Separuh Jiwa, Sepenuh Jiwa



Oleh Kuss Indarto, kurator seni rupa

 Prof.Dr.drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio., Subsp.RPID (K)., FISID menghelat pameran tunggal lukisan di Atrium Gedung OECF Fakultas Kedokteran Gigi UGM Yogyakarta. Sebanyak 25 karya lukisan dipajang dalam perhelatan yang digelar sebagai bagian dari perayaan tasyakuran atas pengukuhan Syaify sebagai guru besar UGM di Bidang Ilmu Medisin Periodontal. Pameran yang bertajuk “Separuh Jiwa” ini berlangsung selama tiga hari, 24-26 Juni 2025.

Pameran tunggal Prof. Syaify ini bisa dimaknai dalam beberapa hal. Pertama, bahwa semua orang berpotensi bisa menjadi seniman, atau berpeluang menjadikan dirinya sebagai sosok seniman. Tergantung pada pretensi, tendensi, dan pilihan masing-masing orang. Ini juga sama dengan ujaran bahwa semua material di dunia ini berpotensi menjadi karya seni. Tergantung siapa yang menciptakan, tujuan, tendensi, dan konteks ruangnya. Kesenimanan seseorang memang bisa dikonstruksi dari banyak perspektif. Bisa dari perspektif atau jalur akademis. Bisa pula dari jalur lain, yakni otodidak atau self-thought. Syaify berada di jalur yang terakhir itu, otodidak. Kiranya telah banyak orang yang berposisi seperti Syaify. Mulai dari orang-orang biasa hingga para public figure yang tertarik untuk melukis setelah melewati fase kehidupan tertentu, misalnya di masa pensiun, atau alasan lain. Sebut saja misalnya Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, hingga para selebtitas dunia: Silvester Stallone, George W. Bush Jr., Raja Charles, Vladimir Putin, atau Joseph Beuys, Winston Churchill, Dwight Eisenhower, Francisco Franco (diktator Spanyol) hingga Adolf Hitler (diktator Jerman), dan masih banyak lagi.

Kedua, pameran ini semakin memperluas cakupan fungsi seni. Kita tahu, seni memiliki fungsi personal, fungsi sosial, dengan segala pengembangannya yang makin luas dari waktu ke waktu. Mulai dari anggapan bahwa seni sebagai medan ekspresi personal/pribadi, fungsi ritual, terapi, katarsis, hingga sebagai pembentuk opini publik, dan sebagainya. Bagi Syaify sendiri yang dalam kesehariannya sibuk sebagai dokter gigi dan dosen di Fakultas Kedokteran Gigi, aktivitas dan rutinitasnya telah begitu menyita waktunya. Maka dia membutuhkan kanalisasi untuk ”memotong” rutinitas yang berpotensi membentuk monotonitas hidup. Tak heran bila Syaify punya dalih kuat bahwa: ”melukis menjadi semacam “saluran” untuk melepas beban. Semacam stress release. Dan, ini menjadi kebiasaan sampai sekarang. Pada saat jenuh oleh aktivitas rutin sebagai dosen dan dokter gigi, saya mengambil kanvas, kertas atau pun gadget untuk mulai corat-coret.” Di sini kita bisa menduga bahwa berkarya seni rupa menjadi semacam terapi psikologis yang efektif atas ketertekanan kejiwaan akibat padatnya aktivitas pekerjaan atau kesibukan lain tiap hari. Berseni rupa mampu menjadi obat psikologis untuk sebagian orang, termasuk Syaify.

Ketiga, kalau menyimak secara garis besar atas materi karya yang dipajang dalam pameran tunggal ini, dalam kasus karya Prof. Syaify, publik dipertontonkan oleh sang seniman dalam kemampuannya untuk melakukan semacam capturing of the moments atau capturing of the fragments yang sesuai dengan keseharian atau profesinya. Banyak peristiwa penting, dramatis, monumental yang dibidik atau dicuplik menjadi satu panel gambar yang memiliki kedalaman makna karena latar belakang peristiwa tersebut. Dalam pandangan umum, kemampuan seorang seniman dalam melukis sebuah lanskap atau pemandangan sebuah kawasan tertentu adalah sebuah keahlian yang menarik. Namun tidak sedikit pola pelukisan seperti itu terjebak dalam adagium klasik dunia seni, yakni ars imitatur naturam atau seni adalah meniru alam. Meyakini pola ini tentu tidak menjadi problem. Sah-sah saja adanya. Namun dalam konteks tertentu karya seni juga bisa dipandang dalam perspektif yang beragam, seperti misalnya, dihadapkan pada pertanyaan: keberpihakan dan nilai-nilai seperti apa yang ditawarkan dalam sebuah lukisan? Apakah seni, meminjam istilah maestro S.Sudjojono, bisa menjadi “jiwa ketok” (jiwa yang tampak)? Pertanyaan sederhana ini merupakan sebuah refleksi kecil bahwa karya seni tidak sekadar menggambarkan sesuatu yang indah dan manis, namun bisajuga bisa berpotensi untuk merepresentasikan sekaligus mempresentasikan gagasan, opini, atau sikap sang seniman terhadap masalah tertentu lewat bahasa gambar. 

***

Dalam pameran tunggal Syaify ini ada beberapa karya yang, bagi saya, cukup menggugah kesadaran kemanusiawian kita ketika merunuti karya berikut narasi yang dibangun. Sebut saja serial lukisan “Duka Bangsa” (terdiri dari 4 karya). Karya-karya ini, bila menyimak kostumnya, memperlihatkan figur seorang tenaga medis yang kemungkinan berada di ruang kerja—rumah sakit, klinik dan semacamnya. Masker tampak menutupi wajah bagian mulut dan hidungnya. Lalu penutup kepala juga sarung tangan medis tampak dikenakan dengan standar serta aturan yang ketat dan disiplin. Baju lengan panjang tentu saja telah menutupi sebagian besar tubuhnya.

Menariknya, meski lukisan ini begitu sederhana, namun Syaify berhasil menangkap atau meng-capture adegan yang penting sekaligus genting dalam satu momen di tiap panel lukisan tersebut . Syaify mengeksplorasi gesture atau bahasa tubuh dari figur-figur tersebut, seperti tangan yang berlapis sarung tangan biru tengah menopang kepala yang seakan menyangga beban yang sangat berat. Atau tangan-tangan yang mengatup sebagai tanda tengah melakukan ritual berdoa. Dua lukisan semacam ini pada serial “Duka Bangsa” dengan tegas memainkan gesture mata yang memejam. Seolah sosok-sosok tenaga media ini pasrah menerima kenyataan. Menurut Syaify, serial karya ini dibuat ketika masa pandemi karena Covid-19 berada di titik kulminasi paling riskan. Kala itu seluruh dunia terdampak oleh covid-19, tak terkecuali Indonesia. Pemberlakuan untuk melakukan pembatasan aktivitas dikeluarkan oleh pemerintah. Korban yang harus ditangani datang bagai air bah, dan korban meninggal dunia pun satu persatu berjatuhan nyaris di negeri.

Syaify mengalami sendiri situasi kritis penuh beban fisik dan mental tersebut. Maka, lukisan-lukisan ”Duka Bangsa” adalah sebuah realitas yang betul-betul dialami, dirasakan, dan kemudian direpresentasikan dalam gubahan visual berbentuk lukisan. Di situ ada upaya capturing of the moments atau capturing of the fragments atas fakta-fakta di lapangan yang ditemui langsung oleh Syaify di lapangan. Sensitivitas dalam menangkap fragmen atau momen paling kuat akan berimbas pada hasil karya yang dalam maknanya. Hasil capture Syaify dalam serial karya ini terasa kuat menangkap obyek beserta gestur dan situasinya sehingga lukisan-lukisan ini terasa “berbunyi”. Atau dalam kalimat lampau yang masih cukup relevan: ”mampu mewakili seribu kata-kata”.

Kita juga menyimak karya “Separuh Jiwa” yang menjadi tajuk utama dari pameran tunggal ini. Karya ini secara teknis terasa paling beda. Syaify tampak menuntaskan lukisan ini dengan kuas (bukan palet) dan dieksekusi dengan relatif halus. Bukan dengan brush stroke kasar. Lukisan ini memvisualkan sebuah potret wajah seorang perempuan berhijab dengan senyum merekah memperlihatkan gigi-giginya. Karya ini dibuat relatif paling lama ketimbang karya-karya lainnya. Tidak saja dalam perkara teknis karya ini dikerjakan dengan intensitas yang berbeda, namun juga—tampaknya—dengan persentuhan emosi paling mendalam. Kita akan sangat memahami karena lukisan ini merupakan potret diri sang istri tercinta, Azizah.

Azizah terkena serangan stroke. Syaify dan keluarga tentu sangat terpukul dengan kenyataan ini. Sang istri yang telah puluhan tahun dengan setia mendampingi hidupnya dan telah memberinya dua putra-putri tercinta, yang dalam keseharian sebelumnya tampak senantiasa sehat dan bugar, tiba-tiba terkena serangan stroke yang mengejutkan. Kini Azizah lebih banyak terbaring di tempat tidur atau di atas kursi roda sembari terus melakukan proses terapi untuk penyembuhan fisiknya. Lukisan ini, bagi Syaify, dikerjakan hingga tuntas dalam banyak ragam makna. Melukis potret diri Azizah, bisa jadi, merupakan sebuah bentuk terapi psikologis atas keterkejutan juga kepsrahan Syaify yang kini mendapati istrinya dalam kondisi sakit. Di sisi lain, melukis potret diri istri tercinta—hingga dengan intensi yang berbeda ketimbang ketika melukis obyek lain—merupakan sebuah penghormatan, apresiasi, dan sebentuk bukti kasih sayang yang mendalam dari dalam diri Syaify bagi sang istri. Sekilas memang ini sebuah lukisan potret biasa. Namun ketika kita mengetahui bahwa ini dilukis oleh seorang dokter gigi, bukan pelukis profesional, dan karya ini memotret wajah diri sang istri yang tengah didera penyakit yang tak disangka oleh mereka berdua, tentu ini menjadi sebuah karya dengan narasi visual yang mendalam maknanya. 

***

Secara umum karya-karya yang dikreasi Syaify dalam kurun sekitar 10 tahun terakhir ini tampak beragam secara tematik. Ada kalanya Pak Dokter ini melukiskan secara ekspresif hasil perjalanannya dari sebuah kawasan yang direkam ulang dan diaktualisasikan kembali. Misalnya tentang perjalanannya ke Paris, Prancis. Pun dengan lukisan tentang Yogyakarta Titil Nol Kilometer yang telah banyak direkam oleh sekian banyak seniman, fotografer, videografer, penyair dan kreator lainnya, kembali digubah secara visual oleh Syaify. Tentu dengan perspektif dan kepekaan visual yang khas seorang dokter gigi yang hobi melukis.  Lalu Menara Eiffel yang sangat ikonik dengan negeri itu menjadi pilihan untuk dilukiskan.

Tema menarik tentu saja tentang gigi yang digubah secara visual dalam beberapa karya yang dipamerkan kali ini. Ini tampak pada lukisan ”Puteri Gigi”, ”Denta Orchida (1)”, ”Denta Orchida (2)”, dan ”Bunga Denta”. Di situ visual gigi, terkhusus gigi geraham, tampak menjadi subyek penting dalam karya, namun agak disamarkan agar tidak berhenti sebagai ”lukisan gigi oleh seorang dokter gigi”. Gigi geraham ditempatkan sebagai pot untuk serumpun bunga anggrek atau serupa bunga krisan, atau bagian dari manik-manik sebuah mahkota di kepala sesosok perempuan. Karya yang tampaknya sederhana ini seperti mengirimkan pasan bahwa gigi yang kita kita miliki, yang kadang kita remehkan, tidak kita istimewakan keberadaannya, tapi sesungguhnya memiliki fungsi yang sangat besar. Dia memberi pengaruh pada perikehidupan manusia meski berada pada ruang yang tersembunyi, dan tak banyak diperhatikan oleh pihak lain ketika saling berinteraksi. Gigi geraham ”hanya” berada di bawah, menjadi pot bagi serumpun bunga warna-warni penuh pesona seperti yang divisualisasikan oleh Syaify, sekali lagi, memberi pesan bahwa di balik tampilan yang cemerlang dan pesonaseseorang atau sesuatu hal, dia disangga dan dibantu oleh kekuatan lain yang rela dan ikhlas untuk tidak berada jauh dari sorotan lampu spot popularitas, kharisma, pesona, dan lainnya.

Pameran seni rupa/lukis yang dihelat oleh seorang dokter gigi ini menarik terutama karena tetap dimunculkannya dimensi kekhususan yang dibawa oleh sang kreator sesuai latar belakang (profesi utama)nya. Publik bisa belajar dari hal yang khusus tersebut. Dalam lintasan sejarah publik telah banyak dialiri informasi tentang relasi antara dunia seni rupa dan jagad kedokteran gigi—terutama yang berkembang di Eropa. Kita akan bisa menyimak, misalnya, ilustrasi karya Thomas Rowlandson (1756-1827) yang dibuat pada tahun 1787. Pada karya berjudul ”Transplanting of Teeth” tersebut Rowlandson melakukan kritik pada praktek dokter gigi yang dianggap diskriminatif pada kelompok masyarakat kelas bawah. Ini juga terlihat pada lukisan bertajuk The Dentist (1629) karya pelukis asal Belanda, Jan Miense Molenaer (1610-1668). Karya ini mengisahkan seorang pasien yang tengah dicabut giginya oleh seorang dokter gigi tanpa alasan pencabutan yang kuat. Sang pasien seperti berekspresi penuh kengerian sembari tangan kanannya memegangi rosario sebagai simbol ketakutan yang dihadapinya: takut akan rasa sakitnya gigi ketika dicabut, dan takut ketika harus merogoh dompet saat membayar sang dokter gigi.

Karya-karya Syaify tentu saja tidak dengan serta-merta melakukan praktek jukstaposisi atas realitas estetik yang ditawarkan oleh karya-karya Thomas Rowlandson atau Jan Miense Molenaer. Karya-karyanya relatif penuh spontanitas, ringan dan ekspresif. Beberap yang karya yang mengemban makna juga dipresentasikan dengan cara yang terasa cukup eufemistik. Lembut, tidak menghentak atau berteriak. Tapi pesan itu beberapa bisa sampai kepada publik tanpa harus mengernyitkan dahi atau, apalagi, mengundang kontroversi.

Selamat berpameran, Pak Dokter, Pak Profesor! ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Antara Kolektor dan Kolekdol