Indie, Proses atau Pilihan?


Indie (dari indepenpent label atau indie label) menjadi istilah yang seksi dalam beberapa tahun terakhir ini. Publik memiliki asosiasi yang cukup mengental bahwa indie merupakan cara produksi serta distribusi produk atau karya seni yang tidak bergantung terhadap suatu label besar (major label).

Meski indie label menjadi modus dalam banyak aspek produksi karya seni, namun kita dapat menjumpai kasus ini terutama pada seni musik. Dan untuk penerbitan Mata Jendela edisi kali ini, beberapa tulisan berkait tentang indie lebih berkonsentrasi pada ulasan tentang indie dalam musik. Mulai dari aspek historis hingga kasus perkasus yang terimplementasi di tanah air, terutama yang selama ini telah mewabah pada kawasan Yogyakarta, Bandung, Jakarta, hingga kota kecil yang tak kita sangka.

Indie sendiri, khususnya dalam musik, oleh awan dipahami sebagai karya yang relatif sulit dicerna masyarakat kebanyakan, penggemarnya relatif sedikit, dan jenis musiknya sedang tidak begitu digemari masyarakat atau tidak nge-trend. Pendeknya, indie mencoba mengambil posisi berlawanan dari major label yang menjadi arus utama (mainstream), yang semangatnya industrial, dan memiliki basis kapital yang besar.

Band-band indie ini bergerak dengan membopong konsep kolektivisme dan DIY (Do-It-Yourself) yang direalisasikan dalam aksi konkret. Mulai dari membuat perusahaan rekaman berbasis indie beserta konsep distribusi dan promosinya, pembuatan merchandise, media komunitas berupa fanzine, hingga penggarapan event berspirit kolektivisme. Jenis karya musik yang dihasilkan makin beragam. Lirik yang diproduksi mulai bersifat politis. Tidak sedikit lirik dalam lagu band indie ini berkisah di luar soal kecengengan cinta-cintaan yang mendayu, namun menarasikan tentang nasib buruh, petani, dan kaum miskin kota. Dengan frontal mulai melakukan kritik sosial. Ini menjadi alternatif menarik tatkala industri musik mainstream dilanda kejenuhan tema dan pasar.

Pada sisi lain, tak sedikit media-media mainstream kehabisan bahan berita hingga akhirnya komunitas indie dengan segala bentuk dinamika pergerakannya menjadi bahan eksplorasi (bahkan eksploitasi) berita. Hampir semua media terutama media cetak mainstream yang memiliki target marketing anak muda membahas fenomena pergerakan musik indie. Ini terjadi, misalnya, di kota Bandung. Hal tersebut jelas berdampak sangat besar pada perkembangan musik indie pada kurun sepuluhan tahun lalu seolah di-setting menjadi trend musik mutakhir. Melalui peran media mainstream pula hingga akhirnya booming musik indie mewabah hampir di semua kota besar di Indonesia, utamanya di pulau Jawa.

Maka, kemudian, lahirlah banyak komunitas musik indie di Jakarta, Bali, Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Medan. Tak sedikit pergelaran bertema serupa ramai dihelat di kota-kota tersebut dalam skala kecil. Terjadilah transformasi informasi dan proses penyerapan kultur. Dari sinilah awal terbentuknya jaringan komunikasi lintas komunitas dalam rangka memperluas jaringan.

Pertanyaan mendasar dari maraknya indie dalam musik adalah, apakah indie label merupakan sebuah proses atau tujuan itu sendiri? Artinya, apakah indie merupakan cara awal yang mesti dilakukan oleh sebuah grup band dalam proses merangkak dan belajar sebelum dijemput oleh produser besar dengan modal kapital melimpah? Ataukah indie merupakan sebuah aksi dan gerakan ideologis yang selamanya akan melawan yang besar, yang kaya, yang industrial, dan beroposisi pada yang serba mainstream?

Kita tentu ingat tentang kisah Memphis Sound di daratan Amerika Serikat pada paruh akhir dasawarsa 1950-an. Bukan kisah naratif dengan plot outline yang rumit, Memphis Sound hanyalah sebuah ungkapan penuh hormat terhadap dua indie label yang berjuang dari garasi mobil hingga terkenal di dunia, yakni Stax/Volt dan Sun Records. Dari keduanya tercetak artis-artis kelas dunia pada masanya: Rufus Thomas, Sam and Dave, Otis Redding, Booker T. atau The MGs. Dan dari Sun Record, dunia bisa menyebut nama-nama Carl Perkins, Jerry Lee Lewis, dan tentu saja Elvis Presley.

Puluhan tahun setelah itu, indie label masih memperlihatkan pengaruhnya dalam mencuatkan musisi masyhur, semacam R. Kelly atau Smashing Pumpkin. Atau setidaknya banyak jagad indie label dijadikan batu loncatan musisi menuju major label. Sebut saja Nirvana. Nah, soal indie sebagai proses atau tujuan, mungkin ini sebatas sebagai pilihan ya? 

(Tulisan ini sebagai pengantar di majalah Mata Jendela terbitan Taman Budaya Yogyakarta, yg bertema utama "Budaya Indie").

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?