Lampu Kuning untuk Kampus Seni Rupa
Oleh Kuss
Indarto
Jarum
waktu menuding ke angka 17.22 wib. Dalam sore yang gerah itu, di halaman Galeri
R.J. Katamsi, ISI Yogyakarta, pembukaan pameran seni rupa “Ars Longa Vita Brevis”, dimulai. Seorang mahasiswi manis yang
berperan sebagai MC mengawali acara formal yang seharusnya—sesuai waktu yang
tertera di undangan—dimulai pukul 16.00 wib. Waktu yang molor hingga 1,5 jam
tampaknya masih menjadi istiadat yang lazim, bahkan di lingkungan kampus. Sore
itu, rektor ISI Yogyakarta, Prof.Dr. M. Agus Burhan M.Hum baru bisa hadir
sekitar pukul 17.00 wib karena harus merampungkan sebuah rapat di rektorat. Pun
dengan bintang sore itu, Drs. Wardoyo Sugianto dan Drs. Soewardi M.Sn. yang
kasip datang. Sementara Dra. Nunung Nurdjanti M.Hum malah berhalangan hadir.
“Ars Longa
Vita Brevis” dihelat
sebagai penghargaan dan momentum pelepasan bagi tiga orang dosen Fakultas Seni
Rupa, ISI Yogyakarta menuju masa pensiun. Drs. Wardoyo Sugianto (dosen seni
lukis) dan Drs. Soewardi M.Sn. (dosen seni patung) telah mengabdi pada
almamaternya lebih dari 38 tahun, sementara Dra. Nunung Nurdjanti M.Hum, dosen
seni grafis, secara resmi telah purna tugas setelah mengabdi selama 41 tahun. Ketiganya
memasuki masa purna tugas antara tahun Juli 2014 dan Agustus 2015 lalu. Namun
perhelatan penting berupa “pameran penghormatan terakhir” setelah mengabdi
sebagai staf pengajar baru lakukan pada tanggal 20-26 Mei 2016.
Menurut I Gede Arya Sucitra, S.Sn.,
M.A., Kepala Galeri R.J. Katamsi, “Tradisi penghormatan dosen yang telah pensiun
di lingkungan FSR ISI Yogyakarta ini telah berlangsung beberapa tahun terakhir
ini. Hanya saja, tidak dilakukan secara sendiri-sendiri saat dosen bersangkutan
purna tugas, tetapi menanti dosen lain yang juga memasuki masa pensiun dalam
rentang waktu yang berdekatan”. Sebelum pameran ini dihelat, ada acara lain
yang juga dilakukan sebagai penghormatan, yakni pra-pameran berujud melancong
bersama-sama para dosen lain ke Blitar. Di salah satu kota di Jawa Timur itu,
para dosen antara lain mengunjungi situs kuno Candi Panataran untuk berkarya
bersama. Dan hasilnya menjadi materi untuk pameran “Ars Longa Vita Brevis” ini.
Ada 24 staf pengajar FSR ISI
Yogyakarta yang terlibat sebagai peserta pameran ini, mulai dari rektor Prof.Dr.
M. Agus Burhan, Dr. Edi Sunaryo, Agus Kamal, Nano Warsono, Andre Tanama, Setyo
Priyo Nugroho, hingga Satrio Hari Wicaksono—staf pengajar yang lulusan FSRD
Institut Teknologi Bandung. Mereka, sebagian besar, banyak mengeksposisikan
karya berupa lukisan, sketsa, drawing
hingga fotografi hasil melancong ke Blitar.
Tajuk pameran “Ars Longa Vita Brevis”—hidup itu pendek, (namun) seni itu
abadi—seperti memberi penegasan lain bahwa “berkarya seni itu waktunya pendek,
namun seni itu abadi”. Ya, karya seni itu akan menuju ke keabadian kelak. Namun
waktu yang dimiliki untuk berkarya seni tak selalu panjang dan melimpah ruah,
seperti yang dialami oleh sebagian dosen—bahkan dosen seni rupa di lingkungan
ISI Yogyakarta. Pameran ini, juga bila menilik data dan materi yang tertera
dalam katalogus, seperti memberi garis representasi atas sepak terjang para
dosen yang telah tersita waktunya untuk urusan kepengajaran dan birokrasi,
sehingga waktu luang untuk berkarya kian menyempit—untuk tak mengatakan tidak
ada. Ini menjadi hal yang ironis di tengah tuntutan pada para mahasiswa untuk
terus mengembangakan kreativitas. Ya, bukan hanya “hidup itu pendek”, namun
diduga “hidup untuk berkarya seni pun waktunya juga pendek”.
Wardoyo Sugianto memamerkan
karya-karya lukis bertarikh 1979 dan 1999. Selebihnya adalah montage foto-foto parodi dan gojekan (becandaan) yang dibuatnya
dengan memanfaatkan kecanggihan Photoshop.
Karya lukis bertajuk “Fresh Drink”
(cat minyak, 90 x 90 cm, 1999) menawarkan tapak-tapak kejayaan kemampuan
teknisnya yang mumpuni dalam menggeluti teknik seni lukis klasik. Wardoyo
memiliki kepiawaian menaklukan teknik ini setelah dia selama hampir 2 tahun
mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda belajar pada Psychopolis Academie
voor Bee dende Kunsten, dan melukis klasik (renaissance)
pada pelukis Diana Vandenberg di den Haag, Belanda, pada tahun 1982-1983. Sementara
dari tema visual, lukisan ini dapat dirujuk sebagai perca dari keriuhan
surealisme (khas) Yogya yang sempat booming
pada akhir dasawarsa 1980-an hingga awal dasawarsa 1990-an. Sayang sekali tak
ada lagi artifak visual yang bisa mempertontonkan lebih kaya dan lengkap atas
jejak-jejak kesenimanan Wardoyo. Tampaknya, faktor produktivitas berkarya
menjadi persoalan di sini, sehingga, lagi-lagi tali birokrasi yang menjerat
waktu para dosen menjadi “kambing hitam” dalam keleluasaan berkarya. Dalam
katalog tertulis bahwa pameran terakhir yang diikuti Wardoyo ada di tahun 1998.
Hal serupa dialami oleh Nunung
Nurdjanti. Produktivitas dan kreativitasnya relatif belum kunjung menemukan
puncak pencapaiannya yang direspons dengan sangat antusias oleh publik. Karya-karyanya
pada kurun dasawarsa 2000-an banyak menyandarkan pada pola pemiripan dengan
karya-karya dosennya yang telah almarhum, maestro Widayat. Pola pemiripan itu
sebenarnya merupakan salah satu bahan kajian sebagai peneliti—dan itu berlanjut
menjadi “inspirasi” ketika Nunung berpraktik sebagai seniman.
Sementara Soewardi, relatif masih
berupaya untuk tetap aktif berkarya. Pengujung tahun 2015 lalu dia terlibat
dalam proyek seni JSSP (Jogja Street Sculpture Project) yang berlangsung di
Jalan Margo Utomo (d/h Jl. Mangkubumi) dan mendapat respons sangat antusias
oleh publik. Jejak kreatifnya dalam pameran ini terlacak dari sekitar 12 karya
patung dan drawing-nya yang dikreasinya antara tahun 1993 hingga 2004.
Sayang memang,
pameran ini seperti kurang terancang dengan sangat serius. Sosok ketiga dosen
yang telah purna tugas tersebut kurang banyak digali detail perjalanan kreativitasnya
dalam jagat seni rupa (apapun pencapaiannya), juga jejak rute pemikirannya
dalam dunia seni. Sebagai dosen tentu bisa diduga bahwa mereka telah memberikan
kontribusi pemikiran yang berkait dengan dunia seni dan kreativitas. Sebenarnya
ini lumrah, dan relevan dengan hal yang pernah dilontarkan oleh seorang
pendidik sekaligus seniman site-specific performance asal Kuba, Ernesto Pujol, yang membilang bahwa ada
tiga komponen yang sangat penting dalam relasinya dengan keberadaan sebuah
perguruan tinggi seni rupa, yakni: kurikulum, the faculty (para dosen atau staf pengajar), dan komunitas
masyarakat. Dua hal pertama, yakni kurikulum dan para dosen, menjadi hal yang
diharapkan untuk memberi kontribusi besar kepada para anak didik dan komunitas
masyarakat di lingkungannya. Maka, ketika para dosen belum mampu meneorikan dan
mempraktikkan secara proporsional atas ilmu pengetahuan yang dimilikinya, atau
apalagi tidak berusaha untuk memperbarui terus-menerus sistem pengetahuannya, kelak
para mahasiswa bukan tidak mungkin akan tertular ekses dari ketakmampuan
tersebut.
Pada
kasus di FSR ISI Yogyakarta, tampaknya, kini tengah menghadapi problem, antara
lain regenerasi staf pengajar yang berkemampuan lebih dalam dunia praksis seni
rupa. Hingga awal dasawarsa 1990-an, kampus seni rupa yang lahir tahun 1950 ini
masih diampu oleh para dosen yang memiliki kelas tersendiri (bahkan istimewa)
dalam dunia seni rupa Indonesia. Di sana ada nama-nama yang telah mumpuni dalam
peta seni rupa seperti H. Widayat, Fadjar Sidik, I Nyoman Gunarsa, Aming
Prayitno, Subroto Sm, Sudarisman, dan lainnya, juga kritikus seni Sudarso Sp.
MA. Selepas mereka satu persatu pensiun, regenerasi dosen baru tetap
berlangsung, namun dalam pola dan sistem seleksi yang “berbeda”. Para dosen
yang memiliki pencapaian penting dalam dunia seni rupa di level nasional
apalagi internasional belum banyak yang masuk dalam jajaran di FSR ISI
Yogyakarta. Dosen-dosen yang berkelas sebagai seniman bintang, apalagi berlevel
“the legend” tidak terjaring dalam sistem seleksi.
Mungkin
ini bukan sebuah krisis bagi FSR ISI Yogyakarta, namun bisa menjadi lampu
kuning yang mesti diwaspadai. Kita bisa paham bahwa kampus seni yang baik
adalah tempat inkubasi bagi bakat-bakat mahasiswa untuk bisa berproses dan
berkembang, bukan malah sebaliknya menjadi “puso”
(gabuk, tidak bisa dipanen) karena
bakat-bakat itu tidak dikelola dengan baik dan tidak berada dalam genggaman
tangan yang tepat. Pendidikan seni rupa adalah tempat mahasiswa memahami peta
persoalan seni rupa, tidak hanya problem seni semata, namun juga berbagai
kemungkinan seni itu dibangun, dinilai dan kelak diapresiasi. Dan pada titik
inilah para staf pengajar diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan tersebut. Kalau
harapan-harapan itu kering keberadaannya, maka apa boleh buat, kampus hanya
menjadi satu titik kecil bagi mahasiswa calon seniman, yang kemudian mencari
kanal-kanal lain dalam artworld yang
bisa memfasilitasi kebutuhannya untuk berkembang. Dalam artworld yang kian jauh berkembang dan dinamis, sayang sekali kalau
dunia kampus, termasuk FSR ISI Yogyakarta tidak mengantisipasi kemungkinan
lubang dan bopeng dalam dirinya. Mari terus peka dan bergerak karena ars itu longa, sayang kalau tidak banyak berbuat karena vita itu brevis… ***
Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.