Maria Madeira, Perupa Timor Leste Pertama di Venice Biennale: “Saya Selalu Memikirkan Dunia yang Lebih Baik”
Venice Biennale 2024 telah berlalu. Perhelatan besar seni rupa dua tahunan itu berlangsung 20 April hingga 24 November 2024. Di forum itu, untuk pertama kalinya seniman negara tetangga Indonesia, Timor Leste, mendapat tempat di biennale seni rupa tertua di dunia tersebut. Perupa Timor Leste yang mendapat panggung terhormat itu adalah Maria Madeir. Karya-karyanya banyak mengungkapkan problem sejarah yang menyakitkan bagi masyarakat Timor, terutama kaum perempuan.
Madeira salah satu perupa kontemporer terkemuka di Timor-Leste yang mewakili negaranya di Venice Biennale ke-60 tahun 2024. Karyanya di paviliun Timor Leste dikurasi oleh Natalie King. Perempuan kelahiran tahun 1969 ini mengetengahkan karya seni instalasi berjudul Kiss and Don't Tell. Karya ini menampilkan ruangan yang terdiri dari 25 panel lukisan yang ditambatkan oleh gumpalan tanah merah dan ditaburi sirih pinang yang disemprotkan langsung dari mulut sang seniman. Tanda lipstik setinggi lutut mengacu pada sesuatu yang ditemukan Madeira di sebuah kamar di desanya Gleno di Ermera, Timor, yang pernah digunakan sebagai ruang penyiksaan selama pendudukan Indonesia. Madeira menyatakan, “Pria berjuang dan kami selamanya bersyukur. Jangan Lupa: perempuan juga berjuang. Dan kami selalu bersyukur. Karena laki-laki berperang dengan senjatanya, tetapi perempuan berperang dengan tubuhnya.”
Memori masa kecilnya yang penuh keriuhan musik dan kreativitas yang menanamkan rasa cinta pada Madeira. Ayah dan kakeknya adalah pemahat kayu dan pembuat drum serta pedang tradisional. Namun invasi Timor oleh Indonesia pada tahun 1975 membuat Madeira (kala itu berusia 6 tahun) dan keluarganya diterbangkan ke Portugal pada tahun berikutnya, di mana ia menghabiskan sebagian besar waktunya selama delapan tahun di kamp pengungsi yang dikelola oleh Palang Merah Internasional di pinggiran kota Lisbon, Portugal.
Di sana ia bergabung dengan paduan suara Timor dan menemukan kenyamanan dan kebanggaan tampil di hadapan penonton Timor dan internasional. Dia berkomentar, “Dalam banyak hal, paduan suara menyelamatkan saya, dan saya percaya bahwa itu adalah salah satu alasan utama saya menjadi seorang seniman visual. Pada tahun-tahun inilah saya memahami dan menyadari kekuatan ekspresi kreatif.”
Ketika berusia 14 tahun, pada tahun 1983, Madeira dan keluarganya bermigrasi ke Australia. Memasuki dunia seni rupa akademik menjadi pilihannya. Dia lulus dengan gelar B.A. (sarjana muda) Seni Rupa dari Curtin University, Perth, Australia pada tahun 1991. Dua tahun kemudian ia menerima Diploma Pendidikan Pascasarjana (Jurusan Seni Rupa) dari almamater yang sama. Pada tahun 1996, ia memperoleh gelar keduanya, gelar B.A. dalam Ilmu Politik dari Universitas Murdoch. Pada tahun 2019, ia akhirnya memperoleh gelar pascasarjana (Doctor of Philosophy-Art) dari Curtin University di Australia. Antara tahun 1996 dan 2000, dia bekerja di Australia Barat sebagai guru seni sekolah menengah, tentu juga sebagai perupa, dan penasihat budaya untuk beberapa organisasi seni dan budaya. Antara tahun 2000 dan 2004, dia kembali ke Timor-Leste untuk menetap dan memainkan perannya dalam pemulihan, pembangunan kembali, dan pembangunan negara tercinta dan negara terbaru di Asia. Dia saat ini tinggal di Perth bersama pasangan dan putranya.
Di suatu sore yang cerah di bulan April 2024 di Spazio Ravà di Venesia, Maria Madeira menjinjing masa kelam dalam sejarah Timor ke masa kini, mengaktifkan ruang tersebut dan menyoroti pengalaman perempuan selama perjuangan kemerdekaan Timor.
Kalau menilik karya-karya Madeira publik bisa menemukan kekuatan yang ditemukan dalam karya-karya awal seperti “270+ The Santa Cruz Massacre” (1996). Instalasi tersebut memvisualkan mahkota logam untuk mengenang para pendukung damai pro-kemerdekaan yang terbunuh pada tahun 1991 ketika militer Indonesia melepaskan tembakan di pemakaman Santa Cruz yang menghebohkan dunia kala itu.
Pemanfaatan media dalam karya Madeira bersifat politis. Baginya, bahan-bahan dari negaranya, seperti pinang, pigmen alami seperti tanah merah Ermera pada karya “Kiss and Don't Tell”, serta tais (tekstil tradisional tenunan tangan), dan kerajinan menjahit, memberikan tenaga kerjanya, mentransformasikan lingkungan alam dan budaya rumah menjadi karya seni yang menggugah dan bermakna. Dalam balutan warna ungu, merah, jingga, dan kuning, ia mendokumentasikan kesedihan, kesakitan, dan ketabahan perempuan Timor, memberikan suara kepada banyak perempuan tak bersuara yang menderita, dan melanjutkan proses penyembuhan diri dan bangsanya yang telah melukai banyak orang di tahun-tahun pemerintahan kolonial.
Ketika mempersiapkan karya untuk Venice Biennale, di awal tahun 2024, Madeira dan Natalie King membincangkan perihal karya dan asal-usulnya dalam narasi, budaya, dan aktivitas panen di desanya. Natalie King sendiri adalah kurator, penulis, editor, dan guru besar di Melbourne University, Australia. Transkrip percakapan di bawah ini adalah versi diskusi yang telah diedit. Edisi aslinya diterbitkan dalam katalog Paviliun Timor-Leste Venice Bienalle 2024 dan diterbitkan ulang di Majalah Ocula.
***
Natalie King: Anda lahir di desa Gleno di wilayah Ermera, Timor-Leste. Bisakah Anda jelaskan beberapa tradisi budaya di sana dan bagaimana hal ini memengaruhi praktik seni Anda, khususnya penggunaan tais dan kisah penciptaan buaya oleh leluhur?
Maria Madeira: Masa kecil saya di Gleno, Ermera, sangat berkesan dan penuh dengan tradisi budaya. Beberapa kenangan paling awal yang sering saya bagikan dengan gembira kepada saudara-saudara saya adalah tentang kami yang hadir pada upacara adat seperti panen padi (Tebe Hare/Sama Hare dalam bahasa Tetun). Di sini, penduduk setempat biasa menginjak sekam padi sambil bernyanyi dan menari sepanjang malam. Saya dulu menyukainya karena lagu berirama tradisional, semua dinyanyikan dalam bahasa Tetun atau Mambai (bahasa setempat), ini membantu gerak fisik berirama yang diperlukan untuk kegiatan memisahkan bulir padi dari sekam dan batangnya. Upacara-upacara seperti ini seringkali mengharuskan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menggunakan kain tradisional Timor seperti tai untuk melakukan upacaranya.
Demikian pula, bercerita juga merupakan kelengkapan permanen dalam pendidikan yang saya dapatkan. Misalnya saja legenda buaya yang menurut cerita rakyat Timor-Leste bermula dari seorang anak laki-laki yang pertama kali membantu menyelamatkan seekor buaya. Kemudian si buaya membalas budi dengan membantu anak laki-laki tersebut melihat dunia, dengan menjadi Pulau Timor. Mitologi ini diceritakan terus-menerus kepada sebagian besar masyarakat Timor Timur sejak usia belia.
Natalie King: Bagaimana masa kecilmu. Apakah ada dunia kreatif di rumah Anda?
Itu betul-betul seperti sihir. Ayah saya sudah mempunyai kamera dan film untuk merekam kami bermain, melompat dan berenang di sungai. Kemudian, pada malam hari, kami akan memutar bioskop—film rumahan. Seluruh lingkungan akan datang untuk duduk dan menonton film rumahan tentang kami yang bersikap konyol di dalam air.
Saya lahir di dekat sungai. Karena terdapat banyak sungai dan danau di Ermera, kawasan ini cocok untuk perkebunan kopi. Bumi ini sangat kaya bukan hanya karena pertaniannya, tapi juga karena semangat warganya. Bumi ini begitu indah dan itulah sebabnya saya menyukai warna merah Kimberley di Australia Barat.
Kami juga tumbuh dengan musik. Kakek dan ayah saya menyukai musik. Ayah saya membeli beberapa gitar, dan kemudian saudara laki-laki saya mulai bermain. Mereka adalah musisi, gitaris, dan penulis musik yang luar biasa. Ayah saya adalah seorang perajin hebat yang memproduksi ukiran kayu, sedangkan kakek saya juga seorang pemahat kayu yang hebat. Dia membuat banyak surik, yakni pedang tradisional dan gendang yang indah. Ayah saya dan saya selalu memiliki minat yang kuat terhadap seni Pribumi.
Saya percaya bahwa pengalaman awal ini telah membantu saya untuk menghargai dan tumbuh dengan mempertimbangkan tradisi. Mereka telah menanamkan dalam diri saya pada pemahaman, cinta yang mendalam, dan nilai-nilai terhadap identitas budaya saya.
Natalie King: Pada tahun 1976, Angkatan Udara Portugis/Portugal mengevakuasi Anda dari Timor Barat setelah invasi Indonesia. Anda menghabiskan sebagian besar dari delapan tahun berikutnya di kamp pengungsi yang dikelola oleh Palang Merah di pinggiran Lisbon di Portugal di mana Anda bergabung dengan paduan suara. Bisakah Anda mendiskusikan bagaimana lagu dan nyanyian kolektif menjadi pelampiasan bagi Anda?
Ketika berada di kamp pengungsi, saya menjadi anggota paduan suara muda Timor Timur yang sukses bernama Coro Loro Sa'e, yang beranggotakan 30 gadis muda, putri dari keluarga pengungsi yang tinggal di Portugal. Paduan suara ini tampil secara ekstensif, terutama tarian dan nyanyian tradisional di seluruh Portugal dan negara-negara tetangga.
Menurut pemahaman saya, tujuan utama paduan suara ini adalah untuk memperkuat identitas budaya Timor-Leste sambil mengungkapkan dan membaginya dengan masyarakat lain. Ketika acara-acara budaya dan kemasyarakatan seperti pekan raya, saya memperhatikan bahwa saat lagu dan tarian tradisional dibawakan, sering kali hal tersebut menimbulkan tanggapan emosional, seperti rasa sedih dan bangga baik dari masyarakat Timor Timur maupun anggota masyarakat internasional. Reaksi seperti ini membuat saya menyadari pentingnya nilai, dampak, dan kekuatan bahasa kreatif. Dalam hal ini, musik dan tarian tradisional Timor Timur menjadi cara yang efektif dan efisien untuk mengungkap permasalahan kami dan memulihkan kembali rasa memiliki budaya kami).
Maka, pengalaman saya sebagai pengungsi dan penyanyi paduan suara Timor Timur Coro Loro Sa'e menjadi faktor mendasar dalam pembelajaran dan pertumbuhan karena mendorong saya untuk melihat lebih dekat latar belakang saya sebagai orang Timor, untuk menemukan siapa saya sebenarnya. Bagi saya, paduan suara sangat penting dalam memulihkan rasa berharga dan memiliki sebuah bangsa. Tiap kali tampil, saya merasakan kebahagiaan. Saya begitu bangga dan bebas. Seolah-olah saya sedang disembuhkan. Selain itu, menjauh dari kamp pengungsi untuk tampil berarti setidaknya kami akan diberi makan.
Dalam banyak hal, paduan suara adalah penyelamat saya dan saya yakin itulah salah satu alasan utama saya menjadi perupa. Pada tahun-tahun inilah saya memahami dan menyadari kekuatan ekspresi kreatif.
Natalie King: Bagaimana Anda menjadi seorang seniman? Apakah ada pencerahan?
Sepanjang ingatan saya, kreativitas selalu menjadi bagian dari pendidikan saya seperti halnya upacara adat, misalnya panen padi dan paduan suara.
Saat di kamp pengungsi, ibu saya gemar membaca majalah dan saya ikut membolak-balik halaman majalah tersebut. Suatu ketika saya lihat ada gambar pegunungan dan danau yang indah: Danau Louise di Kanada. Jadi itulah gambar berwarna pertama yang tidak akan pernah saya lupakan, karena itu membekas di kepala. Saya menyalin gambar Danau Louise ke sebuah halaman, dan saya sangat bangga. Di tempat saya dibesarkan, terdapat banyak air, jadi hanya dengan melihat air dalam jumlah besar di suatu lanskap, mengingatkan saya pada Ermera yang juga bergunung-gunung. Gambar air dan gunung sangat menawan.
Karya seni saya tumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun. Ini dimulai saat saya menjadi pengungsi dan menemukan kedamaian setiap kali saya menggambar dan membuat sketsa. Dengan kegembiraan dan dampak dari paduan suara, membuat saya lebih menghargai seni. Saya benar-benar terpikat oleh rasa sejahtera dan rasa berharga setiap kali berkreasi. Secara keseluruhan, itu adalah hasrat yang berkembang secara progresif.
Natalie King: Salah satu karya awal Anda, “270+ The Santa Cruz Massacre” (1996), adalah instalasi lantai yang menampilkan hiasan kepala tradisional perak kaibauk yang dikenakan oleh liurai Timor, berbentuk seperti tanduk kerbau dan dikonfigurasikan menjadi formasi silang. Bisakah Anda mendiskusikan karya ini?
Ini upaya untuk mencoba menjangkau dunia barat dan juga masyarakat Timor Timur. Saya selalu menggunakan material yang mudah dikenali. Saya menggunakan kaibauk untuk instalasi pembantaian Santa Cruz. Saya berbicara dengan kedua belah pihak. Saya dapat menjangkau dan berkomunikasi dengan keduanya. Harus ada pemahaman, tidak hanya pemahaman politik dan agama, tapi juga dalam tataran budaya. Saya menggunakan bahasa kreatif dan budaya yang kita gunakan untuk saling memahami, sejak zaman nenek moyang dan nenek moyang kita.
Ketika pembantaian Santa Cruz ditayangkan di televisi, saya berpikir, Anda adalah pahlawan dan pahlawan wanita. Pada saat itu, saya banyak melakukan protes terhadap rezim militer. Namun liputan media hanya sebatas tiga detik saja. Saya pikir ini membutuhkan lebih banyak. Kami perlu berbicara lebih banyak. Saya memberi tanda plus di lantai untuk mengatakan bahwa 270 lebih orang tewas dalam pembantaian Santa Cruz. Mereka adalah pahlawan. Mereka berhak mendapatkan pemakaman kenegaraan. Saya tidak berteriak. Karya senilah yang berbicara dan itu adalah alat yang ampuh.
Natalie King: Untuk Venice Biennale ke-60, Anda membuat pameran ansambel bertajuk “Kiss and Don't Tell”. Apa inspirasi instalasi ini dan peran aktivisme budaya?
“Kiss dan Don't Tell” merupakan sebuah inspirasi yang tumbuh dari kebutuhan untuk menceritakan beberapa kenyataan menyakitkan tentang sejarah perjuangan kemerdekaan Timor-Leste. Khususnya suara kelompok minoritas seperti perempuan.
Setelah kembali ke Timor-Leste, saya mengamati dan mengetahui tentang kekejaman yang dilakukan militer Indonesia terhadap perempuan Timor-Leste. Untuk menghormati mereka, saya pikir sangat penting untuk menceritakan kisah-kisah ini, demi menciptakan kesadaran bagi generasi mendatang. Para pria berjuang dan kami selamanya bersyukur. Jangan Lupa: perempuan juga berjuang. Dan kami selalu bersyukur. Laki-laki berperang dengan senjatanya, tetapi perempuan berperang dengan tubuhnya.
Saya tinggal bersama kakak dan adik ipar. Saat itu, saudara laki-laki saya bekerja di PBB sebagai penerjemah di unit kejahatan berat dan saya bergabung dengannya sebagai penerjemah. Sekitar tahun 2002, saya sedang tinggal di kamar tidur dan saya mendapati diri saya menatap noda lipstik. Ketika akhirnya mengerti, saya menyadari dia mencoba memberi tahu sesuatu. Saya memutuskan: Saya akan berbicara, saya akan mencium dan saya akan menceritakannya.
Singkatnya, karya “Kiss and Don't Tell” berbicara tentang dampak dan pengaruh perempuan Timor Timur pada masa pendudukan. Ini berbicara tentang betapa kuatnya perempuan dan peran perjuangan, ketahanan, kelangsungan hidup, dan kemenangan mereka mengarah pada kebebasan tanah air kami.
Natalie King: Pendidikan, pembelajaran dan pedagogi penting bagi Anda terutama sejak Anda menyelesaikan gelar PhD di Curtin University dan bekerja sebagai guru. Bisakah Anda jelaskan?
Ya, saya selalu menegaskan bahwa pendidikan adalah faktor kunci untuk pertumbuhan dan pemahaman pribadi terutama dalam kaitannya dengan Timor-Leste sebagai negara yang masih muda. Negara ini tersembunyi di balik pintu tertutup selama beberapa dekade ketika diduduki oleh negara asing. Akibat pendudukan, banyak warga Timor Timur yang terbunuh dan terpaksa mengungsi.
Bagi saya, hal ini sekali lagi merupakan dorongan untuk menemukan rasa memiliki dan bertahan dalam dunia budaya, politik, sosial dan agama. Sebagai seorang pengungsi muda, penderitaan ini menjadi semakin kritis. Selama masa-masa sulit itu, saya selalu memikirkan dunia yang lebih baik. “Hidup pasti lebih baik dari ini”, sering kali saya berpikir seperti itu dalam batin.
Bertalian dengan ekspresi artistik saya, pendidikan adalah perangkat untuk membantu saya tumbuh, mengembangkan dan memajukan perspektif praktis saya. Saya merasa sangat penting untuk menambahkan suara pada seni visual saya. Dan dengan pendidikan formal dan gelar PhD, saya bisa mendapat perhatian lebih. Saya diminta untuk berpartisipasi pada semua jenis acara seni dan budaya. Saya dapat mendidik di bidang praktis dan teoritis dalam seni. Saya didengar.
Lebih penting lagi, saya percaya bahwa pendidikan adalah sarana terbaik untuk menciptakan minat dan kesadaran tentang keragaman bahasa seni dan budaya saat ini. Misalnya, dengan mengajarkan seni kepada generasi muda tentang seni yang “up to date” dan “bahasa kekinian”, generasi muda akan menemukan keingintahuannya sendiri untuk melakukan perjalanan ke masa lalu guna menemukan dirinya di masa kini.
Natalie King: Ada materialitas yang unik dalam pekerjaan Anda. Sumber bahan yang Anda temukan seperti tai, tanah, sirih pinang. Bisakah Anda menguraikan bagaimana dan mengapa Anda memanfaatkan bahan-bahan yang ditemukan milik tanah air Anda?
Sejak kembali ke Timor-Leste pada awal tahun 2000an, saya segera mengetahui bahwa kami tidak memiliki toko perlengkapan seni yang layak di negara ini. Kami tidak memiliki Sekolah Seni resmi. Sebagai bentuk kelangsungan hidup saya berpikir, “Bagaimana dengan sumber daya alamnya?” pinang? Pewarna alami? Bumi merah? Bubuk batu? Bahkan barang-barang tradisional seperti kaibauk, dan tentu saja tekstil tradisional kita disebut tais.
Saya mulai menggunakan bahan-bahan ini dalam karya. Saya yakin ini sangat efektif. Pertama, karena saya dapat mengumpulkan material ini dengan mudah di seluruh negeri. Kedua, dan yang paling penting, dengan menggunakan benda-benda dan gambar-gambar khas Timor Timur, hal ini juga berarti berbicara kepada masyarakat Timor-Leste. Dengan demikian, setiap karya dapat membangkitkan minat dan keingintahuan dari tingkat nasional dan internasional. Hal ini membuat setiap karya seni menjadi lebih signifikan.
Dalam hal memanfaatkan tanah merah dari Ermera, saya telah memikirkan tentang langkah kaki yang Anda jalani dan ketika Anda merasakan sakit, Anda jatuh ke tanah. Bagi saya segalanya adalah tentang tanah, hal itu membuat kami tetap melekat sebagai orang Timor. Dalam upacara sakral dan cerita rakyat, kita berbicara tentang Ibu Pertiwi dan tali pusar kita dikuburkan di samping pohon yang paling menonjol sebagai hubungan abadi tertua kita dengan Ibu Pertiwi. Ermera memiliki bumi berwarna merah yang indah sehingga saya tidak bisa mengabaikannya. Ke mana pun saya pergi, saya terkena noda, jika pada hari yang sangat kering dan berangin, wajah Anda menjadi merah karena partikel lumpur.
Saya menyukai warna merah, biru dan kuning sebagai bagian dari komposisi karya, karena bagi saya mereka membawa banyak warna ungu ungu yang indah yang mewakili kesedihan. Anda mati untuk bertumbuh, untuk dilahirkan kembali. Para wanita sedang bersedih namun masih ada harapan karena kita berhasil mengatasinya. Jadi warna ungu sangat erat kaitannya dengan pekerjaan saya. Dan tentu saja jeruk, karena terlihat indah. Menurutku bumi merah adalah bumi merah. Bumi oranye adalah sebuah keajaiban.
Saya cenderung mengumpulkan sisa tai dari semua penjahitan, sisa-sisa penjahitan, seperti dari Timor Aid dan dari Alola Foundation. Saya punya banyak sisa kapas cantik yang bisa saya gunakan sebagai lukisan dengan pinset, sedangkan yang porsinya lebih besar, saya memotongnya dengan bibir. Luka di kehampaan adalah sebuah luka. Saya juga membakar bagian tepinya, lalu saya tempelkan tainya di latar belakang seperti gambar yang dibakar. Ini sangat efektif, seperti nyeri lembut.
Visi saya tentang Dili ketika saya pertama kali tiba adalah bau terbakar terutama seluruh rumah dan kayu. Kami harus menghadapi bau terbakar akibat amukan milisi. Kemudian, melalui api yang membara, saya melihat Dili tumbuh dari abu. Ada banyak rumah yang terbakar dan ditempati oleh PBB. Kami hidup dalam kondisi hancur, terutama akibat kebakaran. Tahun berikutnya bunganya tumbuh lagi, ini adalah kelahiran kembali dari abu. Saya cenderung menggunakan banyak elemen yang saya tahu akan membuat cerita lebih kuat, sehingga karya tersebut akan berbicara lebih keras jika saya menambahkan kebenaran. Pada akhirnya, air mata akan mengalir ke sungai dan sungai untuk menciptakan pertumbuhan. Dan itulah kekuatan kami.
Natalie King: Untuk Venice Biennale, Anda tampil pada hari pembukaan, menyanyikan lagu-lagu tradisional dalam bahasa Tetun sebagai bagian dari instalasi Anda dengan kisah-kisah tentang kesakitan, kehilangan, dan kesedihan. Apa pertunjukan merupakan cara untuk menyelesaikan siklus pameran?
Ya, untuk Venice Biennale, saya menampilkan pertunjukan untuk menyempurnakan cerita dan berbagi ide serta pengaruh di balik karya instalasi “Kiss and Don't Tell.”
Ide ini berkaitan dengan keyakinan saya dalam menambahkan suara pada visual. Dengan karya seni, saya selalu ingin bercerita. Saya selalu ingin menyampaikan pesan. Saya selalu berharap dapat membangkitkan respons emosional (baik positif maupun negatif). Karena ini cara saya berkomunikasi lebih mendalam.
Saya yakin kinerjanya akan menambah pemahaman yang lebih baik pada instalasi khusus situs saya. Ini adalah cerita tentang “Kiss and Don't Tell” yang ingin saya "cium" dan "ceritakan". ***