Memborobudur
AKHIRNYA, kami sekeluarga bisa
bertandang ke candi Borobudur kemarin, Minggu Pon, 19 April 2015. Kesempatan
sebelumnya hanya sampai ke candi Mendut, atau hingga di parkiran, karena hujan
deras mengguyur bangunan abad ke-8 itu. Dua anak kecil kami yang saya duga akan
banyak "merepotkan" karena minta gendong, ternyata justru sebaliknya,
tampak merasa nyaman berjalan bertahap dari level terendah hingga paling
tinggi.
Di sela momong anak dan istri di
situs kebanggaan Nusantara itu, ada yang bisa diamati dari beberapa perilaku
sebagian (besar?) pengunjung yang "menziarahi" Borobudur pada waktu
yang bersamaan:
(1). Banyak pengunjung yang berebut
naik tangga untuk mengambil "jalan lurus" atau "jalan
pintas" langsung menuju stupa besar di ujung atas candi. Kami yang mencoba
bertahap menyusuri jalur level rupadhatu hingga arupadhatu yang penuh relief
dengan narasi luar biasa itu, justru "kesepian" tapi sekaligus nyaman
karena tak banyak orang merambah ke situ. Kalau toh ada, kebanyakan adalah
(rombongan) bule yang takzim mendengar penjelasan tentang relief itu dari
pemandu wisata.
Pikiran "negatif" saya
langsung terlintas: "Ya ngapain susah-susah memutar-mutar melihat relief
itu? Langsung aja cari enaknya di level atas ya? Ah, mungkin "budaya main
terabas" itu lebih mengasikkan dan tidak melelahkan ketimbang "sok
cinta sejarah" begini ya? Hehehe.
Dugaan saya yang lain, tidak ada
tanda atau pemanduan yang bisa mempersuasi pengunjung untuk menyusuri
jalur-jalur berelief tersebut. Apalagi untuk jalur di level kamadhatu,
posisinya begitu tersembunyi dan lebih tidak persuasif sehingga tidak
meyakinkan bagi pengunjung untuk merambah.
(2). Di banyak bagian dan tubuh
candi yang relatif rapi, selalu saja ada/banyak pengunjung yang nekad membuang
sampah sembarangan, bukan pada tempat yang sudah disediakan. Apalagi di seputar
stupa, alamak, tebaran sampah langsung mencolok mata. Ini memang perkara kultur
yang butuh puluhan tahun, bahkan berabad-abad baru bisa hilang.
Saya teringat saat berkunjung ke
situs candi tua di Sukhothai, Thailand setahun lalu. Di sekitar candi itu,
petugas kebersihan berdiri di beberapa sudut, dan dengan cekatan langsung
mencomot sampah yang dibuang wisatawan. Aksi petugas itu seperti "shock
therapy" kecil-kecilan karena membuat pengunjung malu untuk membuang
sampah.
(3). Perilaku lain yang dalam
jangka panjang akan merugikan bangunan candi Borobudur adalah pengunjung yang
duduk atau bahkan memanjat stupa tertinggi. Kebanyakan karena ingin
"selfie". Beberapa petugas di situ berkali-kali saya lihat tampak
mengingatkan pengunjung yang sengaja melanggar aturan. Tapi pelanggaran selalu
terjadi dalam menit berikutnya. Dalam penglihatan saya, petugas memang masih
"baik hati", tidak keras.
Saya rasakan perbedaan ini ketika, misalnya,
melihat ketegasan petugas saat berkunjung di Taj Mahal, Agra, India. Mereka
sampai berteriak keras, mata melotot (tampang India, bro!), untuk mengingatkan
pengunjung agar tidak melanggar. Ini serupa dengan yang terjadi kalau kita
berkunjung ke istana kerajaan Thailand di Bangkok. Keras sekali para
petugasnya. Demikian pula di museum-museum di Eropa. Mereka tampak bertanggung
jawab untuk keamanan artefak penting yang menghasilkan devisa bagi negara itu.
Dan itu tampaknya menular menjadi kedisiplinan bagi banyak pengunjung di sana.
Lha, masalahnya, apa kita rela kalau harus dikerasi oleh petugas yang juga
bangsa sendiri? Halah, pasti berkelahi deh, hahaha...
Ya, Borobudur, juga situs penting
kebanggaan kita seperti candi Prambanan, dan lainnya, pasti akan terus
dikunjungi oleh banyak orang kalau bersih, nyaman, dan aman. Tidak nyampah atau
pesing yang bikin mual, dan lainnya. Ya, ini sih kalau kita mau mengejar
ketertinggalan.
Kita betul-betul sudah ketinggalan.
Bandingkan dengan Malaysia yang tiap tahun sudah dikunjungi oleh lebih dari 20
juta turis asing. Thailand, Kamboja, Singapura, masing-masing dikunjungi oleh
belasan juta turis pertahun. Indonesia masih empot-empotan, baru dikunjungi
oleh sekitar 6-7 juta pertahun.
Kurang apa kita coba? Alam kita
luar biasa. Warisan budaya kita berkelas dunia. Tapi, eh, kurang bersih, kurang
tertib, kurang peduli, kurang banyak belajar, kurang banyak deh pokoknya. Ini
aku lagi becermin bagi aku sendiri kok. Ngaca, ah! :-) ***