Filantropi(sme) Lewat Seni
Lukisan karya Godek Mintorogo
Lukisan karya Oetje Lamno
Lukisan karya Oetje Lamno
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran amal (charity exhibition) "Seni untuk Kemanusiaan" yang diselenggarakan oleh YAKKUM di Museum Affandi, 20-24 Januari 2017)
Dalam pandangan yang sudah sangat klasik, fungsi seni rupa itu ada dua hal besar, yakni (1) fungsi personal atau individual, dan (2) fungsi sosial. Fungsi individual merupakan fungsi seni rupa yang hanya dapat dinikmati oleh para kreator karya seni rupa itu sendiri, yakni para seniman.
Pada konteks fungsi individual ini pun bisa dibedah lagi dalam dua perkara, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan sebagai pemenuhan kebutuhan emosional. Untuk kebutuhan fisik, kita paham bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki banyak kebutuhan, salah satunya adalah kebutuhan fisik. Dalam hal ini, seni rupa terapan (applied art) yang menjadi salah satu pengembangan cabang seni berdasar kegunaannya dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya, kita temukan berbagai penerapan seni dalam bidang arsitektur (bangunan), furnitur (kelengkapan), tekstil, serta seni kerajinan, dan masih banyak lagi. Sedangkan pada kebutuhan emosional, kita bisa mafhum bahwa dunia dan karya seni rupa juga bisa sebagai perangkat untuk memenuhi kebutuhan emosional seseorang. Dari artifak karya seni kita bisa menduga-duga bahwa karya tersebut dibuat dengan landasan perasaan gembira, sedih, cinta, benci, jengkel dan lainnya. Pada banyak karya seni rupa yang ada dewasa ini kadang bahkan sangat kentara menggambarkan kondisi emosi(onal) si pembuatnya. Hal ini antara lain tampak pada karya dengan jenis seni rupa kontemporer.
Fungsi kedua, yakni fungsi sosial bisa diandaikan bahwa karya seni rupa selain dapat bermanfaat bagi para pembuatnya, karya tersebut juga berpotensi mempunyai banyak fungsi bagi masyarakat. Fungsi ini disebut fungsi sosial. Kalau dibedah lebih jauh, fungsi sosial dari seni rupa tersebut antara lain: (a) Sebagai sarana rekreasi. Ini membantu kondisi psikologis seseorang agar terhindar dari banyak masalah seperti kejenuhan, stress, trauma, dan lain sebagainya. Selain dengan melihat seni yang tercipta di/oleh alam, penyegaran dalam menghilangkan rasa jenuh, stres, trauma tersebut juga dapat dilakukan dengan menilik hasil karya seni rupa yang ada di ruang pameran. Ini sama dengan menyimak pagelaran musik. (b) Sebagai sarana komunikasi bahasa. Ini dimungkinkan karena bahasa seni rupa relatif merupakan bahasa universal yang bisa dipahami oleh banyak orang. Penggunaan bahasa seni yang tertuang dalam sebuah karya seni (rupa), bisa menjadi alternatif solusi bahasa universal yang justru dapat dimengerti tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu.
Berikutnya, (c) Fungsi sosial di bidang pendidikan. Seni rupa juga diandaikan dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan. Melalui seni, pendidikan diberikan melalui bahasa universal yang terkandung pada nilai estetika sebuah pertunjukan seni. Fungsi seni rupa dalam hal ini adalah sebagai pembimbing dan pendidikan mental bagi seseorang serta dapat menumbuhkan pengalaman etika dan estetika. (d) Fungsi sosial seni di bidang rohani. Fungsi seni rupa yang terakhir adalah sebagai sarana kerohanian. Tidak sedikit orang yang bersepakat bahwa keindahan sejatinya bersumber dari Tuhan. Hal-hal yang bertalian dengan nilai agama adalah inspirasi seni yang berfungsi untuk membekaskan pengalaman-pengalaman religi. Oleh karena itu, melalui seni, peningkatan kerohanian seseorang diharapkan akan bisa lebih efektif dibandingkan penyaluran yang bebas dari nilai-nilai seni.
Paparan singkat di atas memberi gambaran bahwa seni rupa berpotensi untuk bersentuhan dengan publik dan untuk kepentingan umum atau sosial. Pemahaman awal dan klasik tentang fungsi sosial karya seni seperti yang terpapar di atas, sesungguhnya, masih mendasar dan masih mengikat kuat pada aspek diri pribadi seniman.
Pemahaman tentang fungsi sosial tersebut akan meluas ketika karya seni rupa mulai “diserahkan” kepada masyarakat untuk diresepsi (diserap). Setidaknya ada dua hal penting masyarakat meresepsi karya, yakni meresepsi secara apresiatif, dan meresepsi secara transaksional. Resepsi secara apresiatif mengandaikan bahwa masyarakat umum menyaksikan karya dengan menyerap nilai-nilai substansial yang ada dalam karya seni tersebut. Dengan demikian masyarakat akan memiliki pertambahan perbendaharaan nilai setelah menyaksikan karya seni rupa. Namun ini juga akan berlapis-lapis persoalannya karena semuanya tergantung pada banyak hal, seperti sejauh mana karya seni itu menawarkan nilai dan mutu karya, dan sebaliknya, seberapa dalam daya serap apresian/penonton dalam mengapresiasi karya. Apapun, ketika seseorang atau sebuah masyarakat telah masuk ke ruang seni atau mau dan mampu menyaksikan karya seni, pertambahan nilai humanismenya diduga akan bertambah. Minimal, ada alternatif sumber pengayaan nilai kemanusiaan, yakni lewat karya seni.
Sedangkan resepsi secara transaksional mengandakan bahwa karya seni rupa mampu dipertukarkan dengan pendekatan harga dan dengan transaksi ekonomis. Ini bisa merupakan kelanjutan secara kronologis dari resepsi apresiatif—lalu bergerak ke resepsi transaksional. Namun bisa juga keduanya bisa tak memiliki titik relasi yang utuh. Contohnya ditandai dengan adanya kolekdol seni (bukan kolektor murni, tapi plesetan dari “kolektor” yang ngedol atau menjual kembali karya seni itu setelah harya karya seniman tertentu naik jadi mahal di pasaran). Apapun, ketika karya seni mampu diminati, diapresiasi dan kemudian memiliki daya untuk diserap secara transaksional, maka bisa disimpulkan bahwa karya seni pun memiliki fungsi ekonomis.
Apakah karya seni mampu bertaut dalam banyak hal, yakni memiliki fungsi personal, fungsi sosial dan fungsi ekonomis? Pasti bisa, dan ini telah terjadi berabad-abad lalu, dan kian menderas dalam puluhan tahun terakhir di manapun di dunia, termasuk di Indonesia. Karya seni sebagai ekspresi personal telah dapat memberikan fungsi sosial bagi orang lain—dalam pengertian lebih luas—dan kemudian mampu diapresiasi dengan relatif baik, dengan harga ekonomis (tinggi) oleh masyarakat. Inilah perputaran fakta yang terjadi dalam dunia seni rupa.
Pertanyaan lanjutan atas gejala tersebut adalah, apakah karya seni juga mampu dijadikan sebagai perangkat untuk praktik filantropis(me)? Jawabannya: sangat mungkin! Kita pahami bersama bahwa kata filantropi berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yakni “philein” berarti cinta, dan “anthropos” berarti manusia. Maknanya kurang lebih adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusian, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal. Biasanya, praktik filantropi ini dilakukan oleh orang yang berkecukupan yang menyumbangkan sebagian dari harta atau kepemilikannya bagi kaum yang lebih berkekurangan dan membutuhkan bantuan tersebut.
Dalam dunia seni rupa, sebetulnya, praktik filantropisme ini ada dan terjadi di banyak Negara, termasuk di Indonesia. Hanya bedanya, di Negara-negara maju seperti di kawasan Eropa dan Amerika atau sebagian di Asia seperti Jepang, pola dan praktiknya telah terorganisasi dengan baik. Sementara di Indonesia, praktik filantropisme dalam dunia seni masih bersifat insidental dan nyaris tanpa pelembagaan yang jelas dan solid. Sehingga kurang banyak peristiwa tentang hal itu yang tersiar dan terdokumentasi dengan baik, serta bisa terakses dengan mudah leh publik.
Pameran amal dengan tendensi sebagai praktik filantropisme seperti pameran “Seni Untuk Kemanusiaan” ini kiranya sangat menarik kehadirannya. Ia bisa menjadi momentum yang tepat untuk mengukuhkan keterlibatan seniman dan dunia seni sebagai bagian penting dari praktik filantropisme yang solid dan terkoordinasi antarkelompok dalam masyarakat. Selama ini sudah lazim menjadi “identifikasi” yang cukup melekat bahwa kelompok seniman (terkadang) kurang mampu melakukan pengorganisasian dengan baik dan bisa dipertanggunjawabkan dengan penuh. Ini bukan sebuah sikap yang meremehkan para seniman atau pekerja seni. Namun justru sebuah koreksi, cermin bersama, dan awal dari upaya untuk bisa menyadari bahwa kolaborasi antarkelompok dalam masyarakat sangatlah penting adanya.
Kerjasama antara pihak Yakkum, para seniman seni rupa, dan Museum Affandi dalam pameran amal ini bisa dijadikan trigger, atau semacam pemicu awal—bahwa praktik filantropisme bisa dilakukan dengan sistem, koordinasi, pengorganisasian dan perencanaan hingga presentasi yang baik. Perhelatan ini tidak harus bersifat incidental atau dilakukan ketika—misalnya—tiba-tiba ada musibah atau bencana alam di suatu kawasan, dan harus dibantu secara finansial dan sosial. Pameran amal seperti yang tengah berlangsung saat ini bukanlah tipe reaksi penuh ketergesa-gesaan seperti itu. Ketergesaan, kita tahu, biasanya berpotensi menghasilkan kerja yang kurang maksimal.
Maka, sekali lagi, perhelatan ini menarik dan tak selayaknya berhenti di titik ini. Ketersambungan dengan perhelatan serupa ke depan, bahkan mungkin dilakukan secara periodik, taka da salahnya untuk diagendakan. Sungguh menarik ketika dalam pameran ini hadir para seniman yang sudah bisa dipercaya komitmennya seperti mas Totok Bukori, mas Agustioko, Bayu Wardhana, mbak Dyan Anggraini, Klowor Waldiono, pak Godot Sutejo, Joko Sulistiono, Otje Lamno, Godek Mintorogo, Januri, Eddy Sulistyo, Ampun Sutrisno, Kukuh Nuswantoro, Widarsono Bambang. Juga sosok mami Kartika Affandi dan keluarga yang penuh hangat mengakomodasi acara ini.
Akhirnya, kita semua hanya bisa terus berharap bahwa kesetiakawanan social yang telah tumbuh dalam pola relasi social kemasyarakatan di Indonesia bisa makin dikuatkan dengan kehadiran acara ini. Pada seniman, aktivis social, para pencinta seni, dan segala lapisan masyarakat bersama-sama memperjuangkan kebersamaan. Dan seni rupa menjadi salah satu perangkat penting dalam upama menjalin kebersamaan itu. Semoga abadi. ***
Kuss Indarto, pemerhati seni, tinggal di Yogyakarta.