Saleh dan Luna
Menengok karya-karya Sang Pemula
dari Philipina, Juan Luna de San Pedro y Novicio. Juan hidup hampir satu
generasi setelah Sang Pemula dari Indonesia, Raden Saleh Syarief Boestaman.
Raden Saleh hidup antara 1811 dan wafat tahun 1880 ketika berusia 69 tahun.
Sementara Juan Luna lahir tahun 1857 dan meninggal karena serangan jantung di
usia 42 pada tahun 1899.
Karya-karya dahsyat keduanya tengah
dipamerkan di National Gallery Singapore, 16 Nov 2017 hingga 11 Maret 2018. Ada
banyak hal yang bisa dipelajari dari dua tokoh ini.
Misalnya tentang hasrat untuk memajukan diri dengan terus belajar. Raden Saleh
studi seni rupa di Belanda dan Jerman. Juan Luna belajar di Spanyol dan Italia.
Di sisi lain, Raden Saleh dianggap
sebagai priyayi yang akomodatif terhadap kepentingan negeri penjajahnya,
Belanda. Tapi anggapan itu bisa luntur ketika dia melukis "Penangkapan
Diponegoro" yang secara simbolik memberi perlawanan kultural terhadap
Belanda. Sedang Juan Luna yang karya-karyanya cukup kuat memunculkan atmosfir
dan wajah-wajah Eropa, sesungguhnya adalah aktivis politik yang ikut
memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Dia bahkan terlibat sebagai bagian dari
tim diplomatik untuk pemerintahan Filipino Revolusioner dan melakukan misi
negaranya ke Amerika Serikat dan lainnya.
Pameran ini unik: mempertemukan
Sang Pemula Indonesia dan Philipina, dan ketemu di Singapura. Mungkin keduanya
memang pernah mampir di Singapura untuk transit (naik kapal laut) sebelum ke
Eropa. Tapi, memang, pemerintah Singapura lewat National Gallery Singapore
tampak berambisi besar menjadi pusat perkembangan seni rupa Asia Tenggara.
Mereka sadar sejarah dan SDM seni rupanya lemah. Maka mereka menguatkan etalase
dan manajemennya untuk, antara lain, menghadirkan pameran yang berkelas.
Pameran ini penting untuk
pembelajaran sejarah, demi turisme, demi kesadaran bahwa karakter bangsa
(wuih...) perlu dikuatkan lewat karya seni budaya, dan sebagainya. Tampak sih,
pameran ini ramai pengunjung, bahkan riuh, kemruyuk, padahal saat saya nonton
hari Minggu kemarin, 28 Januari 2018, pameran sudah berlangsung hampir 2,5
bulan.
Unik juga, tak jauh dari negara
mungil ini, ada negeri yang kaya SDM seni, tapi pengelolaannya masih jauh dari
harapan, dan tak kunjung bisa belajar untuk maju. Uniknya lagi, di lingkungan
sendiri banyak pameran seni tapi ada beberapa seniman, guru seni atau dosen
seni pada malas nonton. Mungkin sudah ampuh hingga tak perlu asupan gizi seni.
Tahu-tahu hanya bisa "jalan di tempat". ***