Lelaku: Menggali Rasa

Salah satu karya S.Priadi atau Supriadi yang dipajang dalam pameran "Lelaku: Menggali Rasa"

Oleh Kuss Indarto 

(Catatan ini telah dimuat dalam katalog pameran tunggal S.Priadi, "Lelaku: Menggali Rasa", di Taman Budaya Yogyakarta, 14-24 Januari 2017)

SUPRIYADI atau S. Priadi, saya kira, sedang masuk dalam fase yang penting pada perjalanan kesenirupaannya. Bagi sebagian seniman, pameran tunggal adalah momentum untuk menunjukkan setidaknya dua hal mendasar. Pertama, kepada publik atau masyarakat seni yang menopangnya, ini menjadi forum bagi seniman untuk melakukan “absensi diri” bahwa dirinya masih atau pantas masuk sebagai bagian dari seniman yang aktif. Ini problem eksistensi(al) yang memang selayaknya harus terus diketengahkan kepada publik. Bukan sekadar eksistensi personal, namun lebih pada eksistensi yang bertumbuh dari pencapaian kekaryaan. Eksistensial yang dilambari oleh problem estetik. Dari problem eksistensial ini kelak akan dibaca oleh publik dengan pemberian identifikasi dan bahkan labeling (pelabelan)—semua itu tergantung pada segenap kode dan tanda yang dihadirkan oleh sang seniman. 

Kedua, kepada dunia internal seniman sendiri, sebuah pameran penting kehadirannya untuk memberi jejak tanda atas fase-fase, tahap-tahap atau periode-periode yang pernah ditorehkannya dalam perjalanan kreatif dan kesenimanannya. Dalam pembacaan internal seniman, seyogyanya, dia bisa memberi pemetaan atas dunia gagasan dan pencapaian teknis yang ada dalam perjalanan kekaryaan tersebut. Apakah dunia gagasan dalam benak dan imajinasinya itu bergerak lambat, mentok, mampat, atau malah berjalan terlalu cepat beriringan dengan dunia teknis kekaryaannya yang entah cepat penguasaannya, fasih menghadapi beragam mediam dan teknis, atau sebaliknya justru sang seniman kurang adaptif dengan masalah teknis tersebut. Dengan pameran (tunggal), seniman bisa memberi tengara atau tanda atas perjalanan fase-fase kekaryaannya (kalau ada) sehingga bisa menjadi masukan baginya dan menjadi bahan hendak kemana kreativitas diarahkan.

S. Priadi sendiri, sebelum ini, pernah menghelat pameran yang cukup penting bagi kesenimanannya di tempat yang sama, di Taman Budaya Yogyakarta, pada 18-24 April 2009 lalu. Waktu itu dia pameran bertiga bersama Risdianto dan Yusuf Santosa dengan tajuk “Sebuah Proses”. Trio seniman itu belum pernah melanjutkan untuk berpameran lagi. Kedua rekan S. Priadi bahkan “tumbang” oleh keadaan dan situasi di dalam dan di luar dirinya, yang memaksanya untuk tidak lagi bersikukuh dengan pilihan hidup menjadi seniman. Risdianto terbang ke mancanegara untuk bekerja yang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia seni rupa. Demikian pula dengan Yusuf Santosa yang memilih berbisnis yang tak memiliki relasi dengan seni rupa—tentu demi alasan survival menghadapi kerasnya hidup. S. Priadi-lah yang bertahan. Setidaknya setelah tujuh tahun berselang dari pameran “Sebuah Proses”, rute proses yang sesungguhnya betul-betul masih dijalani dan dihayati oleh S. Priadi. Saya tak ingin berkesimpulan bahwa S. Priadi menjadi “pemenang” di antara ketiga trio tersebut, namun kita bisa memberi penilaian awal bahwa ada upaya keras,  konsistensi dan kegigihan pada diri S. Priadi untuk terus merunuti pilihan hidupnya sebagai seniman. Ini tentu tidak mudah.

Pameran bertiga “Sebuah Proses” waktu itu, sebenarnya, sudah terlihat momentumnya yang kurang tepat. Tahun itu gejolak pasar yang ditengarai sebagai booming seni rupa sudah redup, kehilangan gemuruh dan hiruk-pikuknya. Pelaku pasar seni rupa, mulai dari kolekdol, kolektor sejati, galeri, rumah lelang dan semacamnya, sudah beringsut meninggalkan “medan pertarungan pasar” yang sempat terguyur oleh efek domino dari “Asian art buble” yang diawali di negeri Tirai Bambu, China, pada akhir paruh pertama dasawarsa 2000-an.

Kalau S. Priadi relatif “selamat” meniti waktu dan masalah ketimbang dua rekan lainnya itu, apa yang bisa dibawanya dalam pamerannya kali ini? Itulah yang saat ini, dan terus dilakukan olehnya: meniti proses. Kalau tema kuratorialnya kali ini mengambil tema besar tentang “Lelaku”, kiranya hal itu merupakan pertautan atas tema pamerannya saat bertiga tahun 2009, “Sebuah Proses”. Ini menjadi “lelaku” bagi dirinya sebagai manusia dan seniman untuk menyadari bahwa seluruh perjalanan kemanusiaannya berisi proses terus-menerus. Proses mencari sesuatu yang tak berkesudahan. Dalam terminologi Jawa ada kata “laku” yang secara sederhana diartikan sebagai “cara hidup”, dan bentuk “perluasan” kata tersebut menjadi “lelaku” yang kurang lebih dimaknai sebagai “perjalanan menempuh hidup dengan cara, lewat, dan menuju titik kebenaran”. Pemahaman ini terkadang akan memberi titik beda antara nilai-nilai relijiusitas dan spiritualitas. Karen Amstrong dalam “Sejarah Tuhan” (2013) memberi gambaran yang agak sepadan dengan hal itu dengan menyatakan bahwa orang-orang beriman tahu secara teoritis Allah itu sama sekali di luar jangkauan, bersifat transenden (berjarak dengan manusia), namun manusia berasumsi bahwa manusia itu tahu persis siapa “Dia”, seolah tahu persis apa yang dipikirkannya, apa yang dicintainya, dan yang diharapkannya, dan seterusnya.

Menariknya, bagi masyarakat Jawa, kata “lelaku” itu menjadi kata kerja aktif ketika tertulis sebagai “nglakoni”, dan ini—bagi masayarakat mdern dewasa ini—terasa menjadi sebuah praktik mistik yang dianggap menjauhi logika. Namun justru di sini letak titik menariknya. Di Jawa, orang yang sedang “nglakoni”, misalnya dengan melakukan “laku” prihatin, bermeditasi, membiasakan diri berkonsentrasi di tempat sepi sering mendapatkan pengalaman atau firasat akan kehadiran (“dzat”) yang Ilahi. Kehadiran “dzat” yang menyapa orang Jawa itu bukan muncul melalui akal budi dan pancaindera manusia, melaui rasa, sebagai indera keenam. Masyarakat Jawa tradisional memberi tempat begitu penting atas kehadiran rasa. Indera rasa ini sungguh-sungguh sangat dilibatkan dalam kepribadian Jawa, tidak kalah pentingnya dengan pikiran, sehingga ia sangat berperan untuk melihat laku  dan perilaku orang Jawa secara umum. Seseorang bisa disebut sebagai sudah dewasa ketika ia mampu mengendalikan dan menghadikan rasa dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengungkapkan dirinya dan dalam komunikasi dengan Gusti Allah, sebagai Rasa Sejati. Tak heran bila ada frasa yang cukup populer bagi orang Jawa, yakni “… yen tak rasak-rasakke..”, sebagai alternatif dari frasa “…yen tak pikir-pikir…”—yang lebih berorientasi pada aspek logika saja. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) juga memberi penegasan bahwa “makin halus rasa seseorang, makin mendalam pengertiannya, makin luhur sikap moralnya, dan indah segi luarnya”. Dugaan-dugaan atas dunia batin orang Jawa inilah yang kemudian dikorelasikan oleh realitas pada hasil proses penghalusan dunia lahir seperti tarian klasik, music gamelan, tembang macapat, batik dan lainnya. Itu semua adalah artifak penting yang lahir dari dunia batin orang Jawa dengan kepemilikan atas rasa yang telah mendewasakan mereka. Dan rasa itu merupakan hasil dari upaya “lelaku”.

Saya kira S. Priadi tidak secara ekstrem sedang mempraktikkan lelaku seperti yang saya gambarkan di atas. Atau apalagi melakukan praktik lain dari upaya nglakoni yang dalam kepercayaan orang Jawa banyak sekali ragamnya. Kita tahu ada praktik nglakoni dengan puasa yang tujuannya dipercaya untuk membersihkan diri dan batin seseorang. Praktik nglakoni itu antara lain: mutih, yakni puasa dengan tidak makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Lalu ada ngeruh (puasa dengan hanya memakan sayuran atau buah-buahan saja), ngebleng (menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari, tanpa makan, minum, keluar dari rumah atau kamar, tanpa seksual, hingga 24 jam), patigeni (hampir sama dengan ngebleng, tapi tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali selama sehari semalam), ngelowong (puasa tanpa makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja dalam sehari semalam, tapi diperbolehkan keluar rumah), ngrowot (puasa yang dilakukan dari subuh sampai maghrib dan hanya boleh makan buah-buahan, misalnya pisang 3 buah saja).

Ada pula nganyep (puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya), ngidang (hanya diperbolehkan memakan dedaunan dan air putih), ngepel (puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja), ngasrep (hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari), nyenin-kemis (puasa ini dilakukan hanya pada hari Senin dan Kamis, seperti anjuran rasul Muhammad SAW), wungon (puasa tidak dibolehkan makan, minum dan tidur selama 24 jam), tapa jejeg (tidak duduk selama 12 jam), lelono (melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh), kungkum (bugil dan berendam dalam air dengan posisi bersila dengan kedalaman air setinggi leher, biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai), ngalong (tapa dengan posisi tubuh kepala di bawah dan kaki di atas seperti kalong/kelelawar), ngeluwang (tapa dengan menguburkan diri di pekuburan atau tempat yang sangat sepi).

***

Pameran kali ini S. Priadi mengetengahkan visualitas yang beragam meski kalau dicermati dengan seksama, sebenarnya, bertumpu pada satu titik persoalan yang ingin diperbincangkan, yakni spiritualitas. Dikatakan ada keberagaman visualitas karena setidaknya ada tiga gaya pelukisan atas karya-karya yang ditorehkan di atas kanvas.

Pertama, ada satu karya yang menggambarkan kebanggaan bangsa Indonesia, candi Borobudur, yang diekspresikan dengan penyusunan struktur blok-blok warna secara acak namun ritmis. Karya ini merupakan “warisan” yang tersisa dari kecenderungan karya S. Priadi yang dipresentasikan dalam pameran “Sebuah Proses” tahun 2009 lalu. Berikutnya, kedua, ada karya ekspresif semi-abstrak. Satu karya jenis ini terdiri dari gabungan sekian banyak kanvas kecil. S. Priadi mengawali proses karya ini dengan torehan, guratan, dan cipratan warna yang ekspresif sesuai rasa yang dikehendakinya. Kadang bahkan memunculkan accidental form karena memang tidak dirancang untuk menggambar(kan) sebuah bentuk apapun. Baru pada akhir dari proses tersebut, citra bentuk yang dibuat dengan membuat cetakan gambar lalu menyemprotkannya dengan cat kaleng—seperti yang lazim dilakukan oleh para stencil artist(s). Bentuk-bentuk yang dibuat dengan teknik semprot itu adalah citra tentang masjid, pura, kuil, vihara, dan lainnya. Lalu yang ketiga, seniman asal Lumajang, Jawa Timur ini melukisi kanvas dengan teknik saputan langsung yang agak kasar. S. Priadi melukiskan subyek benda yang ada dalam kanvas dengan realitistik, namun sengaja tidak dengan sangat detil. Usapan dan guratan kuas yang dilakukannya pun seperti sengaja tidak dengan saputan halus atau apalagi dengan teknik chiaroscuro—sebuah teknik untuk mendatangkan efek pencahayaan dan volume yang detil yang dikembangkan pada jaman renaisans.

Sementara secara tematik karya-karya tersebut—seperti diinginkan oleh senimannya—mencoba menarasikan tentang hal yang berkait dengan spiritualitas. Ini memang cukup berisiko akan menjebak karena pada beberapa karyanya S. Priadi menggambarkan lanskap perihal rumah ibadah seperti masjid, pura, vihara dan lainnya. Juga ada panorama tentang suasana keriuhan manusia yang dicitrakan sedang melakukan prosesi ibadah pada agama atau kepercayaan tertentu. Kalau dipahami secara “tekstual” mungkin ada benarnya dugaan tentang penggalian atas tema relijiusitas atau perihal agama dalam karya-karya seniman otodidak ini. Namun, lebih jauh dari itu, S. Priadi seolah ingin menekankan bahwa nilai-nilai spiritualitas itu lebih luas cakupannya ketimbang relijiusitas atau hal yang berkait dalam agama. Relijiusitas dirasakannya sebagai sebuah kotak-kotak yang bisa berlainan “standarnya” ketika berhadapan dengan agama yang berbeda. Sementara nilai-nilai spiritualitas melampui kotak-kotak agama tersebut. Dan seperti secuil disinggung di atas—bagi orang Jawa—nilai spiritualitas tersebut adalah siasat atau cara untuk mencari dan mendekatkan kehidupan seseorang manusia pada kebenaran—salah satu nilai hakiki dalam hidup. Atas tema ini, S. Priadi berupaya untuk menampilkan potongan panorama yang menggambarkannya sebagai peristiwa yang bersifat kultural, bukan rigid menyorot aspek ritual keagamaannya.

Kita bisa menyimak salah satu karya untuk sedikit kita kuliti. Misalnya lukisan yang mempertontonkan upacara melasti yang berlangsung di sekitar Tanah Lot, salat satu ikon penting dari pulau Bali. Melasti atau makiyis adalah upacara yadnya yang memilki makna untuk menyucikan diri secara lahir dan batin. Dengan proses penyucian itu maka manusia akan mampu membangun kualitas meningkatkan keheningan pikiran yang lebih baik.  Ritual ini juga dihelat untuk memberi kesucian atas jagat raya ini, yang dilakukan dengan prosesi simbolik lewat labuh gentuh dengan labuhan sesaji ke laut. Upacara melasti bagi penganut agama Hindhu di Bali secara umum juga dilakukan dengan cara menyucikan seluruh arca, pratima, nyasa, pralingga. Ini sebagai wujud atau sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasiNya. Acara ini berlangsung setahun sekali, sebagai bagian dari acara peringatan Nyepi.

S. Priadi menggambarkan orang-orang yang terlibat dalam upacara melasti itu sebagai sekumpulan manusia yang bergerak di pantai yang segera menyucikan diri dan bumi dengan membuang kotoran ke laut. Lelaku kumpulan manusia ini tergambar berarak dengan berbagai asesoris pelengkapnya yang khas: umbul-umbul, panji-panji, penjor, leak, ikat kepala pada tiap sosok laki-laki, beragam sesaji yang disunggi di kepala para perempuan, dan sebagainya. Seniman ini, sebagai orang Jawa Timur, pernah beberapa kali secara langsung menyimak peristiwa melasti dengan dengan mata kepala sendiri. Karya ini adalah kesaksian visual S. Priadi atas momen sosial-religi yang kemudian dipindahkan dalam kanvas dalam momen artistik. Pandangan artistiknya mungkin saja masih terbilang turistik dan belum memiliki banyak pendalaman seperti hanya peneliti sosial atau warga setempat. Namun, itulah kerangka dan konsep tentang lelaku yang dimiliki oleh S. Priadi ketika menyaksikan peristiwa di Pelau Dewata tersebut.

Karya-karya lain mengisahkan tentang kuil, pulau sunyi dengan vihara di dalamnya, pemandangan sebuah kawasan kota tua dengan arsitektur kuno khas China atau Asia Timur. Seniman kelahiran Jakarta ini melukiskan panorama-panorama tersebut dengan modal dasar dari pengalamannya menonton film atau youtube tentang subyek itu. Sejauh ini, dia belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke daratan China atau kawasan Asia Timur—seperti subyek yang dilukisnya. Fakta seperti ini memang unik, sekaligus aneh meski bisa berisiko ketika dihadapkan atas persoalan detail. Misalnya tentang detail pada sebuah bangunan atau arsitektur lokal, karakter flora yang berkembang di kawasan tersebut, pola bukit atau gunung, dan sebagainya. Ini tak beda jauh dengan contoh yang cukup monumental, yakni sastrawan Asmaraman Kho Ping Ho dari Solo, Indonesia. Pengarang cerita silat terkenal di tanah air ini selalu mengambil pengisahan dalam lakonnya dengan setting di negeri China. Hampir semua tokoh dalam lakon yang diangkatnya memiliki nama Tionghoa—yang kadang sulit dihafalkan oleh orang Indonesia. Namun, anehnya, Kho Ping Ho sama sekali tidak pernah pergi ke tanah leluhurnya tersebut—bahkan hingga wafat dan menutup semua lakon silat yang ditulis dan membesarkan reputasinya.

Dengan demikian, maka karya-karya S. Priadi yang bersubyek visual tentang bangunan dan lanskap tentang negeri China tak bisa sepenuhnya dinilai dari masalah kemampuannya mengarap secara detil, atau apalagi aspek filosofis yang ada di dalamnya. Namun kita bisa menyimak aspek lain di luar problem detil visualnya, yakni soal nilai-nilai spiritual yang mungkin bisa ditangguknya. Atau mudahnya, aspek spirit (semangat) yang ada dalam karya tersebut. Misalnya spirit tentang kebersamaan, tentang unity pada sekumpulan bangunan yang dikurung secara ritmis dan harmonis oleh bebukitan, dan lainnya.

***

Sampai di titik ini, perbincangan bisa berlanjut dengan pertanyaan: pada problem apakah tema tentang lelaku ini memiliki relevansi? Dugaan pun akan bertumbuk pada realitas personal sang perupa sendiri. Tentu saja dugaan ini bisa ditampik sama sekali, atau sebaliknya, bisa dijadikan landasan atas kemungkinan yang berkait dengan tema itu.

S. Priadi, lelaki kelahiran 12 Juli 1975 ini mengaku bahwa nama yang menempel sebagai identitas diri sekarang ini sedikit berbeda dengan nama yang awal diberikan oleh orang tuanya. Tahir Supriyadi, nama pertama yang diberikan. Setelah menginjak usia beberapa tahun, kondisi kesehatannya tidak sangat sempurna. Supriyadi kecil tidak jarang sakit-sakitan. Kondisi ini meresahkan kedua orang tuanya. Oleh salah satu tetua di lingkungannya, disarankan agar nama anak kecil itu perlu diubah karena dianggap terlalu “membebani” si anak. Kata “tahir” berarti bersih, suci atau murni. Sementara kata “su” berasal dari bahasa Jawa yang berarti baik, dan kata priya atau priyadi mengindikasikan sebagai pria atau laki-laki. Kata atau nama Supriyadi kiranya telah cukup kalau anak ini kelak diekspektasikan sebagai “pria yang baik”. Kata “tahir” tampaknya terlalu superlative, berlebihan, maka terlalu memberatkan si bocah. Dan dengan demikian perlu dikoreksi.

Demikianlah, anak ketiga dari empat bersaudara keturunan pasangan Slamet Sumaryo dan Indun ini awalnya bertumbuh di sekitar Menteng, Jakarta—bersama dua kakaknya: Hendra dan Sri Sumarni, serta seorang adik laki-laki bernama Irfan. Namun masa kanak-kanaknya di metropolitan tidak genap karena kemudian kawasan mereka tinggal (di bantaran sungai) itu terkena banjir besar. Pemerintah daerah tak mengizinkan lagi untuk tinggal di kawasan tersebut. Maka, pulanglah keluarga Slamet Sumaryo yang sehari-hari menjai seorang sopir taksi itu ke Klakah, Lumajang, Jawa Timur.

Saat S. Priadi menginjak kelas I SMP, hempasan masalah pun mendera. Kedua orang tuanya berpisah. Anak-anak mengikuti sang ibu, sementara ayah mereka berdiam di kecamatan berbeda. Beruntunglah bahwa semua anak ini mampu menyelesaikan studi hingga di sekolah menengah atas—sama dengan rata-rata anak di lingkungannya. Pilihan S. Priadi adalah masuk di Jurusan Otomotif di STM Negeri Klakah, Lumajang, dan diselesaikannya pada tahun 1993. Usai itu, sebagai anak yatim, tuntutan untuk hidup mandirilah yang membuatnya harus secepatnya mencari penghidupan sendiri, yang tak lagi merepotkan orang tua, khususnya sang ibu.

Dia bekerja di kotanya, Lumajang, juga di kota yang lebih besar, Surabaya. Lelaku sebagai buruh dialami sejak lulus sekolah. Tahun 1997 garis nasib pun dilengkapinya dengan merantau menjadi seorang TKI (tenaga kerja Indonesia) di negeri jiran, Malaysia. Pengalaman jauh di rantau dilakoni hingga tahun 2000 setelah dia memutuskan untuk pulang. Dan pilihan sementara adalah menjadi buruh serabutan/pocokan yang mengerjakan apapun.

Tahun 2001 adalah tahun penting baginya ketika memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta untuk bekerja pada seseorang yang mempekerjakan sebagai penggarap kerajinan figura cermin. Dari situlah kemudian laju naik-turun, zigzag dan lompatan-lompatan perjuangan dan nasibnya bergerak mengikuti waktu. Ada suatu masa ketika dia tinggal di kawasan Nitiprayan, Kasihan, Bantul, yang membuatnya kenal dengan dunia seni rupa. Tembok keterbatasan awalnya tampak besar karena dia tidak pernah mengenyam pendidikan seni rupa. Itu tak menyurutkan dirinya yang secara pelahan masuk di dunia tersebut. Semuanya datang tanpa diduga.

S. Priadi sesekali main ke sebuah studio yang tak jauh dari rumah kontrakannya, dan melihat beberapa pekerja seni sedang menuntaskan lukisan orderan. Setelah sering main, sedikit demi sedikit dia memperhatikan orang-orang di ruang kerja itu yang bekerja mengecat, memberi warna tertentu pada kanvas, ada yang memasang kanvas pada spanram, ada yang membuat packing untuk lukisan yang telah dipesan pencinta seni, dan lainnya. Lama-lama, pemilik studio tersebut—Chusing namanya—menawarkan padanya untuk bekerja di situ. S. Priadi pun menerima. Dan pergulatan di dunia seni rupa pun diawalinya dari menjadi seorang tukang yang membantu mengerjakan hal mendasar dalam praktik kerja seni rupa. Tentu banyak hal yang dikerjakan di situ masih jauh dari kapasitasnya sebagai seniman. Dia merasakan betul sebagai tukang yang mendukung jadnya lembaran-lembaran lukisan pesanan yang kemudian beredar kemana-mana.

Sosok S. Priadi masih mengingat betul betapa dia melakukan kerja awal di situ sebagai tukang mengeblok warna pada sebuah kanvas sebelum akhirnya hasil blok-blokan warnya itu diteruskan oleh orang lain yang lebih piawai untuk dibentuk menjadi lukisan yang lebih kompleks, kaya warna, dengan bentuk-bentuk yang juga beragam. Baginya, di situlah “sekolahan” yang turut menyumbang kemampuannya. Ada rekan-rekan yang sangat diingatnya yang menjadi seniornya di situ, seperti: Sarindi, Slamet, Heri Tarjo, Boeyan, Yusuf, dan lainnya. Masih pula diingatnya lukisan pertama yang dibenahinya karena ada kerusakan, yakni lukisan seniman Dipo Andy—yang sekarang menjadi salah satu perupa cukup ternama di negeri ini.

Pengalaman inilah yang secara pelahan memberikan nyali dan semangat untuk menjadi seniman. Tentu upaya ini tak mudah, karena dia harus melewati sekian banyak proses dan lelaku yang kompleks dan penuh masalah. Ketika dia mulai lancer melukis dengan ide sendiri pun, tantangan untuk berani memutuskan menjadi seniman seutuhnya tidak bisa langsung dilakoni dengan konsisten dan keteguhan hati. Apa boleh buat, ada banyak problem mendasar yang mesti dia penuhi sebagai orang perantauan. Misalnya, pada tahun-tahun sebelum dan sesuah berpameran bertiga di  Taman Budaya Yogyakarta, dia membantu sebagai artisan bagi Butet Kertaradjasa yang juga rajin melukis. Sebagai artisan, dia banyak menimba pengetahuan atas kemampuan Butet yang masih piawai melukis meski waktunya kini banyak tersita di luar dunia seni rupa. Bertahun-tahun kemudian S. Priadi membantu proses kelahiran karya seniman lain seperti Nasirun juga Faizal. Semua itu dilakukan dengan kesadaran bahwa itulah bagian dari lelaku-nya sebagai manusia yang ingin melabeli diri dengan sebutan seniman. Sungguh tak mudah.

Kalau kali ini dia tampil dengan identitas diri S. Priadi sebagai seniman, dia mengakui masih memiliki banyak bopeng yang perlu ditambal dan diparipurnakan di sana-sini. Dia paham dengan adanya batas-batas yang pasti dimiliki oleh setiap seniman—apapun kualitas dan levelnya. Kesadaran bahwa dirinya berangkat sebagai seniman bukan dari jalur akademik, tapi dari jalur otodidak, tentu, akan membawa konsekuensi dan risiko tersendiri. Meski sudah barang pasti dualisme antara akademik-otodidak ini terkadang pada satu dua kesempatan mulai basi dan kurang menemukan relevansinya. Seni rupa, atau publik seni rupa, tetap menantikan kualitas pencapaian karya seniman, bukan berdasar dari mana dia berasal. Tapi kalimat tadi bukan “pil penenang” yang meninabobokan karena seniman seperti S. Priadi memang harus bekerja lebih keras lagi. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dicermati: mulai dari menyeimbangkan antara kemampuan teknisk berkarya dan kepiawaian dalam menglah dunia gagasan bagi karyanya. Kemudian ada tuntutan secara langsung atau tak langsung untuk membangun jejaring kerja agar keberadaan diri dan karyanya bisa lebih luas cakupannya, kemampuan untuk melakukan pricing management yang baik, dan sekian banyak persoalan yang lain. Jadi seniman memang tidak mudah, bung. Ini perlu lelaku yang secara terus-menerus, konsisten, proporsional dalam bersikap, dan lainnya. Tapi tetaplah optimis! *** 

Kuss Indarto, kurator seni rupa.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?