Keajaiban Subuh dari Syafi'i

Awal dasawarsa 2000-an, seorang sahabatku mengontrak rumah di kawasan perumahan Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Sebagai keluarga dengan satu anak belia, hidupnya relatif cukup berat. Apalagi dia masih merintis usaha yang tidak biasa dijalankan oleh banyak orang, lahan tersebut terasa berat untuk bisa mendapatkan reward ekonomis dengan cepat dan membanjir.

Bank sudah disambanginya untuk menambal kebutuhan hidup dan usahanya. Teman-teman dekatnya pun beberapa sudah dimintai bantuan keuangan ketika dia menemui kesulitan. Ini memang gejala lumrah yang akan menimpa banyak orang.

Suatu ketika dia betul-betul menemui ujian berat. Dia butuh uang cash Rp 15 juta untuk meneruskan usahanya yang belum berkembang itu, juga untuk menambal cicilan utang. Namun seperti ada tembok kokoh, besar dan kuat persis di hadapannya. Dia sulit menembus, menemukan solusi.

Maka, jadwal rutinnya untuk sholat berjamaah di masjid di dekat rumah pun makin rajin dilakukannya. Ini antara tindakan ritual relijius dan aksi berpikir keras menemukan cercah solusi. Dia betul-betul ingin deraan dan jeratan masalah keuangannya segera teratasi. Dia merasa telah berusaha keras dengan bisnisnya namun belum kunjung melampaui masalah.

Hingga kemudian, di hari yang genting bagi masalahnya, sahabat saya itu mendapatkan jawaban dari Tuhan. Pagi-pagi, dia sholat subuh berjamaah di masjid. Selesai sholat, dengan jantung yang berdegup sangat kencang dan pikiran penuh kecamuk kekacauan, dia pelahan berjalan membuntuti salah seorang tetangganya. Dia bukan barisan orang kaya di perumahan itu, tapi sahabat saya menduga-duga dia bisa menjadi pangkal pemecahan masalahnya.

Sahabat saya membuntuti hingga tetangga itu membuka pagar rumahnya. Merasa bahwa proses membuntuti itu tercium oleh sang tetangga, dia lalu menyapa terlebih dahulu, "Selamat pagi, pak!"

Karena merasa aneh dan kaget ada tamu pagi-pagi, dia menjawab dengan agak keras, "Ya, selamat pagi. Ada apa, mas? Maaf, saya tak bisa lama-lama menemui Anda karena harus ke airport pagi ini!"

Dengan segera sahabat saya mengutarakan maksudnya untuk meminjam uang Rp 15 juta. Dia sadar bahwa dia adalah orang baru di lingkungan perumahan itu, mengontrak lagi, dan belum lama menetap di situ. Bahkan dengan tetangga yang disambanginya pagi itu, dia malah belum pernah berkenalan. Hanya sebatas berjabat tangan seusai sholat. Maka tindakan meminta bantuan itu terasa sebuah kengawuran yang kurang berdasar.

"Mas, nama Anda siapa?" tanya sang tetangga. "Saya X, pak!" jawab sahabat saya.

"Begini, mas. Saya akan penuhi permintaan Anda. Tapi karena saya harus ke Jakarta pagi ini, dan tak punya ATM, maka saya akan membuat surat kuasa yang harus kita tanda tangani untuk pengambilan uang di bank nanti. Silakan. Jangan pikirkan kapan Anda akan mengembalikan uang itu. Terserah, kapan Anda merasa sudah mampu untuk itu. Okey?"

Sahabat saya gembira tapi juga bergetar. Perjalanan pulang menuju rumah yang hanya puluhan meter dari rumah tetangga pagi itu terasa penuh cahaya keajaiban. Langkahnya gontai karena tak percaya dengan keajaiban subuh itu. Solusi kesulitan hidupnya kala itu adalah tetangga yang selama itu dirasakan sulit untuk ditemuinya.

Sang tetangga dari sahabat saya itu adalah Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif, yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah. Panjang umur dan sehatlah selalu, Buya. Doa terbaik untuk Anda. ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?