Tahun Baru 2007

Hmm, kalender harus dicabut dari dinding, dan kuganti dengan almanak baru, 2007. Waktu memang tak bisa dihentikan, seperti denyut nadi yang memompa darah dari jantung dan aorta. Rasanya ingin menjelajah waktu sewaktu-waktu.

Ingin tiba2 masuk ke tahun 1974 saat aku masuk TK Bayangkara di asrama Brimob Baciro, Yogyakarta yang cukup ajaib bagi masa kanak-kanakku. Atau menerobos ke tahun 1978 saat aku dan teman2 masa kecilku berombongan naik bus asrama ke kantor Polwil (?) di Malioboro yang sekarang telah dulap jadi arela perluasan Hotel Natour Garuda. Atau tiba2 ingin melesat ke tahun 2019 saat usiaku 50 tahun. Pasti ada keajaiban dengan lingkunganku, dengan habitus baruku, dengan sistem sosial yang memerangkap komunitasku.

Apa boleh buat, aku tak bisa berpaling ke belakang kecuali berimajinasi menembus waktu yang telah lampau untuk menyuguhkan secuil nostalgi atau memori yang kadang sangat penting untuk merenung.

Selamat Natal bagi yang masih merayakan.

Selamat Idhul Adha bagi yang juga merayakan.

Selamat Tahun Baru 2007.

Ini tahun yang bisa jadi penuh keberuntungan kalau mengikuti kepercayaan orang Tionghoa. Angka 2007 kalau dijumlahkan ya muncul angka 9. Angka paling tinggi. Penuh hoki. Aku tak sepenuhnya percaya, tapi kayaknya bukan waktunya lagi untuk banyak habiskan waktu tanpa mengerjakan sesuatu tanpa makna. Sekecil apapun, akan kulakukan untuk memberi makna bagi diriku sendiri. Syukur bisa berguna untuk orang lain. Dan hal selalu luput dari kesadaranku, meski itu kadang telah kulakukan, adalah keberanian untuk mengambil risiko. Kesadaran mempraktikkan sesuatu yang berimplikasi pada risiko untuk ditolak dan dijauhi orang lain, misalnya, hmmm, harus kupahami betul itu aka selalu terjadi.

Biarin! Aku bekerja, ayo berbuat, ayo bikin sesuatu untuk perubahan. Aku berubah, maka dunia pun (belum tentu) berubah! Hahaha! Salam...

Comments

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?