Kasihan Lomba Lukis Anak

Minggu siang, 4 Februari kemarin, aku, mas Hermanu, dan Samuel Indratma di-dhapuk jadi juri lomba mewarnai dan lukis anak di Jogja Exhibition Centre (JEC). Panitianya Kelompok Kompas Gramedia dan Bank BNI 46. Ada sekitar 250-an lebih peserta. Seperti biasa, riuh rendah. Apalagi itu hari terakhir pameran buku yang telah berlangsung 4 hari sebelumnya. Parkiran penuh, pengunjung berjubel.

Proses penjurian relatif cepat. Apalagi waktu yang diberikan juga mepet. Jam sebelas gambar masuk, dan jam 12 diharapkan proses penjurian bisa selesai semuanya. Kami bertiga sih gak masalah. Cuman ya sebenarnya ada yang bisa lebih detil didiskusikan, seperti tentang kecenderungan hegemoniknya karya-karya anak-anak sanggar yang sudah sangat stereotip. Tapi ya udah, waktu sempit sekali, meski bukan berarti sembarangan pola penilaiannya.

Lalu hasil penilaiannya diumumkan. Kami bertiga sendiri yang mengumumkan, bahkan dengan menyertakan gambar para pemenangnya. Biar lebih terbuka. Situasi keriuhan cepat selesai karena yang menang senang, yang belum berhasil ya langsung pulang.

Nah, ketika kami bertiga melangkah pulang, aku mendengar seorang bapak yang seperti sengaja menyindir kami dengan nyeletuk sambil matanya menatapku: “Payah! Gak bikin maju!” Aku berhenti karena merasa bahwa aku yang jadi subyek omelannya. Kuhampiri dan sesopan mungkin kuajak bicara.

“Anak bapak ikut lomba, Pak?”

“Ya, dan penjuriannya payah, dan tidak maju!”

“Kebetulan saya yang menjuri, pak. Kira-kira menurut bapak problemnya apa?” tanyaku.

“Ya, kenapa gambar yang belum selesai yang dimenangkan? Wong lukisan dengan pewarnaan yang sudah penuh masih banyak kok. Malah gambar yang setengah kosong yang jadi juara.,” sergah sang bapak. Istrinya pun kemudian nyerocos jauh lebih dahsyat, lebih bawel, dengan membombardir banyak pertanyaan dan pernyataan.

Kemudian kami terlibat dalam obrolan cukup panas. Hingga aku kemudian bertanya lagi ke bapak-ibu itu, “Pak, anak bapak sering juara lomba menggambar?”

“Jelas. Dia lebih sering juara daripada kalah!” jawabnya keras.

“Terus, apa bapak pernah menumbuhkan mental “siap untuk kalah” pada anak bapak?” tanyaku.
Bapak itu kelihatan sekali tergeragap lalu menjawab: “Lho itu kan urusan saya! Anda saja kalau menjadi juri jangan terlau idealis, bla, bla, ba”

“Jangan begitu, pak. Ini penting lho. Atau jangan-jangan bapak yang tak siap mental ketika anak anda tidak menang.” Aku berusaha keras ngomong hal itu dengan tersenyum karena dialog terasa begitu panas.

Nah, dari situlah aku lalu balik membombardir pertanyaan dan pernyataan ke mereka. Ya gak sampai harus keluarin teorinya Victor Lowensfeld atau teori para pakar seni rupa anak lainnya segala sih. Yang gampang-gampang aja, tapi kira-kira masuk di akal. Gantian gak mau kalah. Apalagi (juga kebetulan) mas Hermanu yang pendiam juga hanya senam-senyum. Samuel malah ketemu temennya dan asyik ngobrol dengan berpindah tempat. Busyet! Hahahaha.

Kasus ini tentu bukan yang pertama. Pasti sering ditemui pada tiap kesempatan lomba semacam ini. Dan kukira ini sudah mulai masuk dalam lorong persoalan yang kritis yang perlu pembenahan. Termasuk juri yang juga perlu introspeksi. Aku sih terus berusaha meng-upgrade kemampuan dengan banyak baca soal terkait seperti psikologi anak, atau bicara dengan banyak orang termasuk para orang tua yang menitipkan anaknya di sanggar, para pemilik sanggar, dan lainnya. Tapi terkadang kebarengan menjadi juri dengan orang yang tak tahu apa-apa. Misalnya dengan wartawan desk ekonomi hanya karena dia temennya direktur yang mensponsori acara lomba lukis tersebut. Ruwet.

Tapi yang kuamati, juga terlihat dari dialog dengan bapak tadi, problem mendasar dari rusaknya omba lukis anak adalah karena peran orang tua yang telah bergeser perspektif pandangnya terhadap lomba ini. Lomba lukis seperti menjadi ajang pembuktian bagi keberhasilan orang tua dalam memasukan anak-anaknya ke sanggar. Kalau kalah, apa gunanya masuk sanggar. Gagal dong, begitu kira-kira. Dan tentu saja sikap orang tua yang mulai mananamkan mental menang saja, bukan mental siap kalah pada anak-anaknya sehingga ketika mereka gagal menang, jurilah yang menjadi sasarannya. Bagi sebagian mereka pun, anak telah menjadi kuda pacu untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah lewat (menjuarai) lomba lukis. Ini mental industrial yang pantas dikutuk.

Seperti salah satu kalimat bapak yang protes tadi bahwa: “Anak saya tuh sering dapet uang banyak dari lomba lukis”. Wah, wah, mana tanggung jawab mereka sebagai orang tua untuk cari duit bagi anak-anaknya, bukan sebaliknya si anak yang dijadikan tambang uang. Kacaulah. Makanya, terus terang, aku begitu panas menanggapi bapak-ibu yang protes ketika anaknya kalah berlomba. Mbok ya bercerminlah. Huh, Indonesia banget!

Aku pun juga mau bercermin, ah.

Comments

Andi Panggeleng said…
memang sulit untuk menilai sebuah karya seni karena menyangkut sense, trend dan lain-lainya apalagi bila menyangkut seni rupa anak yang cenderung stereotif kurang variatif dan teknik yang cenderung sama, saya juga pernah mengikutkan anak untuk lomba melukis dan hampir 100 persen dengan teknik crayon... kebetulan anak saya sering ikut-ikut saya melukis pake acrilic dan mereka lebih menguasai itu daripada crayon, tanggapan dari panitia atau juri (saya tidak jelas) ada yang mnyelutuk "masih kecil kok pake kuas" saya tidak peduli karena ikut lomba ini bagi saya adalah pembelajaran mental bagi anak saya masalah menang atau kalah adalah point terakhir. Dan yang mengagetkan saya penilaiannya pun agak amburadul karena pada waktu menilai mereka hanya melihat pada kerajinan walaupun itu penting juga tapi karya yang cenderung tipis tanpa gradasi bukanlah yang terbaik, dan teknik selain crayon diabaikan saja karena kecenderungan anak saya adalah menggambar untuk bercerita dan bukan menghias. Dan panitia sepertinya tidak punya waktu untuk lebih menghayati apa sih cerita dibaliknya. dan mengapa kecenderungan warnanya kurang dan tidak penuh warna seperti biasanya. Tapi ya itulah dunia anak yang seharusnya lebih ceria dan hidup. OK Deh salam untuk istri dan semoga lebih bisa menghayati dunia anak....
ehhh... kok jadi serius banget
kuss indarto said…
Ya, menurutkn memang membiarkan ekspresi anak sesuai karakter usia mereka akan lebih tepat. Meski baru 5 tahun kalo merasa nyaman nglukis pake kuas ya no problem aja. Tak harus ada urutan2 atau pentahapan yang baku. Demikian juga ketika ngelihat anak nglukis sebuah bentuk tanpa pake out-line, tak bisa dinilai secara sewenang-wenang sebagai anak yang belum mendapat pendidikan dan kemudian lukisannya di bawah standar anak yang nglukis pake out-line. Pola2 semacam inilah yang kukira harus dihancurkan dalam sistem pembelajaran lukis anak. Selamat memberi dunia permainan yang lebih imajinatif untuk anak deh. Aku sih nunggu kelahiran anak pertamaku akhir Maret depan, Ndi. Salam balik paling hangat untuk keluarga.
Anonymous said…
he he he wah Mas Kus hebat je ! ndak cuma berdebat dengan yang seumuran tapi juga sama yang udah punya anak.
kuss indarto said…
lha, menyebalkan juga je kalok merasa lebih tua seolah merasa lebih benar. Ya gak?
setelah membaca artikel anda yang berjudul "kasihan lomba lukis anak" yang dipoting pada februari 2007, saya selaku subjek yang anda bicarakan karena waktu itu yang berdiskusi dengan anda adalah saya dan istri saya. apa yang anda tulis itu SAMA SEKALI TIDAK BENAR DAN MENYALAHKAN SAYA.
apalagi anda menulis "istrinyapun nyerocos jauh lebih dahsyat, lebih bawel dengan membombardir banyak pertanyaan dan pertanyaan" (paragraf 5, jika anda lupa). Kapan istri saya berbicara seperti yang anda TUDUHKAN. Makanya, kalau diskusi, buka telinga lebar lebar, kalau perlu bersihkan dulu dari kotoran yang ada. HATI-HATI BUNG, JIKA ANDA MEMPOSTING ARTIKEL DI INTERNET! INGAT! ANDA SEORANG KURATOR! MESTINYA ANDA MEMILIKI INTELEGENSI YANG SANGAT TINGGI! BUKAN MENGOBRAL ARTIKEL MURAHAN DAN TIDAK BERMUTU SERTA SUMBENYA HANYA SEPIHAK
Jika ingatan anda masih tajam (saya harap begitu), waktu itu saya menanyakan kepada 2 anak peserta lomba dihadapan saudara, "gimana gambar pemenangnya dik?" mereka (anak2 itu) menjawab,"GAMBAR KAYAK GITU KOK MENANG?" itu jawaban MURNIdari anak-anak yang belum mengerti teori Victor Lowensfeld, ataupun PABLO PICASSO. Waktu itu saya menyarankan agar proses penjurian yang sepeti ini jangan terulang lagi. Kasihan anak-anak yang telah bekerja keras mengekspresikan seninya. Kalau mereka tegang dalam melukis, bukan karena tekanan dari orang tua, tapi karena PEMBATASAN WAKTU. Pelukis mana yang bisa membuat lukisan seperti apa yang mereka lakukan dalam waktu 1 jam dan tidak tegang?
maaf saya baru sempat membaca blog ini karena baru-baru ini tersebar artikel anda di kalangan masyarakat seni anak. dan sebenarnya waktu itu sudah saya anggap selesai karena hanya diskusi, tapi tenryata anda membuat opini lain yang menyudutkan saya dan menyulut emosi para orang tua komunitas seni anak melalui artikel yang diposting di blog anda ini.
Trimakasih.

atas nama komunitas seni anak.


*menggunakan salah satu blog milik agrineta fera.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?