Pertaruhan Artistik dalam “Tiga Karakter, Tiga Warna”
Oleh Kuss Indarto
Seni rupa
berkemampuan mempersoalkan diri dan masyarakatnya dengan mencari
gagasan-gagasan yang cocok. Ia berkembang oleh dinamikanya sendiri, termasuk
dialektika gagasannya sendiri. Dengan kata lain, dikehendaki perkembangan yang
mandiri, bukan sekadar terseret perkembangan seni rupa di negeri asing (Barat).
~ Sanento
Yuliman, “Seni Rupa Dalam Pancaroba: Ke Mana Semangat Muda?”, harian Kompas, 7
Juni 1987
Beauty is the
infinite depicted in the finite. [Keindahan adalah ketidakterbatasan yang
digambarkan dalam suatu batas].
~ August Wihelm Schlegel
/satu/
AKHIRNYA, tiga
perupa ini: Anang To2 Sutoto, M. Yatim Mustafa, dan S. Handono Hadi, berpameran
bersama—setelah dirancang sekian lama, dengan berbagai hadangan dinamika
pasang-surutnya. Pameran ini, setidaknya memuat beberapa hal penting dan
mendasar. Hal pertama, ketiga perupa
masing-masing memiliki tiga kecenderungan artistik yang berbeda sama sekali—antara
satu dan lainnya. Anang To2 Sutoto punya ketertarikan pada gubahan visual abstrak
dalam semua bentang kanvasnya. Lebih khusus karya lukis abstrak yang
ditekuninya beberapa waktu terakhir ini adalah abstrak non-figuratif atau
abstrak amorfik (tanpa tendensi bentuk tertentu). Lalu, Mohammad Yatim Mustafa,
telah sangat dikenal di kawasan Medan, Sumatera Utara sebagai seniman yang
setia bersikukuh pada pilihan kreatif seni lukis realisme dan naturalisme. Dan
terakhir, S. Handono Hadi, seniman senior yang menumpukan upaya kreatifnya pada
seni lukis yang berbasis pada seni kaligrafi Arab. Perbedaan dasar kreativitas
antar-ketiganya memunculkan kontras-kontras yang menarik dan relatif memberi
pengayaan dalam pameran ini. Ketiga karakter ini masing-masing berusaha
menyedot perhatian, sekaligus memberi nuansa secara kolektif—dengan segala kelebihan
dan kekurangannya.
Dalam perjalanan
sejarah seni rupa yang telah lampau hingga kini, telah tercatat begitu banyak
kelompok seni rupa (art group) yang
terdiri kurang dari 5 seniman yang kemudian bergabung dalam sebuah pameran
dengan materi karya yang kontras sama sekali—karena karakter (visual) karya
masing-masing senimannya berbeda. Saya ingin mengambil sampel contoh tentang
hal ini pada pameran berempat yang berlangsung jauh di belakang hari, yakni
tahun 1960, dan terjadi di Kebayoran Art Gallery, Jakarta. Pameran itu terdiri
dari seniman penting kala itu: Emiria Soenassa, Trisno Soemardjo, Oesman
Effendi, dan Zaini. Kritikus seni D.A. Peransi mencatat dalam majalah Mimbar Indonesia (edisi Mei, 1960) bahwa
“…pameran ini memberi ilustrasi yang sekejap tapi berkesan tentang pertumbuhan
seni rupa kita mutakhir dalam pelbagai keragamannya. Dia menunjukkan
kesanggupan dari potensi-potensi yang ada di antara kita dalam meramu dan
menantang tiap kekuatan yang ingin menguasai kita dalam transisi dimana kita
turut mengadakan partisipasi”. Dari potongan paparan D.A. Peransi itu saya
memperoleh sedikit gambaran bahwa pada dasawarsa 1960-an pun upaya untuk
mempertemukan keragaman visual antar-seniman telah terjadi—meski mungkin punya
beragam visi dan tendensi.
Demikian pula dengan
satu contoh “kecil” lainnya yang terjadi tiga dasawarsa kemudian, yakni tahun
1996 di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Kala itu, dua seniman muda, Nasirun
dan Putu Sutawijaya. Keduanya juga memiliki kekontrasan dasar visual yang
sangat kentara kala itu—bahkan hingga sekarang. Nasirun banyak mendasarkan
karyanya pada filsafat wayang purwa dan keluaran visualnya banyak menggubah
wayang versi dia yang sangat personal—meski tetap ornamentik di sana-sini.
Sementara karya-karya Putu Sutawijaya waktu itu abstrak ekspresionisme yang
banyak melekat ada para seniman asal Bali yang menetap di Yogyakarta kala itu.
Hal yang ingin saya tegaskan adalah bahwa perbedaan yang kontras dalam sebuah
pameran justru kadang memberi pengayaan visual (dan mungkin visi) yang membuat
pameran tersebut menjadi penuh warna.
Hal kedua, perhelatan
ini, bagi ketiga seniman, merupakan kesempatan untuk mengabsenkan diri dalam
peta seni rupa setempat. Ini penting karena menyangkut problem eksistensi bagi
seniman dalam upaya untuk proses “pencatatan sejarah kreatif” yang ada di
lingkungannya. Dalam sirkuit kebudayaan—termasuk di dalamnya seni rupa—ada tiga
proses atau pilahan yang lazim dilalui, yakni proses produksi, proses mediasi,
dan proses konsumsi.
Para seniman banyak
bekerja pada pilahan atau proses produksi untuk menghasilkan karya kreatif,
memproduksi wacana, dan sebagainya. Sementara pada proses berikutnya, yakni
proses atau pilahan mediasi, para seniman banyak berbagi peran dengan pihak
lain, seperti ruang-ruang presentasi karya, kurator seni, kritikus, media
massa, art management, dan lainnya.
Pada tahap inilah sebenarnya produksi wacana yang ada pada tahap sebelumnya
bisa diuji pada tahap mediasi. Dan selanjutnya, proses/pilahan konsumsi ketika hasil
karya seniman masuk dalam ruang konsumsi di hadapan publik. Pada tahap inilah
sebuah karya seni akan diapresiasi oleh masyarakat. Apresiasi pun bisa beragam:
ada apresiasi nilai maupun apresiasi harga. Wujdnya bisa berupa rekreasi bagi
masyarakat, termasuk direproduksi lewat ulasan di media massa. Ada pula
apresiasi transaksional ketika sebuah karya seni berpindah tangan kepada
kolektor.
Semua ini merupakan
“risiko” yang nyaris terjadi pada semua perhelatan seni rupa. Nilai penting
dari pameran bagi seniman adalah bergeraknya medan sosial seni rupa karena
adanya dinamika dari dan karena proses produksi, mediasi, dan konsumsi. Ini
sebuah kelaziman sejarah.
Lalu, hal ketiga, pameran ini—apapun
kualitasnya—memiliki potensi sebagai jangkar untuk menarik “gerbong” lain,
yakni para seniman dan kelompok seniman di Medan dan Sumatera Utara, untuk bergerak
lebih jauh dan dinamis membangun progresivitas yang lebih kreatif dan mutakhir.
Tentu ungkapan dan pengharapan ini bisa jadi berlebihan karena di samping
kelompok ini, sudah pasti, ada banyak seniman dan kelompok seniman yang telah,
sedang, dan akan terus bergerak dengan cara pandang, visi, dan modus operndinya
masing-masing. Tapi setidaknya ada hal minimal yang bisa dicermati bahwa upaya seniman
untuk berpameran di kawasannya sendiri adalah hal positif.
Seperti kita ketahui,
dunia seni rupa Indonesia sudah terlalu berpusat di pulau Jawa—khususnya di
Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sentralisme ini bertumpu pada banyak hal: mulai
dari kelengkapan suprastruktur, infrastruktur, yang berimbas pada kuantitas dan
kualitas SDM seniman, hingga pada aspek pewacanaan (discourse) dan pasar (art
market). Selain tiga kawasan tersebut, atau secara umum pulau Jawa, kawasan
dan pulau lain sekadar menjadi subordinat yang sama sekali tidak
diperhitungkan. Upaya kawasan lain untuk menjadi satelit atau bahkan
pengimbang, masih “jauh panggang dari api”.
Sebagai contoh,
upaya untuk membuat Biennale Sumatera, atau Pameran dan Pagelaran Seni Se-Sumatera (PPSS), Pameran dan Dialog
Perupa Se-Sumatera (PDPS), masih belum
mampu menjadi magnet yang kuat untuk dilirik. Demikian pula dengan kawasan
lain, seperti adanya Biennale Jatim bagi para seniman di Jawa Timur, pameran-pameran
yang berlangsung sporadis di Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan semacamnya, masih
terlalu lemah gaungnya bila dibandingkan dengan perhelatan seperti Biennale
Jogja, ArtJog, ataupun Biennale Jakarta, Jakarta Art Fair, dan lainnya.
Lagi-lagi, ini menyangkut masalah “pusat” dan “bukan pusat” yang sebetulnya
menjadi isu kuno namun masih juga belum terlenyapkan.
Hal keempat,
adanya upaya untuk menyusun kekuatan dengan membangun kolektivitas.
Bergabungnya tiga seniman ini, Anang To2 Sutoto, M. Yatim, dan S. Handono Hadi
dalam komunitas bentukan mereka, TO2 Art Group, tentu merupakan gejala biasa. Hal
menarik yang biasa dipertanyakan adalah: apakah komunitas seni seperti ini bisa
bertahan lama? Hal lazim yang banyak diketahui publik, ancaman terbesar dari
keberadaan sebuah komunitas seni adalah soal kesetiaan dan kemapanan untuk
bernaung dalam satu wadah. Sifat dasar banyak seniman—berdasar
pengalaman—adalah sulit untuk setia berkelompok, dan cenderung anti-kemapanan.
Maka, keberadaan tiga seniman dalam komunitas ini adalah sebuah uji coba atas
kesetiaan dan kemantapan untuk mapan dalam berkelompok.
Pendeknya, dengan
menyebut beberapa poin di atas, saya menaruh pengharapan bahwa tumbuh dan
bergeliatnya dunia seni rupa di Medan—seperti terlihat dalam pameran
ini—kiranya bisa menjadi salah satu indikasi bahwa ada passion (gairah) kreatif yang kuat yang pantas diberi ruang ingatan
oleh masyarakat. Seni rupa di Medan masih bergerak, sekecil apapun gerakan itu
ada.
***
/dua/
MENYIMAK ketiga
seniman peserta pameran ini yang masing-masing membawa kecenderungan artistik
sendiri, tentu layak untuk dicermati lebih jauh. Pencermatan ini mendasarkan
diri pada artifak yang ada, yakni karya fisik atau aspek visualnya, yang
kemudian bisa bergerak merunuti aspek makna. Perbedaan karya seniman yang
berbeda satu sama lain itu tak lepas dari fakta bahwa “the artist as a free, individual spirit” seperti yang diungkapkan
oleh Anthony Forge (dalam John Clark
ed. Modernity in Asian Art, 1993,
hlm. 26). Seniman adalah pemilik semangat individu yang bebas, termasuk bebas dalam
menentukan pilihan-pilihan ekspresi visualnya. Pernyataan Forge ini kiranya tak
lepas dari pandangan W.F. Hegel, filsuf besar yang dianggap telah meletakkan
prinsip dasar yang penting bagi perkembangan dunia seni rupa modern. Selaras
dengan para filsuf besar Barat lainnya seperti Rene Descartes dan Immanuel
Kant, pandangan filosofis Hegel telah mengilhami pemikiran tentang seni rupa
yang terkait dengan persoalan perihal peran sentral subyek individu (seniman).
Hegel menyatakan bahwa “art serves the
development of mind”. Seni (itu berfungsi untuk) melayani perkembangan akal
(manusia). Orang bisa saja kurang setuju dengan pendapat Hegel. Namun sekarang
bisa sediki banyak dipahami bahwa praktik berolah seni adalah juga praktik
berolah penalaran/otak.
Anang To2 Sutoto
tampaknya juga menyerap pemahaman atas itu. Praktik berkesenian atau proses
kreatif seninya tak sekadar pengisi waktu jeda (leasure) di tengah kesibukannya di disiplin yang lain, namun tampak
kalau karya-karyanya dikerjakan dengan penuh perhitungan dan intensitas. Ini
menarik kalau disimak bahwa karya-karyanya berkecenderungan sebagai karya lukis
abstrak. Mengapa bisa penuh perhitungan? Bukankah justru spontanitas yang lebih
mengemuka? Bagi saya, inilah titik menarik tersebut.
Dalam khasanah seni
lukis abstrak sendiri, secara historis dan perkembangan selanjutnya, telah
banyak ragamnya, sudah banyak pula pembaruan-pembaruan yang memberi dinamika di
dalamnya. Adalah Wasilly Kandinsky, seniman pertama yang dengan tegas
memproklamirkan diri sebagai seniman yang suntuk dengan karya abstrak. Di
Jerman, pada tahun 1911 dia menerbitkan buku yang penting bagi perjalanan
kreatif seniman berlevel dunia itu, yakni “On
the Spiritual in Art”. Di dalamnya, dia antara lain mencatatkan pengakuan bahwa
“abstract is the term most frequently
used to the more extreme effect of this impulse a way from nature.” Pernyataan
Kandinsky itu diidentikkan dengan karyanya yang kemudian populer disebut
sebagai “spirituality in art”.
Ini cukup melekat
dengan kecenderungan karya kreatifnya yang memiliki “kebebasan ekspresi seni
yang disadari mampu mengeksternalisasikan pertumbuhan kekuatan jiwa sang
subyek”. Kandinsky ini merupakan pelukis yang menciptakan lukisan-lukisan
abstrak yang dianggap berkaitan dengan gagasan tentang alam spiritual manusia.
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan adanya kemungkinan alasan Kandinsky
mengerjakan lukisan abstraknya. Penelitian tersebut memberi titik simpul bahwa
ketertarikan Kandinsky terhadap alam spiritual adalah gagasannya sebagai
individu untuk mundur atau mengasingkan diri dari situasi terburuk kehidupan
modern yang bersifat dangkal yang disebutnya sebagai “gambar gelap” modernitas.
Kandinsky memahami proses perjalanan menuju “dunia-dalam” jiwa sebagai bentuk
pengasingan diri dari ketidakpastian dunia yang bersifat eksternal sebagaimana
dinyatakan pada hasil temuan ilmu pengetahuan, regulasi agama, serta rujukan
nilai moralitas kemanusiaan (lihat Pam Mecham & Julie Sheldon, “Retreat from the Urban”, dalam Modern Art: A Critical Introdution,
2000).
Hal yang terjadi
pada diri dan karya Kandinsky, kurang lebih juga sama dengan yang terjadi pada
pelukis abstrak Indonesia, Fadjar Sidik (almarhum). Setelah bertahun-tahun
menjadi pelukis realisme, dia memutuskan untuk mengabstrakkan karya-karya lukis
yang (akan) dibuatnya. Pasalnya, ketika dia kembali ke Bali—seperti saat
berusia remaja, pemandangan sudah berbeda jauh. Industrialisasi dan mekanisasi
di semua lini bidang kehidupan telah terjadi. Panorama alam indah dirasanya
telah terusik. Dia merasa tidak layak untuk kembali menggambarkan eksotisme
alam pada karya-karyanya. Maka, yang muncul adalah karya karya dengan tema
“dinamika keruangan” atau dinamika bentuk” yang sangat simplistik,
representasional, dan cenderung abstrak.
Penggalan pengalaman
Kandinsky atau pun Fadjar Sidik di atas kiranya bisa menjadi sumber referensi
bagi proses kreatif seniman, termasuk Anang To2. Pada beberapa karya Anang tampak
ada proses eksekusi yang didahului oleh tahapan-tahapan teknis yang tidak
sederhana. Di dalamnya, ada upaya perancangan visual yang dilakukan lewat
tahapan teknis pewarnaan yang dilapis tidak hanya satu-dua kali, namun
berkali-kali. Ada pula tahapan kolase (collage),
yakni pembubuhan material lain di atas kanvas berupa sekian banyak foto
figur-figur tertentu. Secara teknis, pengolahan material ini mencakup problem
kecakapan teknis seniman yang memiliki kemampuan tertentu untuk penyesuaian
komposisi warna, bidang, garis, tekstur, dan sebagainya.
Sementara secara
tematik dan substansi karya, ada beberapa hal yang perlu dicatat pada karya
Anang ini. Dalam karya Picture of Figure,
(560x264 cm, acrylic & oil on canvas,
2015), Anang seperti ingin mengungkapkan perihal nilai-nilai kemanusiaan yang
makin banyak menjemput persoalan. Jajaran foto-foto yang tak beraturan itu
memang tak secara tegas membidik tema tertentu, namun justru secara enigmatic (teka-teki) menerbitkan
dugaan-dugaan persoalan yang kompleks. Apakah ini perihal manusia dan
nilai-nilainya yang kini tak lebih dari angka-angka atau jalinan garis barcode yang terkodifikasi dengan/dalam
sistem komputer (computerized)?
Apakah nilai-nilai tentang manusia sekadar sekelebat wajah-wajah yang kini
setara dengan tuts-tuts tombol dalam panel gadget
yang ada dalam genggaman tangan kita, yang dengan gampang mencarinya, dan
sekaligus dengan mudah kita menghapus dan melupakannya? Apakah wajah-wajah
manusia sekarang sekadar kode-kode visual atas robot-robot kontemporer yang
telah meluntur nilai sosialnya? Entahlah…
Namun, pada beberapa
karya abstraknya yang dipresentasikannya kali ini, Anang banyak membubuhkan
satu goresan besar, bisa jadi menjadi semacam “goresan kunci” atau “goresan
pamungkas” di tengah-tengah kanvas. Misalnya pada karya bertajuk Prahara, Badai, dan tentu Picture of Figure, dan juga lainnya. Ini
memberi tanda pada apresian bahwa di antara guratan, cipratan, dan sabetan
warna yang (pada beberapa karya) cenderung menjadi gubahan lukisan abstrak
ekspresionisme, karya yang secara visual tidak beraturan itu menjadi sedikit
tertata—oleh “goresan pamungkas” tadi. Karya-karyanya, tentu, tetap masuk dalam
pilahan abstrak amorfik (tidak mengisyaratkan bentuk tertentu).
Secara umum, karya-karya
Anang cukup menarik. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa karya seni
lukis abstrak di Indonesia memerlukan pasokan kebaruan yang kuat, baik dari
aspek visual maupun aspek gagasan. Dewasa ini masih banyak seniman yang suntuk
dengan lukisan abstrak, meski tidak sangat dominan seperti yang terjadi pada
pertengahan dasawarsa 1990-an lalu. Kala itu lukisan abstrak mencapai booming yang menghebohkan. Kritikus Agus
Dermawan mengutip komentar Fadjar Sidik (pelukis senior dan dosen FSR ISI
Yogyakarta), dalam Kompas, edisi 23
November 1998: “sekarang seni abstrakisme dan abstraksionisme, yang
tema-temanya diusahakan sosial kontekstual dan khaotik, sedang jadi
kecenderungan amat banyak pelukis muda. Bila kita simak teliti, fenomena ini
harus dibilang mengkhawatirkan. Apalagi jika sudah menjadi mainstream.” Catatan Agus dan kekhawatiran Fadjar Sidik itu, saya
kira, bisa dikontekstualisasikan dengan seni lukis abstrak di Indonesia saat
ini: perlunya penguatan tema yang lebih kontekstual, dan lebih dalam menghayati
filosofi dasar karya seni abstrak. Kurangnya hal-hal mendasar itu, seni lukis
abstrak masih tetap tumbuh, namun tanpa ruh yang berkarakter (kuat).
***
/tiga/
Problem tuntutan
karakter yang kuat kiranya juga menyentuh pada seni rupa yang diasumsikan
memiliki potensi homogenitas yang tinggi, termasuk seni lukis kaligrafi.
Peluang adanya homogenitas dalam seni itu, saya duga, karena adanya aturan main
yang standar, baku, dan terpatronkan. Dalam seni kaligrafi Arab, seperti
sekilas tampak pada hampir semua karya S. Handono Hadi, aturan dan standar itu
bahkan begitu banyak, rumit, dan itu telah menjadi patron selama berabad-abad
lamanya.
Aturan itu berupa
jenis-jenis khat atau gaya visual
dalam penulisan seni kaligrafi Arab yang “harus” dipatuhi. Sebagai contoh
adalah khat Diwani. Khat ini dulu diciptakan oleh masyarakat
Turki Usmani, dengan pelopor atas kaidah-kaidah huruf tersebut, adalah Ibrahim
Munif. Khat ini mulai dipopulerkan
sekitar tahun 875 H, setelah penaklukan kota Konstantinopel oleh Sultan
Muhammad al-Fatih. Karakter dasar dari khat
Diwani ada pada putarannya, sehingga tidak satupun huruf yang tidak memiliki
lengkung. Kelenturan dan kelembutan goresan melengkapi watak khat Diwani yang
kemudian mampu beradaptasi dengan tulisan apapun. Khat Diwani pun mempunyai tiga macam bentuk, yaitu: Diwani 'Adi, Diwani
Mutarabit, dan Diwani Jali.
Di samping khat Diwani, ada khat Tsuluts yang “anak-anaknya” adalah: khat Tumar, Muhaqqaq, Raihani, Tawqi', Riqa' atau Ruqa', Tsulusain,
Musalsal, Tsuluts 'Adi, Tsuluts Jali, Tsuluts Mahbuk, Tsuluts Muta'assir bil
Rasm, Tsuluts Handasi, Tsuluts Mutanazhir. Lalu ada Naskhi, yang terbagi
sebagai berikut: khat Naskhi Qadim, Naskhi
Suhufi.
Tapi, saya kira,
aturan main dan standar itu sama sekali tidak menjadi kendala karena S. Handono
Hadi “mengabaikan” itu semua. Ketika di depan kanvas, dia seolah tidak sedang membuat
karya kaligrafi Arab, namun melukis dan berzikir. Ini dua hal menyangkut
problem duniawi dan religiusitas atau spiritualitas yang dilakukan dalam satu
helaan nafas. Bahwa khat-khat yang
telah menjadi standar dalam kaligrafi Arab itu sedikit banyak bersinggungan
atau memiliki kemiripan secara visual dengan lukisannya, bsa jadi itu mungkin
ada. Namun, dari awal, Handono tidak memiliki tendensi yang kuat untuk menggubah
kaligrafi. Lukisan-lukisannya adalah adalah hasil dari rentetan doa yang
dipanjatkan dari ketulusan hati dan dijembatani oleh tangan—berikut kemahiran teknis
artistiknya.
Tendensi Handono
untuk melukis dan berdoa, dan bukan menulis kaligrafi Arab, juga tampak dari
capaian karya-karyanya—setidaknya yang dieksposisikan dalam perhelatan pameran
kali ini. Pada karya bertajuk Ka’bah
(200x145 cm, oil on canvas, 2015),
sebagai contoh, bisa memberi gambaran lebih jauh dari praktik melukis ala
Handono Hadi. Dalam kanvas itu ada kotak kecil berwarna gelap persis di tengah
kanvas. Di lapis luar pertama, kotak tersebut “dikepung” kotak warna
putih/terang. Lapis berikutnya, warna oranye kemerahan mendominasi permukaan
kanvas, di samping warna abu-abu atau warna lain di lapis paling luar. Di luar
persoalan warna dan bidang yang mendominasi kanvas itu, ada materi visual yang
justru jauh lebih dominan dan menjadi ruh karya tersebut, yakni teks dalam
bahasa dan huruf Arab: Allah.
Handono mengakui tak
mampu lagi mengingat berapa kali dia menorehkan sekaligus menyebut asma Allah
dalam bentang kanvas ini. Allah, Allah, Allah. Kata itu, asma itu, doa itu,
diguratkan dengan tangan—sekaligus dengan hati—hingga berlapis-lapis dengan
berbagai perubahan warna, menyesuaikan latar belakang. Handono, sekali lagi,
sama sekali tidak memperhatikan khat
jenis apa yang torehkannya karena antara pilihan “tipografi” tersebut berikut
substansi teks yang digarapnya terasa telah menyublim dalam praktik
berkeseniannya. Mungkin selaras dengan ungkapan Latin, ora et labora. Handono (selalu) berdoa sembari bekerja (melukis). Teks
Allah, atau petikan surat-surat tertentu dalam Al Qur’an dijadikannya sebagai
elemen visual yang diintegrasikan ke dalam kanvas, bukan teks-teks yang
“terlalu suci” sehingga tak bias saling bertabrakan satu sama lain, atau
tertimpa warna lain, teks lain, dan sebagainya.
Perilaku berkesenian
seperti ini menarik karena Handono tak jarang melakukannya dengan sangat serius
melebihi ritus hidup yang lain. Keseriusan itu dibuktikannya dengan menggarap
lukisan tertentu pada tempat, momentum estetik dan momentum spiritual yang khusus.
Dia pernah berkisah bahwa suatu waktu sebuah lukisan dikerjakan di studio
terbuka di halaman belakang rumahnya, persis tengah malam yang hening. Kalau
tak salah, teks dzikir LaaIlaaha Illallah
(Tiada Tuhan Selain Allah) diguratkan ke kanvas dari ujung kuas di tangan
kanannya. Aktivitas itu disempurnakannya dengan gerak bibirnya yang juga
mengucapkan dzikir yang sama. Suaranya lirih, namun cukup terdengar karena
ketenangan suasana malam. Pada menit-menit berikutnya, setelah merasa dzikir
yang terucap dari mulutnya teralun ritmis, lama kelamaan ada suara yang
mengikuti alunan dzikirnya itu. Tergeragap karena ada yang aneh, Handono pun
menghentikan dzikirnya. Dan beberapa detik setelah dzikirnya usai, suara
pengikut dzikir itu lalu turut menghentikan dzikir. Malam pun kembali hening,
tanpa suara dzikir, namun terasa mencekam. Mungkin jin atau makhluk halus yang
menemani Handono malam itu malu, suaranya terlalu keras.
Bunga-bunga cerita
di balik praktik kerja kreatif Handono ini menarik karena ada energi kreatif
(juga energi-energi lainnya) yang nyambung dan menyatukan antara hal yang
natural hingga supranatural. Antara yang fisik(a) hingga yang metafisik(a).
Dalam kerangka
pandang yang lebih luas, kerja kreatif Handono layak diperbincangkan dalam
kaitan antara seni dan spiritual(itas), bukan religiusitas. Kita paham, relasi
antara seni dan agama telah membentuk sikap dan keyakinan kta yang sangat tua,
ekspresi “seni” telah dikaitkan dengan sikap pemujaan terhadap kekuatan di atas
manusia bahkan sebelum penelitian ilmiah berhasil mengumpulkan secara lengkap
data-data yang menyoal perembangan agama di dunia. Akan tetapi ketika konsepsi
perihal seni secara modern terbentuk—setidaknya sejak masa Renesans Barat—dan
sejak disiplin filsafat seni (aesthetics)
mulai bekembang di abad ke-18, relasi antara seni dan agama tak lagi dianggap
nsicaya. Tiap agama tidak ernah secara khusus membincangkan ihwal ekspresi
seni, tak seperti kajian seni dan estetika yang justru secara aktif terus
berusaha menemukan rumusan khas demi menilai dan menerangkan kaitan keduanya
dengan agama.
Pada perkembangan
berikutnya, setidaknya sejak jaman seni rupa modern hingga kini, sebuah
ekspresi seni rupa dianggap lebih “maju” karena dianggap spiritual ketimbang disebut
mengandung nilai-nilai keagamaan (religious
values). Di sini ada perbedaan cara pandang dan pemahaman tentang jiwa (spirit) dan spiritualitas (spirituality) yang dipahami masyarakat
modern dan masyarakat tradisi (Timur). Bagi masyarakat modern kajian tentang
jiwa dianggap lebih dekat dengan pengetahuan tentang ilmu kejiwaan (psikologi),
sementara problem spiritualitas (spirituality)
berkembang sebagai bentuk pengetahuan “spiritualitas yang bersifat sekuler” (secular spirituality) dibedakan dengan
jenis “spiritualitas lama” atau “spiritualitas keagamaan” (religious spirituality).
Dari kilasan
tinjauan tersebut, kembali kita bisa memberi penegasan atas karya-karya Handono
Hadi yang lebih mengemukakan problem spiritualitas, bukan religiusitas. Bahkan,
jangan-jangan masuk dalam pilahan “secular
spirituality”. Di sini justru jelas posisinya, yakni bahwa apa yang telah
diungkapkan oleh Handono merupakan ekspresi seni dan spiritualitas, bukan
menyoal secara lebih dalam pada aspek agama. Tentu, ini sebuah tafsir, yang bisa
ditolak, atau sebaliknya.
***
/empat/
Berbeda dengan
karya-karya Anang To2 Sutoto dan S. Handono Hadi yang cenderung
non-representasional, karya-karya M. Yatim Mustafa lebih mengedepankan
penggambaran atau yang realistik—karena memang masih setia dengan corak visual
realisme dan naturalisme. Realisme sendiri dalam tradisi seni rupa dunia
(khususnya Barat) mendapat tempat khusus karena memiliki sejarah panjang dengan
segala pasang surutnya. Kita kenal misalnya wacana yang berkembang mengikuti
perjalanan realisme itu, seperti realisme
Courbet (yang berkait dngan Manifesto Realis Gustav Courbet yang dicetuskan
pada tahun 1861), realisme fasis, realisme
sosial, realisme magis, hingga neo
realisme, dan lainnya.
Di Indonesia
sendiri, realisme tumbuh subur dari waktu ke waktu berikut pasang surutnya.
Mulai dari Raden Saleh Sjarief Boestaman sebagai Bapak Seni Rupa Modern
Indonesia, S. Soedjojono berikut PERSAGI-nya, Wakidi, Affandi di awal pencarian
kreatifnya, lalu Hendra Gunawan, Trubus, Djoko Pekik, Basoeki Resobowo dan para
pendukung realisme sosial, Srihadi Soedarsono, hingga Hardi, Dede Eri Supria,
dan seterusnya pada generasi Ivan Sagito, Agus Suwage, Sigit Santoso, Melodia, Bambang
Pramudyanto, sampai kemudian ada sosok Azhar Horo, Agus Triyanto BR, Eri
Eriyanto, Nano Warsono, Agapetus Kristiandana, dan sekian banyak nama lain.
Meski berbeda jauh kronologi
sejarahnya dibanding dengan yang terjadi di Barat, dunia seni rupa realisme di
Indonesia sebenarnya banyak ragam visual, gagasan dasar dan wacana, berikut dinamikanya.
Namun sayang, tak banyak pencatatan yang dilakukan oleh masyarakat pendukung
seni rupa Indonesia, sehingga yang banyak muncul relatif adalah yang berkembang
di Jawa, khususnya di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
M. Yatim (berikut
komunitasnya, Sangar Rowo) adalah salah satu seniman yang “tersembunyi” di
balik gemuruhnya dunia seni rupa Indonesia. Memang tidak (atau belum) fenomenal,
belum bisa dikatakan memiliki pencapaian yang signifikan dalam aspek artistik
dan estetik, namun setidaknya sepak terjang dan perannya telah memberi
kontribusi cukup besar di lingkup medan sosial seni rupa (art world) Medan dan Sumatera Utara. Kalau dalam sebuah gerak
aktivitas dalam masyarakat nyaris selalu memunculkan fenomena dan agent, maka beberapa fenomena sosial dan
artistik dalam seni rupa di Medan tidak sedikit berasal dari komunitas Sanggar
Rowo dengan agent utamanya M. Yatim.
Opini ini bisa saja meleset, jauh dari 100%, namun dalam realitas sosial yang
sesungguhnya publik telah mengetahui betapa konsistensi sebagai pelaku seni telah
ditunjukkan oleh M. Yatim dengan penuh kesetiaan. Dia tidak saja menghidupi
ritus kesenimanannya secara terus-menerus dan bersetia dengan corak visual
naturalisme dan realisme—yang kini kadang dianggap ketinggalan zaman—namun juga
menghidupkan kembali semangat kreativitasnya anak-anak muda sebagai (calon)
seniman. Anak-anak muda yang datang padanya kebanyakan adalah para mahasiswa
atau bahkan alumni jurusan seni rupa pada sebuah kampus di kota Medan.
Anak-anak itu dididik (kembali) kemampuan teknis melukis realismenya sekaligus
dipasok wawasannya berdasar pengalaman empirik yang telah bertahun-tahun
dialaminya sebagai senian. Inilah, saya kira, pencapaian yang belum tentu dilakukan
oleh beberapa seniman dengan nama dan reputasi besar di tanah air.
Dalam pameran kali
ini M. Yatim menyodorkan gagasan yang tidak begitu populer yang telah
dieksekusi ke dalam 3 (tiga) karya lukisnya. Saya katakan tidak populer karena subyek
karyanya mengulik perihal sampah dan kuburan, dua subject matter yang nyaris tidak tersentuh oleh pikiran dan
pemahaman mayoritas seniman—yang lazimnya mengeksplorasi bahkan mengeksploitasi
subyek-subyek yang manis, eksotis, dan tak berisiko negatif ketika disodorkan
ke pasar (art market). Bisa jadi, ini
sebuah upaya “main-main”, eksperimenasi kecil-kecilan di dunia ide, dan menjadi
bagian dari spirit seorang seniman yang pada galibnya mencoba untuk mencari “another form and another idea of art(s)”.
Penolakan terhadap gagasan mainstream
inilah yang tengah diketengahkan oleh Yatim.
Ada dua karya yang
bertema visual kuburan atau pemakaman dalam pameran ini. Judulnya pun tidak
secara langsung menjadi “jendela gagasan” atas karya tersebut, yakni “Still Life I” (150x200 cm, oil on canvas, 2015), dan “Still Life II” (145x285 cm, oil on canvas, 2015). Lalu satu karya
lagi bersubyek utama sampah, bertajuk “Still
Life III” (145x285 cm, oil on canvas,
2015).
Pada “Still Life I” tampak komposisi jajaran beberapa
makam dengan warna utama biru pada bagian atas, dan merah di bagian bawah
kanvas. Di dalamnya ada beberapa petikan kalimat puisi atau kata mutiara
berhuruf Tionghoa. Teks visual semacam itu telah menunjukkan identitas tertentu
atas (penghuni) kuburan tersebut, yakni diduga itu merupakan pemakaman orang-orang
China atau Tionghoa.
Karya ini memiliki
pesan kuat, bagi saya, sebagai sinyal betapa kematian adalah salah satu misteri
Tuhan yang tetap layak untuk diperbincangkan dalam praktik keseharian. Kematian
itu sebuah keniscayaan, tak bisa ditampik, tak mungkin dihindari, dan oleh
karenanya layak untuk terus diingatkan sebagai antisipasi diri.
Dalam banyak tradisi
dan kebudayaan di dunia, masalah kematian sudah menjadi hal biasa yang terus
diwacanakan, bukan ditakuti. Budaya Jawa adalah salah satu yang membicarakan
hal itu, bahkan sejak lama diabadikan dalam Serat
Centhini II, persisnya dalam pupuh
64, bait 234, yang disusun dalam tembang Dandanggula.
Bunyi kalimat itu adalah sebagai berikut:
Sing sapa kang ngeling-eling pati
ingkang bisa mati jroning gesang
tinetah supaya teteh
titah ing Hyang Mahagung
kudu eling ing dalem pati
petitis ing kasidan
uripe linuhung
sebab uripe prasanak pati
lawan pati urip tan kenaning pati
lawan pati urip tan kenaning pati
yeku dat ing hyang Suksma
(Barang siapa ingat
akan kematian
barang siapa dapat
mati sambil hidup
barang siapa
menerima bimbingan agar menjadi jelas baginya
segala peraturan
Yang Maha Agung
barang siapa dengan
jelas melihat kesempurnaan
hidup orang itulah
luhur
karena hidupnya
berkaitan dengan kematian
yang sekaligus hidup
untuk tunduk kepada kematian
artinya hakikat
Hyang Suksma?
Petikan Serat Centhini di atas memberi gambaran
sekaligus penegasan bahwa “kematian itu berada di dalam kehidupan”semua manusia.
Kematian adalah bagian dari kesempurnaan dari hidup manusia. Maka, tiap-tiap
manusia mestilah selalu siap, ikhlas, menghadapi kematian tersebut. Saya kira,
karya M. Yatim yang bersubyek visual kuburan adalah upaya implementasi atas
teks dan filsafat (dalam kultur Jawa) tentang kematian yang memang harus
didekati.
Hal menarik lain
dari karya itu adalah penjudulan yang terasa sederhana namun menggoda untuk dikuak.
Judul “Still Life” sesungguhnya
bukanlah pilihan kata-kata yang mengindikasikan sebagai jendela kecil bagi
apresian untuk bisa melongok isi di dalamnya. Dalam tradisi seni lukis, still
life merujuk pada sebuah pemandangan benda-benda yang ditata, diatur-atur manis
untuk kemudian dipindahkan ke dalam kanvas seperti apa adanya. Dalam konteks
inilah, ada teka-teki dalam gagasan karya Yatim: apakah sebenarnya kematian
itu—di luar soal waktu yang menjadi kuasa Tuhan—bisa “dikelola, diatur dan
ditata”? Mungkin, itulah misteri lain yang sedang serius bergelut dalam pikiran
M. Yatim. Siapa tahu! ***
Kuss Indarto,
kurator seni rupa, dan editor in
chief www.indonesiaartnews.or.id
(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran "Tiga Karakter, Tiga Warna", yang pamerannya berlangsung di Grand Aston City Hall, Medan, 22 Maret - 5 April 2015)
(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran "Tiga Karakter, Tiga Warna", yang pamerannya berlangsung di Grand Aston City Hall, Medan, 22 Maret - 5 April 2015)