Tijitibeh
Dua puluh tahun lalu, mulai 21 Mei 1998, Prof. Dr. B.J. Habibie menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia. Itu kejutan sejarah yang mungkin tak pernah disangka bahkan oleh Habibie sendiri. Menjadi wakil presiden seolah adalah puncak karier politik manusia Indonesia di masa rezim Orde Baru. Presidennya “harus” Soeharto, dan wakil boleh siapa saja.
Habibie naik menjadi presiden untuk menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 sekitar pukul 10.00 wib. Tapi tak disangka juga, itulah titik penting buyarnya hubungan personal antara Soeharto dan Habibie yang telah dibangun selama setengah abad. Soeharto pertama kali mengenal Rudy (sebutan Habibie) ketika dia berpangkat letnan kolonel dan bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1948. Kala itu Rudy berusia 12 tahun dan Soeharto 27 tahun. Sang letkol saat itu tergabung dalam Brigade Mataram dan bertugas di Makassar, yang markasnya di Jalan Maricaya berseberangan dengan rumah dinas ayah Habibie.
Soeharto, pada puluhan tahun berikutnya selalu disebut sebagai profesor oleh Habibie. Ini bagian dari penghormatan dan kekaguman anak asal Pare-pare, Sulsel itu. Sementara Soeharto menganggap Habibie seperti anak emas (di luar anak biologisnya) karena kecerdasannya. Maka secara pelahan posisi strategis diberikan untuk Habibie, hingga puncaknya ketika jabatan wakil presiden disampirkan di pundaknya.
21 Mei 1998 adalah kekecewaan terbesar dalam sejarah hubungan Soeharto dengan Habibie. Dia mengundurkan diri sebagai presiden, namun Habibie dengan tenang tetap menggantikannya. Padahal sang Smilling General itu berharap Habibie juga mundur sekaligus—bagian dari keutuhan paket Dwi Tunggal Orde Baru yang pungkasan. Soeharto berharap prinsip “kebersamaan” dalam khasanah budaya Jawa, yakni tijitibeh juga berlaku pada Habibie. Tijitibeh itu mati siji mati kabeh, mati satu mati semuanya, atau mundur satu ya mundur semuanya.
Kemarahan itu diterapkan Soeharto dengan tidak pernah lagi menemui Habibie. Bahkan telpon pun berusaha terus untuk ditolak. Saat menjelang meninggalnya tahun 2008, saat di ruang ICU sebuah rumah sakit, bahkan pihak keluarga Soeharto konon menolak kunjungan Habibie untuk menjenguk langsung. Pencipta pesawat CN 235 itu hanya sampai di ruang tunggu VIP dan tidak diperkenankan untuk bertemu langsung dengan Sang Profesornya. Rupanya Soeharto (dan keluarganya) begitu sakit hati dan mungkin dendam atas keputusan Habibie yang tidak mau tijitibeh.
Dari kabar angin, saya pernah mendengar cerita bahwa konon akhirnya Habibie bisa menelpon Soeharto meski sebentar. Dan salah satu kalimat Soeharto begitu menusuk nuraninya: “Habibie, suatu ketika kamu akan menjadi orang yang kesepian di dunia”. Ya, seperti sebuah kutukan atau ancaman.
Soeharto akhirnya meninggal pada 27 Januari 2008 atau hampir 10 tahun setelah turun tahta. Dua tahun berikutnya, tahun 2010, sang istri tercinta, Ainun Habibie juga meninggal. Itu menjadi pukulan psikologis yang begitu dahsyat bagi Habibie. Ainun yang telah mendampingi dengan setia dan bersama dalam suka dan duka selama 45 tahun akhirnya berpulang dan meninggalkannya dalam kesepian. Mungkin benar Soeharto, saat ini Habibie tengah menyusuri ujung kehidupan dengan melewati pematang kesepian yang menusuk batinnya.
Hal yang juga menusuk batin kita, minimal saya, adalah betapa politik bisa merubuhkan bangunan hubungan persahabatan dengan keji—meski bangunan itu telah ditanam lima puluh tahun sebelumnya. Hubungan Soeharto dan Habibie adalah pengalaman pahit yang bisa menjadi buku pelajaran penting bagi kehidupan kita. ***