Buntut, Stok Jadul
Di bawah ini kembali tulisan stok lamaku yang jadul banget. Saat itu masih 22 tahun, masih kuliah dan mulai latihan nyari2 duit sendiri buat nutup biaya kuliah hehehe. Kukorek lagi tulisan ini untuk pengingat bagiku sendiri bahwa, "Heyy, 14 tahun lalu kamu sudah bisa nulis! Yang maju donk, jangan jalan di empat!" Yah, kayaknya aku masih jalan di tempat tuh... Huhuhu!
Buntut
Oleh Kuss Indarto
Tahukah Saudara arti judul di atas? Rasanya memori-otak kita tak perlu banyak memboroskan waktu untuk berlama-lama menjawab bahwa buntut adalah dua atau tiga nomor dari 7 nomor yang muncul tiap Rabu malam sebagai ‘program nasional’ mingguan pemerintah untuk mengumpulkan duwit (dana olahraga) dari sebagian di antara kita yang suka bergelar sebagai kaum ‘dermawan-sosial’ dan senang menggantang asap, membeli selembar kertas berisi (= berhadiah) satu milyar imajinasi.
Tapi tak perlulah kita berpanjang-kata tentang buntut yang satu ini. Cukup Ibu Haryati Soebadio (Menteri Sosial kita) sajalah yang mempunyai kompetensi tentang program (semilyar mimpi?) ini. Sebaiknya kita giring saja perkara buntut ini ke dalam jaring gawang kita, seni. Memang tak ada perbedaan yang prinsipil tentang buntut dalam seni, namun ada sedikit pergeseran konotasi karena perbedaan situasi.
Sebelum membeberkan buntut dalam seni, sebaiknya kita tampilkan contoh-contoh kasuistik yang dapat mewakili pokok permasalahan.
Pengamat sastra, Subagio Sastrowardoyo pernah membuat berang WS Rendra karena penelitiannya. Menurutnya, puisi-puisi si Burung Merak (yang kini suka ‘hinggap’ di konser musik) itu – sebut saja puisi ‘Ballada Orang-orang Tercinta’ sebagai misal – mempunyai gejala-gejala pemiripan dan pembuntutan terhadap puisi-puisi karya penyair kondang dari Spanyol, Lorca. Dan ia tak sendirian. Pembuntutan atau yang lalu berpakaian keren menjadi epigonisme inipun ternyata juga dialami pada diri dan karya-karya Rivai Apin dan Asul Sani yang dianggap sebagai epigon dari si liar Chairil Anwar. Almarhum polisi-penyair Ibrahim Sattah pun konon adalah epigon dari si penyair mantra-kontemporer Soetardji Calzoum Bachri. Atau ada contoh yang mendunia dan ‘ngeri’ kedengarannya; bahwa lakon Caligula-nya almarhum Albert Camus (sastrawan yang pernah mendapat hadiah Nobel dalam bidang sastra) ternyata adalah hasil-timba sebuah cerita Romawi Kuno. Atau dalam blantika musik popular, tak maukah saudara mengiyakan bahwa Abadi Soesman dengan Bharata-nya adalah satu di antara ratusan grup band pengekor (bahkan peng-kultus) mitos Beatles?
Mari mencoba mengerling dunia seni rupa kita.
Kartika Koberl dulu (dan barangkali sampai detik ini) terpaksa harus tersenyum kecut karena lukisan-lukisan yang tergores dari jemari tangannya, yang terujud dari ekspresi-jiwanya, dianggap sebagai pembuntutan dari dari gaya dan corak lukisan sang bapak, Affandi. Juga Maria Tjui tentu saja, harus rela risih diteror sebagai epigon sang Maestro. Atau ‘pelukis konglomerat’ Jeihan Sukmantoro pun lama-lama harus ‘cuek’ dituduh sebagai pembuntut gaya ‘mata bolong-hitam’ dari si Italia, Modegliani. Atau barangkali puluhan generasi surrealis kita yang hendak berkibar harus siap dikobar ‘api panas’ yang menuding-nuding: kamu epigon anu, anu buntut dia, kau pengekor anu…
Lantas dosa dan perlu disesalikah pembuntutan dan epigonisme dalam seni itu? Apakah sosok-sosok epigon adalah narapidana-narapidana estetika?
Tatkala seorang pelukis berkarya, tak selamanya dia memulai dengan bekal kehampaan batin, pandangan, pikiran, khayalan dan imajinasi. Bahkan kekosongan dalam hal yang satu ini adalah kemustahilan. “Keisian” itu justru sudah menjadi tuntutan yang sudah harus ada sebelum seniman memulai mengembarakan dan menggembalakan ekspresinya. Seorang pelukis tak jarang melihat karya-karya lukis dari seniman yang sadar atau tak sadar, cepat atau lambat akan memberi pengaruh. Bahkan tak sekadar itu, jiplak-menjiplak pun pada akhirnya tak terhindarkan. Jangan berkecil hati, sang Ekspresionisme besar Vincent van Gogh sekalipun pernah secara terang-terangan memindahkan karya grafis Jepang dalam lukisannya. (Lihat lukisan-lukisannya yang provinsial Jepang).
Namun ada satu titik yang perlu ditorehi garis tebal pada perkara ini. Bahwa keterpengaruhan (bahasa rusak tapi justru dipopulerkan oleh para bapak pemimpin republik ini), pembuntutan atau epigonisme bahkan penjiplakan atau plagiasi yang dialami atau dilakukan oleh seorang seniman (dalam hal ini pelukis) adalah lumrah, sah dan halal saja adanya, apabila dilakukan dengan amat sadar bahwa tahap itu hanyalah salah satu terminal dalam perjalanan/proses kreatif kesenimanan yang terus bergerak. Artinya menjadi epigon bahkan plagiator mestinya bukan jejak penghabisan tanpa kelanjutan, atau menjadi titik-mati tujuan. Epigonisme, plagiatisme bolehlah – sekali lagi – menjadi salah satu terminal yang memberi ruang gerak bagi kita untuk bertolak membangun jati diri. Terminal tempat menghimpun atau menghirup hawa sebelum membentuk nafas estetika pribadi yang ‘patent’.
Yang paling penting adalah hadirnya “otentisitas-jiwa” yang sedikit demi sedikit dan terus-menerus dinyalakan, digemakan dan dialirkan ketika terminal ‘epigonisme-plagiatisme’ tengah kita jalani.
Intensitas yang ajeg dan terjaga dengan tetap menjunjung tinggi ‘otentisitas-jiwa’ ketika singgah di terminal epigonisme ini, bukan sebuah kemuskilan/kemustahilan bila kelak akan menghasilkan sesosok ‘potret diri’ yang sangat pribadi. Sebuah jati diri yang sangat hakiki dan mandiri. Jadi, epigonisme takkan selalu menjadi dosa yang pantas untuk disesali.
Banyak tauladan yang dapat dijadikan cermin bagi kita, tentang Kartika Koberl misalnya.
Tataplah lukisan-lukisan Kartika dan Affandi kini. Akan ditemukan di sana, kekartikaan Kartika yang tak lagi ‘affandi’. Akan ditemukan di sana, sebuah jati diri yang tak lagi bergantung (dependent) pada sebuah kemandirian. Akan ditemukan di sana, sebungkah ‘nyawa’ yang tak lagi pantas disebut buntut…
(Tulisan ini telah dimuat di majalah Sani edisi No. 1 Tahun I Maret 1991, yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta)
Buntut
Oleh Kuss Indarto
Tahukah Saudara arti judul di atas? Rasanya memori-otak kita tak perlu banyak memboroskan waktu untuk berlama-lama menjawab bahwa buntut adalah dua atau tiga nomor dari 7 nomor yang muncul tiap Rabu malam sebagai ‘program nasional’ mingguan pemerintah untuk mengumpulkan duwit (dana olahraga) dari sebagian di antara kita yang suka bergelar sebagai kaum ‘dermawan-sosial’ dan senang menggantang asap, membeli selembar kertas berisi (= berhadiah) satu milyar imajinasi.
Tapi tak perlulah kita berpanjang-kata tentang buntut yang satu ini. Cukup Ibu Haryati Soebadio (Menteri Sosial kita) sajalah yang mempunyai kompetensi tentang program (semilyar mimpi?) ini. Sebaiknya kita giring saja perkara buntut ini ke dalam jaring gawang kita, seni. Memang tak ada perbedaan yang prinsipil tentang buntut dalam seni, namun ada sedikit pergeseran konotasi karena perbedaan situasi.
Sebelum membeberkan buntut dalam seni, sebaiknya kita tampilkan contoh-contoh kasuistik yang dapat mewakili pokok permasalahan.
Pengamat sastra, Subagio Sastrowardoyo pernah membuat berang WS Rendra karena penelitiannya. Menurutnya, puisi-puisi si Burung Merak (yang kini suka ‘hinggap’ di konser musik) itu – sebut saja puisi ‘Ballada Orang-orang Tercinta’ sebagai misal – mempunyai gejala-gejala pemiripan dan pembuntutan terhadap puisi-puisi karya penyair kondang dari Spanyol, Lorca. Dan ia tak sendirian. Pembuntutan atau yang lalu berpakaian keren menjadi epigonisme inipun ternyata juga dialami pada diri dan karya-karya Rivai Apin dan Asul Sani yang dianggap sebagai epigon dari si liar Chairil Anwar. Almarhum polisi-penyair Ibrahim Sattah pun konon adalah epigon dari si penyair mantra-kontemporer Soetardji Calzoum Bachri. Atau ada contoh yang mendunia dan ‘ngeri’ kedengarannya; bahwa lakon Caligula-nya almarhum Albert Camus (sastrawan yang pernah mendapat hadiah Nobel dalam bidang sastra) ternyata adalah hasil-timba sebuah cerita Romawi Kuno. Atau dalam blantika musik popular, tak maukah saudara mengiyakan bahwa Abadi Soesman dengan Bharata-nya adalah satu di antara ratusan grup band pengekor (bahkan peng-kultus) mitos Beatles?
Mari mencoba mengerling dunia seni rupa kita.
Kartika Koberl dulu (dan barangkali sampai detik ini) terpaksa harus tersenyum kecut karena lukisan-lukisan yang tergores dari jemari tangannya, yang terujud dari ekspresi-jiwanya, dianggap sebagai pembuntutan dari dari gaya dan corak lukisan sang bapak, Affandi. Juga Maria Tjui tentu saja, harus rela risih diteror sebagai epigon sang Maestro. Atau ‘pelukis konglomerat’ Jeihan Sukmantoro pun lama-lama harus ‘cuek’ dituduh sebagai pembuntut gaya ‘mata bolong-hitam’ dari si Italia, Modegliani. Atau barangkali puluhan generasi surrealis kita yang hendak berkibar harus siap dikobar ‘api panas’ yang menuding-nuding: kamu epigon anu, anu buntut dia, kau pengekor anu…
Lantas dosa dan perlu disesalikah pembuntutan dan epigonisme dalam seni itu? Apakah sosok-sosok epigon adalah narapidana-narapidana estetika?
Tatkala seorang pelukis berkarya, tak selamanya dia memulai dengan bekal kehampaan batin, pandangan, pikiran, khayalan dan imajinasi. Bahkan kekosongan dalam hal yang satu ini adalah kemustahilan. “Keisian” itu justru sudah menjadi tuntutan yang sudah harus ada sebelum seniman memulai mengembarakan dan menggembalakan ekspresinya. Seorang pelukis tak jarang melihat karya-karya lukis dari seniman yang sadar atau tak sadar, cepat atau lambat akan memberi pengaruh. Bahkan tak sekadar itu, jiplak-menjiplak pun pada akhirnya tak terhindarkan. Jangan berkecil hati, sang Ekspresionisme besar Vincent van Gogh sekalipun pernah secara terang-terangan memindahkan karya grafis Jepang dalam lukisannya. (Lihat lukisan-lukisannya yang provinsial Jepang).
Namun ada satu titik yang perlu ditorehi garis tebal pada perkara ini. Bahwa keterpengaruhan (bahasa rusak tapi justru dipopulerkan oleh para bapak pemimpin republik ini), pembuntutan atau epigonisme bahkan penjiplakan atau plagiasi yang dialami atau dilakukan oleh seorang seniman (dalam hal ini pelukis) adalah lumrah, sah dan halal saja adanya, apabila dilakukan dengan amat sadar bahwa tahap itu hanyalah salah satu terminal dalam perjalanan/proses kreatif kesenimanan yang terus bergerak. Artinya menjadi epigon bahkan plagiator mestinya bukan jejak penghabisan tanpa kelanjutan, atau menjadi titik-mati tujuan. Epigonisme, plagiatisme bolehlah – sekali lagi – menjadi salah satu terminal yang memberi ruang gerak bagi kita untuk bertolak membangun jati diri. Terminal tempat menghimpun atau menghirup hawa sebelum membentuk nafas estetika pribadi yang ‘patent’.
Yang paling penting adalah hadirnya “otentisitas-jiwa” yang sedikit demi sedikit dan terus-menerus dinyalakan, digemakan dan dialirkan ketika terminal ‘epigonisme-plagiatisme’ tengah kita jalani.
Intensitas yang ajeg dan terjaga dengan tetap menjunjung tinggi ‘otentisitas-jiwa’ ketika singgah di terminal epigonisme ini, bukan sebuah kemuskilan/kemustahilan bila kelak akan menghasilkan sesosok ‘potret diri’ yang sangat pribadi. Sebuah jati diri yang sangat hakiki dan mandiri. Jadi, epigonisme takkan selalu menjadi dosa yang pantas untuk disesali.
Banyak tauladan yang dapat dijadikan cermin bagi kita, tentang Kartika Koberl misalnya.
Tataplah lukisan-lukisan Kartika dan Affandi kini. Akan ditemukan di sana, kekartikaan Kartika yang tak lagi ‘affandi’. Akan ditemukan di sana, sebuah jati diri yang tak lagi bergantung (dependent) pada sebuah kemandirian. Akan ditemukan di sana, sebungkah ‘nyawa’ yang tak lagi pantas disebut buntut…
(Tulisan ini telah dimuat di majalah Sani edisi No. 1 Tahun I Maret 1991, yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta)
Comments