Rebranding Luar-Dalam
Oleh Kuss Indarto
HAMPIR seratus tahun
lalu, persisnya sekitar tahun 1920-an, produsen raksasa minuman ringan asal
Amerika Serikat, Coca Cola, mulai
merambah pasar China. Mereka masuk dengan nama (yang kalau dieja secara harfiah
berbunyi): “kou-ke-kou-la”. Dalam aspek kebahasaan lokal ternyata itu membawa
masalah. Orang-orang China banyak menertawakannya karena dalam bahasa Mandarin
kata tersebut memuat dua kemungkinan makna yang relatif lucu bahkan negatif,
yakni: “mulut yang dahaga dan penuh dengan lilin”, atau “menggigit kecebong
lilin”. Coca Cola tanggap, lalu
mengadakan riset dengan mengedepankan aspek budaya, khususnya bahasa lokal. Hasilnya,
brand name dalam bahasa Mandarin
tersebut kemudian diubah, diselaraskan dengan situasi lokal, dan terbaca
sebagai: “ke-kou-ke-le”. Arti dan maknanya lebih menguatkan citra serta identitas
atas produk itu: “suatu rasa yang menggembirakan dan kebahagiaan” atau
“kebahagiaan di mulut”. Paul Temporal, pakar manajemen merek yang mengisahkan
tentang Coca Cola di China itu dalam
buku “Branding in Asia” (2001) berkesimpulan
bahwa penelitian—bahkan dengan memberi porsi perhatian pada kearifan lokal—merupakan
keharusan sebelum meluncurkan sesuatu yang bersifat visual, khususnya nama,
kepada publik di negara atau kawasan manapun. Apalagi kalau nama atau hal
visual tersebut diandaikan akan menguat dalam ingatan masyarakat—dalam rentang
waktu yang lama.
Pengalaman Coca Cola di China itu bisa menjadi
contoh kecil betapa masyarakat mampu menjadi juri yang relatif obyektif untuk
menilai “barang baru” yang hendak masuk atau mengeskpansi kenyamanan dalam
dirinya. Dalam tarikan nafas yang sama, masyarakat juga bisa memberi respons yang
beragam atas ketidaknyamanan yang datang “mengganggunya”. Respons itu antara
lain (1) apatis, mendiamkan atau pasif sama sekali; (2) melawan secara frontal
dan keras; dan/atau (3) mockery,
memberi respons dengan cara meledek, menertawakan atau menggoda sesuatu yang
baru datang itu. Atau, poin kedua dan ketiga bisa terjadi secara berdampingan
dalam format yang variatif.
Dalam gradasi
tanggapan yang berbeda namun masih dalam akar persoalan yang kurang lebih sama,
hal yang terjadi di China nyaris seabad lalu kini terjadi pula di Yogyakarta.
Sebuah logo baru yang dibuat oleh Mark Plus, sebuah lembaga konsultan marketing, dihantam dan jadi rerasanan oleh publik
Yogyakarta—terutama di media sosial. Akar persoalannya antara lain dari aspek
artistik-optik, dan aspek substansial—lalu merembet pada aspek lain, seperti
ketimpangan antara besaran anggaran dibanding capaian kerja lembaga konsultan
itu. Dari aspek artistik-optik, banyak yang menganggap bahwa pilihan tipografi
untuk kata “Jogja” kurang tepat, tidak memiliki nuansa keindahan, dan
celakanya, secara optik, lebih terbaca sebagai “TOGUA” ketimbang “JOGJA”. Dalam
disiplin pengetahuan komunikasi visual, ketika sebuah logo atau brand name yang hanya satu kata tapi bisa
dibaca menjadi dua kemungkinan kata yang berbeda, itu bisa dianggap sebagai hal
yang fatal dan gagal. Apalagi itu justru menyangkut hal elementer, belum sampai
merambah pada soal tafsir—yang ketika berbeda kadang justru dianggap
mengayakan. Sementara dari aspek substansial, korelasi antara rangkaian logo
“JOGJA” (atau “TOGUA”) versi Mark Plus dengan muatan pemaknaan filosofinya
dianggap mengada-ada, kurang “nyambung”, bahkan hiperbolik, kurang sesuai
dengan garis kultur Yogyakarta yang dibayangkan secara kolektif selama ini.
Dari sinilah
kemudian respons masyarakat terjadi. Dan di titik inilah warga Yogyakarta
mengetengahkan dirinya sebagai komunitas yang “cerewet”, responsif, namun
berupaya menelusuri jalur yang solutif. Dan Pemda DIY mengakomodasi
“kecerewetan” masyarakat. Mereka membentuk Tim 11 yang dikuatkan secara legal
dengan Surat Keputusan Gubernur. Tim 11 yang terdiri dari mantan walikota,
seniman, budayawan, pakar marketing,
dan sebagainya itu menyusun konsep “urun rembug” untuk memproses upaya
penciptaan bersama (co-creation)
desain logo yang baru. Awam bisa menengarai ini sebagai sebuah panitia lomba
logo, namun sejatinya inilah format yang (mendekati ideal) untuk menjaring
usulan publik atas sebuah rancangan visual yang kelak akan mengatasnamakan
publik Yogyakarta.
Format ini seolah
memberi tanda bahwa untuk memilih dan memutuskan hal-hal yang berbau
kepentingan umum tidak lagi dikuasai dan didominasi oleh pemda atau pengelola
Negara. Masyarakat adalah bagian dari stake
holder yang juga berhak untuk memiliki peran dan kontribusi untuk
memberikan alternatif usulan agar dilirik, didengar, diserap dan syukur diakomodasi.
Begitulah. Akhirnya konsep “urun rembug” itu dipublikasikan ke tengah-tengah
masyarakat, dan direspon dengan datangnya 2166 urunan logo dan tagline yang dikreasi oleh 1191 warga
Yogyakarta. Dengan rentang waktu yang mepet, sambutan tersebut tergolong sangat
antusias, dan ini memberi tengara jelas bahwa alternatif solusi telah
ditawarkan oleh masyarakat untuk pembenahan citra dan identitas kawasannya. Pembentukan
salah satu citra (visual) dan identitas Yogyakarta kini tidak lagi mutlak
dikuasai oleh Negara, namun dibagi dan diderivasikan ke masyarakatnya. Dan yang
juga penting: bisa berbiaya murah.
Rebranding
berupa penggantian logo dan tagline
“Jogja Istimewa” (yang baru) akhirnya diluncurkan dengan perhelatan “Jogja
Gumregah”, sebuah pisowanan agung rakyat Yogyakarta pada hari Sabtu, 7 Maret
2015 yang dipusatkan di Pagelaran Kraton Ngayogyakarta. Tentu, ini fenomena
menarik. Namun, hal yang jauh lebih penting lagi: apakah rebranding ini juga telah bertaut secara erat dengan reviewing, rethinking, redefinition atau
reconcept atas Yogyakarta secara
keseluruhan? Apakah keberadaan Yogyakarta sebagai kawasan budaya atau kawasan
budaya—sebagai misal—juga ditinjau ulang, dipikirkan kembali, didefinisi ulang,
dikonsep ulang hingga ditata ulang untuk bergelut dengan tantangan zaman yang
terus bergerak dan memperbarui dirinya? Apakah cara berpikir dan mentalitas
negatif masyarakat, birokrasi serta pengelola Negara juga ikut di-rebranding? Kalau sekadar rebranding logo dan tagline tanpa action di
tingkat praksis, apa boleh buat, Yogyakarta sangat sulit untuk bergerak lebih
cepat, maju dan lebih menyamankan warganya. Sungguh, Jogja butuh rebranding luar-dalam! ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa, dan editor in chief situs www.indonesiaartnews.or.id