Praktik Konsumsi, Ruang, dan Yogya
Tujuh Bintang Art Space tampak dari depan. venue seni ini dibuka pada 17 Agustus 2008 dengan pameran Indonesia Contemporary All Star 2008 yang melibatkan 37 seniman.
[satu]
Namanya Imelda. Sehari-harinya sebagai seorang disainer produk, distributor home lifestyle product, dan menetap di Singapura. Perempuan muda nan cantik—ibu dari 2 orang putra yang sedang menggemaskan—pada siang yang terasa kerontang itu mendarat di Yogyakarta bersama sang ayah, Ghozali. Mereka berdua terbang dari bandara Changi di negeri Singa tersebut, transit di Soekarno-Hatta, Jakarta, untuk lalu landing di bandara Adisucipto. “Pendaratan” ke kota Gudeg ini hanya berbekal satu hasrat, yakni menyambangi sebuah pameran/festival seni lukis di pengujung akhir bulan Mei 2008 lalu. Dan kalau ada karya yang “mengganggu” kesadaran artistiknya, merekapun akan mengoleksi.
Sebetulnya kedatangan Imelda terlalu dini karena pembukaan pameran secara resmi baru akan dilakukan dua hari berikutnya. Tapi justru di sini titik pentingnya, karena dia mesti berlomba dengan calon kolektor lain dalam berburu karya lukis. Siapa cepat dia dapat, begitu kira-kira adagium perburuan yang dipakai. Dia tak peduli dengan kemasan yang riuh-rendah hingga heboh bernama seremoni pembukaan pameran karena pada dasarnya hal yang juga tengah dikejar adalah ketajaman cita rasa estetik yang telah dibangunnya tatkala kuliah di Eropa selepas menuntaskan pendidikan dasar hingga menengah di Jakarta.
Sekitar dua jam dia mengitari seluruh ruang pajang yang belum tuntas didisplai oleh para kru perhelatan pameran tersebut. Sesekali dia bertanya mengenai detail sebuah karya lukis yang menyedot minat dan perhatiannya. Mulai dari judul karya, siapa senimannya, bagaimana konsep kreatifnya, latar belakang proses pencitaannya, pencapaian teknisnya hingga—tentu saja—harga nominal lukisan tersebut. Ketika beberapa karya yang diminati “lulus” screening dan seleksi dari penilaian subyektivitas, segera Imelda bilang untuk me-reserve karya tersebut. Beberapa karya dia reserve sekaligus. (Meski ini tak menjamin baginya untuk mendapatkan karya yang diinginkan karena waktu itu panitia “terpaksa” memberlakukan sistem lotere untuk “memenangkan” calon kolektor dalam mengoleksi sebuah karya).
Urusan utama selesai. Seusai itu dia pergi makan siang, jalan-jalan sebentar di seputar Malioboro sekadar menghabiskan waktu sebelum sore itu juga harus kembali ke bandara Adisucipto dan bertolak ke Singapura. Beberapa hari berikutnya, Imelda mengirim perasaan kecewanya via e-mail ke penulis karena “kalah lotere” dan tak mendapatkan satupun karya yang diminati. Namun, apapun, dia tetap harus menghargai kenyataan itu sebagaimana dia memberi penghargaan terhadap rekan kolektor lain yang juga bersusah payah berburu karya. Imelda tidak sendirian. Karena pada momen yang sama juga ada beberapa orang (muda) lain yang bergerak dan atau landing beberapa jam di Yogya, melakukan deal-deal dan transaksi finansial di ruang pameran seni rupa, lalu cabut meninggalkan Yogya sembari menerakan angka-angka rupiah yang tidak kecil jumlahnya.
Inilah salah satu penampang kecil dari arus praktik konsumsi yang tengah begitu menggejala pada kanvas seni rupa di Indonesia, khususnya yang bisa diamati di Yogyakarta. Kawasan ini, memang, menjadi situs penting dari perkembangan seni rupa paling dinamis ketimbang kota lain di Indonesia. Sosok semacam Imelda seperti yang terpapar singkat di atas kini telah menjadi pemandangan yang tak sulit ditemui pada banyak perhelatan pameran seni rupa. Mereka inilah para kolektor seni rupa generasi baru dengan latar belakang dan perbendaharaan pengetahuan yang cukup berbeda dengan generasi sebelumnya. Usia mereka relatif masih muda, berkisar 25 hingga 40-an tahun, tak sedikit yang mengecap pendidikan di mancanegara, sudah memegang kendali bisnis (entah mewarisi generasi sebelumnya atau gigih membangun sendiri), dan kemauan untuk mencerap pengetahuan di luar dunianya cukup tinggi. Setidaknya, jangan-jangan, ini dibentuk oleh sistem pengetahuan yang memadai tatkala mereka menimba ilmu di bangku kuliah, pergaulan yang luas, dan serapan atas gelombang arus informasi yang bergulung kuat lewat jaring-jaring teknologi internet dan media lainnya.
Realitas ini sedikit banyak telah mengetengahkan adanya pencerdasan pengetahuan estetik (aesthetic literacy) pada diri kolektor. Dengan amunisi kosa pengetahuan seni lewat jalur informasi yang banyak berseliweran di sekitarnya, para kolektor ini telah mulai memiliki sistem filtrasi tertentu—dengan segala subyektivitasnya—untuk memberi penilaian terhadap sebuah karya yang menurutnya memadai untuk dikoleksi atau tidak. Atau kalau meminjam terminologi ilmu pemasaran (marketing) seperti yang diintroduksikan oleh Kotler, Hermawan Kartajaya atau Tung Desem, ada tiga tahapan yang telah terserap oleh para kolektor ini dalam proses resepsi atas karya, yakni tahap eye share, brain share, dan heart share. Ini adalah tahapan yang bertingkat secara hierarkhis dimana para kolektor sebagai apresian tersebut telah melampaui jenjang awal ketika mereka (1) dipasok terus-menerus oleh penampakan visual karya, lalu (2) disodori perihal dunia gagasan di balik praktik kekaryaan tersebut, dan akhirnya (3) diberi sebentuk jembatan komunikasi dan persuasi bersifat personal lebih lanjut yang membangun relasi intim antara seniman, karya, dan apresian.
Dua poin pertama merupakan penggalan pengalaman yang telah banyak dilalui, yakni pengalaman melihat dan kemampuan kognitif untuk memberi rasionalisasi atas teks visual. Artinya, mereka ini sudah mulai tahu dan mampu membedakan mana karya Jean-Michel Basquiat, mana Keith Harring, berikut latar belakang penciptaan karya seniman tersebut. Mereka mulai cukup paham mana Andy Warhol, mana Galam Zulkifli. Mana Banksy, mana Arie Diyanto. Mana Takashi Murakami, mana seniman Indonesia yang berkecenderungan ke pola-pola street art yang mulai menggejala dengan melimpah. Sedang pada poin ketiga mengisyaratkan sebuah “diplomasi kultural” dalam format kecil-kecilan untuk melakukan tawar-menawar nilai antara seniman sebagai kreator dan kolektor yang mencoba meresepsi karya seni.
[dua]
Akhirnya sebuah galeri kembali hadir. Tujuh Bintang Art Space brand name-nya. Kehadirannya seperti mengisi sekaligus menguatkan kesadaran psikologis atas kota Yogyakarta yang menabalkan diri sebagai kota seni budaya. Kota dengan kepemilikan atas pemimpin yang berjuluk Sultan (Hamengkubuwana X) yang tidak saja diandaikan sebagai pemimpin politik, pemimpin administratif namun juga pemimpin kultural. Sebuah posisi dengan “derajat” yang melampaui pemimpin kawasan lain karena diekspektasikan mengisi atmosfir humanisme yang dibutuhkan warga pada komunitas di dalamnya ketimbang atmosfir politis seperti yang terjadi di kawasan lain. Meski pola relasi yang terjadi seperti meneruskan praktik feodalisme antara raja dan hamba sahaya di seberangnya, namun bangunan praktik yang terjadi seperti ayah-anak, ketimbang relasi “feodalisme modern” antara gubernur-rakyat yang justru sering terjerembab seperti relasi raja-budak. Maka, ekspektasi besar yang mengemuka adalah kepemilikan atas pemimpin yang mampu memangku aspek budaya di dalamnya, termasuk (dan terutama) pada ranah kesenian.
Hadirnya galeri ini tentu diniscayakan akan memarakkan geliat dinamika kehidupan seni rupa yang telah ‘larut’ di kota ini. Jauh melampaui kota-kota lain di Indonesia. Sebagai ilustrasi yang cukup kuno—seperti dicatat oleh Yayasan Seni Cemeti, sekarang Indonesia Visual Art Archive (IVAA)—sepanjang 2005 lalu, di sekujur kota Yogyakarta dan sekitarnya telah tergelar 223 perhelatan seni rupa yang bertebaran di 60-an venues atau ruang seni. Mulai dari acara besar yang dikerumuni ribuan pengunjung hingga perhelatan mungil di rumah kontrakan yang disambangi segelintir apresian. Venue yang relatif dinamis seperti Bentara Budaya mampu menyelenggarakan pameran hingga 27 kali setahun. Kemudian Rumah Budaya Tembi 17 event, Griya KR (15), Rumah Seni Cemeti (11), Kedai Kebun Forum (11), Via-Via Café (13), Lembaga Indonesia Perancis (7). Sedang gedung milik pemerintah seperti Benteng Vredeburg tercatat 11 perhelatan dan Taman Budaya Yogyakarta (5).
Juga tak sedikit venues lain yang relatif baru dan dimiliki secara perorangan, telah mempunyai program yang cukup tertata. Pun dengan ruang-ruang lain yang awalnya tidak ditendensikan sebagai ruang seni rupa. Misalnya Museum dan Tanah Liat dengan 8 event, Galeri Biasa (4), Parkir Space (7), Wisma Ary (3), Gramedia (3), Hamursava (5), Ministry of Café (6), dan lainnya. Dari keseluruhan banyaknya perhelatan itu, maka bila dihitung rerata dalam sebulan ada lebih dari 18 event, atau lebih dari 4 kali event per minggu. Ini sebuah capaian angka yang bisa menguatkan maklumat kota ini sebagai kota seni dan budaya. Capaian ini tentu tak lepas dari masyarakat penyangganya yang punya militansi kuat pada dunia seni rupa dengan jumlah yang tidak banyak (di antara 3,2 juta penduduk DIY) – yang ditumbuhkan oleh sekolah dan kampus seni rupa, komunitas seni, dan lainnya. (Dengan segala maaf, data “jadul” ini justru sengaja dikemukakan untuk memberi penekanan bahwa situasi paling mutakhir terdapat realitas yang lebih berbeda: ada ruang seni yang mampat dan “terbunuh” oleh ketakmampuan pengelola(an)nya, ada pula ruang-ruang seni yang makin bertumbuh padat dengan frekuensi perhelatan seni rupa yang kian kerap).
Lantas, bagaimana Tujuh Bintang Art Space akan mengambil posisi dan peran di celah belantara ruang dan perhelatan seni rupa Yogyakarta?
Dengan positioning sebagai galeri (komersial), tentu bukan perkara mudah untuk memainkan perannya. Publik seni rupa Yogyakarta sendiri – secara bergurau – sepertinya telah (pernah) kadung punya garis justifikasi bahwa Yogyakarta adalah kuburan bagi galeri komersial. Beberapa di antara mereka yang sebenarnya dikelola dengan cukup serius telah pernah tumbuh di sini, namun kemudian berkalang tanah tak lebih dari usia dua tahun. Misalnya galeri Embun atau galeri Oktober – untuk menyebut beberapa nama. Artinya galeri yang menghasratkan diri sepenuhnya hidup dari hasil transaksi finansial atas karya-karya seni rupa di dalamnya, belum cukup memungkinkan bertumbuh di Yogyakarta.
Ini memang memuat masalah yang kompleks. Mulai dari problem manajemen, jaringan pasar yang belum cukup terbangun pada masing-masing galeri, hingga pada problem code of conduct dalam mekanisme dan sistem pasar seni rupa yang masih teramat sulit terbentuk (karena sebenarnya nyaris masih nirsistem, tanpa sistem). Artinya – sebagai contoh kasus – tak ada aturan baku yang memungkinkan seorang kolektor seni rupa hanya akan mengoleksi lukisan dari ruang-ruang pajang di sebuah galeri saja, dan bukan dengan cara door to door di rumah atau studio seniman. Tak ada aturan yang secara santu “membikin malu” orang-orang kepanjangan tangan balai lelang yang ikut-ikutan berkeliaran melambai-lambaikan segepok uang dari rumah ke rumah seniman, sehingga mekanisme pasar seni rupa kian penuh silang-sengkarut. Oleh karenanya, adagium “untuk apa beli di toko kalau bisa memborong langsung di pabriknya” terus berlaku di sini. Kolektor merangkap jadi kolekdol (mengoleksi dan dijual lagi). Ini memang tak sepenuhnya salah karena ada relasi yang mutualistik dengan seniman. Namun, apa daya, mentalitas sepeti inilah yang kerap mematikan keberadaan galeri komersial di Yogyakarta (atau Indonesia).
Kelimun persoalan berikutnya yang segera menyergap saya yakin akan kian banyak dan kompleks. Maka, bagi sebuah galeri baru, persoalan latent yang mesti dilakukan sebagai siasat untuk bernafas panjang adalah menerapkan tiga hal penting, yakni membangun citra, meluaskan jaringan, dan menguatkan program. Tiga hal itu bisa saling berintegrasi satu sama lain.
Membangun citra jelas berkepentingan untuk menanamkan kesadaran yang lebih dalam atas keberadaan dan positioning ruang ini di mata publik. Bahwa Tujuh Bintang Art Space adalah galeri yang berorientasi ke pasar namun tidak pasaran, misalnya, adalah hal elementer yang mesti dicarikan titik hubungnya dengan kualitas program pameran yang matang dan terencana, menyeimbangkan antara kepentingan yang pragmatis dan idealis, memberi kontribusi dengan mengakomodasi seniman (yang di)pinggir(k)an, melepaskan praktik koncoisme dan nepotisme yang akut, dan pelbagai persoalan ikutan yang berderet mengikutinya.
Atau kalau brand-name galeri sudah berimplikasi secara melekat membawa citra kota, maka pencitraan sudah bisa diharapkan mampu memberi imbas balik yang elegan dan mutual bagi citra kota Yogyakarta. Ini bisa diimplementasikan dengan meluaskan jaringan dengan galeri atau art space di kota-kota dunia lainnya, misalnya. Ini pun bisa lebih lanjut membangun program kota kembar atau sister city yang berorientasi pada program seni rupa. Misalnya dengan kota Kyoto yang bekas kota kekaisaran di Jepang sehingga punya kesetaraan. Atau dengan kota-kota lain di dunia yang sesama anggota Liga Kota Bangsa sedunia karena kesetaraan garis sejarahnya dan sederajat status administrasinya. Misalnya dengan kota Sidney di Australia, Amsterdam (Belanda), Madrid (Spanyol), Singapura, Seoul (Korsel), Basel (Swiss), dan lainnya.
Beberapa seniman atau lembaga seni di Yogyakarta-pun, saya percaya, sebenarnya telah pernah menjalin relasi dan kooperasi yang baik dengan ruang-ruang seni penting di kota-kota tersebut, dan karenanya bisa diharapkan keterlibatannya untuk membangun jaringan.
Dengan demikian, program kegiatan galeri pun nantinya bisa lebih kaya, meluas, dan mematangkan citra sebagai ruang seni penguat simbol kota Yogyakarta sebagai kota seni budaya. Toh label sebagai art space tidak sekadar dicitrakan dengan habis-habisan membuat pameran, “rebutan” seniman, dan menghitung denting rupiah yang dapat tertangguk karenanya. Namun juga investasi kultural yang sudah barang pasti diagendakan untuk memberi pengayaan batin, pencerdasan estetik bagi senimannya sendiri, dan publik seni yang menjadi masyarakat penyangganya.
[tiga]
Bagaimanapun, ada banyak kolektor dengan segala jenis dan kepentingan di balik praktik konsumsinya. Termasuk seorang kolektor lukisan yang menceritakan pengalamannya ketika melihat kesulitan posisi para seniman ketika iklim ’pasar’ semakin meruyak di masyarakat, seperti yang saya angkat kembali dari artikel ”Kolektor Dua Jaman” di Majalah Visual Art, 2004, hlm 011:
”(Kondisi) tidak berkembang, sulit menemukan sesuatu yang baru, agaknya menjadi tantangan terbesar pelukis saat ini. Kebutuhan akan lukisan – terutama untuk kepentingan interior bangunan – yang terus meningkat membuat semua pelukis seperti terburu-buru. Melukis lebih banyak. Melukis lebih cepat. Menjual lebih sering. Mereka seperti ketakutan kehilangan momentum harga yang tinggi hingga lupa belajar, merenung, dan terus mengaktualisasikan diri.”
Ia melanjutkan berbagai pandangan sebagai kolektor lukisan: ”Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa seseorang dilahirkan sebagai artis besar. Bakat memang penting. Namun seoarng artis harus terus menerus mengembangkan diri. Semua usahanya itu akan tercemin pada karya-karya yang dihasilkannya. Jangan lupa, tingkat intelektual kolektor atau investor akan terus meningkat. Kalau artis tak bisa mengimbangi kecepatannya, lambat laun akan ditinggalkan orang.
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini dimuat dalam katalogus pameran Indonesia Contemporary All Star 2008 sekaligus launching Tujuh Bintang Art Space, di Jalan Sukonandi 7, Kusumanegara, Yogyakarta. Pembukaan pameran dilakukan pada hari Minggu, 17 Agustus 2008 dengan 37 seniman, antara lain Ugo Untoro, Tisna Sanjaya, Nasirun, Entang Wiharso, Hanafi, Edo Pop, Suraji, Nurkholis, Laksmi Shitaresmi, dan lainnya)
“Marilah kita pikirkan, bahwa di samping segala investasi yang hasilnya kelak di kemudian hari dapat diukur dengan uang, investasi kulturil tidak demikian halnya. Apa yang pernah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan, akan memberikan bunga dan buah karya-karya seni yang tak ternilai nilainya. Mungkin generasi kita tidak bisa menikmatinya, tapi generasi anak-anak kita, yang akan mengenyam hasilnya. Investasi seni dan budaya mempunyai jangka waktu yang tidak singkat.” – Gubernur DKI Jakarta Raya Ali Sadikin, 10 November 1968, pada sambutan pembukaan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta
[satu]
Namanya Imelda. Sehari-harinya sebagai seorang disainer produk, distributor home lifestyle product, dan menetap di Singapura. Perempuan muda nan cantik—ibu dari 2 orang putra yang sedang menggemaskan—pada siang yang terasa kerontang itu mendarat di Yogyakarta bersama sang ayah, Ghozali. Mereka berdua terbang dari bandara Changi di negeri Singa tersebut, transit di Soekarno-Hatta, Jakarta, untuk lalu landing di bandara Adisucipto. “Pendaratan” ke kota Gudeg ini hanya berbekal satu hasrat, yakni menyambangi sebuah pameran/festival seni lukis di pengujung akhir bulan Mei 2008 lalu. Dan kalau ada karya yang “mengganggu” kesadaran artistiknya, merekapun akan mengoleksi.
Sebetulnya kedatangan Imelda terlalu dini karena pembukaan pameran secara resmi baru akan dilakukan dua hari berikutnya. Tapi justru di sini titik pentingnya, karena dia mesti berlomba dengan calon kolektor lain dalam berburu karya lukis. Siapa cepat dia dapat, begitu kira-kira adagium perburuan yang dipakai. Dia tak peduli dengan kemasan yang riuh-rendah hingga heboh bernama seremoni pembukaan pameran karena pada dasarnya hal yang juga tengah dikejar adalah ketajaman cita rasa estetik yang telah dibangunnya tatkala kuliah di Eropa selepas menuntaskan pendidikan dasar hingga menengah di Jakarta.
Sekitar dua jam dia mengitari seluruh ruang pajang yang belum tuntas didisplai oleh para kru perhelatan pameran tersebut. Sesekali dia bertanya mengenai detail sebuah karya lukis yang menyedot minat dan perhatiannya. Mulai dari judul karya, siapa senimannya, bagaimana konsep kreatifnya, latar belakang proses pencitaannya, pencapaian teknisnya hingga—tentu saja—harga nominal lukisan tersebut. Ketika beberapa karya yang diminati “lulus” screening dan seleksi dari penilaian subyektivitas, segera Imelda bilang untuk me-reserve karya tersebut. Beberapa karya dia reserve sekaligus. (Meski ini tak menjamin baginya untuk mendapatkan karya yang diinginkan karena waktu itu panitia “terpaksa” memberlakukan sistem lotere untuk “memenangkan” calon kolektor dalam mengoleksi sebuah karya).
Urusan utama selesai. Seusai itu dia pergi makan siang, jalan-jalan sebentar di seputar Malioboro sekadar menghabiskan waktu sebelum sore itu juga harus kembali ke bandara Adisucipto dan bertolak ke Singapura. Beberapa hari berikutnya, Imelda mengirim perasaan kecewanya via e-mail ke penulis karena “kalah lotere” dan tak mendapatkan satupun karya yang diminati. Namun, apapun, dia tetap harus menghargai kenyataan itu sebagaimana dia memberi penghargaan terhadap rekan kolektor lain yang juga bersusah payah berburu karya. Imelda tidak sendirian. Karena pada momen yang sama juga ada beberapa orang (muda) lain yang bergerak dan atau landing beberapa jam di Yogya, melakukan deal-deal dan transaksi finansial di ruang pameran seni rupa, lalu cabut meninggalkan Yogya sembari menerakan angka-angka rupiah yang tidak kecil jumlahnya.
Inilah salah satu penampang kecil dari arus praktik konsumsi yang tengah begitu menggejala pada kanvas seni rupa di Indonesia, khususnya yang bisa diamati di Yogyakarta. Kawasan ini, memang, menjadi situs penting dari perkembangan seni rupa paling dinamis ketimbang kota lain di Indonesia. Sosok semacam Imelda seperti yang terpapar singkat di atas kini telah menjadi pemandangan yang tak sulit ditemui pada banyak perhelatan pameran seni rupa. Mereka inilah para kolektor seni rupa generasi baru dengan latar belakang dan perbendaharaan pengetahuan yang cukup berbeda dengan generasi sebelumnya. Usia mereka relatif masih muda, berkisar 25 hingga 40-an tahun, tak sedikit yang mengecap pendidikan di mancanegara, sudah memegang kendali bisnis (entah mewarisi generasi sebelumnya atau gigih membangun sendiri), dan kemauan untuk mencerap pengetahuan di luar dunianya cukup tinggi. Setidaknya, jangan-jangan, ini dibentuk oleh sistem pengetahuan yang memadai tatkala mereka menimba ilmu di bangku kuliah, pergaulan yang luas, dan serapan atas gelombang arus informasi yang bergulung kuat lewat jaring-jaring teknologi internet dan media lainnya.
Realitas ini sedikit banyak telah mengetengahkan adanya pencerdasan pengetahuan estetik (aesthetic literacy) pada diri kolektor. Dengan amunisi kosa pengetahuan seni lewat jalur informasi yang banyak berseliweran di sekitarnya, para kolektor ini telah mulai memiliki sistem filtrasi tertentu—dengan segala subyektivitasnya—untuk memberi penilaian terhadap sebuah karya yang menurutnya memadai untuk dikoleksi atau tidak. Atau kalau meminjam terminologi ilmu pemasaran (marketing) seperti yang diintroduksikan oleh Kotler, Hermawan Kartajaya atau Tung Desem, ada tiga tahapan yang telah terserap oleh para kolektor ini dalam proses resepsi atas karya, yakni tahap eye share, brain share, dan heart share. Ini adalah tahapan yang bertingkat secara hierarkhis dimana para kolektor sebagai apresian tersebut telah melampaui jenjang awal ketika mereka (1) dipasok terus-menerus oleh penampakan visual karya, lalu (2) disodori perihal dunia gagasan di balik praktik kekaryaan tersebut, dan akhirnya (3) diberi sebentuk jembatan komunikasi dan persuasi bersifat personal lebih lanjut yang membangun relasi intim antara seniman, karya, dan apresian.
Dua poin pertama merupakan penggalan pengalaman yang telah banyak dilalui, yakni pengalaman melihat dan kemampuan kognitif untuk memberi rasionalisasi atas teks visual. Artinya, mereka ini sudah mulai tahu dan mampu membedakan mana karya Jean-Michel Basquiat, mana Keith Harring, berikut latar belakang penciptaan karya seniman tersebut. Mereka mulai cukup paham mana Andy Warhol, mana Galam Zulkifli. Mana Banksy, mana Arie Diyanto. Mana Takashi Murakami, mana seniman Indonesia yang berkecenderungan ke pola-pola street art yang mulai menggejala dengan melimpah. Sedang pada poin ketiga mengisyaratkan sebuah “diplomasi kultural” dalam format kecil-kecilan untuk melakukan tawar-menawar nilai antara seniman sebagai kreator dan kolektor yang mencoba meresepsi karya seni.
[dua]
Akhirnya sebuah galeri kembali hadir. Tujuh Bintang Art Space brand name-nya. Kehadirannya seperti mengisi sekaligus menguatkan kesadaran psikologis atas kota Yogyakarta yang menabalkan diri sebagai kota seni budaya. Kota dengan kepemilikan atas pemimpin yang berjuluk Sultan (Hamengkubuwana X) yang tidak saja diandaikan sebagai pemimpin politik, pemimpin administratif namun juga pemimpin kultural. Sebuah posisi dengan “derajat” yang melampaui pemimpin kawasan lain karena diekspektasikan mengisi atmosfir humanisme yang dibutuhkan warga pada komunitas di dalamnya ketimbang atmosfir politis seperti yang terjadi di kawasan lain. Meski pola relasi yang terjadi seperti meneruskan praktik feodalisme antara raja dan hamba sahaya di seberangnya, namun bangunan praktik yang terjadi seperti ayah-anak, ketimbang relasi “feodalisme modern” antara gubernur-rakyat yang justru sering terjerembab seperti relasi raja-budak. Maka, ekspektasi besar yang mengemuka adalah kepemilikan atas pemimpin yang mampu memangku aspek budaya di dalamnya, termasuk (dan terutama) pada ranah kesenian.
Hadirnya galeri ini tentu diniscayakan akan memarakkan geliat dinamika kehidupan seni rupa yang telah ‘larut’ di kota ini. Jauh melampaui kota-kota lain di Indonesia. Sebagai ilustrasi yang cukup kuno—seperti dicatat oleh Yayasan Seni Cemeti, sekarang Indonesia Visual Art Archive (IVAA)—sepanjang 2005 lalu, di sekujur kota Yogyakarta dan sekitarnya telah tergelar 223 perhelatan seni rupa yang bertebaran di 60-an venues atau ruang seni. Mulai dari acara besar yang dikerumuni ribuan pengunjung hingga perhelatan mungil di rumah kontrakan yang disambangi segelintir apresian. Venue yang relatif dinamis seperti Bentara Budaya mampu menyelenggarakan pameran hingga 27 kali setahun. Kemudian Rumah Budaya Tembi 17 event, Griya KR (15), Rumah Seni Cemeti (11), Kedai Kebun Forum (11), Via-Via Café (13), Lembaga Indonesia Perancis (7). Sedang gedung milik pemerintah seperti Benteng Vredeburg tercatat 11 perhelatan dan Taman Budaya Yogyakarta (5).
Juga tak sedikit venues lain yang relatif baru dan dimiliki secara perorangan, telah mempunyai program yang cukup tertata. Pun dengan ruang-ruang lain yang awalnya tidak ditendensikan sebagai ruang seni rupa. Misalnya Museum dan Tanah Liat dengan 8 event, Galeri Biasa (4), Parkir Space (7), Wisma Ary (3), Gramedia (3), Hamursava (5), Ministry of Café (6), dan lainnya. Dari keseluruhan banyaknya perhelatan itu, maka bila dihitung rerata dalam sebulan ada lebih dari 18 event, atau lebih dari 4 kali event per minggu. Ini sebuah capaian angka yang bisa menguatkan maklumat kota ini sebagai kota seni dan budaya. Capaian ini tentu tak lepas dari masyarakat penyangganya yang punya militansi kuat pada dunia seni rupa dengan jumlah yang tidak banyak (di antara 3,2 juta penduduk DIY) – yang ditumbuhkan oleh sekolah dan kampus seni rupa, komunitas seni, dan lainnya. (Dengan segala maaf, data “jadul” ini justru sengaja dikemukakan untuk memberi penekanan bahwa situasi paling mutakhir terdapat realitas yang lebih berbeda: ada ruang seni yang mampat dan “terbunuh” oleh ketakmampuan pengelola(an)nya, ada pula ruang-ruang seni yang makin bertumbuh padat dengan frekuensi perhelatan seni rupa yang kian kerap).
Lantas, bagaimana Tujuh Bintang Art Space akan mengambil posisi dan peran di celah belantara ruang dan perhelatan seni rupa Yogyakarta?
Dengan positioning sebagai galeri (komersial), tentu bukan perkara mudah untuk memainkan perannya. Publik seni rupa Yogyakarta sendiri – secara bergurau – sepertinya telah (pernah) kadung punya garis justifikasi bahwa Yogyakarta adalah kuburan bagi galeri komersial. Beberapa di antara mereka yang sebenarnya dikelola dengan cukup serius telah pernah tumbuh di sini, namun kemudian berkalang tanah tak lebih dari usia dua tahun. Misalnya galeri Embun atau galeri Oktober – untuk menyebut beberapa nama. Artinya galeri yang menghasratkan diri sepenuhnya hidup dari hasil transaksi finansial atas karya-karya seni rupa di dalamnya, belum cukup memungkinkan bertumbuh di Yogyakarta.
Ini memang memuat masalah yang kompleks. Mulai dari problem manajemen, jaringan pasar yang belum cukup terbangun pada masing-masing galeri, hingga pada problem code of conduct dalam mekanisme dan sistem pasar seni rupa yang masih teramat sulit terbentuk (karena sebenarnya nyaris masih nirsistem, tanpa sistem). Artinya – sebagai contoh kasus – tak ada aturan baku yang memungkinkan seorang kolektor seni rupa hanya akan mengoleksi lukisan dari ruang-ruang pajang di sebuah galeri saja, dan bukan dengan cara door to door di rumah atau studio seniman. Tak ada aturan yang secara santu “membikin malu” orang-orang kepanjangan tangan balai lelang yang ikut-ikutan berkeliaran melambai-lambaikan segepok uang dari rumah ke rumah seniman, sehingga mekanisme pasar seni rupa kian penuh silang-sengkarut. Oleh karenanya, adagium “untuk apa beli di toko kalau bisa memborong langsung di pabriknya” terus berlaku di sini. Kolektor merangkap jadi kolekdol (mengoleksi dan dijual lagi). Ini memang tak sepenuhnya salah karena ada relasi yang mutualistik dengan seniman. Namun, apa daya, mentalitas sepeti inilah yang kerap mematikan keberadaan galeri komersial di Yogyakarta (atau Indonesia).
Kelimun persoalan berikutnya yang segera menyergap saya yakin akan kian banyak dan kompleks. Maka, bagi sebuah galeri baru, persoalan latent yang mesti dilakukan sebagai siasat untuk bernafas panjang adalah menerapkan tiga hal penting, yakni membangun citra, meluaskan jaringan, dan menguatkan program. Tiga hal itu bisa saling berintegrasi satu sama lain.
Membangun citra jelas berkepentingan untuk menanamkan kesadaran yang lebih dalam atas keberadaan dan positioning ruang ini di mata publik. Bahwa Tujuh Bintang Art Space adalah galeri yang berorientasi ke pasar namun tidak pasaran, misalnya, adalah hal elementer yang mesti dicarikan titik hubungnya dengan kualitas program pameran yang matang dan terencana, menyeimbangkan antara kepentingan yang pragmatis dan idealis, memberi kontribusi dengan mengakomodasi seniman (yang di)pinggir(k)an, melepaskan praktik koncoisme dan nepotisme yang akut, dan pelbagai persoalan ikutan yang berderet mengikutinya.
Atau kalau brand-name galeri sudah berimplikasi secara melekat membawa citra kota, maka pencitraan sudah bisa diharapkan mampu memberi imbas balik yang elegan dan mutual bagi citra kota Yogyakarta. Ini bisa diimplementasikan dengan meluaskan jaringan dengan galeri atau art space di kota-kota dunia lainnya, misalnya. Ini pun bisa lebih lanjut membangun program kota kembar atau sister city yang berorientasi pada program seni rupa. Misalnya dengan kota Kyoto yang bekas kota kekaisaran di Jepang sehingga punya kesetaraan. Atau dengan kota-kota lain di dunia yang sesama anggota Liga Kota Bangsa sedunia karena kesetaraan garis sejarahnya dan sederajat status administrasinya. Misalnya dengan kota Sidney di Australia, Amsterdam (Belanda), Madrid (Spanyol), Singapura, Seoul (Korsel), Basel (Swiss), dan lainnya.
Beberapa seniman atau lembaga seni di Yogyakarta-pun, saya percaya, sebenarnya telah pernah menjalin relasi dan kooperasi yang baik dengan ruang-ruang seni penting di kota-kota tersebut, dan karenanya bisa diharapkan keterlibatannya untuk membangun jaringan.
Dengan demikian, program kegiatan galeri pun nantinya bisa lebih kaya, meluas, dan mematangkan citra sebagai ruang seni penguat simbol kota Yogyakarta sebagai kota seni budaya. Toh label sebagai art space tidak sekadar dicitrakan dengan habis-habisan membuat pameran, “rebutan” seniman, dan menghitung denting rupiah yang dapat tertangguk karenanya. Namun juga investasi kultural yang sudah barang pasti diagendakan untuk memberi pengayaan batin, pencerdasan estetik bagi senimannya sendiri, dan publik seni yang menjadi masyarakat penyangganya.
[tiga]
Bagaimanapun, ada banyak kolektor dengan segala jenis dan kepentingan di balik praktik konsumsinya. Termasuk seorang kolektor lukisan yang menceritakan pengalamannya ketika melihat kesulitan posisi para seniman ketika iklim ’pasar’ semakin meruyak di masyarakat, seperti yang saya angkat kembali dari artikel ”Kolektor Dua Jaman” di Majalah Visual Art, 2004, hlm 011:
”(Kondisi) tidak berkembang, sulit menemukan sesuatu yang baru, agaknya menjadi tantangan terbesar pelukis saat ini. Kebutuhan akan lukisan – terutama untuk kepentingan interior bangunan – yang terus meningkat membuat semua pelukis seperti terburu-buru. Melukis lebih banyak. Melukis lebih cepat. Menjual lebih sering. Mereka seperti ketakutan kehilangan momentum harga yang tinggi hingga lupa belajar, merenung, dan terus mengaktualisasikan diri.”
Ia melanjutkan berbagai pandangan sebagai kolektor lukisan: ”Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa seseorang dilahirkan sebagai artis besar. Bakat memang penting. Namun seoarng artis harus terus menerus mengembangkan diri. Semua usahanya itu akan tercemin pada karya-karya yang dihasilkannya. Jangan lupa, tingkat intelektual kolektor atau investor akan terus meningkat. Kalau artis tak bisa mengimbangi kecepatannya, lambat laun akan ditinggalkan orang.
Seorang penari latin andal pasti menguasai dasar-dasar menari balet. Begitu juga dengan pelukis. Miro dan Picasso misalnya. Sebelum menemukan bentuknya seperti yang sekarang kita kenal, mereka melukis naturalis dengan sangat baik. Lihat saja karya Picasso Garcon a la Pipe yang Mei 2004 terjual US$ 104, 1 juta di lelang Sotheby’s New York. Lukisan itu tidak bisa dibilang biasa-biasa saja.
Tapi kita semua tak perlu khawatir. Apa yang terjadi sekarang tak akan berlangsung selamanya. Anggap saja ini masa peralihan yang sayangnya kita tidak ketahui kapan akan berakhir. Kita ingin cepat berakhir, namun semua bergantung pada semua lapisan masyrakat seni rupa. Ya pelukisnya, ya kolektornya. Jika terpaksa harus ada yang namanya lost generation, anggap saja itu sebagai harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Saya yakin, pada saatnya nanti, akan ada pelukis yang lebih sibuk belajar dan mengembangkan diri ketimbang terus menerus membuat dan menjual lukisan.
Apa boleh buat, inilah penggalan persoalan yang mesti kita jadikan titik picu untuk pembenahan, di dalam dan di luar diri kita. Selagi kita mau dan berhasrat untuk itu.
Kuss Indarto, kurator seni rupa.
Kuss Indarto, kurator seni rupa.