Akhir November lalu, Sabtu tanggal 25 persisnya, saat didaulat untuk ngobrol di hadapan puluhan seniman Purwokerto, aku seperti disadarkan oleh realitas jagat seni rupa di sekitarku yang masih sangat-sangat beragam gradasi pemahamannya atas dunia seni rupa itu sendiri. Di Purwokerto, seperti halnya yang dialami oleh seniman di kota lain di Jawa, apalagi di luar Jawa, masih banyak berkutat pada problem elementer yang cukup berjarak dengan perkembangan di Yogya.
Dialog yang dilakukan beberapa jam setelah pembukaan pameran seniman Trio Faham (mas Fathur, pak Hadi Wijaya, dan mas Medi) ini berlangsung begitru menggairahkan hingga berlangsung hampir 4 jam sampai jam 23.30-an. Aku cukup capek juga sih, tapi senang. Banyak hal bisa kulontarkan untuk memberi pengayaan pikiran atas perkembangan seni rupa yang selama ini belum terpikirkan oleh teman2 seniman di Purwokerto. Pun aku mendapatkan banyak fakta menarik tentang geliat perkembangan mereka di tengah apatisme publik dan negara terhadap jagat seni yang mereka lakoni dengan teguh.
Ada pula hal menarik bahwa perhelatan pameran tersebut disponsori oleh seorang pengusaha lokal yang mulai peduli seni, pak Firman yang kira2 usianya sekitar 45 tahun. Masih cukup muda. Dia bilang teman bergaulnya pematung Pintor Sirait saat dia kuliah di Unpad Bandung. Dia mulai mengoleksi karya seni dan menularkannya pada beberapa rekanan bisnisnya yang lain. Kecenderungan ini, menjadi maecenas dan kolektor, aku kira sebuah persoalan yang acap dilupakan oleh publik seni rupa, bahkan di Yogyakarta atau kota besar lainnya. Seniman Yogyakarta kadang, menurut pengamatanku, menganggap hal itu seperti sesuatu yang given, yang begitu saja terberi, tanpa berupaya menciptakan situasi yang memungkinkan karyanya direspon dan diserap dengan baik oleh publik. Kukira, adanya sosok pak Firman memberi celah bagus bagi seniman Purwokerto untuk melacak garis relasi dunia seni dengan jagat apresiasi publik yang mungkin selama ini banyak terpotong.
Yah aku punya PR bagus untuk menuliskan lebih fokus sedikit tentang hal ini ke publik yang lebih luas. Ah, moga2 deh ntar ada waktu untuk nulis di koran lokal. Semoga bisa.
Dialog yang dilakukan beberapa jam setelah pembukaan pameran seniman Trio Faham (mas Fathur, pak Hadi Wijaya, dan mas Medi) ini berlangsung begitru menggairahkan hingga berlangsung hampir 4 jam sampai jam 23.30-an. Aku cukup capek juga sih, tapi senang. Banyak hal bisa kulontarkan untuk memberi pengayaan pikiran atas perkembangan seni rupa yang selama ini belum terpikirkan oleh teman2 seniman di Purwokerto. Pun aku mendapatkan banyak fakta menarik tentang geliat perkembangan mereka di tengah apatisme publik dan negara terhadap jagat seni yang mereka lakoni dengan teguh.
Ada pula hal menarik bahwa perhelatan pameran tersebut disponsori oleh seorang pengusaha lokal yang mulai peduli seni, pak Firman yang kira2 usianya sekitar 45 tahun. Masih cukup muda. Dia bilang teman bergaulnya pematung Pintor Sirait saat dia kuliah di Unpad Bandung. Dia mulai mengoleksi karya seni dan menularkannya pada beberapa rekanan bisnisnya yang lain. Kecenderungan ini, menjadi maecenas dan kolektor, aku kira sebuah persoalan yang acap dilupakan oleh publik seni rupa, bahkan di Yogyakarta atau kota besar lainnya. Seniman Yogyakarta kadang, menurut pengamatanku, menganggap hal itu seperti sesuatu yang given, yang begitu saja terberi, tanpa berupaya menciptakan situasi yang memungkinkan karyanya direspon dan diserap dengan baik oleh publik. Kukira, adanya sosok pak Firman memberi celah bagus bagi seniman Purwokerto untuk melacak garis relasi dunia seni dengan jagat apresiasi publik yang mungkin selama ini banyak terpotong.
Yah aku punya PR bagus untuk menuliskan lebih fokus sedikit tentang hal ini ke publik yang lebih luas. Ah, moga2 deh ntar ada waktu untuk nulis di koran lokal. Semoga bisa.
Comments