Kalau sejarawan Yunani Kuno, Herodotus (484-425 M) membilang bahwa Mesir adalah "negeri yang dihadiahi Sungai Nil", maka bolehlah disebut bahwa Propinsi D.I. Yogyakarta sebagai "kawasan yang dihadiahi Kali/Sungai Progo". Kali Progo memanjang hingga 135 km mulai dari kabupaten Temanggung lalu ke selatan melintasi kabupaten Magelang, Sleman, Kulon Progo dan Bantul.

Mata air Kali Progo berada di dusun Jumprit, desa Tegalrejo, kecamatan Ngadirejo, Temanggung, di ketinggian sekitar 1.275 mdpl, di lereng gunung Sindoro (3.135 mdpl). Nama sungai ini, menurut salah satu sumber, diduga tidak lepas dari tradisi Hindu dan Buddha yang pernah melingkungi kawasan ini berabad-abad lalu. Konon kata Progo berasal dari kata "Paragya", yakni nama patirtan (sumber mata air) di salah satu anak sungai Gangga, India. Kata Paragya lama kelamaan luluh oleh lidah Jawa hingga bergeser menjadi "Praga" atau "Progo".

Lanskap seperti dalam foto ini acap terpapar di depan mata ketika kita berada di pesawat terbang yang segera mendarat di bandara Adisucipto. Hanya saya belum yakin sepenuhnya, apakah ini Kali Progo atau kali/sungai Opak--meski keduanya bertemu pada satu titik, puluhan kilometer sebelum bermuara di pantai selatan Jawa. Ini sama persis dengan dugaan saya tentang banyaknya mitos-mitos yang mulai memudar yang berabad-abad sebelumnya hidup di sekitar jelujur sungai terpanjang di Yogyakarta ini. Saya ragu apakah mitos-mitos itu masih diingat dan dirawat oleh orang-orang di sekitar itu.

Kawasan ini dihadiahi sungai besar, dan kemudian (dulu) orang-orang menghidupkannya (antara lain) dengan mitologi tentang lampor, padu selikuran, kisah tentang Kyai Tunggulwulung, Nyai Ageng Serang, Kyai Langgeng, Sendang Jalin, hingga narasi tentang Pandansimo. Waktu memang telah bergerak jauh. Mungkin, kini telah membawa mitologi-mitologi berbeda yang lebih kontemporer.

 Tak tahulah. Apapun, terima kasih, Kali Progo!

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?