra kemewahan yang anggun di dunia.

 

Balik lagi ke PSI. Penggantian logo ini memang berisiko sangat tinggi. Ini betul-betul ganti logo, bukan evolusi visual saja. Dari mawar ke ke citra gajah. Dari flora ke fauna. Dominasi warna pun tak ada lagi. Bukan monokrom merah, tapi dwi warna, merah dan hitam. Secara visual dan tata artistik tentu akan bisa jadi bahan diskusi dan debat yang panjang. Semua akan bertumpu pada soal selera. Dan selera artistik tiap manusia akan selalu berbeda.

 

Namun kalau menilik dari ”konstelasi” logo partai politik yang sekarang ada dan eksis di Indonesia, logo PSI memiliki titik diferensiasi dan keunikan. Pertama, logo baru PSI tidak menganut pola formalis dan simetris (terutama simetris bilateral). Logo PSI terasa lebih bebas dari kungkungan pola formalis tersebut. Hampir semua logo parpol Lihat misalnya seolah bebas dan kaya namun selalu dibungkus dengan pola formal seperti bentuk/outline  luar segi empat, lingkaran, atau perisai. Sementara PSI lepas dari pola tersebut.

 

Kedua, citra visual gajah tampaknya tidak distilasi dengan pertimbangan anatomis yang rigid atau kaku. Kaki depan (ada di kiri) tampak lebih besar ketimbang kaki belakang (sebelah kanan). Saya tidak masuk dalam pembahasan yang berbau semiotika. Tapi ingin menekankan bahwa pola kebebasan dan pembebasan visual sedang dipraktikkan di logo ini, dan tampaknya menghindari pola baku dan beku atas logo-logo parpol lain yang sudah ada.

 

Ketiga, subyek visual gajah sebagai logo partai menjadi babak baru yang beda dan unik. Kita paham, logo partai politik di Indonesia hampir bisa dilacak pola dan istiadatnya. Bila parpol tersebut berbasis agama (Islam) atau yang target utama konstituennya umat Islam, hampir pasti logonya ada unsur benda-benda di angkasa seperti bulan, bintang atau matahari dengan segala variasi stilasinya. Kalau parpol tinggalan orde baru ya menjumput simbol gambar yang ada dalam perisai Garuda Pancasila (kecuali PPP yang ingin meneguhkan citra keislamannya dengan simbol Ka’bah). Sementara parpol yang ditengarai berbasis nasionalis memakai simbol dunia fauna yang menjadi simbol negara yakni burung Garuda dengan segala (stilasi atau penggayaannya. Atau fauna yang lain, yakni banteng. Gajah menjadi visual baru yang akan berkompetisi di perhelatan politik 2029 yang akan datang.

 

Akhirnya, logo baru PSI mulai detik pertama kemunculannya akan langsung diuji, apakah logo ini mampu menjanjikan pengalaman emosional tertentu serta jalinan koneksi dengan komunitas internal dan komunitas eksternalnya. Ini tantangan besar. Apakah logo memiliki nilai yang lebih dalam dari sebelumnya, terutama ketika terlepas dari konteks visual dan makna dari sebelumnya. Dengan demikian, mau tak mau, logo baru harus jauh lebih bermakna dari sekadar yang pernah ada sebelumnya.

 

Praktisi disain Paul Howalt dan Von Glitschka dalam buku ”Logo: Design” (2014) mengingatkan bahwa ”memenangkan loyalitas (publik, konstituen) adalah hal kedua; membuat mereka jatuh cinta adalah hal utama. (Itulah kenapa dibutuhkan) ada logo yang menarik perhatian kita, merangkul jiwa kita, menyentuh indera kita, dan tidak membiarkan kita pergi”.

Lalu bagaimana menyikapi para haters itu? Halah, biasa aja. Hari gini, bila engkau tidak punya haters berarti engkau tidak berbahaya dan daya ganggu bagi siapapun juga. Ingat ya, cinta dan benci itu jaraknya sedekat Alfamart, Indomart dan Maduramart. Sante wae!



Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Antara Kolektor dan Kolekdol