Tanda Rasa, Tanda Ada

"Impian Kawan", lukisan Kristiyanto yang dipamerkan di Lembaga Indonesia Perancis (LIP), 15-18 Februari 2016.

Oleh
Kuss Indarto

(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran tunggal Kristiyanto bertajuk "Tanda Rasa", di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, 15-18 Februari 2016)

SOSOK seniman Kristiyanto muncul lagi di tengah keriuhan dan dinamika seni rupa Yogyakarta. Ini sebuah upaya yang tidak ringan untuk masuk dalam pusaran perbincangan dan peta seni rupa Yogyakarta yang terus bergerak dengan percepatan yang jauh melebihi kawasan lain di Indonesia. Bangunan reputasinya pernah tercatat dalam beberapa perhelatan seni rupa yang diikutinya bertahun-tahun lalu. Ada, misalnya, pameran seni rupa “Lestari Alamku” yang dihelat 18-25 Juni 1994 di Natour Hotel Garuda, Yogyakarta. Kala itu Kristiyanto berhimpun bersama 10 seniman lainnya, yang beberapa di antaranya adalah seniman senior dengan reputasi nasional, seperti Amri Yahya, Fadjar Sidik, dan Remmy Silado, juga nama-nama lainnya yakni Klowor Waldiyono, Hajar Pamadhi, dan Djoko Maruto.

Setahun berikutnya, 29 April hingga 29 Mei 1995, di Center Hall, Internusa Plaza Bogor, sebuah pameran besar seni rupa dihelat. Tajuknya “Gelar 50 Pelukis Empat Kota”. (Waktu itu belum populer istilah kurator, pameran yang terkurasi atau pameran yang memakai tema kuratorial). Dalam pameran besar tersebut beberapa nama dan karya seniman papan atas Indonesia masuk di dalamnya. Sebut saja nama Barli Sasmitawinata, Henk Ngantung, Jeihan, Popo Iskandar, Remmy Silado, Sujana Kerton. Ada juga nama-nama seniman yang pada masa itu telah dan mulai merintis bangunan reputasi kesenimanannya, seperti Tulus Warsito, Suwadji, Dyan Anggraini, Godod Sutejo, Hari Budiono, Chusin Setiadikara, Abay D. Subarna, (alm.) Pramono Ir, (alm.) Nurkholis, (alm.) Hendro Suseno, (alm.) Gusti Alit, Katirin, Nasirun, M. Sinni, Irawan H., dan sekian banyak nama lainnya. Dan di tengah-tengah mereka itu tercatat nama Kristiyanto.

Dari secuil informasi di atas kita bisa berpraduga bahwa sekitar dua dasawarsa lalu, ketika masih berusia muda, nama Kristiyanto telah berupaya keras masuk dalam pusaran penting dinamika seni rupa di Indonesia. Pameran yang diikutinya—dengan nama-nama besar seniman lain yang satu “rombongan”—memberi indikasi bahwa reputasinya dalam dunia seni rupa telah dibangun “on the track”, dalam jalur yang tepat dan semestinya. Artinya, kalau ada konsistensi dalam laku kreatif yang terus-menerus, rutinitas aksi pameran yang terjaga secara “istiqomah” atau bahkan meningkat, tentu pada kurun sekarang inilah masa-masa memanen besar atas proses yang telah dilaluinya bertahun-tahun. Sebenarnya kemunculan nama Kristiyanto dalam dua pameran di atas itu pun pantas diberi catatan tebal bahwa dia yang alumnus Program Studi Seni Rupa IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) termasuk “makhluk langka”. Selama ini, dan hingga kini, dalam peta seni rupa Yogyakarta, nyaris selalu didominasi oleh para seniman alumni atau jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Para seniman dari kampus lain, termasuk UNY, berada dalam posisi marginal dalam perkara eksistensial. Realitas ini sangat bisa dipahami karena orientasi utama para alumnus UNY masih kuat masuk dalam ranah atau dunia kependidikan seni (rupa), bukan sebagai praktisi. Dan di sinilah Kristiyanto berdiri sebagai salah satu anomali.

Sayang memang bahwa pada tahun-tahun berikutnya jembatan reputasi yang telah dititi pelahan oleh Kristiyanto ini, sepertinya, tidak dilakoni dengan konsisten, penuh keteguhan, sekaligus berupaya mencari alternatif lain dalam soal jejaring kerja (networking) yang lebih meluas. Kita sadar, networking dalam praktik seni rupa itu sangatlah penting bagi para pelakunya untuk melakukan mobilitas vertikal (gerak ke atas kepada para “penentu” dunia seni rupa) dan mobilitas horizontal (gerak ke samping kepada sesama seniman yang masing-masing melakukan dinamika kerjanya).

***

BAGI seniman muda, melakukan proses itu sangat penting. Apalagi dengan tendensi yang kuat dan fokus pada aspek pencarian kreatif, penemuan-penemuan artistik, penolakan pada hal-hal yang telah umum atau mainstream, dan semacamnya, maka kelak tinggal mengunduh atau memanen semua proses positif yang telah dikerjakan. Dalam masyarakat Jawa ada istilah yang berbunyi “golek jeneng kanggo golek jenang”. Bagi saya, kalimat ini memuat kandungan filosofis yang sangat dalam. Bahwa seseorang sebaiknya mendahulukan mencari nama (jeneng) karena hal tersebut akan berdampak mendatangkan hasil (jenang). Dalam konteks dunia seni rupa seni sendiri, falsafah Jawa itu juga menemukan kontekstualitasnya. Bahwa ada baiknya seniman muda itu sebesar-besarnya melakukan aksi yang bertendensi untuk membangun dan menguatkan reputasi dan nama (besar)-nya. Bukan, misalnya, berkonsentrasi pada orientasi material, finansial, dan sebagainya. Dengan siasat juga strategi seperti itu, ketika kelak seorang seniman kuat reputasinya, besar namanya, maka dengan sendirinya jenang atau aspek lain seperti dampak ekonomi dan material niscaya akan mengikutinya. Mekanisme ini seperti hukum alam, meski mungkin tidak semua orang bisa meyakininya.

Lebih dari itu, perbincangan soal seniman ini kiranya bisa diperluas. Dalam pandangan saya, untuk menjadi seniman setidaknya memiliki imajinasi atau pembayangan tentang 3 hal penting: modal, model, dan modul.

Ihwal modal itu menyangkut soal hal mendasar yang idealnya dimiliki seorang (calon) seniman, yakni bakat (talenta), kemampuan (skill), dan kemauan untuk bekerja keras dan cerdas. Ketiganya bisa saling dikolaborasikan satu sama lain. Seniman besar Perancis, Paul Cezzane pernah membilang bahwa bakat cukup 1 %, sementara 99% lainnya adalah kerja keras. Kita bisa berdebat tentang kalimat Cezzane itu. Namun saya kira ketiga-tiganya sama pentingnya.

Kedua, model. Seorang seniman diidealkan memiliki bangunan imajinasi tentang model seniman seperti apa yang akan dijadikan landasan kreatif dalam menghidupi modal yang ada. Ini bukan menyangkut soal patron, bahwa seorang seniman harus mirip Affandi, Pablo Piccasso, Damien Hirst, atau siapapun, maka segala hal tantang patron seniman itu diikuti dari A sampai Z. Itu akan menjebak seniman menjadi seorang peniru, boneka, dan tak sadar dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Maka, model, saya kira bisa memberangkatkan diri dari imajinasi tentang konsep kesenimanan seperti apa yang tepat dan pas dengan jiwa dirinya.

Ketiga, modul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata modul memiliki beberapa arti, dan satu di antaranya berarti “komponen dari suatu sistem yang berdiri sendiri, tetapi menunjang program dari sistem itu”. Dalam konteks perbincangan ini, saya menganggap modul sebagai “komponen” strategi. Apapun, setelah seniman memiliki modal dan model, maka diperlukan siasat untuk menggerakkan kerja kreatifnya ketika “menghadapi” dirinya sendiri, dan gerak berikutnya ketika pasca-berkarya. Seniman perlu strategi untuk bergerak keluar ketika menghadapi audiens, penikmat karya seninya, pengritiknya, dan juga pasar. Ini semua, tentua, hanya pengandaian dan dugaan saya. Bisa saja tidak sepenuhnya tepat untuk (semua) seniman.

***

Pameran “Tanda Rasa” atau “Tandha Rasa” ini diancang-ancangkan oleh senimannya, Kristiyanto, sebagai upaya “pengenalan kembali” kepada publik seni rupa di Yogyakarta. Sekian tahun yang lalu namanya telah ikut mengisi sekian lembar halaman seni rupa Yogyakarta. Kemudian namanya mulai surut ditelan oleh sekian banyak nama seniman lain yang juga saling berebut posisi untuk masuk peta. Itu semua wajar, alamiah, karena masing-masing seniman pasti memiliki pasang-surutnya, punya batasan-batasan yang membuat dia muncul untuk kemudian tenggelam, dan seterusnya.

Namun ada poin penting bisa dicatat bahwa di tengah kerumunan sekian banyak nama seniman yang berlimpah di Yogyakarta, juga sebegitu meruahnya peristiwa seni budaya yang dihelat dalam rentang waktu yang berdekatan, kini ada nama lama yang ingin mengambil peran. Kristiyanto mencoba mencuri jeda atas keriuhan seni rupa Yogyakarta hari ini. Di sinilah kita bisa menyadari bahwa semua berhak tampil, semua memiliki peluang untuk mengada. Dan seniman tidak pernah mengenal kata pensiun atau golden age (usia emas dalam berkarya). Keberadaan atau eksistensi seniman akan diukur oleh kemampuannya untuk terus menghasilkan karya. Dan kualitas seniman antara lain dapat dipertimbangkan dari seberapa besar dia secara kreatif menggali kebaruan-kebaruan dalam karyanya.

Pameran ini bukan sekadar mengeluarkan ekspresi “tanda rasa” namun juga memberi indikasi kuat bahwa ada tanda untuk ingin terus mengada. Selamat datang kembali, mas Kristiyanto. Waktulah yang akan bicara… ***

Kuss Indarto, penulis seni rupa, pengelola situs www.indonesiaartnews.or.id

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?