Dunia-Dalam dan Pertaruhan Estetika Ugy
[Satu]: Momentum Ugy
PADA sebuah acara pelelangan lukisan di Singapura—seperti yang ditulis majalah Visual Arts pada edisi 30, April-Mei 2009, halaman 18—karya Ugy Sugiarto yang bertajuk The Mud Play (100 x 125 cm) terjual seharga 11.400 dollar Singapura. Kenyataan ini boleh jadi menjadi satu alat ukur tersendiri dalam memosisikan perupa Ugy Sugiarto sebagai perupa yang memang berpotensi dan bernilai cukup penting dalam konstelasi dunia seni rupa Indonesia kontemporer. Meskipun, tentu saja, momentum pelelangan (dengan sistemnya yang penuh problem dan kompleksitas) masih diragukan oleh banyak kalangan dalam seni rupa sebagai hal yang bukan berisi kemutlakan ukuran kualitas karya. Namun, apa boleh buat, jika terkadang momentum lelang dianggap oleh tak sedikit orang akan ikut berpengaruh terhadap penilaian karya perupa yang dilelang. Apa pun bentuk pengaruhnya, misalnya saja soal publisitas bagi sang seniman.
“Hanya saja, bagi saya, aspek di lelang dengan proses kreatif saya nilai enggak ada keterkaitan signifikan,” tutur Ugy. Sekilas “wajah” tentang siapa Ugy memang segera terpampang di depan mata kita. Apa yang sebenarnya terjadi di sebalik proses kreatif Ugy? Bukankah dalam banyak momentum lelang memang hanya sebuah “kebetulan”? Menjadi wajib kiranya untuk lebih tahu secara mendalam tentang siapa sesungguhnya Ugy. Memang, perupa yang tinggal dan berkreasi di Wonosobo Jawa Tengah itu seperti menambah deret daftar perupa yang tinggal di “kawasan agraris”, bukan “metropolis”. Namun ini juga menyimpan peluang bagi kelahiran karya yang cemerlang. Berikut ini adalah esai naratif yang disarikan dari wawancara terhadap Ugy Sugiarto berkaitan dengan proses kreatif yang telah dilakoninya selama ini.
***
[Dua]: Muhammad Iqbal, Trauma, dan Komunitas
JAUH sebelum saya diidentifikasi oleh publik lewat ciri lukisan tentang plastik-plastik yang membungkus tubuh, saya juga telah melukis dengan beragam subyek benda dan bermacam tema, termasuk soal lumpur. Namun tema terakhir ini belum tergali betul. Karya berciri visual plastik sebetulnya sudah saya mulai semenjak SMA di tahun 1989. Ternyata, paling sulit menggambar secara realistik itu ya subyek plastik. Secara teknis saya kemudian menganggap bahwa dengan berpijak pada lukisan realisme tentang plastik, saya memang mampu menggambar. Ya, saya terus belajar dan mengeksplorasi titik pijak realisme plastik itu. Kematangan-kematangan konsep, pendalaman tema, teknik, dan banyak lainnya saya dapatkan terutama setelah saya membaca buku Muhammad Iqbal (tokoh intelektual Islam Timur Tengah) tentang usaha manusia dalam berdialog secara spiritual dan material.
Saya hubungkanlah ciri tentang plastik itu salah satunya sebagai hasil penafsiran atas simbol material modern. Plastik itu sendiri kan menjadi simbol modern yang banyak digunakan manusia baik dari segi manfaat sekaligus juga sebagai sesuatu yang merugikan. Tafsir saya terhadap buku Iqbal tidak hanya berhenti sampai di situ. Saya juga menafsirkan bahwa selama manusia hidup memang dilingkupi material. Meskipun manusia tetap gelisah mencari idealisasi yang berkaitan dengan spiritualitas. Semoga kelak lukisan saya mampu sebagai penanda bahwa ketika nanti zaman beralih ke era yang lebih maju, lukisan berciri plastik cukup menandakan bahwa ia benar-benar bagian dari modernisasi, suatu titik zaman tertentu ketika lukisan itu dilahirkan. Kalau dihubungkan ke aspek ekologi, tema visual tentang plastik saya kira sama kuatnya antara kebermanfaatan dan sisi merugikannya. Sama-sama imbanglah. Misalnya saja, jika manusia mengatakan bahwa plastik itu merugikan toh ia tetap memakainya sebagai bagian kebutuhan sehari-hari yang tak terhindarkan.
Tema visual tentang plastik bagi saya juga mewakili soal pemaknaan tentang sesuatu yang samar-samar, atau bahkan ketidakpastian. Bukankah sekarang ini dunia memang serba samar? Saya punya pengalaman beli rol tali bertuliskan 10 meter. Tapi kenyataannya tali yang saya dapatkan hanya 8 meter. Ada “korupsi kepastian” sebanyak 2 meter. Membeli gula di pasar yang kata pedagangnya seberat 1 kilogram, sampai di rumah ditimbang berapa? Ternyata tidak sampai 1 kilogram. Banyak lagi perlakuan manusia yang antara bicara dan kenyataannya berseberangan. Jika kemudian terhubungkan dengan tubuh, itu banyak terjadi karena manusia selalu dilingkupi obsesi materi. Saya mengekspresikan diri saya sendiri sebagai media karena saya anggap cukup bisa mewakili idealisasi estetik yang saya harapkan. Ini akan berbeda jika saya menyuruh orang lain sebagai model di dalam lukisan.
Ide yang berkaitan tentang tubuh dalam karya saya mulai tergali banyak sejak berpameran bersama dengan Komunitas Air Gunung, Wonosobo, di Bentara Budaya Yogyakarta sekitar Juni 2007. Hal itu semakin tergali pada waktu-waktu berikutnya. Misalnya, ketika saya diundang berpameran dalam kerangka Peringatan 100 Tahun Affandi di Bentara Buadaya Yogyakarta, di Jogja Gallery saat ada pameran 200 Tahun Raden Saleh, pameran Biennalle Jogja IX/2007 Neo-Nation, kemudian pada Mon Décor Painting Festival 2008 bertema Freedom di Taman Budaya Yogyakarta dan di Galeri Nasional Indonesia, juga pameran di Kampung Seni Lerep, Ungaran, Semarang.
Secara mendasar, pola kreatif untuk menggali potret diri punya keterkaitan dengan pengaruh eksternal. Eksplorasi yang saya lakukan antara lain dengan menyaksikan VCD biografi Rembrand van Rijn ketika seniman Belanda itu berumur 20-an hingga menjelang meninggal. Di situ yang saya saksikan hanya fotonya saja. Namun hal penting yang tertransfer ke dalam tempurung otak saya adalah gagasan yang teramat inspiratif karena Rembrant sangat detil melukiskan potret dirinya tatkala berusia sekian keadaan kulitnya begini, umur segitu begitu, lalu begitu pula dengan ekspresi-ekspresi khas Rembrand lainnya. Pada seniman lain berikut karya-karyanya, saya nggak begitu terpengaruh.
Kemudian ketika menggarap subyek luimpur sebagai identitas visual berikutnya, saya menganggap bahwa antara lumpur dan plastik secara ekologis ada pertentangan yang bersifat sintetis. Pertentangan antara yang natural dan unatural. Alamiah dan non-alamiah. Ini menjadi sumber gagasan yang menyedot perhatian karena sangat menarik. Inspirasi yang khas berkaitan dengan lumpur adalah ketika mendengarkan dan mengulik kembali syair dalam lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Refrain berbunyi: …hiduplah tanahku, hiduplah negeri, dan seterusnya. Saya tertarik, kenapa syairnya kok “hiduplah tanahku” bukan “udaraku”, misalnya. Kenapa aspek udaranya nggak diurai? Saya menduga, peran dan posisi tanah begitu penting dalam konteks itu. Dan demikian juga bagi konteks karya-karya saya sekarang dan ke depan sebagai sumber gagasan.
Sementara di luar tubuh ada plastik. Kenapa plastik masih cukup kuat sebagai sumber gagasan? Bagi saya, plastik dengan segala makna yang sederhana masih bisa tampil dengan menarik sebagai gambaran atas tipuan-tipuan atas (tubuh) manusia. Beberapa bagian plastik mempunyai background flat polos dan ada simbol kursi, koreksi api, maupun hal lain. Misalnya, salah satu karya saya tentang kursi lapuk dan di atasnya bertengger orang berkostum serupa tokoh komik superhero, Superman. Ini kan tentang bayangan masa kecil ketika ingin menjadi superhero. Bisa juga ditafsirkan misalnya menjadi seseorang yang kuat namun ketika pijakannya nggak kuat atau lapuk toh akan terjatuh juga. Artinya, simbol visual lain pada setiap karya selain plastik dan potret diri bisa jadi akan selalu ada dan itu akan memberi penguatan pada ide-ide setiap karya saya.
Gagasan tentang proses kreatif saya sedikit banyak juga berhubungan dengan masa kecil yang penuh traumatik. Tentang kekerasan semenjak balita yang membawa problem psikologis yang kuat dalam diri saya. Salah satu faktor utamanya, mungkin karena aspek kemiskinan yang melingkungi orang tua. Anak banyak, dan saya anak nomor 6 dari 9 bersaudara.
Pada waktu itu masih 7 bersaudara ketika saya mengalami kekerasan yang berkesan traumatik itu. Saya cukup sering menyaksikan kakak saya memasukkan uang ke dalam celengan (tabungan yang biasanya terbuat dari keramik), dan lalu mengambilnya ketika jumlahnya bertambah banyak. Setelah itu saya juga mencoba mengambil, yang waktu itu disebut mencuri atau enggak, saya tidak tahu. Sebagai anak kecil, saya hanya meniru saja dan ternyata bisa untuk membeli sesuatu. Setelah saya bertemu ayah, ternyata beliau marah luar biasa. Ayah mengamuk! Saya sampai ketakutan, lalu pergi ke rumah orang lain (yang masih saudara), dan saya “diambil” serta diperlakukan seperti anak sendiri.
Setelah saya dewasa memang tidak ada dendam tapi itu berpengaruh sekali. Saya kemudian berbicara pada diri sendiri, semogalah kekerasan itu jangan sampai terulang. Stoplah. Bagi saya, celengan yang dipecah merupakan simbol kekerasan juga. Begitulah, saya tinggal di rumah orang tua angkat saya hingga dewasa dan punya anak. Saya dianggap anak sendiri karena orang tua angkat nggak punya anak. Saya tinggal di situ terus. Disekolahkan oleh orang tua angkat saya. Semua dibiayai oleh mereka. Kalau dengan saudara lain saya juga nggak ada masalah. Nah, bertahun-tahun kemudian, dalam bayangan saya kemudian ketika mulai dewasa, trauma kekerasan ayah saya itu tidak muncul sekadar berupa celengan yang dilempar, tapi juga golok dan sebagainya yang berseliweran di depan mata kepala. Inilah yang menginspirasi lukisan-lukisan saya.
Karya lain sebagai simbol problem personal yang memengaruhi karya saya yakni ketika memvisualkan gagasan ihwal pertobatan kepada Sang Pencipta. Itu pengalaman pribadi saya ketika sakit keras selama 6 bulan. Ketika sakit itulah saya seperti mendapatkan anugerah. Bagai di-refresh. Tadinya kenal drugs, dan sulit tersembuhkan. Di dalam sakit itulah saya anggap mendapatkan anugerah karena membuat saya bertobat. Peristiwa itu relatif belum lama, yakni tahun 2003. Saya berubah 360 derajat. Yang memengaruhi perubahan itu adalah ketika dalam keadaan sakit saya dituntun shalat (sembahyang) untuk bertobat. Dalam tiap berdoa saya pasrah: kalau memang nyawa saya hendak diambil seketika itu juga oleh Yang Kuasa, ya silakan. Saya siap. Soalnya berobat di rumah sakit nggak sembuh meski berpuluh-puluh kali berobat.
Setelah bertobat itu paginya saya merasa sembuh setelah “memakai modus” lewat makan cacing sebagai obat. Tepatnya, seperempat jam setelah makan cacing yang merupakan “obat perantara” itulah saya sembuh. Itulah pengalaman spiritual saya yang luar biasa, sampai akhirnya berimbas ke karya. Dan saya pikir ini berkait erat juga dengan buku karya Muhammad Iqbal yang pernah saya gandrungi.
***
[Tiga]: Membuka Peluang dan Proses Menjadi
MELUKIS sebagai pilihan dunia kreatif yang saya tekuni awalnya hanya hobi, lalu bermotivasi untuk menyambung kebutuhan makan. Ini sesuatu yang wajar dan mungkin banyak dialami oleh banyak seniman lain. Saya bermodalkan keyakinan semata saat melakoni dunia kreatif melukis di kota kecil seperti Wonosobo (sekitar 2,5 jam perjalanan dari kota Yogyakarta). “Manajemen” yang dijalankan sehari-hari pun asal mengalir. Pada tahun 2006 saya mulai menekuni dunia melukis secara lebih serius ketika di luar orang bicara tentang lukisan corak “kontemporer”. Sebetulnya, sebelum 2006 juga sudah serius, namun belum cukup terorganisasi dengan baik, entah itu dari aspek keteraturan dalam jadwal melukis, juga soal pemfokusan tema-tema yang saya geluti sebagai sumber utama gagasan karya.
Sebagai seniman yang masih merangkak meniti karier, saya awalnya tentu begitu prihatin. Pernah suatu ketika butuh modal finansial untuk berkarya dan hidup hingga istri saya harus ngutang ke kelompok PKK sebesar Rp 2 juta. Ternyata bisa untuk hidup setahun karena kami berusaha untuk berhemat, di samping karya-karya saya mulai direspons oleh kolektor. Tahun 2006 menjadi tonggak penting bagi proses kesenimanan saya ketika ada kesempatan saya bersama Mas Agus Wuryanto (koordinator Komunitas Air Gunung tempat saya bergabung dengan para seniman lain di Wonosobo) untuk pergi ke Yogya menawarkan lukisan ke kolektor. Mulailah hal itu sebagai momentum titik balik penting bagi kondisi kehidupan saya. Menawarkan lukisan ternyata toh tidak gampang juga. Perlu perjuangan.
Dan kesempatan lainpun datang. Suatu ketika saya baca selebaran dari Jogja Gallery tentang kompetisi lukisan bercorak Borobudur. Saya ikut, dan Alhamdulillah, saya masuk sebagai finalis. Ya, begitulah. Semuanya terasa mengalir. Saya sendiri tidak mempunyai pengetahuan soal marketing ketika menyosialisasikan karya.
Tentang karya bertema plastik, lumpur atau apapun bagi saya adalah masa transisi yang menarik. Itu menjadi pilihan yang mengindikasikan upaya pembaruan kreatif. Saya menganggap itu seperti halnya hukum alam tentang survivalitas yang otomatis dan berjalan tanpa bisa direncanakan. Dan otomatisasi seperti itu sepertinya dimiliki oleh hampir semua seniman.
Menanggapi soal pergeseran pasar seni rupa yang beberapa waktu lalu muncul dengan begitu riuh-rendah dengan isu tentang “seni rupa kontemporer China” atau apalah, menurut saya, anggapan seperti itu, entah disebut mau ikut arus atau tidak, ya silakan. Saya kira sah-sah saja. Memang, paling tidak sang seniman mesti punya identitas, konsep, atau apalah secara kekaryaan. Sehingga dalam arus apa pun ia tetap muncul dan eksis. Mengenai problem teknis ketika saya melakukan penggalian dan peningkatan kualitas estetik di antaranya adalah dengan belajar pada seniman senior. Kalau di Wonosobo saya bisa belajar banyak pada sosok seperti Sugeng Pribadi dan Nurkhamim. Di Yogya saya juga sempat belajar di sanggar seni Wahyu Utama di depan Rumah Sakit Yap itu. Saya sekalian magang bekerja di situ. Sayang sanggar itu tidak bertahan lama, dan sekarang bubar.
Saya pun menimba pengetahuan secara intens dengan mas Agus Wuryanto baik tentang komposisi maupun nirmana. Saya menganggap beliau adalah guru yang sangat penting dalam sejarah proses kreatif kesenimanan saya. Proses kreatif secara berkelompok ya bersama Komunitas Seni Air Gunung (Wonosobo) yang dipimpin mas Agus Wuryanto itu. Meski bukan sebagai seniman profesional, tapi lebih dikenal sebagai fotografer, sosok mas Agus memang memiliki selera seni yang cukup bagus.
***
[Empat]: Identitas dan Ekspektasi ke Depan
DUNIA senirupa era sekarang cukup bagus iklimnya. Tidak mengecewakan untuk proses kreativitas. Persaingan semakin banyak dan kreatif walaupun tetap ada rumour-rumour miring atau negatif. Itu wajar. Pastilah ada hal-hal semacam itu sebagai bagian penting dari bumbu dinamika. Kiat saya sebagai “orang daerah” dalam menembus pasar seni rupa nasional atau yang lebih luas ya berkarya lebih bagus dengan ide yang fresh, dan sebisa mungkin mengikuti kompetisi. Karya yang bagus bagi saya adalah memuaskan diri, terhubung di dalam otak maupun perasaan. Walaupun orang lain mungkin tetap mengatakan nggak bagus.
Saya berangkat sebagai seniman secara otodidak, maka dari itu saya mencoba menawarkan konsep seperti tersebut di atas. Saya nggak tahu dengan konsep atau visual seperti ini masuk akal apa nggak. Bagi saya aspek lokalitas tentang Wonosobo yang dilukis ya orang Wonosobo. Hahaha! Modelnya diri sendiri. Hahaha… Identitas kultural tidak perlu secara verbal dimunculkan sebagai aspek penjelas lokalitas. Perupa Yogya pun sudah tidak berangkat dengan ciri “keyogyakartaannya”. Kelompok Jendela yang notabene perupa dari Minangkabau juga sudah melepaskan “keminangannya”. Demikian juga orang atau kelompok lain.
Identitas personal bisa terus dimunculkan tanpa harus merujuk ke aspek lokal secara geografis karena itu memang tidak mutlak. Dan tentu tidak mudah. Personalitas sebagai identitas juga tidak perlu selalu menunjuk ke pribadi: inilah wajah Ugy Sugiarto. Benar jika orang mengandaikan bahwa tanpa melihat seniman bernama Djoko Pekik bisa saja sangat paham dengan citra lukisannya. Personalitas bisa sangat melegenda tanpa harus dengan ciri fisik. Cukup secara estetik. Upaya ke arah itu jelas tengah saya tempuh.
Banyak orang membuat dikotomi keberadaan saya dengan membuat perbandingan atas dalih seniman akademis dan non-akademis. Saya tidak merasakan hal itu. Justru teman-teman di lingkunagn saya (sesama seniman otodidak) yang malah merasakan. Saya sendiri tidak begitu memedulikan. Yang menilai kan publik. Toh saya juga belum pernah mendapat kendala atas status non-akademis yang saya sangga. Memang, ada-ada saja yang mengomentari, percuma kamu gini-gini tapi nggak sekolah tinggi. Tapi, saya kan bisa nulis, baca buku, bicara, pokoknya sama dengan yang dilakukan orang lain. Mas Tubagus P Svarajati, kurator dari Semarang itu pernah memotivasi saya dengan kalimat begini, “Mas, nggak usah mempermasalahkan itu. Yang penting terus ada kemauan belajar.”
Setelah tahun 2006 saya jalan-jalan melihat pameran di Yogya, Semarang, dan yang lainnya maka pengalaman itu semakin berpengaruh pada diri saya. Kualitas estetik terus saya kejar. Saya sadar bahwa momentum pameran ini cukup menyokong menanamkan reputasi unjuk gigi di sebuah galeri yang menjadi bagian penting dalam pertumbuhan seni rupa Indonesia. Misi yang ingin saya munculkan adalah orang bisa menangkap bahwa siapapun bisa berefleksi dengan melihat karya saya. Setiap orang bisa saja mengalami kekerasan seperti saya meskipun cara dan bentuknya berbeda. Oleh karena itu, stop kekerasan! Walaupun temanya cukup personal namun semua orang toh mengalami meskipun cara dan bentuknya beragam.
Mungkin banyak orang akan mencermati karya saya tentang lumpur sebagai sesuatu yang unik. Banyak orang justru tertarik dengan lukisan saya tentang lumpur yang memperlihatkan impresi tubuh saya dengan gigi putih yang menonjol itu. Silakan saja. Menurut saya itu menggambarkan sesuatu yang terdalam dari manusia tetaplah putih. Pada dasarnya setiap orang toh ingin bersih. Nggak main-main lho, saya bereksplorasi dengan berendam dalam lumpur berjam-jam. Waktu itu gerakannya abstrak, entah marah, sedih, atau gembira. Ada yang bilang bahwa saya akan tetap terus mempertahankan eksplorasi personal. Ya, silakan saja. Ada yang bilang, ini tahapan akumulasi periode estetika lumpur. Ya, sumonggo, silakan saja. Terus ke depan akan ada pencapaian bentuk estetik yang lain. Ya, silakan saja.
Bagi saya, itu bukanlah strategi. Terlalu mewah kalimat itu bagi saya. Ingin terus eksplorasi saja. Kalaupun ini berpengaruh terhadap pasar ya saya kira sebagai dampak saja. Bukan tujuan utama. Karena ketika ada momentum pameran satu ke pameran yang lain, masing-masing seniman akan mengejar ketertinggalannya. Risikonya bisa saja dalam karya kreatifnya itu ada pendalaman atau malah justru pengulangan. Ini yang harus dicermati.
Eksplorasi seperti yang dilakukan Antonio Blanco juga menarik. Seniman asal Spanyol yang menetap di Bali itu saya lihat sebagai sebuah contoh kasus seniman yang selalu berusaha menggali kebaruan, juga mengandalkan cara kerja yang ekspresif. Namun, saya belum bisa seperti itu. Nggak bisanya begini: spontan menggambar tapi kemudian masih harus diulang untuk diperhalus. Kalau cara model Blanco, saya ya merasa gagal. Belum lagi pada soal lain, yakni aspek ukuran karya yang memang punya tuntutan berbeda. Ini masih menjadi kendala. Kalau di Wonosobo, lukisan berukuran dua meter ya pasti cukup besar, bukan? Ukuran karya kadang memang berpengaruh. Problemnya sampai ke persoalan teknis pengiriman. Juga terkadang bisa berkait dengan aspek gagasan.
Pada akhirnya, saya punya harapan terhadap pameran tunggal pertama ini: yakni karya-karya saya bisa diapresiasi hingga bisa memberikan pengalaman yang akan berlanjut ke tingkat kreativitas berikutnya. Dunia seni rupa adalah dunia visual dan pertarungan gagasan. Pameran ini saya kira berimbang antara dua hal tersebut karena antara aspek visual dan gagasan masih terus mau berproses. Selebihnya mengalir saja. ***