Tangan Banyak Seniman
Oleh Kuss Indarto
SIANG yang terik itu, kira-kira 20 Desember 2005, rumah kontrakan Hendro Suseno yang berada di sebelah barat lapangan Mancasan, Wirobrajan, Yogyakarta, dipenuhi ratusan tetamu. Seluruh rumah dan halamannya—dari belakang, samping hingga depan—tak kuasa menampung jejalan para tamu. Luberan tetamu bertebar di gang kecil di depannya hingga ke lapangan. Momentum itu adalah pernikahan Guntur Nugroho alias Guntur Songgolangit, lelaki kelahiran 22 Februari 1961 yang menikahi (atau dinikahi?) Barbara, seorang perempuan Amerika Serikat. Pernikahan itu tidak saja menjadi momentum penuh percik-percik nilai sakral bagi kedua mempelai, namun juga menjadi “peristiwa kebudayaan” bagi orang-orang yang berkerumun di perhelatan tersebut. Banyak tamu menganggap peristiwa ini unik karena banyak hal: pasangan mempelai yang kontras latar belakangnya, prosesi upacara pernikahan yang penuh nuansa seni, pakem tradisional dalam ritus menikah tidak tertib diikuti, dan lainnya.
Lebih dari itu, peristiwa tersebut dianggap seperti “proyek kesenian” sang tuan rumah: Hendro Suseno. Ya, Hendro sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan kedua mempelai, Guntur dan Barbara. Tapi dalam rentetan yang cukup panjang, Hendro-lah yang mempertemukan keduanya dalam pola relasi yang nyaris tidak masuk akal. Singkatnya, ada seorang Indonesia yang telah menetap lama di Amerika Serikat dan menjadi guru silat dan spiritual dengan banyak murid. Ketika pulang ke Indonesia, muridnya banyak pula. Sadar akan usianya yang telah lanjut, sang guru ingin menunjuk seseorang yang dianggapnya layak untuk memimpin perguruannya tersebut. Lama proses pencarian itu berlangsung. Hingga akhirnya, datanglah sosok Guntur Songgolangit—yang main pada sebuah acara sang guru—untuk menemani Hendro Suseno. Sang guru tertarik dengan aksinya yang spontan dan lalu meyakini bahwa dialah orang yang layak untuk menjadi penerus perguruannya itu. Padahal, Guntur sama sekali tidak bisa silat (kecuali bersilat lidah) dan barangkali belum memiliki pengalaman spiritual cukup mumpuni (setidaknya ini menurut pengamatan beberapa kawan terdekatnya). Salah satu murid setia sang guru, Barbara, tampaknya meyakini hasil penunjukkan sang guru tersebut sebagai hal yang benar, dan kemudian bersedia menikah dengan “sang penerus” dadakan itu. Semuanya mengalir begitu cepat tanpa bisa diduga sebelumnya. Bahkan oleh Hendro Suseno yang mempunyai andil besar bagi proses tersebut.
Demi untuk memuluskan prosesi acara pernikahan Guntur-Barbara, sang tuan rumah, Hendro Suseno—mau tak mau—harus keluar dana pribadi, tentu di samping dari sumber dana lain. Nasirun, seorang perupa yang relatif kaya di Yogya, beberapa hari sebelum pernikahan tersebut, didatangi oleh Hendro Suseno yang berniat menjual sebuah lukisan karya Hendro sendiri. Nasirun menyanggupi, dan belakangan baru menyadari bahwa transaksi jual-beli karya itu adalah sebuah pengorbanan dalam ritus pertemanan antara Hendro dan Guntur. Apalagi kalau dirunut kembali bahwa hingga akhir hayatnya, Hendro justru men-jomblo, belum pernah menikah, tapi malah menikahkan orang lain. Ini hal yang ironis. Ini sebuah contoh kecil dari deretan pengalaman Hendro dalam bersentuhan dengan teman atau seniman lain—yang bisa saja ini dibaca sebagai aksi sosial, namun tak sedikit dan tak berlebihan ditengarai sebagai sebuah aksi seni.
Masih berkait dengan
sosok Guntur Songgolangit, beberapa tahun sebelum menikah, laki-laki jebolan STSI
Surakarta tersebut sempat mengagetkan kalangan seni(man) di kawasan Yogyakarta.
Pasalnya, sekitar tahun 2003-2004, identitas dan karakter Guntur Nugroho atau
Guntur Songgolangit tiba-tiba hilang. Fisiknya tentu masih sama, namun kini dia
mengklaim diri sebagai sosok Saibaba. Tokoh Saibaba sendiri, kalau tak salah,
adalah tokoh spiritual dengan kemampuan supranatural tinggi dan berada di tanah
India. Sekarang, performance Guntur,
eh, Saibaba berubah drastis: warna suaranya cenderung bariton, tegas, serius, mahal
senyum, dan tidak lagi cengengesan. Kemana-manapun tidak lagi naik sepeda onthel, namun diboncengkan sepeda motor
oleh “pengawalnya” yang setia. Parfumnya semacam minyam cem-ceman yang menyengat aromanya. Sementara Guntur prengus baunya karena tak mengenal
parfum. Di tempatnya yang baru pun dia sering didatangi orang-orang yang untuk
meminta bantuan pengobatan dan nasihat spiritual. Aneh. Saya sendiri pernah
didatangi sosok Saibaba dan dia meminta sketsa atau lukisan yang pernah
diberikan oleh Guntur kepada saya. “Lho, kok Bapak Saibaba tahu soal beberapa
sketsa Guntur ada di rumah saya?” tanyaku menyelidik waktu itu. “Ruh dia ada di
sekitar saya. Dia yang membisiki saya,” jawab Saibaba. Yo wis, saya tak perlu mendebat lebih jauh. Takut mubazir…
Maka, “akting” baru ini menjadi bahan perbincangan di kalangan seniman Yogyakarta. Dan kemudian, tidak sedikit seniman yang “menuding” Hendro Suseno sebagai tokoh di balik penampilan baru Guntur. Sementara sebagian lain “percaya” dengan keterangan si Saibaba bahwa tubuh Guntur ditemukan di sekitar pantai Parangkusumo, Bantul pada suatu malam, dan arwah Guntur pergi. Maka, arwah Saibaba menyelamatkan sang seniman itu dengan masuk ke tubuh Guntur. Entahlah, mana yang lebih benar dan rasional. Yang jelas, fakta bahwa tiba-tiba ada sosok Saibaba menjadi salah satu bahan becandaan yang menarik. Termasuk Hendro Suseno sendiri yang sempat mencandai sahabatnya, Butet Kertaradjasa, bahwa teaterawan itu kalah totalitasnya dalam berteater. “Butet cuma bisa berakting paling hanya dua jam di panggung, sementara Guntur mampu berakting hingga mengecoh orang lain selama berbulan-bulan, bahkan 2 tahun,” tutur Hendro suatu ketika sembari tertawa. Kalimat Hendro yang pernah saya dengar tersebut seperti memberi bukti bahwa karakter Saibaba pada sosok Guntur diduga kuat adalah hasil “penyutradaan” Hendro.
Kalau itu benar, saya kira itulah “karya seni kolaborasi” antara Hendro dan Guntur dengan pendekatan performance art yang menyublim dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tak butuh panggung dan momentum khusus untuk menampilkan “karya” mereka (dengan standar yang konvensional) karena tak butuh hal-hal standar seperti itu. Performance artist besar seperti Marina Abramovich hingga mereka yang masih proses belajar jadi seniman performance art saja butuh penonton, panggung dan momentum yang standar dengan cara standar. Sementara duet Hendro-Guntur menjalaninya dengan modus “seni rupa yang sehari-hari”, yang prosesi “pementasannya” seperti menjalani kebiasaan sehari-hari, lalu “penontonnya” mendapat “sensasi estetik” ketika menghadapi Guntur yang beralih identitas jadi Saibaba, namun tak sadar bahwa mereka menjadi bagian penting dari ritus “berkesenian” yang dilakoni Guntur dan disutradarai oleh Hendro. Dugaan-dugaan (rekayasa) itu bisa saja ditolak sebagai “karya seni” oleh sebagian orang, namun dari kalimat Hendro di atas, jelas, bahwa ada “praktik seni” yang tengah sadar digarap oleh mereka.
Hendro sendiri, di luar mengakomodasi kemampuan dan niat Guntur, juga tidak sedikit memberi tempat dan berproses bersama dengan seniman-seniman lain—mulai dari mereka yang tidak masuk hitungan dalam perbincangan seni rupa mainstream, hingga sebagian seniman yang “jadi” dalam konteks diskursus dan pasar seni rupa Indonesia. Para seniman komunitas pantomime Yogyakarta, saya kira, adalah kelompok yang cukup mendapat perhatian Hendro.
Jemek Supardi, salah satu senior dan bintang pamtomimer Yogyakarta, beberapa kali bekerjasama untuk membuat proyek seni, mulai dari yang bersahaja, hingga proyek seni kecil-kecilan yang proses dan eksekusi kreatifnya terbilang unik. Kalau disimak pentas-pentas yang pernah digelar, tercatat tahun 1997 ada lakon pantomime bertajuk Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-kotak, dan Pak Jemek Pamit Pensiun. Lalu, di tahun 1998, ketika situasi politik memanas hingga rezim Soeharto atau Orde Baru tumbang, ada Badut-badut Republik atau Badut-badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak Menangis, Menunggu Waktu, serta Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta. Dalam pentas di tahun-tahun tersebut hingga kurun waktu berikutnya, Hendro Suseno turut berperan menambal dimensi kreatif dan artistik karya. Dia, persisnya, beberapa kali berperan sebagai pengurus atau kepala produksi, di samping juga dibantu oleh Memet Chairul Slamet sebagai penata musik, serta Bimo Wiwohatmo selaku sutradara.
Dalam lakon Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta, mereka semua mempraktikkan ketengilan, keisengan sekaligus upaya eksperimentasi seni dengan gayanya sendiri yang khas. Setelah dikonsep beberapa hari sebelumnya, kemudian Jemek “diumbar” (dilepas) oleh Hendro Suseno dan teman lainnya untuk “berpentas” pantomim dari gerbong ke gerbong kereta api yang sedang melaju dari Yogyakarta hingga Jakarta. Para penumpang dalam kereta diperlakukan sebagai penonton, bahkan partner bermain pantomim. Interaksi antara Jemek dengan para penumpang kereta berlangsung dengan cair. Jemek pun bisa mengklaim bahwa itulah pementasan pantomim terpanjang, terlama, dan terjauh yang pernah terjadi di Indonesia. Pantas dimasukkan ke MURI (Museum Rekor Indonesia). Dan jalinan proses kreatif itu—juga pementasan-pementasan lain berikutnya—sedikit banyak berlangsung di rumah kontrakan Hendro Suseno di barat lapangan Mancasan, Wirobrajan (beberapa teman lalu menyebutnya sebagai MU, yang bukan Manchester United, tapi Mancasan United). Di halaman belakang rumah itu, di seberang dapur, Jemek dan para pantomim Yogya lainnya sesekali latihan sebelum pentas. Dan dari Hendro sendiri tak jarang order untuk pentas pantomim itu muncul—dari jejaring pertemanan Hendro yang relatif meluas.
Dalam disiplin seninya
sendiri (sebagai orang seni rupa), posisi sebagai perupa sudah pasti ditekuni
Hendro. Laki-laki kelahiran Yogyakarta, 24 Oktober 1962 ini pernah berpameran
berkali-kali di berbagai kota di Indonesia. Bersama dua teman seangkatannya di
ISI Yogyakarta, Fajar Iriadi (asli Madura) dan George Eman (asli Kupang),
Hendro bahkan sempat berpameran keliling di beberapa propinsi. Di luar itu,
sempat pula bertandang ke mancanegara, persisnya pada pameran bersama “Passion Etno-Identity” di Beijing-Shanghai,
China—antara lain bersama Yuswantoro Adi.
Tapi, dalam beberapa tahun terakhir sebelum kematiannya, passion Hendro dalam berkarya seperti mengalami defisit. Karya-karya lukis yang ada dalam banyak bentang kanvasnya seperti tidak tuntas tergarap, kurang serius dan total digeluti. Saya menduga hal ini karena beberapa hal: (1) Hendro seperti seorang filantropis yang lebih tertarik untuk menghibahkan diri dan waktunya untuk orang lain. Dalam konteks ini, dia mencoba menjadi fasilitator, inisiator, atau motivator bagi para seniman lain yang ingin maju berkarya. Tentu dasarnya bukan karena kemampuan finansial, namun lebih karena kepedulian sosialnya yang relatif berlebih (tentu ini bisa relatif, nilainya, tergantung kerangka pandang masing-masing orang). Maka, secara praksis, dia banyak membuat event seni (rupa) yang mengorganisasi banyak seniman, dan Hendro sendiri sedikit sekali terlibat sebagai perupa dalam event tersebut. Dia banyak berada di belakang layar. (2) Secara fisik dan psikologis, rumah kontrakan Hendro lambat-laun betul-betul menjadi rumah yang terbuka bagi siapapun, nyaris full selama 24 jam. Rumah Hendro seperti menghelat open house setiap hari. Banyak teman seniman yang datang jam berapapun, dan sang tuan rumah pun nyaris tak pernah “menutup pintu”. Sifat sosial ini tentu baik, namun dalam segi lain telah mengurangi kenyamanan Hendro sebagai perupa/seniman. Dia nyaris tak bisa melukis dengan tenang, serius, suntuk hingga sehari suntuk, misalnya. Konsentrasi dan fokusnya nyaris selalu pecah karena begitu terbukanya pintu rumah Hendro. Apalagi, terkadang, tidak semua orang itu datang membawa energi dan spirit tambahan bagi proses kreatifnya, namun juga hadir membawa masalah yang bukan urusan Hendro.
Begitulah. Meski Hendro sendiri termasuk tidak disiplin dalam beberapa hal—entah soal waktu, soal keteraturan makan, dan lainnya—namun dia banyak dipercaya oleh banyak kalangan. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta tahun 1998 pernah meminta bantuannya untuk menghelat sebuah charity exhibition (pameran amal) yang akhirnya berhasil meraup dana hingga ratusan juta rupiah, berkat tangan dingin Hendro. Tahun 2003 juga pernah menginisiasi hingga jadi eksekutor atas pameran berbagai sangar atau komunitas seni yang bertempat di lingkungan kediaman pribadi perupa Djoko Pekik di dusun Sembungan, Kasihan, Bantul.
Bersama Ong Hari Wahyu dan jurnalis foto Tarko Sudiarno, Hendro juga banyak berperan untuk membidani perhelatan besar pameran tunggal Djoko Pekik pada tanggal 16 Agustus 1998, di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Pameran ini menggemakan wacana seni rupa (politik) yang menasional berkat karya tunggal pak Pekik: “Berburu Celeng”. Lukisan yang dituntaskan sekitar 3 pekan itu menjadi satu-satunya materi karya, dan dipajang sekitar 24 jam saja. Waktunya pendek, karena sehari sebelum dan sesudah perhelatan karya Pekik itu ada agenda yang telah tersusun nyaris setahun sebelumnya. Namun, pameran tersebut memiliki gema yang sangat kuat sebagai salah satu pameran seni rupa terpenting tahun itu. Tema karyanya kuat yakni menyoal tentang kejatuhan rezim Soeharto, latar belakang sosial politik senimannya juga menyokong substansi karya karena Pekik adalah seorang “alumnus” Lekra, lembaga kebudayaan onderbouw PKI.
Hendro-Ong-Tarko itulah—menurut Djoko Pekik dalam sebuah perbincangan dengan penulis—yang menjadi trio kunci penting untuk menjadikan pameran yang pendek dengan karya tunggal itu menjadi magnet perhatian publik seni di Yogyakarta (dan kemudian di Indonesia). Mereka punya jejaring kerja dengan publik seni di Yogyakarta, juga dengan kalangan pers yang bisa menggaungkan isu itu menjadi menasional. Sayang, lobi Tarko Sudiarno untuk mendatangkan Sultan Hamengkubowono X sebagai pembuka pameran, gagal pada jam-jam terakhir. Sultan membatalkan kehadirannya karena ada kesibukan lain.
Pengorganisasian yang dilakukan oleh ketiga orang itu—di samping tentu ada peran penting Bentara Budaya Yogyakarta dan sosok Romo Sindhunata—mengisyaratkan sebuah agenda penting bagi bagi seniman: perlunya organizer, manajer, koordinator, atau apapun namanya, yang bersifat mandiri dan independen untuk membantu seniman secara penuh—dan kalau bisa bersifat profesional. Inilah kebutuhan penting dalam dunia seni (rupa, di Yogyakarta khususnya) yang dewasa ini telah merebak dengan segala profesionalitas dan pencapaiannya. Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum itu, yakni sekitar tahun 1994, Butet Kertaradjasa juga pernah masuk di jalur itu dengan proyek pameran tunggal seniman Faizal, juga di Bentara Budaya Yogyakarta. Butet mengupayakan semuanya, mulai dari penyediaan katalogus, jalur-jalur publikasi hinga pembuka pameran (waktu itu yang membuka adalah budayawan Umar Kayam). Sayang, Butet tidak melanjutkan pilahan “kerja” seperti itu karena (mungkin) lebih menyuntuki dunia seni peran dan manajemen teaternya sendiri.
Kalau menyitir adagium sederhana tentang manajemen, yakni “bekerja dengan meminjam tangan orang lain”, maka sebenarnya Hendro telah mencoba menempatkan diri sebagai tangan yang bisa dijadikan kepanjangan tangan para seniman lain. Atau sebaliknya, justru Hendro seperti ulang-alik meminjam tangan para seniman untuk berkarya dengan cara ungkap yang berbeda. Tanpa menjadi bintang, Hendro telah turut serta berproses di belakang para seniman yang kemudian membintang—dengan beragam kapasitas kebintangannya.
Sayangnya, Hendro alpa untuk mendispinkan dan mengelola dirinya sendiri, paling tidak untuk hal yang elementer: tertib pada pola makan dan pola hidup. Akhirnya, itulah yang pelahan menyuburkan deposit gula dalam darahnya, juga racun dan penyakit lain dalam tubuhnya. Dalam usia 44 tahun, Hendro menghadap Dia, Sang Maha Pengelola. Muga-muga sing jembar kuburane yo, mas. ***
Kuss Indarto, banyak belajar pada Hendro Suseno.
SIANG yang terik itu, kira-kira 20 Desember 2005, rumah kontrakan Hendro Suseno yang berada di sebelah barat lapangan Mancasan, Wirobrajan, Yogyakarta, dipenuhi ratusan tetamu. Seluruh rumah dan halamannya—dari belakang, samping hingga depan—tak kuasa menampung jejalan para tamu. Luberan tetamu bertebar di gang kecil di depannya hingga ke lapangan. Momentum itu adalah pernikahan Guntur Nugroho alias Guntur Songgolangit, lelaki kelahiran 22 Februari 1961 yang menikahi (atau dinikahi?) Barbara, seorang perempuan Amerika Serikat. Pernikahan itu tidak saja menjadi momentum penuh percik-percik nilai sakral bagi kedua mempelai, namun juga menjadi “peristiwa kebudayaan” bagi orang-orang yang berkerumun di perhelatan tersebut. Banyak tamu menganggap peristiwa ini unik karena banyak hal: pasangan mempelai yang kontras latar belakangnya, prosesi upacara pernikahan yang penuh nuansa seni, pakem tradisional dalam ritus menikah tidak tertib diikuti, dan lainnya.
Lebih dari itu, peristiwa tersebut dianggap seperti “proyek kesenian” sang tuan rumah: Hendro Suseno. Ya, Hendro sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan kedua mempelai, Guntur dan Barbara. Tapi dalam rentetan yang cukup panjang, Hendro-lah yang mempertemukan keduanya dalam pola relasi yang nyaris tidak masuk akal. Singkatnya, ada seorang Indonesia yang telah menetap lama di Amerika Serikat dan menjadi guru silat dan spiritual dengan banyak murid. Ketika pulang ke Indonesia, muridnya banyak pula. Sadar akan usianya yang telah lanjut, sang guru ingin menunjuk seseorang yang dianggapnya layak untuk memimpin perguruannya tersebut. Lama proses pencarian itu berlangsung. Hingga akhirnya, datanglah sosok Guntur Songgolangit—yang main pada sebuah acara sang guru—untuk menemani Hendro Suseno. Sang guru tertarik dengan aksinya yang spontan dan lalu meyakini bahwa dialah orang yang layak untuk menjadi penerus perguruannya itu. Padahal, Guntur sama sekali tidak bisa silat (kecuali bersilat lidah) dan barangkali belum memiliki pengalaman spiritual cukup mumpuni (setidaknya ini menurut pengamatan beberapa kawan terdekatnya). Salah satu murid setia sang guru, Barbara, tampaknya meyakini hasil penunjukkan sang guru tersebut sebagai hal yang benar, dan kemudian bersedia menikah dengan “sang penerus” dadakan itu. Semuanya mengalir begitu cepat tanpa bisa diduga sebelumnya. Bahkan oleh Hendro Suseno yang mempunyai andil besar bagi proses tersebut.
Demi untuk memuluskan prosesi acara pernikahan Guntur-Barbara, sang tuan rumah, Hendro Suseno—mau tak mau—harus keluar dana pribadi, tentu di samping dari sumber dana lain. Nasirun, seorang perupa yang relatif kaya di Yogya, beberapa hari sebelum pernikahan tersebut, didatangi oleh Hendro Suseno yang berniat menjual sebuah lukisan karya Hendro sendiri. Nasirun menyanggupi, dan belakangan baru menyadari bahwa transaksi jual-beli karya itu adalah sebuah pengorbanan dalam ritus pertemanan antara Hendro dan Guntur. Apalagi kalau dirunut kembali bahwa hingga akhir hayatnya, Hendro justru men-jomblo, belum pernah menikah, tapi malah menikahkan orang lain. Ini hal yang ironis. Ini sebuah contoh kecil dari deretan pengalaman Hendro dalam bersentuhan dengan teman atau seniman lain—yang bisa saja ini dibaca sebagai aksi sosial, namun tak sedikit dan tak berlebihan ditengarai sebagai sebuah aksi seni.
***
Maka, “akting” baru ini menjadi bahan perbincangan di kalangan seniman Yogyakarta. Dan kemudian, tidak sedikit seniman yang “menuding” Hendro Suseno sebagai tokoh di balik penampilan baru Guntur. Sementara sebagian lain “percaya” dengan keterangan si Saibaba bahwa tubuh Guntur ditemukan di sekitar pantai Parangkusumo, Bantul pada suatu malam, dan arwah Guntur pergi. Maka, arwah Saibaba menyelamatkan sang seniman itu dengan masuk ke tubuh Guntur. Entahlah, mana yang lebih benar dan rasional. Yang jelas, fakta bahwa tiba-tiba ada sosok Saibaba menjadi salah satu bahan becandaan yang menarik. Termasuk Hendro Suseno sendiri yang sempat mencandai sahabatnya, Butet Kertaradjasa, bahwa teaterawan itu kalah totalitasnya dalam berteater. “Butet cuma bisa berakting paling hanya dua jam di panggung, sementara Guntur mampu berakting hingga mengecoh orang lain selama berbulan-bulan, bahkan 2 tahun,” tutur Hendro suatu ketika sembari tertawa. Kalimat Hendro yang pernah saya dengar tersebut seperti memberi bukti bahwa karakter Saibaba pada sosok Guntur diduga kuat adalah hasil “penyutradaan” Hendro.
Kalau itu benar, saya kira itulah “karya seni kolaborasi” antara Hendro dan Guntur dengan pendekatan performance art yang menyublim dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tak butuh panggung dan momentum khusus untuk menampilkan “karya” mereka (dengan standar yang konvensional) karena tak butuh hal-hal standar seperti itu. Performance artist besar seperti Marina Abramovich hingga mereka yang masih proses belajar jadi seniman performance art saja butuh penonton, panggung dan momentum yang standar dengan cara standar. Sementara duet Hendro-Guntur menjalaninya dengan modus “seni rupa yang sehari-hari”, yang prosesi “pementasannya” seperti menjalani kebiasaan sehari-hari, lalu “penontonnya” mendapat “sensasi estetik” ketika menghadapi Guntur yang beralih identitas jadi Saibaba, namun tak sadar bahwa mereka menjadi bagian penting dari ritus “berkesenian” yang dilakoni Guntur dan disutradarai oleh Hendro. Dugaan-dugaan (rekayasa) itu bisa saja ditolak sebagai “karya seni” oleh sebagian orang, namun dari kalimat Hendro di atas, jelas, bahwa ada “praktik seni” yang tengah sadar digarap oleh mereka.
Hendro sendiri, di luar mengakomodasi kemampuan dan niat Guntur, juga tidak sedikit memberi tempat dan berproses bersama dengan seniman-seniman lain—mulai dari mereka yang tidak masuk hitungan dalam perbincangan seni rupa mainstream, hingga sebagian seniman yang “jadi” dalam konteks diskursus dan pasar seni rupa Indonesia. Para seniman komunitas pantomime Yogyakarta, saya kira, adalah kelompok yang cukup mendapat perhatian Hendro.
Jemek Supardi, salah satu senior dan bintang pamtomimer Yogyakarta, beberapa kali bekerjasama untuk membuat proyek seni, mulai dari yang bersahaja, hingga proyek seni kecil-kecilan yang proses dan eksekusi kreatifnya terbilang unik. Kalau disimak pentas-pentas yang pernah digelar, tercatat tahun 1997 ada lakon pantomime bertajuk Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-kotak, dan Pak Jemek Pamit Pensiun. Lalu, di tahun 1998, ketika situasi politik memanas hingga rezim Soeharto atau Orde Baru tumbang, ada Badut-badut Republik atau Badut-badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak Menangis, Menunggu Waktu, serta Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta. Dalam pentas di tahun-tahun tersebut hingga kurun waktu berikutnya, Hendro Suseno turut berperan menambal dimensi kreatif dan artistik karya. Dia, persisnya, beberapa kali berperan sebagai pengurus atau kepala produksi, di samping juga dibantu oleh Memet Chairul Slamet sebagai penata musik, serta Bimo Wiwohatmo selaku sutradara.
Dalam lakon Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta, mereka semua mempraktikkan ketengilan, keisengan sekaligus upaya eksperimentasi seni dengan gayanya sendiri yang khas. Setelah dikonsep beberapa hari sebelumnya, kemudian Jemek “diumbar” (dilepas) oleh Hendro Suseno dan teman lainnya untuk “berpentas” pantomim dari gerbong ke gerbong kereta api yang sedang melaju dari Yogyakarta hingga Jakarta. Para penumpang dalam kereta diperlakukan sebagai penonton, bahkan partner bermain pantomim. Interaksi antara Jemek dengan para penumpang kereta berlangsung dengan cair. Jemek pun bisa mengklaim bahwa itulah pementasan pantomim terpanjang, terlama, dan terjauh yang pernah terjadi di Indonesia. Pantas dimasukkan ke MURI (Museum Rekor Indonesia). Dan jalinan proses kreatif itu—juga pementasan-pementasan lain berikutnya—sedikit banyak berlangsung di rumah kontrakan Hendro Suseno di barat lapangan Mancasan, Wirobrajan (beberapa teman lalu menyebutnya sebagai MU, yang bukan Manchester United, tapi Mancasan United). Di halaman belakang rumah itu, di seberang dapur, Jemek dan para pantomim Yogya lainnya sesekali latihan sebelum pentas. Dan dari Hendro sendiri tak jarang order untuk pentas pantomim itu muncul—dari jejaring pertemanan Hendro yang relatif meluas.
***
Tapi, dalam beberapa tahun terakhir sebelum kematiannya, passion Hendro dalam berkarya seperti mengalami defisit. Karya-karya lukis yang ada dalam banyak bentang kanvasnya seperti tidak tuntas tergarap, kurang serius dan total digeluti. Saya menduga hal ini karena beberapa hal: (1) Hendro seperti seorang filantropis yang lebih tertarik untuk menghibahkan diri dan waktunya untuk orang lain. Dalam konteks ini, dia mencoba menjadi fasilitator, inisiator, atau motivator bagi para seniman lain yang ingin maju berkarya. Tentu dasarnya bukan karena kemampuan finansial, namun lebih karena kepedulian sosialnya yang relatif berlebih (tentu ini bisa relatif, nilainya, tergantung kerangka pandang masing-masing orang). Maka, secara praksis, dia banyak membuat event seni (rupa) yang mengorganisasi banyak seniman, dan Hendro sendiri sedikit sekali terlibat sebagai perupa dalam event tersebut. Dia banyak berada di belakang layar. (2) Secara fisik dan psikologis, rumah kontrakan Hendro lambat-laun betul-betul menjadi rumah yang terbuka bagi siapapun, nyaris full selama 24 jam. Rumah Hendro seperti menghelat open house setiap hari. Banyak teman seniman yang datang jam berapapun, dan sang tuan rumah pun nyaris tak pernah “menutup pintu”. Sifat sosial ini tentu baik, namun dalam segi lain telah mengurangi kenyamanan Hendro sebagai perupa/seniman. Dia nyaris tak bisa melukis dengan tenang, serius, suntuk hingga sehari suntuk, misalnya. Konsentrasi dan fokusnya nyaris selalu pecah karena begitu terbukanya pintu rumah Hendro. Apalagi, terkadang, tidak semua orang itu datang membawa energi dan spirit tambahan bagi proses kreatifnya, namun juga hadir membawa masalah yang bukan urusan Hendro.
Begitulah. Meski Hendro sendiri termasuk tidak disiplin dalam beberapa hal—entah soal waktu, soal keteraturan makan, dan lainnya—namun dia banyak dipercaya oleh banyak kalangan. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta tahun 1998 pernah meminta bantuannya untuk menghelat sebuah charity exhibition (pameran amal) yang akhirnya berhasil meraup dana hingga ratusan juta rupiah, berkat tangan dingin Hendro. Tahun 2003 juga pernah menginisiasi hingga jadi eksekutor atas pameran berbagai sangar atau komunitas seni yang bertempat di lingkungan kediaman pribadi perupa Djoko Pekik di dusun Sembungan, Kasihan, Bantul.
Bersama Ong Hari Wahyu dan jurnalis foto Tarko Sudiarno, Hendro juga banyak berperan untuk membidani perhelatan besar pameran tunggal Djoko Pekik pada tanggal 16 Agustus 1998, di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Pameran ini menggemakan wacana seni rupa (politik) yang menasional berkat karya tunggal pak Pekik: “Berburu Celeng”. Lukisan yang dituntaskan sekitar 3 pekan itu menjadi satu-satunya materi karya, dan dipajang sekitar 24 jam saja. Waktunya pendek, karena sehari sebelum dan sesudah perhelatan karya Pekik itu ada agenda yang telah tersusun nyaris setahun sebelumnya. Namun, pameran tersebut memiliki gema yang sangat kuat sebagai salah satu pameran seni rupa terpenting tahun itu. Tema karyanya kuat yakni menyoal tentang kejatuhan rezim Soeharto, latar belakang sosial politik senimannya juga menyokong substansi karya karena Pekik adalah seorang “alumnus” Lekra, lembaga kebudayaan onderbouw PKI.
Hendro-Ong-Tarko itulah—menurut Djoko Pekik dalam sebuah perbincangan dengan penulis—yang menjadi trio kunci penting untuk menjadikan pameran yang pendek dengan karya tunggal itu menjadi magnet perhatian publik seni di Yogyakarta (dan kemudian di Indonesia). Mereka punya jejaring kerja dengan publik seni di Yogyakarta, juga dengan kalangan pers yang bisa menggaungkan isu itu menjadi menasional. Sayang, lobi Tarko Sudiarno untuk mendatangkan Sultan Hamengkubowono X sebagai pembuka pameran, gagal pada jam-jam terakhir. Sultan membatalkan kehadirannya karena ada kesibukan lain.
Pengorganisasian yang dilakukan oleh ketiga orang itu—di samping tentu ada peran penting Bentara Budaya Yogyakarta dan sosok Romo Sindhunata—mengisyaratkan sebuah agenda penting bagi bagi seniman: perlunya organizer, manajer, koordinator, atau apapun namanya, yang bersifat mandiri dan independen untuk membantu seniman secara penuh—dan kalau bisa bersifat profesional. Inilah kebutuhan penting dalam dunia seni (rupa, di Yogyakarta khususnya) yang dewasa ini telah merebak dengan segala profesionalitas dan pencapaiannya. Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum itu, yakni sekitar tahun 1994, Butet Kertaradjasa juga pernah masuk di jalur itu dengan proyek pameran tunggal seniman Faizal, juga di Bentara Budaya Yogyakarta. Butet mengupayakan semuanya, mulai dari penyediaan katalogus, jalur-jalur publikasi hinga pembuka pameran (waktu itu yang membuka adalah budayawan Umar Kayam). Sayang, Butet tidak melanjutkan pilahan “kerja” seperti itu karena (mungkin) lebih menyuntuki dunia seni peran dan manajemen teaternya sendiri.
Kalau menyitir adagium sederhana tentang manajemen, yakni “bekerja dengan meminjam tangan orang lain”, maka sebenarnya Hendro telah mencoba menempatkan diri sebagai tangan yang bisa dijadikan kepanjangan tangan para seniman lain. Atau sebaliknya, justru Hendro seperti ulang-alik meminjam tangan para seniman untuk berkarya dengan cara ungkap yang berbeda. Tanpa menjadi bintang, Hendro telah turut serta berproses di belakang para seniman yang kemudian membintang—dengan beragam kapasitas kebintangannya.
Sayangnya, Hendro alpa untuk mendispinkan dan mengelola dirinya sendiri, paling tidak untuk hal yang elementer: tertib pada pola makan dan pola hidup. Akhirnya, itulah yang pelahan menyuburkan deposit gula dalam darahnya, juga racun dan penyakit lain dalam tubuhnya. Dalam usia 44 tahun, Hendro menghadap Dia, Sang Maha Pengelola. Muga-muga sing jembar kuburane yo, mas. ***
Kuss Indarto, banyak belajar pada Hendro Suseno.