Melacak Pergeseran Tiga Perupa
Tarian Anak Bangsa, lukisan karya Priyaris Munandar.
(Catatan di bawah ini untuk menyertai pameran Energi 3: Priyaris Munandar, Agus YK Priyono, dan Dedeo Wahyu Widayat a.k.a. Yoan di Balai Budaya Jakarta yang dibuka 27 Maret 2010)
TIGA perupa yang tengah berpameran ini berkolaborasi dengan modal perbedaan. Bukan disatukan oleh banyak persamaan. Setidaknya, gejala tersebut kentara dari segenap visualitas pada tiap kanvas trio ini. Agus YK. Priyono, Priyaris Munandar, dan Dedeo Wahyu Widayat, masing-masing mengemukakan minat, karakter, dan kecenderungan visual yang berbeda. Semuanya punya bekal dan “tradisi” kreatif yang relatif berlainan satu sama lain dengan membopong keyakinan sendiri-sendiri.
Dalam sebuah perhelatan pameran seni rupa seperti yang tengah berkembang dewasa ini, “agenda keseragaman dan penyeragaman” seolah justru menjadi titik tumpu untuk mempertautkan sebuah pameran kolektif. Apalagi dalam perkembangan paling mutakhir ketika tema kuratorial menjadi titik acu bagi seniman dalam sebuah pameran. Tak sedikit publik menemu sebuah pameran yang dihelat dengan mempertemukan beberapa seniman yang memiliki kecenderungan visual serupa. Publik bisa tahu, misalnya, 2-3 tahun lalu tidak sedikit pameran kolektif yang sebagian besar karyanya membentangkan lukisan dengan berkecenderungan pada corak lukisan “China kontemporer”. Usai itu, dengan sedikit jeda, kurang lebih setahun terakhir ini banyak pameran kolektif yang karya-karyanya bertumpu pada corak-corak komikal atau street art yang tidak sedikit mengambil referensi pada trend “juxtapose-ism” (yakni kecenderungan visual yang mengacu pada majalah dan website “street art” yang berpengaruh di Amerika Serikat, Juxtapoze) .
Sebagai sebuah trend, tentu itu seperti wajar ketika dijalani. Namun resikonya nampak cukup jelas: pola penyeragaman visual dalam sebuah pameran melahirkan banalitas. Banalitas menerbitkan kejumudan dan kejenuhan. Itulah yang kira-kira terjadi pada satu-dua pameran yang terjadi di sekitar kita. Bahwa praktik kuratorial yang menjiwai sebuah pameran itu berlangsung dengan fokus, tentu akan memudahkan penonton untuk mengapresiasi dengan masuk pada intellectual framework yang disodorkan lewat tajuk kuratorial. Namun akan bisa dibedakan antara materi karya-karya pameran yang fokus membidik tema, dan dengan pameran yang karya-karyanya “sekadar” mengelola keseragaman. Ini dua hal yang berbeda dan berseberangan satu sama lain.
Dan upaya penyangkalan terhadap pola penyeragaman inilah yang tampaknya kuat menyertai dan menjadi semangat awal pameran ketiga perupa Yogyakarta ini. Mereka mencoba “berkerumun” dan berkolaborasi—sesuatu yang kini tak gampang dilakukan oleh banyak seniman yang berketetapan hendak berkelompok—dengan tentu saja membutuhkan persenyawaan psikologis sebagai bekal yang mesti terlebih dulu dikantungi para personal dalam kelompok (semacam) ini. Hal ini juga tidak serta-merta melempangkan jalan untuk langsung berpameran, karena di antara sekat-sekat psikologis yang telah selesai sebagai beban persoalan, adakah perkara substansial yang akan mereka gotong dalam perhelatan kali ini? Adakah titik beda yang kuat dan signifikan antara karya mereka yang sekarang dengan ketika mereka berproses dan tampil dalam identitas personal sebelumnya? Dengan asumsi demikian, lalu, bisakah lewat pameran kali ini dilacak laju progresivitas, kreativitas, ataupun pencapaian baru dari para perupa ini?
***
SEBAGAI sesama perupa yang lahir dan besar di Yogyakarta, dengan ragam pergaulan yang relatif cukup serupa, bisa dimungkinkan membuat mereka memiliki alur pemikiran estetis-kreatif yang relatif “setara” pula. Artinya, sistem pengetahuan yang terkonstruksi yang diperoleh dari pergaulan, pengalaman kreatif dan dunia pendidikan yang sempat dikecap oleh ketiganya sedikit banyak telah menggeser sistem dan cara pandang mereka dalam berproses kreatif atau berkesenian sebelumnya. Dari sini patut diduga, ada input pada pola rasionalitas dan relasi interdisipliner, misalnya, yang menggiring mereka merangsek dalam perspektif lain yang mengayakan kesadaran jagat kreatif. Visualitas dalam kanvaspun, akhirnya, merambat dalam perkembangan berikutnya. Ini bisa jadi sebagai sebuah pengharapan, sekaligus dugaan-dugaan hipotetis atas “pola pembelajaran” mereka, baik di jalur formal maupun yang non-formal.
Pada kelompok ini, saya kira, pergeseran-pergeseran artistik-estetik telah mulai mengemuka meski mungkin belum sangat kentara. Bisa jadi berlangsung secara evolutif, barangkali sesuai dengan ritme hidup ala kultur Jawa yang “alon-alon waton kelakon”. Ini filsafat yang tak bisa dimaknai sebagai sebagai sebuah sikap hidup nrimo (pasrah seolah tanpa perjuangan), namun sikap memahami akan pentingnya sebuah proses tiap peristiwa yang berlangsung secara gradual. Pelahan namun penuh intensitas.
Pada Priyaris Munandar, pergeseran tersebut tak lepas dari kukuhnya atas pilihan untuk menggeluti subject matter (pokok soal) karya-karyanya yang terus diolahnya, yakni citra tentang kisah-kisah laskar dalam impresi purbawi. Dalam pameran kali ini perkembangan karyanya sedikit banyak telah masuk dalam “pola keteraturan” yang cukup terjaga ketimbang pada periode sebelumnya yang banyak memasukkan unsur coreng-moreng (scratch) dan ketakteraturan. Saya tak ingin mengatakan bahwa pola visual yang coreng-moreng tidak lebih artistik daripada yang penuh keteraturan atau kerapian. Namun pada kasus Priyaris, karya-karyanya telah masuk cukup mendalam pada sisi konseptual.
Apresian bisa menyimak karya-karya Ruang dan Waktu, Ritual Langit, Negeri di Langit Merah, atau Menuju Puncak Langit, yang kalau sedikit dirunut, akan “ditemukan” filsafat tentang pentingnya kolektivitas itu. Pada Ruang dan Waktu ada citra serupa jung (chuan, dalam bahasa Mandarin), yakni perahu yang konon berbobot puluhan hingga ratusan ton yang banyak beroperasi di sekitar Asia Tenggara pada abad 15-17 yang lalu sebelum kapal-kapal Eropa masuk dan mendominasi. Sementara pada Di Batas Bukit Tigabelas, Menuju Puncak Langit atau Negeri di Langit Merah, cecitraan yang mengemuka adalah sekumpulan pasukan yang bergerombol membuat formasi-formasi tertentu. Ini tidak saja menimbulkan efek artistik secara visual, namun Priyaris seolah juga ingin mengabarkan pada apresian atas nilai filosofis aspek “gerombolan” itu. Ada nilai gotong-royong, kooperatif yang mengiringi kolektivitas manusia-manusia yang digambarkan kecil-dan-menyatu itu.
Tampaknya, kelompok lain yang juga menjadi ajang aktivitasnya, yakni kelompok Blok 9 (yang berisi sahabat-sahabat seangkatannya di FSR ISI Yogyakarta), sedikit banyak telah memberi kontribusi pergesekan pemikiran geliat kreativitasnya. Dan lebih dari itu, kalau dilihat dari progres karya-karyanya dalam kurun 2 tahun terakhir, cukup menggembirakan, meski begitu evolutif.
Sementara pada tampilan karya-karya lukis Agus YK. Priyono, memang tampak ada upaya untuk sedikit memberi pergeseran visual. Pada dasarnya, seniman ini telah memiliki jalur yang telah kuat dan mapan di jagad seni lukis bercorak lanskap. Lukisan pohon dengan jalinan dedaunan yang tertata rapi dan bercitra eksotik telah menjadi pilihan gaya lukisannya Agus selama bertahun-tahun. Ini tentu tak mudah untuk diubah dalam waktu yang pendek. Namun inilah tantangan yang segera menghadang Agus: akan stagnan dalam kemapanan tersebut, atau mencoba mengeser penggayaan dan corak lukisannya dengan memasukkan pula sistem pewacanaan di dalamnya.
Seperti galib kita ketahui, pola artistik karya-karya lukisan lanskap ala Agus jelas memiliki pangsa pasar tersendiri yang spesifik. Namun faktanya, pilihan gaya lukisan semacam itu tidak cukup mendapat ruang yang luas dalam wacana seni rupa di Indonesia. Publik akan menempatkan gaya ini sebagai “mooi indie” (Hindia yang molek) yang banyak dikritik oleh S. Soedjojono pada tahun 1930-an karena cenderung sebagai karya yang “turistik”, dan tak banyak memuat substansi persoalan yang mendalam selain sekadar mengedepankan aspek eksotisme visual saja.
Kesadaran atas kelemahan lukisan bergaya lanskap seperti ini, tampaknya, disadari oleh Agus. Dan pada pameran bertiga ini, sedikit upaya untuk menyangkal tradisi kreatifnya dilakukan. Pepohonan yang yang manis dengan dedaunan yang rimbun masih mendominasi pada tiap bentang kanvasnya. Namun satu dua subyek benda lain telah menjadi pencuri perhatian (center of interest) di dalamnya. Ada kupu-kupu, tupai, atau origami (seni melipat kertas ala Jepang), masuk sebagai pemancing pewacanaan yang lebih substansial dalam lukisan. Pun ada citra bangunan yang ditendensikan sebagai “prasmanan bank” yang ingin menguatkan bangunan pewacanaan tersebut.
Memang belum sepenuhnya berhasil. Namun upaya itu pantas untuk diapresiasi, dan Agus sudah selayaknya untuk mengagendakan secara bertahap dan kreatif atas pergeseran tersebut. Setidaknya modal teknis telah ada. Maka, publik bolehlah mengandaikan dalam kanvas-kanvas berikutnya dia mampu untuk menghindari pola pelukisannya yang stereotip, seperti posisi pohon yang selalu simetris (selalu tampak di tengah), formal, dan datar (flattnes) karena sekadar citra dedaunan yang eksotis namun kurang “membunyikan” sesuatu di balik visualitasnya itu.
Pada diri seniman ketiga, Dedeo, tampak juga upaya dirinya untuk berupaya mendinamisasi gerak kreatifnya. Sebelumnya, perupa ini telah cukup banyak mencecap dan piawai dalam mengolah karya-karya bergaya lanskap ala mooi indie seperti halnya Agus YK Priyono. Faktor “genetis” terasa kuat memberi masukan pada pilihan (awal) lukisan lanskap tersebut. Maklum, ayahnya adalah pelukis Sutopo (yang bersama Nisan Kristianto) banyak dikenal publik dalam menekuni pilihan menjadi pelukis bergaya lanskap yang eksotik.
“Pusaran genetis” yang kemudian memberi cap stereotip bagi Dedeo inilah yang kemudian seperti membuatnya ingin lari dari perangkap itu. Tidak saja perangkap nama sang ayah yang sudah kadung dikenal oleh publik ketimbang dirinya yang lebih junior, namun juga oleh pola repetitif yang selalu dirasakan begitu mekanistik tatkala melukiskannya. Inilah yang mendasari pilihan kreatif atas karya-karyanya saat ini.
Pokok soal (subject matter) tentang otomotif menjadi alternatif atas geliat kreativitasnya sekarang ini. Mungkin suatu ketika dia akan bergerak lagi dengan pilihan subyek benda yang berbeda. Otomotif yang divisualisasikannya mencoba digalinya dari aspek “dalamnya”, “jerohannya”, yang belum banyak diungkapkan oleh seniman lain. Dedeo tentu saja tidak seperti Bambang Pramudiyanto yang mengulik disain bodi mobil yang eksotik dengan gilap dan kilau cat yang memukau. Namun lebih mencoba untuk menguak mesin dari otomotif itu, mengurai satu demi satu, meski tidak cukup detail, untuk kemudian mengaitkannya dengan imajinasinya tentang benda-benda yang ada di dalam mesin otomotif. Di sini, Dedeo tidak sedang sepenuhnya mempraktikkan jargon ars imitator naturam (seni itu memindahkan apa yang ada di alam), namun tetap berupaya mengintervensi kanvasnya dengan imajinasi yang berkelebat di dalam batok kepalanya. Maka, jatulah tubuh-tubuh otomotif itu dalam kerangka ilusinya sebagai seniman. Aspek kejelian dan ketelatenan, juga pendalaman pada aspek konseptual, tampaknya memang harus menjadi agenda permasalahan yang mesti diperhatikan oleh Dedeo dalam menggali lebih jauh pokok soal karya-karyanya.
***
HAL penting yang bisa ditandai dari seni rupa kontemporer di Yogyakarta pada akhir 1990-an hingga kini adalah munculnya beragam kecenderungan, antara lain adalah upaya memeriksa kembali tradisi sebagai basis tema, juga gelagat yang cukup kuat untuk mengangkat persoalan-persoalan sosial politik. Di samping itu, hal yang menarik untuk dicermati adalah tumbuhnya generasi akhir 1990-an yang menunjukkan semangat begitu tinggi untuk meneruskan kecenderungan “kembali ke tradisi” itu. Termasuk mereka yang masih mengecap bangku kuliah di ISI Yogyakarta, terutama. Beberapa di antara mereka yang cukup menonjol masih melanjutkan untuk menyuntukkan diri dengan tema di seputar problem sosial politik dan tradisi, sementara sebagian yang lain tak sedikit yang menyerahkan dirinya berjalan di bawah pengaruh media, seperti bacaan komik, televisi, hingga segala pesona dan dinamika seni rupa kontemporer Barat yang termediasikan dengan kecepatan tinggi lewat buku dan terutama jaringan internet yang agresif dan sangat berpengaruh.
Pilihan-pilihan tema atau kecenderungan visual tersebut, pada kurun yang sama, terasa cukup gegap-gempita karena dibarengi juga oleh riuhnya aspek pasar seni rupa, juga perkembangan perangkat teknologi yang berkait erat dengan laju kreativitas seniman. Dalam tiga tahun terakhir ini, misalnya, sempat muncul booming seni rupa di kawasan Asia (bubble market) yang luar biasa dampaknya bagi jagad seni rupa, termasuk di Indonesia. Banyak perupa yang kecipratan secara finansial atas booming besar tersebut. Namun, jangan lupa, tak sedikit pula seniman yang gagal mencecap kesempatan emas tersebut meski sedikit—termasuk para seniman yang selama ini cukup berdarah-darah memperjuangkan nasib kreativitas personalnya untuk berkompetisi dalam gemuruhnya seni rupa di Indonesia. Di sisi lain, banyak pula seniman yang kemudian daya kreatifnya relatif tumpul karena sibuk melakukan repetisi karya karena tuntutan arus besar pasar. Dan sebagainya.
Kelompok tiga seniman ini saya kira tahu persis problem tentang hal itu. Hal penting yang perlu diperhatikan kiranya adalah upaya untuk terus bersetia dengan pilihan-pilihan kreatifnya, memberi kedalaman atas pilihan tersebut, dan kemudian mencoba bersiasat menyusun strategi kreatif sebagai seniman dalam melihat perkembangan medan sosial seni yang terus bergerak mendinamisasi diri. Ini tidak saja menyangkut pada soal kemampuan teknis dan memberi daya nalar untuk berkonsep, namun juga kepiawaian dalam membuat jejaring kerja dengan ruang lingkup yang lebih luas untuk mengayakan kreativitas. Dan di situlah energy untuk kreativitas yang sesungguhnya dapat terkelola dengan baik.
Selamat berpameran!
Kuss Indarto, penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.