Penampang Kesetiaan Zhao Chun
(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tunggal senima China, Zhao Chun, bertajuk Dream, 7-16 November 2008. Ini foto sehari sebelum pembukaan pameran. Aku dan Zhao Chun jeda ngopi di sela mendisplai lukisan)
Oleh Kuss Indarto
Bagi perupa Zhao Chun, sosok perempuan muda suku Miao seolah bagai derai aliran sungai Yangtze yang tak habis ditimba sebagai sumber inspirasi. Puluhan bahkan mungkin ratusan karya telah dan akan terus lahir dari tangan dan kesadaran estetikanya di atas kanvas.
Pilihan untuk menjadikan perempuan muda suku Miao sebagai titik tolak penciptaan pada hampir sebagian besar karyanya, memang, merupakan sebuah alternatif kemungkinan yang sangat menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Pada satu sisi menarik dari perspektif sang seniman sendiri yang secara konsisten meyakini jagad perempuan suku Miao sebagai titik tolak gagasan kreatifnya. Dan pada sisi lain ada titik menarik bagi apresian karena pilihan tersebut akan menerbitkan teka-teki (enigmatik) yang kemudian mendorong untuk berhasrat mengetahui latar belakang penciptaannya.
Pilihan subyek kreatifnya yang konsisten dan fokus ini telah menempatkan seniman muda kelahiran kota Shenyang, China, tahun 1970 ini pada posisi yang cukup untuk diperhitungkan eksistensi dan reputasinya. Setidaknya, tema-tema karya yang fokus pada karya Zhao Chun bisa memberi gambaran yang jelas dan tegas (terkhusus pada publik di Indonesia) kenapa banyak seniman China kontemporer bisa jauh berkembang dan terus merangsek ke jajaran penting konstelasi seni rupa di Asia bahkan di dunia.
Sebagai amsal, publik bisa menyimak ada deretan nama seperti Zhang Xiaogang yang acap kali menggambarkan wajah-wajah manusia yang terdiam dengan warna yang pucat-pasi dan aneh berikut sedikit bopeng lewat goresan yang kontras pada bagian lain wajah atau tubuh manusia tersebut. Ada pula Yue Minjun yang karyanya cukup menyiratkan kesan politis karena seolah berhasrat sebagai “juru bicara” bagi publik China yang lama terkekang dan ingin membuka mulut dan tertawa lebar-lebar. Ini nampak pada nyaris semua karyanya. Atau publik dapat mengetahui kerekatan emosi antara seniman Zhou Chunya dan anjing kesayangan pemberian temannya yang lalu menjadi artifak penting atas relasi manusia-binatang piaraan yang saling “cinta” berupa sosok-sosok anjing hijau yang simpel namun impresif dan lucu. Juga Feng Zhengjie yang setia mengukuhi pilihan untuk menggambarkan sosok-sosok wajah bermata juling dengan warna pastel.
Perempuan dan Budaya Miao
Pada karya-karya Zhao Chun, pilihan untuk memberi porsi yang sangat berlebih dalam menampilkan sosok perempuan muda dan cantik suku Miao, pada perspektif saya, mengemban beberapa dalih penting. Pertama, sebagai seniman (dan laki-laki), tentu, sang seniman menempatkan faktor eksotisme visual yang dibangun dari fisik (terutama wajah) perempuan sebagai hal penting yang menjadi alasan untuk terus-menerus dieksplorasi (digali). Pengeksplorasiannya sejauh ini cukup proporsional dan tidak terjerembab sebagai pengeksploitasian (“pemerasan”) terhadap sosok tubuh perempuan, yang antara lain mewujud dalam pelukisan lewat cara “penelanjangan”. Makna “penelanjangan” ini bisa dirujuk dalam kerangka makna yang bersayap, baik yang denotatif maupun yang konotatif. Saya tidak hendak mengatakan bahwa semua lukisan perempuan telanjang sudah pasti berarti sebuah eskploitasi tubuh. Namun untuk konteks karya Zhao Chun ini, ketidaktelanjangan tubuh-tubuh perempuan yang menjadi subject matter karyanya dikarenakan ada subjek keindahan lain yang juga tengah dieksplorasi secara terus-menerus dan dengan sedetail-detailnya, yakni pakaian dan aksesorinya. Aspek ini banyak menempel pada pakaian dan tubuh perempuan suku Miao itu, yakni berupa kalung, topi, mahkota, gelang, tas, dan lainnya. Semua benda aksesoris tersebut membawa eksotisme visual yang sangat menarik perhatian dan layak untuk dikedepankan sebagai bagian penting yang komplementatif antara tubuh perempuan dan kostum adat mereka.
Dalih kedua, dengan menempatkan sosok perempuan suku Miao sebagai sumber utama gagasan, seniman Zhao Chun ini nampaknya, secara tidak langsung, juga tengah menggendong misi sosio-kultural untuk membawa semacam politik pencitraan atas suku Miao di pelataran perbincangan yang lebih luas lagi, baik di tingkat nasion China sendiri, Asia, bahkan mungkin dunia.
Kalau dalam konteks ini suku Miao dimaknai sebagai poin untuk kepentingan berbau turistik atau bahkan semacam perangkat “diplomasi kebudayaan” dalam perbincangan yang lebih luas, maka karya-karya Zhao Chun ini memang penting sekali untuk dimunculkan. Perempuan muda nan cantik yang terbebat kostum penuh aksesoris dimungkinkan menyimpan problem sosial dan kebudayaan yang selama ini barangkali belum banyak terungkap lewat media seni rupa.
Seperti dalam berbagai catatan yang diketahui bersama oleh publik, suku Miao ini banyak berdiam di propinsi Guizhou, yakni bagian tenggara dari negara raksasa China, dan termasuk sebagai suku kecil seperti halnya suku Zhuang, Hui, Dong, dan lainnya. Populasi Miao hingga pada tahun 2000 diperkirakan hanya sekitar 9,6 juta jiwa. Populasi mereka ini tentu teramat kecil prosentasenya bila dipersandingkan dengan fakta bahwa secara keseluruhan daratan China dewasa ini dihuni oleh kurang lebih 2 miliar manusia. Dari sinilah barangkali saya boleh memberi asumsi bahwa seniman Zhao Chun bisa dimungkinkan tengah memberi posisi tawar yang memadai bagi suku Miao di tengah-tengah situasi sosial politik yang berkembang dengan cepat. Apalagi pada sebagian besar kota atau wilayah di pantai timur China tengah bergerak begitu cepat untuk memodernisasi diri dengan menerapkan industrialisasi di segala lini. Hal ini tentu dianggap cukup berseberangan dengan wilayah Miao yang mencoba bersetia merawat tradisionalisme dengan cukup ketat.
Lalu kalau kita mencoba mendalami lewat penelusuran lebih lanjut pada aspek visual karya-karya Zhao Chun, dari dalih pertama yang menyoal tentang perempuan Miao, adakah sesuatu yang menimbulkan impresi khusus?
Dari perspektif sekilas saya, karya-karya seniman ini tampak dengan kuat menyodorkan ekspresi keluguan sosok-sosok perempuan suku Miao di tengah balutan kostum “kebesaran” mereka yang riuh dan meriah penuh ornamen. Atau lebih tegasnya: figur-figur tanpa ekspresi. Kita akan jarang sekali menemui figur-figur yang dengan terbuka melepaskan derai tawanya, atau sebaliknya meluapkan emosi kekecewaannya, menangis, dan sebagainya. Perempuan yang digubah oleh Zhao Chun adalah perempuan yang berpenampilan lugas namun molek, tenang pembawaannya, tatapan matanya nanar, dan seolah suka membisu. Nyaris sedikit sekali perempuan dalam karya Zhao Chun yang membuka mulut atau memperlihatkan deretan giginya untuk mengekspresikan gelagat emosi tertentu.
Tubuh-tubuh yang ditampilkannya pun seolah “sekadarnya”, yakni terutama nampak pada bagian raut wajah yang tak lagi tampil “utuh” karena sedikit-banyak tertutup ornamen hiasan di kepala, tiara (mahkota bersusun), kalung dan lainnya. Dan kemudian baru nampak tubuh yang lain, yakni bagian tangan yang seolah bergerak banyak ke mana-mana menyesuaikan gagasan. Cobalah amati sekali lagi. Kita akan mendapati perempuan-perempuan suku Miao tersebut hadir dalam eksotismenya yang “aman”, jauh dari impresi untuk mengumbar sensualitas atau tendensi seksualitas. Mereka bagai bidadari yang hadir begitu saja dalam posisi duduk tepekur, tergolek di tempat tidur, memainkan alat musik tiup tradisional, atau menyeruak muncul persis di depan pintu sambil memegang kipas dengan anggun.
Konsistensi dalam penggarapan estetika semacam ini tentu sangat menarik untuk diamati. Apalagi jika kita sembari mengacu pula pada kecenderungan estetika seniman lain yang pada dasarnya mengambil sumber gagasan yang kurang lebih sama, yakni perempuan atau tubuh perempuan. Publik bisa menyebut, misalnya seniman Shi Wei yang terus-menerus menggali eksotisme kekerempengan tubuh perempuan dengan tak lupa untuk mempertontonkan payudara atau vagina subjek utamanya. Atau Li Difeng yang juga menggali sosok perempuan dengan aksesoris tradisional China yang detail dan provokatif warnanya. Dan masih banyak perupa lainnya.
Saya kira, nilai penting kehadiran perhelatan pameran Zhao Chun ini dapat memberi contoh kasus yang menarik tentang pergulatan seniman dalam menimba sebanyak-banyaknya pengalaman yang berasal dari lingkungan terdekat yang diakrabi untuk kemudian diterjemahkan kembali dalam bentuk kreatif lewat sistem pengetahuan yang dipahaminya. Maka, rentetan perempuan muda cantik suku Miao yang terdapat dalam bentang kanvas Zhao Chun bisa menjadi penanda atas kuatnya bangunan relasi antara sebuah kebudayaan dan penganutnya, dan kesetiaan antara seniman dan subject matter yang dikukuhinya sebagai sebuah penanda zaman.
Bagi perupa Zhao Chun, sosok perempuan muda suku Miao seolah bagai derai aliran sungai Yangtze yang tak habis ditimba sebagai sumber inspirasi. Puluhan bahkan mungkin ratusan karya telah dan akan terus lahir dari tangan dan kesadaran estetikanya di atas kanvas.
Pilihan untuk menjadikan perempuan muda suku Miao sebagai titik tolak penciptaan pada hampir sebagian besar karyanya, memang, merupakan sebuah alternatif kemungkinan yang sangat menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Pada satu sisi menarik dari perspektif sang seniman sendiri yang secara konsisten meyakini jagad perempuan suku Miao sebagai titik tolak gagasan kreatifnya. Dan pada sisi lain ada titik menarik bagi apresian karena pilihan tersebut akan menerbitkan teka-teki (enigmatik) yang kemudian mendorong untuk berhasrat mengetahui latar belakang penciptaannya.
Pilihan subyek kreatifnya yang konsisten dan fokus ini telah menempatkan seniman muda kelahiran kota Shenyang, China, tahun 1970 ini pada posisi yang cukup untuk diperhitungkan eksistensi dan reputasinya. Setidaknya, tema-tema karya yang fokus pada karya Zhao Chun bisa memberi gambaran yang jelas dan tegas (terkhusus pada publik di Indonesia) kenapa banyak seniman China kontemporer bisa jauh berkembang dan terus merangsek ke jajaran penting konstelasi seni rupa di Asia bahkan di dunia.
Sebagai amsal, publik bisa menyimak ada deretan nama seperti Zhang Xiaogang yang acap kali menggambarkan wajah-wajah manusia yang terdiam dengan warna yang pucat-pasi dan aneh berikut sedikit bopeng lewat goresan yang kontras pada bagian lain wajah atau tubuh manusia tersebut. Ada pula Yue Minjun yang karyanya cukup menyiratkan kesan politis karena seolah berhasrat sebagai “juru bicara” bagi publik China yang lama terkekang dan ingin membuka mulut dan tertawa lebar-lebar. Ini nampak pada nyaris semua karyanya. Atau publik dapat mengetahui kerekatan emosi antara seniman Zhou Chunya dan anjing kesayangan pemberian temannya yang lalu menjadi artifak penting atas relasi manusia-binatang piaraan yang saling “cinta” berupa sosok-sosok anjing hijau yang simpel namun impresif dan lucu. Juga Feng Zhengjie yang setia mengukuhi pilihan untuk menggambarkan sosok-sosok wajah bermata juling dengan warna pastel.
Perempuan dan Budaya Miao
Pada karya-karya Zhao Chun, pilihan untuk memberi porsi yang sangat berlebih dalam menampilkan sosok perempuan muda dan cantik suku Miao, pada perspektif saya, mengemban beberapa dalih penting. Pertama, sebagai seniman (dan laki-laki), tentu, sang seniman menempatkan faktor eksotisme visual yang dibangun dari fisik (terutama wajah) perempuan sebagai hal penting yang menjadi alasan untuk terus-menerus dieksplorasi (digali). Pengeksplorasiannya sejauh ini cukup proporsional dan tidak terjerembab sebagai pengeksploitasian (“pemerasan”) terhadap sosok tubuh perempuan, yang antara lain mewujud dalam pelukisan lewat cara “penelanjangan”. Makna “penelanjangan” ini bisa dirujuk dalam kerangka makna yang bersayap, baik yang denotatif maupun yang konotatif. Saya tidak hendak mengatakan bahwa semua lukisan perempuan telanjang sudah pasti berarti sebuah eskploitasi tubuh. Namun untuk konteks karya Zhao Chun ini, ketidaktelanjangan tubuh-tubuh perempuan yang menjadi subject matter karyanya dikarenakan ada subjek keindahan lain yang juga tengah dieksplorasi secara terus-menerus dan dengan sedetail-detailnya, yakni pakaian dan aksesorinya. Aspek ini banyak menempel pada pakaian dan tubuh perempuan suku Miao itu, yakni berupa kalung, topi, mahkota, gelang, tas, dan lainnya. Semua benda aksesoris tersebut membawa eksotisme visual yang sangat menarik perhatian dan layak untuk dikedepankan sebagai bagian penting yang komplementatif antara tubuh perempuan dan kostum adat mereka.
Dalih kedua, dengan menempatkan sosok perempuan suku Miao sebagai sumber utama gagasan, seniman Zhao Chun ini nampaknya, secara tidak langsung, juga tengah menggendong misi sosio-kultural untuk membawa semacam politik pencitraan atas suku Miao di pelataran perbincangan yang lebih luas lagi, baik di tingkat nasion China sendiri, Asia, bahkan mungkin dunia.
Kalau dalam konteks ini suku Miao dimaknai sebagai poin untuk kepentingan berbau turistik atau bahkan semacam perangkat “diplomasi kebudayaan” dalam perbincangan yang lebih luas, maka karya-karya Zhao Chun ini memang penting sekali untuk dimunculkan. Perempuan muda nan cantik yang terbebat kostum penuh aksesoris dimungkinkan menyimpan problem sosial dan kebudayaan yang selama ini barangkali belum banyak terungkap lewat media seni rupa.
Seperti dalam berbagai catatan yang diketahui bersama oleh publik, suku Miao ini banyak berdiam di propinsi Guizhou, yakni bagian tenggara dari negara raksasa China, dan termasuk sebagai suku kecil seperti halnya suku Zhuang, Hui, Dong, dan lainnya. Populasi Miao hingga pada tahun 2000 diperkirakan hanya sekitar 9,6 juta jiwa. Populasi mereka ini tentu teramat kecil prosentasenya bila dipersandingkan dengan fakta bahwa secara keseluruhan daratan China dewasa ini dihuni oleh kurang lebih 2 miliar manusia. Dari sinilah barangkali saya boleh memberi asumsi bahwa seniman Zhao Chun bisa dimungkinkan tengah memberi posisi tawar yang memadai bagi suku Miao di tengah-tengah situasi sosial politik yang berkembang dengan cepat. Apalagi pada sebagian besar kota atau wilayah di pantai timur China tengah bergerak begitu cepat untuk memodernisasi diri dengan menerapkan industrialisasi di segala lini. Hal ini tentu dianggap cukup berseberangan dengan wilayah Miao yang mencoba bersetia merawat tradisionalisme dengan cukup ketat.
Lalu kalau kita mencoba mendalami lewat penelusuran lebih lanjut pada aspek visual karya-karya Zhao Chun, dari dalih pertama yang menyoal tentang perempuan Miao, adakah sesuatu yang menimbulkan impresi khusus?
Dari perspektif sekilas saya, karya-karya seniman ini tampak dengan kuat menyodorkan ekspresi keluguan sosok-sosok perempuan suku Miao di tengah balutan kostum “kebesaran” mereka yang riuh dan meriah penuh ornamen. Atau lebih tegasnya: figur-figur tanpa ekspresi. Kita akan jarang sekali menemui figur-figur yang dengan terbuka melepaskan derai tawanya, atau sebaliknya meluapkan emosi kekecewaannya, menangis, dan sebagainya. Perempuan yang digubah oleh Zhao Chun adalah perempuan yang berpenampilan lugas namun molek, tenang pembawaannya, tatapan matanya nanar, dan seolah suka membisu. Nyaris sedikit sekali perempuan dalam karya Zhao Chun yang membuka mulut atau memperlihatkan deretan giginya untuk mengekspresikan gelagat emosi tertentu.
Tubuh-tubuh yang ditampilkannya pun seolah “sekadarnya”, yakni terutama nampak pada bagian raut wajah yang tak lagi tampil “utuh” karena sedikit-banyak tertutup ornamen hiasan di kepala, tiara (mahkota bersusun), kalung dan lainnya. Dan kemudian baru nampak tubuh yang lain, yakni bagian tangan yang seolah bergerak banyak ke mana-mana menyesuaikan gagasan. Cobalah amati sekali lagi. Kita akan mendapati perempuan-perempuan suku Miao tersebut hadir dalam eksotismenya yang “aman”, jauh dari impresi untuk mengumbar sensualitas atau tendensi seksualitas. Mereka bagai bidadari yang hadir begitu saja dalam posisi duduk tepekur, tergolek di tempat tidur, memainkan alat musik tiup tradisional, atau menyeruak muncul persis di depan pintu sambil memegang kipas dengan anggun.
Konsistensi dalam penggarapan estetika semacam ini tentu sangat menarik untuk diamati. Apalagi jika kita sembari mengacu pula pada kecenderungan estetika seniman lain yang pada dasarnya mengambil sumber gagasan yang kurang lebih sama, yakni perempuan atau tubuh perempuan. Publik bisa menyebut, misalnya seniman Shi Wei yang terus-menerus menggali eksotisme kekerempengan tubuh perempuan dengan tak lupa untuk mempertontonkan payudara atau vagina subjek utamanya. Atau Li Difeng yang juga menggali sosok perempuan dengan aksesoris tradisional China yang detail dan provokatif warnanya. Dan masih banyak perupa lainnya.
Saya kira, nilai penting kehadiran perhelatan pameran Zhao Chun ini dapat memberi contoh kasus yang menarik tentang pergulatan seniman dalam menimba sebanyak-banyaknya pengalaman yang berasal dari lingkungan terdekat yang diakrabi untuk kemudian diterjemahkan kembali dalam bentuk kreatif lewat sistem pengetahuan yang dipahaminya. Maka, rentetan perempuan muda cantik suku Miao yang terdapat dalam bentang kanvas Zhao Chun bisa menjadi penanda atas kuatnya bangunan relasi antara sebuah kebudayaan dan penganutnya, dan kesetiaan antara seniman dan subject matter yang dikukuhinya sebagai sebuah penanda zaman.