Berkarya dengan Jiwa
Oleh Kuss
Indarto
SEKITAR 23 tahun
lampau, pengamat seni Sanento Yuliman dengan runtut menuliskan sebuah catatan
penting di majalah Tempo (edisi
Januari 1992) dengan tajuk “Seni Rupa
Atas, Seni Rupa Bawah”. Salah satu poin pentingnya adalah pemilahan antara
dua hal. Pertama, “seni rupa atas” atau high
art yang ditengarai sebagai seni rupa yang dalam kelahiran dan
pertumbuhannya sangat dipengaruhi faktor yang memancar dari negeri berindustri
maju, yakni faktor informasi dan konsumsi. Ia berkait dengan pertumbuhan
lapisan atas dan menengah masyarakat kita di kota besar, dan sebagian hasilnya
berupa produk eksklusif untuk pasar eksklusif. Pada pilahan ini, seni lukis dan
seni patung modern yang disebut-sebut oleh kaum terpelajar, masuk di dalamnya.
Begitu pula desain, dan lainnya.
Sementara hal kedua,
“seni rupa bawah”, diidentifikasi sebagai seni rupa yang produksi, distribusi,
dan konsumsinya berlangsung di lapisan sosial bawah dan menengah (menengah
bawah), bertalian dengan ekonomi dan taraf hidup rendah, serta teknologi yang
sederhana. “Lukis kaca”, “lukisan jalanan”, lukis tobong becak, dan berbagai
kerajinan diandaikan masuk dalam pilahan ini. Pendeknya, “seni rupa bawah” ini
berhubungan dengan tradisi meskipun cara dan sifat hubungan itu bermacam-macam.
Catatan tersebut
memancing polemik panjang, sekaligus mengayakan perbincangan dunia seni rupa. Apalagi
Sanento justru memberi penolakan dan cercah solusi atas tengara “seni rupa
atas” dan “seni rupa bawah” tersebut. Barikade di antara keduanya diretas,
dilebur, dan coba diingkari seiring perkembangan di tingkat praksis dan
teoritik dalam seni rupa dunia. Seperti kita sadari, dunia seni rupa modern
yang mengenal dengan tegas batas-batas pengkotakannya (seperti kotak seni lukis
abstrak, kotak realisme, dan sebagainya) “diruntuhkan” oleh ideologi seni rupa
kontemporer yang “anything goes”
(apapun bisa)—yang memotong kotak-kotak tersebut. Dari situlah, kemudian,
batasan “seni rupa atas” dan “seni rupa bawah” tersingkir.
Seni rupa kontemporer juga
mengabaikan problem orisinalitas. Ini bisa dipahami karena dewasa ini, segala
hal di dunia tak ada lagi yang orisinal. Ini sah, namun juga berisiko, karena
di luar problem orisinalitas, sebenarnya ada hal lain yang ada dalam inner feeling seniman, yakni otentisitas
diri. Misalnya, seorang seniman bisa saja meniru corak dan kecenderungan visual
seniman lain—bahkan lebih bagus visualitasnya. Namun, itu tereduksi ketika sebuah
karya hanya berhenti di titik eksotika gambar semata, tanpa memberi muatan
(substansi) di baliknya. Karya seni rupa (= lukisan) bisa indah pada
visualitasnya, wadag-nya, wujud
luarnya, namun belum tentu memiliki kedalaman estetika yang melampaui ke-wadag-annya tersebut. Ini, lagi-lagi,
menyangkut soal otentisitas yang dimiliki oleh seorang seniman—yang melampaui problem
orisinalitasnya.
Bagi beberapa kalangan, problem “seni
rupa atas” dan “seni rupa bawah” itu—entah secara serius atau sekadar guyonan—justru muncul dengan mengaitkan
soal otentisitas tersebut. Seniman dengan karya yang mengedepankan otentisitas inner feeling-nya bisa dikatakan sebagai
penghasil “seni rupa atas”, ketimbang seniman yang hanya meniru atau kehilangan
karakter kedalaman jiwanya. Ini tak jauh-jauh dari masalah “jiwa ketok” (jiwa yang
nampak) bagi seniman dalam berproses kreatif seperti yang dilontarkan oleh
maestro S. Soedjojono puluhan tahun silam. Atau dalam bahasa lain, lewat karya
seni, seorang seniman diandaikan bisa memuntahkan soulscape-nya, “pemandangan jiwanya”. Bukan sebagai peniru tanpa
jiwa. Ini menyangkut soal kejujuran seorang seniman sebagai kreator terhadap
diri dan karyanya. Sementara secara sosial, kita bisa mengandaikan seniman
memiliki tanggung jawab tambahan lainnya, yakni berkomitmen untuk berusaha
senantiasa menampilkan titik beda ketimbang karya perupa lain, atau bahkan
dengan karya sendiri sebelumnya. Upaya untuk menampilkan another form and substance of art(s) bisa menjadi landasan cara
berpikir dan bertindak.
Pameran ini, saya kira, memang
memiliki relativitas dalam soal olah kreativitasnya. Semua penonton bebas untuk
memberi apresiasi, penilaian, sikap atau opini apapun atas hasil olah karya. Namun,
bagi sang seniman sendiri, seyogyanya berupaya keras untuk mengejar dan
mempertontonkan karakter dirinya sendiri. Bukan merobotkan diri, apalagi menyingkirkan
jiwanya sendiri. Ini PR (pekerjaan rumah) kita bersama. ***
Kuss Indarto, penulis seni rupa, editor in chief situs
www.indonesiaartnews.or.id
(Catatan ini dimuat dalam leaflet pameran "The High Art Never Lies, di Banyu Bening House of Painting, Borobudur. Pameran berlangsung mulai 18 April 2015, berlangsung selama 3 minggu)