Homonisasi ala “Ngono ya Ngono”
(Teks ini dimuat dalam katalogus pameran Homo Homini Lupus di Mon Decor Gallery, 7-17 November 2008. Pameran ini mempresentasikan karya-karya lukisan Agung Hanafi "Pekik", Anis Ekowindu, Maslihar "Panjul", dan Yudi Sulistyo)
Oleh Kuss Indarto
Dalam salah satu karya pentingnya yang bertajuk Asinaria, penulis komedi jaman Romawi, Titus Marcius Plautus (254-184 Sebelum Masehi), menuangkan kalimat yang seolah menjadi mantra kini: homo homini lupus. Aslinya, dulu berbunyi lupus est homo homini. Artinya tegas, yakni: manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Berabad-abad kemudian, setidaknya abad 19, filsuf dan pemikir ilmu politik, Thomas Hobbes, kembali mempopulerkan istilah tersebut untuk menandai perilaku buruk manusia yang “memakan” sejawat, rekan atau sesamanya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya, khususnya dalam ranah perpolitikan. Demi kepentingan politik, jalan kasar pun ditempuh. Bahkan dengan menghalalkan segala cara seperti yang dianut oleh politikus bergaya machiavelian (merujuk pada “teori politik yang menghalalkan segala cara” dari niccolo machiaveli).
Maka, pendeknya, ketika kerakusan, cinta diri menjadi pola kehidupan, dan penghormatan kepada kebenaran lebih didasarkan semata-mata pada uang dan kekuasaan, akan muncullah situasi di mana orang lain bukan lagi dianggap saudara, melainkan musuh. Keadaan ini dapat dipahami sebagai homo homini lupus. Ini Uang menjadi begitu berkuasa, nilai-nilai yang lebih beradab dan berbudaya tidak lagi berarti. Kalau merujuk pada teks Pancasila, boleh jadi sila pertama pun sudah berubah menjadi “Keuangan yang Mahakuasa”. Dan apabila uang sudah berkuasa, kerakusan serta cinta diri menjadi ciri pokok kehidupan berbangsa, egoisme menjadi dasar segala aktivitas, orang lain tidak lagi dianggap sebagai saudara, melainkan musuh.
Kalau kemudian teks dan pemahaman homo homini lupus ini diturunkan sebagai kerangka kuratorial pameran ini, segera risiko dan kemungkinan akan mengemuka. Risiko pertama, respon seniman atas tema kuratorial ini dimungkinkan masuk dalam pola dan gaya kreatif para seniman yang menjumput tema politik sekitar sepuluh tahun lalu. Publik akan dengan gampang mengingat betapa kanvas seni rupa Indonesia waktu itu, menjelang, seiring dan selepas Reformasi 1998 atau jatuhnya kekuasaan Soeharto, banyak dihinggapi oleh tema-tema politik yang penuh hingar-bingar. Banyak seniman yang kemudian beralih bentuk ungkap kreatifnya dengan berbondong-bondong menjadi “komentator politik” lewat kanvas atau karya seni rupa lain. Salah satu bintangnya, yang memang telah lama menekui tema-tema politis adalah Djoko Pekik. Waktu itu dia mengkreasi karya “Berburu Celeng” yang hingga saat ini menjadi masterpiece-nya.
Risiko kedua, ada risiko pendangkalan atas tawaran tema ini yang kemungkinan akan dibaca hanya sebatas tema politis. Ini memang sebuah tema yang berangkat dari idiom dalam perbincangan soal dan konteks politis. Namun tidak dengan sendirinya akan dihasratkan sepenuhnya untuk membincangkan atau berkomentar tentang hal-hal yang berkaitan dengan ihwal politik praktis, atau situasi politik kontemporer.
Oleh karenanya dengan tanpa kecurigaan atas kemungkinan dua risiko di atas, dipilihlah 4 perupa atau seniman yang muda yang selama ini dikenal tidak cukup ketat sebagai seniman yang bergerak dengan pilihan kreatif yang dekat-dekat dengan tema politis. Atau apalagi yang dianggap acap membopong ideologi politik (praktis) tertentu. Keempat seniman itu adalah Agung Hanafi “Pekik”, Anis Ekowindu, Maslihar “Panjul”, dan Yudi Sulistyo.
Pembacaan atas tema homo homini lupus ini menjadi menarik karena masing-masing perupa mencoba membawa pemahamannya sendiri-sendiri, yang jelas berbeda satu sama lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurun waktu sepuluh tahun setelah Reformasi 1998 telah cukup membawa perubahan cara berpikir bagi banyak kalangan, termasuk generasi sekarang. Artinya, keempat seniman ini telah cukup dewasa ketika Reformasi 1998 lalu terjadi. Namun keinginan, ketertarikan, dan hasrat dalam mengenali, menggeluti dan mendalami soal-soal politik tidak cukup kental. Bisa jadi ini masalah personal pada masing-masing perupa. Namun tak tertutup kemungkinan juga hal ini sebagai sebuah fenomena sosial yang menyebar bahwa di kalangan anak muda dewasa ini, khususnya seniman yang terlibat dalam pameran ini, tidak cukup berminat (apalagi secara intensif) masuk dan bergelut dalam kerangka tema politik atau yang kental nilai politisnya. Ini antara kejenuhan dan mungkin keputus-asaan terhadap pelaku politik yang tak memberi banyak perubahan sosial budaya pada tahun-tahun terakhir.
Kalau toh tema-tema politis tersebut coba dikreasi, ada kecenderungan pada beberapa seniman yang mencoba terlebih dahulu mengembalikan tema “keras” tersebut dalam dirinya untuk kemudian dimuntahkan kembali sebagai kerangka pandang personal. Ya, ada penguatan personalitas dalam diri seniman dewasa ini yang kemudian mengimbas begitu kuat dalam karyanya.
Dalam konteks ini, karya Maslihar Panjul bisa menjadi contoh menarik. Pada hampir semua karyanya kali ini, menempatkan potret dirinya membadut. Ada wajah Panjul pada tiap bentang kanvas, dan personalitas dirinya tampak begitu kuat dipakai untuk “menembak” sesuatu hal di luar dirinya. Tampaknya, ada spirit pasemon, semangat mengritik ala Jawa yang tidak terjadi secara to the point, namun dengan “melingkar-lingkar” meski tetap menohok. Kita ingat filsafat Jawa ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu tapi jangan begitu. Dua kata ngono pertama mengisyaratkan praktik kriktik bisa berlangsung dan bisa diterima, sementara kata ngono yang kedua mengarahkan aspek etika juga aspek kemasan kritik lebih dijadikan standar kecakapan personal dalam sistem komunikasi publik. Pada pemahaman gaya mengritik ini, kemasan kritik jauh lebih penting ketimbang substansinya, agar lebih beradab, dan tidak menyakitkan pihak lain. Pemahaman inilah yang tampaknya terlihat cukup kental pada karya Maslihar. Maka lahirlah potret dirinya yang memposisikan dirinya seperti sosok korban sang lupus (serigala) dan sebagai pecundang.
Keadaan serupa sebenarnya juga terjadi pada karya Anis Ekowindu yang menempatkan sosok “model tetap”-nya untuk memprovokasi publik dengan plesetan atau permainan judul yang tendensius, dan tentu saja pada aspek kebentukan karyanya yang tak kurang provokatifnya. Figur-figur yang telanjang sepertinya telah mengisyaratkan sebuah pratanda tentang keterbukaan, kepolosan dan hal-ihwal yang berkait dengan gagasannya tentang “makan-memakan antarsesama”. Judul seperti “Nice to Eat You”, “Provocator is Perfect Actor”, saya kira, adalah plesetan sekenanya dan sekaligus mengena. Pada “Nice to Eat You”, sebagai plesetan dari salam penuh hangat dalam bahasa Inggris itu (“nice to meet you”), telah membelok membentuk konotasi lain yang bernas, tajam, mengena. Visualisasi yang diketengahkan oleh Anis adalah citra laki-laki bercelana pendek santai dan bertelanjang dada sambil mengisyaratkan praktik menghabisi atau membunuh (dengan jari bersilang di depan leher) lewat bahasa tangan. Saya kira, karya ini menggendong impresi sadisme yang terselubung dengan bahasa rupa dan judul yang tetap tak meninggalkan estetisme yang kuat.
Pada deretan karya Yudi Sulistyo, publik diniscayakan akan tergugah kesannya untuk teringat pada karya-karya komik serius yang dibuat dengan studi foto yang njelimet. Memang Yudi yang juga ilustrator pada perusahaan advertising di Yogyakarta ini memiliki kemampuan mengilustrasikan secara realistik dengan baik, detil dan akurat pada hampir semua objeknya. Dan lebih dari itu, ketekunannya untuk menasfir tema kuratorial ini sangat diimbangi oleh kemampuannya dalam melakukan survei foto yang ditelusuri dari berbagai bahan seperti majalah dan media lainnya. Publik bisa melihat bagaimana tingkat kemampuan teknisnya yang masuk dalam “kategori memukau”. Lepas dari itu, simaklah empat figur serigala (lupus) yang berada dalam kostum para perwira tinggi militer jaman Nazi. Pendeknya, rangkaian karya Yudi ini menerakan sebuah kode komunikasi pada publik bahwa pertarungan atau peperangan antarmanusia hanya akan menjadikan mereka tak lebih dari watak sang lupus yang tanpa hati.
Secara umum, semangat untuk memunculkan pasemon atau gaya menuturkan kritik yang eufemsitik (halus) inilah yang banyak mengemuka. Seniman Agung Hanafi “Pekik” pun demikian. Karya-karya grafisnya (printmaking) banyak memberi kesan kritis yang halus untuk membincangkan perkara sosial yang lebih luas. Nyaris sama dengan Yudi, Agung Hanafi menorehkan visualisasi yang bersumber dari genre atau gagrak komik. Banyak kenaifan ang muncul di sana yang dibangun dari gagasannya yang memang comical. Dan kesan naif ini kian menguat dengan didukung oleh hasil dari penggalian dan pendalamannya mengolah teknik printmaking.
Pameran homo homini lupus ini seperti memberi kode penting bagi publik untuk mensubversi kecenderungan sosial yang telah banyak ditebari oleh lupus ini menuju situasi yang homo homini socius, bahwa manusia adalah kawan bagi sesamanya. Apakah pameran ini upaya ajakan kecil dari senimannya untuk melakukan hominisasi atau humanisasi, proses pemanusiaan diri? Semoga bisa dipahami seperti itu.
Dalam salah satu karya pentingnya yang bertajuk Asinaria, penulis komedi jaman Romawi, Titus Marcius Plautus (254-184 Sebelum Masehi), menuangkan kalimat yang seolah menjadi mantra kini: homo homini lupus. Aslinya, dulu berbunyi lupus est homo homini. Artinya tegas, yakni: manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Berabad-abad kemudian, setidaknya abad 19, filsuf dan pemikir ilmu politik, Thomas Hobbes, kembali mempopulerkan istilah tersebut untuk menandai perilaku buruk manusia yang “memakan” sejawat, rekan atau sesamanya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya, khususnya dalam ranah perpolitikan. Demi kepentingan politik, jalan kasar pun ditempuh. Bahkan dengan menghalalkan segala cara seperti yang dianut oleh politikus bergaya machiavelian (merujuk pada “teori politik yang menghalalkan segala cara” dari niccolo machiaveli).
Maka, pendeknya, ketika kerakusan, cinta diri menjadi pola kehidupan, dan penghormatan kepada kebenaran lebih didasarkan semata-mata pada uang dan kekuasaan, akan muncullah situasi di mana orang lain bukan lagi dianggap saudara, melainkan musuh. Keadaan ini dapat dipahami sebagai homo homini lupus. Ini Uang menjadi begitu berkuasa, nilai-nilai yang lebih beradab dan berbudaya tidak lagi berarti. Kalau merujuk pada teks Pancasila, boleh jadi sila pertama pun sudah berubah menjadi “Keuangan yang Mahakuasa”. Dan apabila uang sudah berkuasa, kerakusan serta cinta diri menjadi ciri pokok kehidupan berbangsa, egoisme menjadi dasar segala aktivitas, orang lain tidak lagi dianggap sebagai saudara, melainkan musuh.
Kalau kemudian teks dan pemahaman homo homini lupus ini diturunkan sebagai kerangka kuratorial pameran ini, segera risiko dan kemungkinan akan mengemuka. Risiko pertama, respon seniman atas tema kuratorial ini dimungkinkan masuk dalam pola dan gaya kreatif para seniman yang menjumput tema politik sekitar sepuluh tahun lalu. Publik akan dengan gampang mengingat betapa kanvas seni rupa Indonesia waktu itu, menjelang, seiring dan selepas Reformasi 1998 atau jatuhnya kekuasaan Soeharto, banyak dihinggapi oleh tema-tema politik yang penuh hingar-bingar. Banyak seniman yang kemudian beralih bentuk ungkap kreatifnya dengan berbondong-bondong menjadi “komentator politik” lewat kanvas atau karya seni rupa lain. Salah satu bintangnya, yang memang telah lama menekui tema-tema politis adalah Djoko Pekik. Waktu itu dia mengkreasi karya “Berburu Celeng” yang hingga saat ini menjadi masterpiece-nya.
Risiko kedua, ada risiko pendangkalan atas tawaran tema ini yang kemungkinan akan dibaca hanya sebatas tema politis. Ini memang sebuah tema yang berangkat dari idiom dalam perbincangan soal dan konteks politis. Namun tidak dengan sendirinya akan dihasratkan sepenuhnya untuk membincangkan atau berkomentar tentang hal-hal yang berkaitan dengan ihwal politik praktis, atau situasi politik kontemporer.
Oleh karenanya dengan tanpa kecurigaan atas kemungkinan dua risiko di atas, dipilihlah 4 perupa atau seniman yang muda yang selama ini dikenal tidak cukup ketat sebagai seniman yang bergerak dengan pilihan kreatif yang dekat-dekat dengan tema politis. Atau apalagi yang dianggap acap membopong ideologi politik (praktis) tertentu. Keempat seniman itu adalah Agung Hanafi “Pekik”, Anis Ekowindu, Maslihar “Panjul”, dan Yudi Sulistyo.
Pembacaan atas tema homo homini lupus ini menjadi menarik karena masing-masing perupa mencoba membawa pemahamannya sendiri-sendiri, yang jelas berbeda satu sama lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurun waktu sepuluh tahun setelah Reformasi 1998 telah cukup membawa perubahan cara berpikir bagi banyak kalangan, termasuk generasi sekarang. Artinya, keempat seniman ini telah cukup dewasa ketika Reformasi 1998 lalu terjadi. Namun keinginan, ketertarikan, dan hasrat dalam mengenali, menggeluti dan mendalami soal-soal politik tidak cukup kental. Bisa jadi ini masalah personal pada masing-masing perupa. Namun tak tertutup kemungkinan juga hal ini sebagai sebuah fenomena sosial yang menyebar bahwa di kalangan anak muda dewasa ini, khususnya seniman yang terlibat dalam pameran ini, tidak cukup berminat (apalagi secara intensif) masuk dan bergelut dalam kerangka tema politik atau yang kental nilai politisnya. Ini antara kejenuhan dan mungkin keputus-asaan terhadap pelaku politik yang tak memberi banyak perubahan sosial budaya pada tahun-tahun terakhir.
Kalau toh tema-tema politis tersebut coba dikreasi, ada kecenderungan pada beberapa seniman yang mencoba terlebih dahulu mengembalikan tema “keras” tersebut dalam dirinya untuk kemudian dimuntahkan kembali sebagai kerangka pandang personal. Ya, ada penguatan personalitas dalam diri seniman dewasa ini yang kemudian mengimbas begitu kuat dalam karyanya.
Dalam konteks ini, karya Maslihar Panjul bisa menjadi contoh menarik. Pada hampir semua karyanya kali ini, menempatkan potret dirinya membadut. Ada wajah Panjul pada tiap bentang kanvas, dan personalitas dirinya tampak begitu kuat dipakai untuk “menembak” sesuatu hal di luar dirinya. Tampaknya, ada spirit pasemon, semangat mengritik ala Jawa yang tidak terjadi secara to the point, namun dengan “melingkar-lingkar” meski tetap menohok. Kita ingat filsafat Jawa ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu tapi jangan begitu. Dua kata ngono pertama mengisyaratkan praktik kriktik bisa berlangsung dan bisa diterima, sementara kata ngono yang kedua mengarahkan aspek etika juga aspek kemasan kritik lebih dijadikan standar kecakapan personal dalam sistem komunikasi publik. Pada pemahaman gaya mengritik ini, kemasan kritik jauh lebih penting ketimbang substansinya, agar lebih beradab, dan tidak menyakitkan pihak lain. Pemahaman inilah yang tampaknya terlihat cukup kental pada karya Maslihar. Maka lahirlah potret dirinya yang memposisikan dirinya seperti sosok korban sang lupus (serigala) dan sebagai pecundang.
Keadaan serupa sebenarnya juga terjadi pada karya Anis Ekowindu yang menempatkan sosok “model tetap”-nya untuk memprovokasi publik dengan plesetan atau permainan judul yang tendensius, dan tentu saja pada aspek kebentukan karyanya yang tak kurang provokatifnya. Figur-figur yang telanjang sepertinya telah mengisyaratkan sebuah pratanda tentang keterbukaan, kepolosan dan hal-ihwal yang berkait dengan gagasannya tentang “makan-memakan antarsesama”. Judul seperti “Nice to Eat You”, “Provocator is Perfect Actor”, saya kira, adalah plesetan sekenanya dan sekaligus mengena. Pada “Nice to Eat You”, sebagai plesetan dari salam penuh hangat dalam bahasa Inggris itu (“nice to meet you”), telah membelok membentuk konotasi lain yang bernas, tajam, mengena. Visualisasi yang diketengahkan oleh Anis adalah citra laki-laki bercelana pendek santai dan bertelanjang dada sambil mengisyaratkan praktik menghabisi atau membunuh (dengan jari bersilang di depan leher) lewat bahasa tangan. Saya kira, karya ini menggendong impresi sadisme yang terselubung dengan bahasa rupa dan judul yang tetap tak meninggalkan estetisme yang kuat.
Pada deretan karya Yudi Sulistyo, publik diniscayakan akan tergugah kesannya untuk teringat pada karya-karya komik serius yang dibuat dengan studi foto yang njelimet. Memang Yudi yang juga ilustrator pada perusahaan advertising di Yogyakarta ini memiliki kemampuan mengilustrasikan secara realistik dengan baik, detil dan akurat pada hampir semua objeknya. Dan lebih dari itu, ketekunannya untuk menasfir tema kuratorial ini sangat diimbangi oleh kemampuannya dalam melakukan survei foto yang ditelusuri dari berbagai bahan seperti majalah dan media lainnya. Publik bisa melihat bagaimana tingkat kemampuan teknisnya yang masuk dalam “kategori memukau”. Lepas dari itu, simaklah empat figur serigala (lupus) yang berada dalam kostum para perwira tinggi militer jaman Nazi. Pendeknya, rangkaian karya Yudi ini menerakan sebuah kode komunikasi pada publik bahwa pertarungan atau peperangan antarmanusia hanya akan menjadikan mereka tak lebih dari watak sang lupus yang tanpa hati.
Secara umum, semangat untuk memunculkan pasemon atau gaya menuturkan kritik yang eufemsitik (halus) inilah yang banyak mengemuka. Seniman Agung Hanafi “Pekik” pun demikian. Karya-karya grafisnya (printmaking) banyak memberi kesan kritis yang halus untuk membincangkan perkara sosial yang lebih luas. Nyaris sama dengan Yudi, Agung Hanafi menorehkan visualisasi yang bersumber dari genre atau gagrak komik. Banyak kenaifan ang muncul di sana yang dibangun dari gagasannya yang memang comical. Dan kesan naif ini kian menguat dengan didukung oleh hasil dari penggalian dan pendalamannya mengolah teknik printmaking.
Pameran homo homini lupus ini seperti memberi kode penting bagi publik untuk mensubversi kecenderungan sosial yang telah banyak ditebari oleh lupus ini menuju situasi yang homo homini socius, bahwa manusia adalah kawan bagi sesamanya. Apakah pameran ini upaya ajakan kecil dari senimannya untuk melakukan hominisasi atau humanisasi, proses pemanusiaan diri? Semoga bisa dipahami seperti itu.