DecoraGent: Laki-laki dalam Ironi

Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dimuat di katalog pameran tunggal Dyan Anggraini di Hadiprana Gallery. Pameran berlangsung mulai 3 Mei 2007 dan berlangsung hingga 2 minggu. Foto di atas dari lukisan Jogja Icon)


Dyan Anggraini tak pernah menabalkan diri sebagai seorang (aktivis) feminis. Dia, barangkali, juga tak mengenal, atau bahkan tak tahu, nama-nama besar nan “seram” semacam Mary Woolstonecraft, Betty Friedan, Dorothy Dinnerstein, Simone de Beauvoir, Iris Young, Helene Cixous, Luce Irigaray, Julia Kristeva, Vandana Shiva, Maria Mies, dan berderet-deret lagi para pemikir feminisme dunia, entah itu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis-Sosialis, feminisme eksistensialis, feminisme posmodern, ekofeminisme, dan lainnya.

Dia mungkin saja melewatkan perhatian pada nama-nama aktivis atau pemikir feminisme lokal yang sesekali berkelebat disebut media massa seperti Ratna Megawangi, Gadis Arivia, Maria Hartiningsih, Maria Pakpahan, dan segudang nama lainnya. Dia bisa jadi juga tak banyak tahu bagaimana peta ataupun titik hubung antara dataran teoritik yang diproduksi oleh para pemikir feminisme itu dan derivatnya di tingkat praktik yang dibawa oleh para aktivis di diskusi-diskusi yang rumit ataupun pada demonstrasi yang memacetkan jejalanan itu.

Tapi justru di sinilah titik menarik dari garis pemikiran perupa Dyan yang terepresentasikan lewat bahasa visual. Puluhan karyanya berupa lukisan yang tengah dieksposisikannnya ini, dalam gradasi tertentu, memberi nilai dan makna yang selaras dengan pemikiran para feminis dalam menyoal hak-hak keperempuanannya, tentu dengan cara pandang khas Dyan sebagai seorang perempuan perupa. Memang tak semua karya secara tegas mengusung nilai-nilai yang diuar-uarkan oleh para feminis itu, namun jejak-jejaknya cukup membekas pada beberapa karya. Tak ada runtutan kajian ilmiah dan akademis tentang perlawanan terhadap kultur patriarki yang dominatif terhadap perempuan, tapi secara tersamar atau tegas pada beberapa karya, Dyan mencoba mengorek pengalaman batinnya untuk mengungkapkan hal serupa dengan pendekatan estetik.

Titik Berangkat

Memang, semua karyanya itu bermula dari pengalaman empirik. Dyan sebagai seorang perempuan yang juga ibu dari tiga orang anak yang tengah beranjak dewasa, sebagai istri dari seorang suami yang setia sekaligus motivator bagi progres kariernya, sebagai seorang teman bagi sekian banyak seniman atau profesional dari displin lain yang beragam, serta sebagai seorang pegawai negeri dan pemimpin dari sebuah kantor pemerintahan, Taman Budaya Yogyakarta.

Dari sekian banyak posisi itulah Dyan mengelola persentuhan dengan dunia di luar dirinya dan membangun pemahaman diri atas berbagai persoalan yang melingkunginya. Dua hal penting yang bisa terbaca dalam karya-karyanya, baik dalam tampilan visual maupun spirit sebagai substansi atas karyanya, adalah (1) problem pseudorealitas dan (2) ihwal dominasi laki-laki. Ini problem yang secara evolutif terasa memberi daya gugah pada dirinya untuk diungkapkan kembali di atas bentang kanvas.

Problem pseudorealitas diketengahkan olehnya dalam cara ucap yang penuh sinisme, yakni berupa penghadiran beragam topeng yang nyaris muncul dalam tiap kanvas. Topeng dihadirkan secara tegas dalam kerangka berpikir konotatif atau asosiatif, bukan denotatif, untuk mengangkat berbagai masalah keseharian atau sosial politik yang jauh melampaui ihwal fisik topeng itu sendiri. Maka yang kemudian tampak dalam karya visual Dyan adalah serangkaian tubuh-tubuh manusia dengan berbagai ragam ekspresi topeng di wajahnya untuk menutupi wajah aslinya atau realitas sesungguhnya, dengan realitas yang berbeda. Topeng seolah sudah menjadi sesuatu yang telah erat melekat sebagai wajah baru. Di sini, realitas yang pertama, yang asli, telah ditutup dengan realitas semu yang (kelak) diposisikan sebagai realitas yang asli.

Mungkin cara pandang kita terhadap hal semacam itu, sekarang ini, seperti menatap simulakrum yang diperkenalkan oleh Baudrillard, dimana sesuatu yang asli bisa disalin (copy), dan hasil copy itu pun menjadi sesuatu dengan keaslian yang otonom dan mandiri. Saya duga orientasi berpikir Dyan bergerak dalam ranah ini, tentu dalam gradasi tertentu, yakni ketika pergeseran sistem sosial telah memberi legitimasi atas perubahan nilai, termasuk di dalamnya realitas yang semu dibenarkan menjadi realitas yang sesungguhnya, yang realistik. Topeng-topeng kepalsuan yang dikenakan oleh banyak orang dalam pergaulan sosial kemasyarakatan dewasa ini telah mendapatkan pembenaran dan pengakuan sosial sebagai “wajah yang asli” oleh masyarakat sendiri. Dengan kata lain, topeng telah menjelma menjadi wajah itu sendiri, yang otonom dan mandiri.
Sedang problem keperempuanan yang dimunculkan dalam karya-karya pada pameran ini sepertinya ditempatkan sebagai sebuah sikap “politik kesenian” oleh perupa kelahiran Kediri, Jawa Timur, 2 Februari 1957 ini. Bagi Dyan, kesetaraan gender dalam masyarakat dan kultur yang sangat patriarkal seperti Jawa memungkinkan munculnya ketimpangan-ketimpangan yang paradoksal. Meski sebenarnya ini merupakan problem global yang tak hanya menimpa masyarakat etnis Jawa, namun bagaimanapun juga, hal itu mesti direduksi.

Kultur Patriarki

Seperti kita tahu, kalau dikuak lagi dalam perspektif historis ihwal superioritas dan dominasi laki-laki atas perempuan bisa dirunut mulai dari kisah penciptaan manusia dalam kitab suci yang sangat umum dikenal: Adam diciptakan terlebih dahulu, dan Hawa dimunculkan dari tulang iga sang Adam. Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan moral, Adam lebih superior karena Hawa adalah penyebab kenapa mereka berdua terusir dari surga.

Phytagoras pun, seperti dikisahkan oleh Aristoteles, membuat tabel pengklasifikasian hal-hal atau elemen-elemen yang berlawanan (oposisi biner). Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras ini terlihat bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai “berbeda” tapi juga “berlawanan”. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan-perbedaan fisik saja tapi juga bisa dihubungkan dari persoalan lainnya. Misalnya, laki-laki diasosiasikan dengan segala yang bermakna light, good, right, dan one. Semua metafora yang dikenakan pada lak-laki adalah berkenaan dengan makna Tuhan. Sementara perempuan misalnya, diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness. Seperti Phytagoras, Aristoteles pun berangapan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Menurutnya, secara natural, laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior.

Secara kultural pun, kemudian patriarki dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat institusi seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara. Seorang feminis, Sylvia Walby, membuat teori menarik tentang patriarki, yakni membedakannya menjadi dua: patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teori ini adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus-menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan perempuan.

Dari teori yang dikembangken Walby tersebut kitra bisa mengetahui bawa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini sebagai dasar awal utama kekuasaan laki-laki dan perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjan dan negara. Ekspansi wujud patriarki ini mengubah baik pemegang “struktur kekuasaan” dan kondisi di masing-masing wilayah (baik publik maupun privat). Dalam wilayah privat misalnya, yang memegang kekuasan berada di tangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif (manajemen negara dan pabrik tentunya berada di tangan banyak orang).
Sintesis Pemikiran

Sosok perempuan seperti Dyan saya kira cukup menyadari bagaimana wujud kultur patriarki ini beroperasi di wilayah yang bersentuhan dengan dirinya, di wilayah privat ataupun publik seperti yang disinalir Walby. Langsung atau tak langsung. Frontal atau tak terasa namun jelas tersistem. Di sinilah pengalaman empiriknya sebagai seorang yang memiliki cukup “kekuasaan” di struktur birokrasi negara berhadapan langsung dengan pola budaya patriarki. Puluhan manusia berjenis laki-laki ada di bawah “kekuasannya” karena adanya aturan hierarki strata pendidikan, masa kerja, kecakapan, dan sebagainya. Apa yang terjadi di sana? Dyan tak bisa dengan mudah memberlakukan “relasi kuasa” antara dirinya yang kepala sebuah institusi dan para anak buahnya sendiri yang mayoritas laki-laki. Barangkali ada problem gender yang memberi input kuat terhadap situasi seperti itu. “Relasi kuasa” sepertinya hanya milik (pemimpin) laki-laki, sehingga ketika sosok perempuan seperti Dyan berupaya masuk dalam lingkar “relasi kuasa” tersebut, terjadi pengingkaran dan ketidakpatuhan atas “praktik kuasa” tersebut. Ini hipotesis sementara yang memungkinkan berlakunya sistem kuasa patriarkal dimana (nilai-nilai yang dibawa oleh) perempuan dinafikkan.

Kenyataan seperti itu membawa kegelisahan yang kemudian dijadikan titik berangkat bagi sekian banyak karyanya, terutama dalam pameran tunggalnya kali ini. Kegelisahan diaduknya dengan rasionalitas yang memungkinkan memproduksi sintesis pemikiran, sekali lagi, lewat pendekatan estetik. Dalam penampakan visual karya-karya Dyan tak “berteriak” secara frontal, namun dengan modus kritik yang eufemistik ala Jawa dengan tetap konsisten menampilkan ironi.

Maka berseraklah idiom-idiom visual yang dipinjam untuk memberi penekanan pada “target ironi” yang diinginkannya. Idiom tersebut relatif sudah populer dalam kerangka pemahaman publik sehingga dimungkinkan gampang untuk diserap. Lihat misalnya pada karya bertajuk Jogja Icon. Tervisualisasi di sana sosok lelaki kekar betopeng di bagian kanan bawah kanvas. Posenya ala binaragawan yang tengah beraksi. Tubuh bagian atas nampak gagah, namun gerak paha dan tungkai mengisyaratkan kegemulaian ala penari perempuan. Di bagian bawah bidang kanvas, di depan sosok macho itu, bunga lotus merah hati tampak merekah disambut tatapan si macho yang bertopeng. Ada pula dua bayangan lelaki yang berujud rangkaian teks, pun terlihat dua lebah beterbangan di atas teks dan di bagian lain.

Penyandingan secara cukup ekstrem atas dua visual utama karya ini, yakni lelaki kekar dan bunga lotus, bagi saya, dengan segera memberi jalan pemaknaan sebagai sebuah kontras yang dibenturkan dengan sengaja demi mendapatkan ironi. Idiom atau simbol yang diangkat oleh Dyan sebenarnya merupakan mitos-mitos lama yang telah menjerat pemahaman umum bahwa, misalnya, sosok lelaki “haruslah” kekar, macho, jantan, ataupun gagah. Sedang bunga seperti memiliki otomatisasi pemaknaan pada hal-hal yang “berbau” perempuan. Pada satu sisi, menunggalkan pemahaman seperti ini memang berisiko untuk menguatkan mitos yang terasa bias gender. Seolah bunga atau boneka selalu (memiliki ruh) perempuan, dan kegagahan senantiasa adalah milik laki-laki.

Namun pada dimensi lain, saya membaca bahwa Dyan sebenarnya tengah menyodorkan ironi yang tersembunyi di balik mitos-mitos tersebut. Seperti yang saya sebut di atas, pemunculan laki-laki macho namun dengan tampilan ala penari perempuan di bagian bawah tubuhnya itu, dengan segera menjadi titik inti persoalan yang ingin digagas oleh perupa lulusan STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) “Asri” Yogyakarta tahun 1982 ini. Kontras dan ironi pada karya ini seolah ingin memberi isyarat penting bahwa sesungguhnya ada nilai-nilai “ketakkonsistenan” laki-laki dalam konsep kelelakiannya yang dibalut oleh ideologi patriarki. Karena dalamnya, ternyata, terdapat unsur keperempuanan yang menjadi bagian integral dan menyatu dalam tubuh laki-laki.

Satir DecoraGent

Saya kira pemahaman seperti ini, dalam gradasi yang berbeda, sepadan dengan gagasan feminis Julia Kristeva yang menentang identifikasi “feminin” dengan perempuan biologis, dan “maskulin” dengan laki-laki biologis. Ia beranggapan bahwa ketika seorang anak memasuki tatanan simbolik, si anak dapat mengidentifikasikan diri dengan ibu atau ayahnya. Bergantung pada pilihan yang diambilnya, seorang anak dapat menjadi kurang atau lebih “feminin” atau “maskulin”. Seperti diungkapkan oleh Kelly Oliver dalam Julia Kristeva’s Feminist Revolutions (1993), Kristeva juga berpendapat bahwa “jika pada laki-laki, identifikasi dengan semiotik maternal bersifat revolusioner, karena itu melanggar konsepsi tradisional atas perbedaan seksual, dan sebaliknya bagi perempuan, identifkasi dengan maternal tidak melanggar konsepsi tradisional atas perbedaan seksual”. Hal ini bisa didicontohkan dalam (tatanan) kebudayaan keseharian dalam masyarakat yang akan lebih terganggu ketika seorang laki-laki berbicara seperti perempuan, dibandingkan ketika seorang perempuan berbicara seperti laki-laki.


Pembalikan yang resistensial terhadap budaya patriarki seperti yang diutarakan oleh Kristeva itulah yang saya lihat juga sedang dilakukan oleh Dyan Anggraini. Dia melakukannya secara eufemistik khas Jawa dengan senjata visual, dan kiranya juga membubuhinya dengan humor. Kita bagai disadarkan oleh kenyataan keseharian yang selama ini muncul namun tak begitu kita perhatikan.
Maka, tema pameran DecoraGent, seperti dihasratkan oleh Dyan untuk memberi gambaran atas pentingnya kesetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan. Tajuk tersebut merupakan pelesetan dari identitas karya perupa Widayat (almarhum) yang oleh banyak pengamat disebut sebagai karya yang “dekora-magis”. DecoraGent menjadi sebuah gurauan, ledekan, atau sentilan terhadap masih kuatnya hegemoni patriarki yang dirasakan oleh Dyan di lingkungan sekelilingnya. Baginya, dalam situasi tertentu, laki-laki hanya bisa menjadi dekorasi bagi lingkungannya, justru ketika dia terus-menerus bergegabah menerapkan konsep patriarkinya yang dominatif terhadap perempuan. Ini sebuah satir yang cukup tandas dari seorang perempuan perupa Dyan yang ingin mengingkari keperempuanannya hanya sebagai bagian dari dijadikan dekorasi bagi sekitarnya.
Dekorasi memang bisa menambah indah, tapi belum tentu menjadi keindahan itu sendiri.

Comments

zen said…
Karena di sini gak ada foto2 lukisannya, jadinya agak piye gitu. Seperti membaca esai ttg sambal tapi aku sendiri blm pernah nyicipin sambalnya.

Hehehehe....
Anonymous said…
Kata Einstein, imajinasi lebih dahsyat ketimbang intelegensia. Berimajinasilah, ya. Hehe. Btw, makasih commentnya, bung. Salam

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?