Bertolak dari Kesejatian







Oleh: Syifa Amori

(Tulisan ini telah dimuat di harian Jurnal Nasional, Jakarta, Minggu, 24 Mei 2009)

Seniman yang terlibat menggagas nilai tradisi dan nasionalisme yang tak melulu menggunakan simbol yang umum.



99 perupa dari 21 propinsi di Indonesia yang berusaha mengungkapkan pemaknaan mereka akan akar lewat karya-karya yang dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Nusantara 2009 di Galeri Nasional malam itu, Rabu (20/5).

Sebagian seniman berusaha mengantarkan penikmat karya seninya menuju pemahaman akar yang mereka gagas, sebagian lainnya mencoba merangsang pencarian pengunjung akan akar terkait pengalaman masing-masing saja. Atau malah, seolah tidak merespon akar, ada juga seniman yang melalui karyanya membebaskan siapa pun untuk menangkap semua yang ada di sekelilingnya lebih dulu baru kemudian merasa “kekenyangan” dan beralih melihat ke dalam diri untuk menemukan akarnya, kesejatiannya.

Rocka Radipa, dengan karyanya yang dijuduli Memetik Buah Kesadaran adalah salah seorang seniman yang turut serta dalam Pameran Seni Rupa Nusantara 2009 bertema Menilik Akar yang akan berlangsung hingga 31 Mei mendatang.

Dalam karyanya (dengan teknik etching mixed media), Rocka mempertunjukkan siluet manusia dengan tangan terulur ingin menggapai “buah” yang seolah berasal dari jalinan serat, benang, dan batang yang saling melingkar dan menumpuk sehingga menjadikannya sebuah lingkatan besar yang rumit. Lukisan akan siluet ini berwarna emas di atas bidang datar berukuran 200×200cm berwarna hitam kelam.

Buah kesadaran, begitu seniman asal Yogyakarta ini menamakannya, adalah titik di mana manusia menemukan esensi dirinya, meskipun itu terjadi setelah mengalami perputaran akan kesadaran yang lain, kesadaran riil, material, dan akhirnya spiritualitas. Jadi, buatnya, tak bisa disalahkan jika banyak orang muda mengagungkan sesuatu yang jauh dari dirinya. “Mereka memuja band asing dan menggeser gamelan. Biarkan mereka memasuki kesadaran mereka yang itu dulu. Nanti pasti akan ketemu sendiri kesadaran yang berasal dari dirinya sendiri. Yang penting manusia harus sadar dulu,”ujarnya.

Dengan sadar akan keberadaan diri (apa, siapa, dan mau apa), pencarian akan kesejatian dimana seseorang berakar barangkali bisa lebih mudah. Kesadaran ini, tentu harus sampai pada tahapan penerimaan diri yang paling tinggi, yaitu mencinta.

“Orang yang tahu dikalahkan oleh orang yang kenal. Orang yang kenal dikalahkan orang yang mengerti. Orang yang mengerti dikalahkan orang yang faham. Orang yang paham dikalahkan orang yang mencintai,” kata kurator Kuss Indarto mengutip Zen Buddhisme.

Menangkap pentingnya persoalan menemukan dan mencintai akar menyiratkan betapa besar makna sebuah kesejatian personal. Orang yang sadar akan kesejatiannya akan memaksimalkan secara total sehingga menemukan pencapaiannya yang tertinggi dan sulit untuk tergoyahkan. Bisa jadi ini adalah nilai yang sedang berusaha dicapai dari pencarian akan akar tersebut. Seperti yang diungkapkan seniman Yogyakarta asal Aceh Endang Lestari dalam instalasinya Jak Beut.

“Dia berusaha mengangkat persoalan budaya yang luntur karena perkembangan teknologi sehingga sistem nilainya pun bergeser Hal ini ia visualisasikan dengan membuat semacam serangga dengan topi liliput yang ingin merangkak, namun sulit, karena kakinya sudah dalam posisi yang tidak siap berdiri dan berjalan. Ini, mungkin gambaran problem masayarakat Aceh. Meskipun sebenarnya itu gejala yang tidak khas Aceh,” kata Kuss Indarto

Meski beberapa seniman menggagas nilai tradisi dan nasionalisme, dalam kaitannya dengan respon ulang mereka terhadap akar, Kuss melihat bahwa tradisi dan nasionalisme ini tak melulu menggunakan simbol yang common, tapi juga simbol personal yang bermuatan lokalitas.

“Kerekatan tradisi, kesukuan, dan negara bangsa inilah yang kemudian dimaknai ulang setelah sekian ratus tahun sehingga kelihatan adanya percampuran. Misalnya seniman Medan yang memunculkan problem yang ada di lingkungannya, namun jauh dari aspek kebatakannya. Kemudian juga seniman-seniman Padang yang nyaris tidak memperlihatkan keminangannya. Ini menjadi menarik karena mereka memunculkan spiritnya. Misalnya dengan adanya gambar gunung, ia mengungkapkan bahwa dia hidup dengan gunung,” kata Kuss.

Kemudian ada pula instalasi Kelompok Sahal berjudul Post_Anthem yang menggantung alat musik tradisional sehingga tampak usang dan terpakai tergantikan dengan organ tunggal yang lebih popular di masyarakat. Kelompok Sahala membicarakan keterkikisan nilai radisi oleh yang modern.

Sementara Donny Kusuma dengan lukisan komik yang memuat karakter yang menjadi ikon komiknya justru menampilkan sisi optimisme. Lukisan yang dijuduli Di Pojokan Kota ini memperlihatkan sosok dalam pakaian antariksa yang sedang bercermin. Menurut Kuss, lukisan ini memang masih memperlihatkan gegar budaya yang dialami karakter dalam lukisan, namun menuntunnya untuk mematut diri demi menentukan sikap dan arah ke depan yang lebih baik.

Tentu saja masih ada seniman yang masih sangat konservatif dengan tetap mengangkat problem fisikal ketimbang substansial dengan mengutamakan spirit seperti pelukis lainnya. Meski begitu, keduanya adalah keterwakilan dari gagasan mengenai akar yang penting untuk dipamerkan, termasuk juga seni rupa yang berupa urban art. Bagaimana pun, keterwakilan itu penting sebagai cerminan nusantara Indonesia yang sedang dan masih menilik akarnya.

(diunduh dari http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=pameran%20seni%20rupa%20nusantara%202009&rbrk=&id=93010&detail=OASE%20BUDAYA

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?