Pindah Posisi
Hari itu, pertengahan 1994, saya minta ijin pada teman-teman satu
kelompok KKN (Kuliah Kerja Nyata, bukan Kejar-Kejar Nona) untuk balik ke
Yogyakarta selama 2 hari. Saya dibonceng naik sepeda motor oleh teman
dari desa Dawuhan, kecamatan Banyumas, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
lalu naik bus Mandala dari depan pasar Banyumas hingga ke Yogyakarta.
Bus padat penumpang. Kulihat nyaris semua tempat duduk telah terisi. Ada beberapa kursi kosong di bagian bagian belakang. Tapi kuputuskan untuk duduk di bangku paling depan, di sebelah kiri sopir, berdampingan dengan seorang bapak setengah umur.
Laju bus begitu cepat. Penumpang satu persatu bertambah lagi hingga ada beberapa orang yang berdiri di lorong bus karena bangku kosong tak tersisa lagi.
Pada satu tempat, bus kembali berhenti untuk menaikkan serombongan penumpang. Usianya beragam, tua dan muda. Beberapa detik setelah para penumpang baru itu naik dan bus kembali melaju, saya berkeputusan untuk memberikan tempat dudukku pada orang lain. Saya memilih berdiri bergerombol bersama penumpang lainnya (yang sama-sama berdiri) di bagian tengah bus. Sebetulnya saya tidak sedang bertindak heroik memberikan bangku itu pada orang lain. Tapi hanya merasa kurang nyaman karena di posisi dudukku itu terasa panas. Maklum, bus melaju ke arah timur hingga Yogyakarta, tentu akan terus menghadap sinar matahari hingga tengah hari.
Saya kurang tahu persis siapa orang yang mengambil alih posisi dudukku tadi. Kini saya sibuk memegang palang besi di bawah atap bus agar tidak terjatuh karena sang sopir mengemudikan kendaraan dengan kencang, belok kanan-kiri dengan tiba-tiba, pun sesekali mengerem mendadak.
Tak sampai 15 menit setelah saya beranjak dari kursi dan berdiri bergerombol di tengah bus, tiba-tiba tubuh bus seperti tak terkendali: kencang, zigzag tak karuan, suara rem berdecit keras, para penumpang teriak histeris, dan... breezzzggh@#*~☆hkkxx!!!!!
Saya terjatuh bersama puluhan penumpang lain. Situasi kalang-kabut. Jerit tangis penumpang perempuan dan anak-anak memenuhi ruangan bus tanpa AC itu. Pun dengan teriakan beberapa penumpang laki-laki yang memaki perilaku sopir.
Pelan-pelan, satu persatu penumpang bisa mengendalikan tubuh dan diri mereka, termasuk saya. Kami semua saling menolong dan lalu keluar dari bus untuk menenangkan dan menyelamatkan diri. Untunglah saya baik-baik saja, tak ada luka sedikit pun kecuali kondisi psikologis yang merasa telah terancam oleh kecelakaan.
Bermenit-menit kemudian saya baru tahu bahwa ternyata tadi ada seekor kuda penarik dokar yang mengamuk di jalan. Kusir tak bisa mengendalikan hingga kemudian kuda dan dokarnya lari kencang di tengah jalan. Bus yang saya tumpangi juga melaju sangat kencang, dan berlawanan arah dengan kuda ngamuk tadi.
Sopir bus mencoba mengerem mendadak tapi tak mampu menghentikan bus seketika. Keputusannya adalah banting stir ke kiri, masih dalam kecepatan tinggi, dan akhirnya menabrak pohon besar. Ya, bagian depan-kiri bus rusak cukup parah. Kaca pecah dan terberai kemana-mana.
Saya berusaha menengok bagian depan bus di tengah kerumuman orang. Mereka sedang sibuk menolong dua penumpang yang terhimpit tubuh bus. Ya, dua orang itu berdarah-darah dan tak lagi sadar. Entah pingsan atau lebih parah lagi. Saya ngeri karena di posisi mereka itulah saya sempat duduk puluhan menit untuk kemudian pindah dan berdiri berdesakan.
Saya hanya bisa diam dan bersyukur: hanya dalam hitungan beberapa detik saya seperti dibimbing oleh sebuah kekuatan yang menggerakkan otak dan tubuh untuk berpindah posisi, dari yang nyaman ke situasi yang kurang nyaman, tapi justru mampu menyelamatkan dari celaka.
Pengalaman itu memberi tambahan kesadaran pada saya betapa sebuah keputusan yang baik atau sebaliknya, kadang ditentukan hanya dalam hitungan beberapa detik. Hal yang didahului dengan ketidaknyamanan, kepahitan, menjengkelkan, kadang justru menjadi siasat Tuhan untuk menguji kita untuk masuk dalam lorong situasi yang jauh lebih baik. Kita pasti akan atau telah menemui keajaiban (besar atau kecil) dalam hidup.
Terima kasih, Tuhan. ***
Bus padat penumpang. Kulihat nyaris semua tempat duduk telah terisi. Ada beberapa kursi kosong di bagian bagian belakang. Tapi kuputuskan untuk duduk di bangku paling depan, di sebelah kiri sopir, berdampingan dengan seorang bapak setengah umur.
Laju bus begitu cepat. Penumpang satu persatu bertambah lagi hingga ada beberapa orang yang berdiri di lorong bus karena bangku kosong tak tersisa lagi.
Pada satu tempat, bus kembali berhenti untuk menaikkan serombongan penumpang. Usianya beragam, tua dan muda. Beberapa detik setelah para penumpang baru itu naik dan bus kembali melaju, saya berkeputusan untuk memberikan tempat dudukku pada orang lain. Saya memilih berdiri bergerombol bersama penumpang lainnya (yang sama-sama berdiri) di bagian tengah bus. Sebetulnya saya tidak sedang bertindak heroik memberikan bangku itu pada orang lain. Tapi hanya merasa kurang nyaman karena di posisi dudukku itu terasa panas. Maklum, bus melaju ke arah timur hingga Yogyakarta, tentu akan terus menghadap sinar matahari hingga tengah hari.
Saya kurang tahu persis siapa orang yang mengambil alih posisi dudukku tadi. Kini saya sibuk memegang palang besi di bawah atap bus agar tidak terjatuh karena sang sopir mengemudikan kendaraan dengan kencang, belok kanan-kiri dengan tiba-tiba, pun sesekali mengerem mendadak.
Tak sampai 15 menit setelah saya beranjak dari kursi dan berdiri bergerombol di tengah bus, tiba-tiba tubuh bus seperti tak terkendali: kencang, zigzag tak karuan, suara rem berdecit keras, para penumpang teriak histeris, dan... breezzzggh@#*~☆hkkxx!!!!!
Saya terjatuh bersama puluhan penumpang lain. Situasi kalang-kabut. Jerit tangis penumpang perempuan dan anak-anak memenuhi ruangan bus tanpa AC itu. Pun dengan teriakan beberapa penumpang laki-laki yang memaki perilaku sopir.
Pelan-pelan, satu persatu penumpang bisa mengendalikan tubuh dan diri mereka, termasuk saya. Kami semua saling menolong dan lalu keluar dari bus untuk menenangkan dan menyelamatkan diri. Untunglah saya baik-baik saja, tak ada luka sedikit pun kecuali kondisi psikologis yang merasa telah terancam oleh kecelakaan.
Bermenit-menit kemudian saya baru tahu bahwa ternyata tadi ada seekor kuda penarik dokar yang mengamuk di jalan. Kusir tak bisa mengendalikan hingga kemudian kuda dan dokarnya lari kencang di tengah jalan. Bus yang saya tumpangi juga melaju sangat kencang, dan berlawanan arah dengan kuda ngamuk tadi.
Sopir bus mencoba mengerem mendadak tapi tak mampu menghentikan bus seketika. Keputusannya adalah banting stir ke kiri, masih dalam kecepatan tinggi, dan akhirnya menabrak pohon besar. Ya, bagian depan-kiri bus rusak cukup parah. Kaca pecah dan terberai kemana-mana.
Saya berusaha menengok bagian depan bus di tengah kerumuman orang. Mereka sedang sibuk menolong dua penumpang yang terhimpit tubuh bus. Ya, dua orang itu berdarah-darah dan tak lagi sadar. Entah pingsan atau lebih parah lagi. Saya ngeri karena di posisi mereka itulah saya sempat duduk puluhan menit untuk kemudian pindah dan berdiri berdesakan.
Saya hanya bisa diam dan bersyukur: hanya dalam hitungan beberapa detik saya seperti dibimbing oleh sebuah kekuatan yang menggerakkan otak dan tubuh untuk berpindah posisi, dari yang nyaman ke situasi yang kurang nyaman, tapi justru mampu menyelamatkan dari celaka.
Pengalaman itu memberi tambahan kesadaran pada saya betapa sebuah keputusan yang baik atau sebaliknya, kadang ditentukan hanya dalam hitungan beberapa detik. Hal yang didahului dengan ketidaknyamanan, kepahitan, menjengkelkan, kadang justru menjadi siasat Tuhan untuk menguji kita untuk masuk dalam lorong situasi yang jauh lebih baik. Kita pasti akan atau telah menemui keajaiban (besar atau kecil) dalam hidup.
Terima kasih, Tuhan. ***